130
proses pengerjaan produk aseptis Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan 2009.
Ruang  dispensing  sediaan  steril  memang  sudah  tersedia  di  RS  X namun  pemakaianya  belum  maksimal.  Kendalanya  ada  pada  petugas  yang
kurang untuk berjaga di sana. Selain itu, masih ada petugas yang mencampu obat suntik di dalam outlet rawat inap tidak di dalam ruang yang tersedia.
Padahal  pencampuran  sediaan  steril harus  memperhatikan
perlindungan  produk  dari  kontaminasi  mikroorganisme;  sedangkan  untuk penanganan  sediaan  sitostatika  selain  kontaminasi  juga  memperhatikan
perlindungan  terhadap  petugas,  produk  dan  lingkungan  Dirjen  Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009.
RS X pun telah memiliki  SPO tersendiri terkait   pencampuran obat suntik.  Sosialisasi  dan  pemberitahuan  SPO  juga  sudah  dilakukan.  Namun,
masih  ada  petugas  yang  bandel  karena  ruang  dispensing  sediaan  steril  dan depo  rawat  inap  cukup  jauh  sehingga  petugas  yang  terburu-buru  waktu
mengambil jalan pintas. Hal ini sebenarnya sangat berbahaya jika dilakukan terus  menerus  dan  banyak  petugas  karena  bisa  menimbulkan  infeksi
nosokomial. Harus ada supervisor tersendiri terkait dispensing sediaan steril ini.
6.4 Analisis Pencapaian Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik
Berdasarkan  PMK  No.58  tahun  2014  tentang  Standar  Pelayanan Farmasi  Rumah  Sakit,  pelayanan  farmasi  klinik  merupakan  pelayanan
langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan
131
outcome  terapi  dan  meminimalkan  risiko  terjadinya  efek  samping  karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien patient safety sehingga kualitas hidup
pasien  quality  of  life  terjamin.  Maka  kejadian  kesalahan  obat  menurut Kepmenkes  no.  129  tahun  2008  tentang  Standar  Pelayanan  Minimal  SPM
tidak boleh terjadi. Di  RS  X  laporan  kejadian  kesalahan  obat  memang  masih  ada,  baik
untuk  kejadian  yang  sudah  terjadi  ataupun  potensi  kejadian.  Hal  ini, dilaporkan  oleh  petugas  pada  petugas  keselamatan  pasien.  Rata-rata  yang
laporan  yang  masuk  adalah  tak  terbacanya  resep  dengan  jelas.  Berdasarkan PMK  No.58  tahun  2014  tentang  Standar  Pelayanan  Farmasi  Rumah  Sakit,
pelayanan  farmasi  klinik  merupakan  pelayanan  langsung  yang  diberikan apoteker  kepada  pasien  dalam  rangka  meningkatkan  outcome  terapi  dan
meminimalkan  risiko  terjadinya  efek  samping  karena  obat,  untuk  tujuan keselamatan pasien patient safety sehingga kualitas hidup pasien quality of
life  terjamin.  Maka  kejadian  kesalahan  obat  menurut  Kepmenkes  no.  129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal SPM tidak boleh terjadi.
Sedangkan  kegiatan  pelayanan  farmasi  klinik  yang  belum  dilakukan RS  X  adalah  konseling,  visite,  evaluasi  penggunaan  obat  dan  pemantauan
kadar obat dalam darah. Konseling belum dilakukan saat ini karena di RS X masih  kekurangan  SDM.  SDM  yang  ada  sudah  habis  untuk  pelayanan  dan
pengkajian  resep.  Sedangkan  untuk  petugas  konseling  khusus  belum  ada. Namun, RS  X tetap terbuka dengan segala pertanyaan dari pasien.
132
Padahal,  keberhasilan  suatu  pengobatan  tidak  hanya  dipengaruhi  oleh kualitas  pelayanan,  tetapi  dipengaruhi  pula  oleh  perilaku  pasien
Muliawan,2008.  Salah  satu  upaya  untuk  meningkatkan  kepatuhan  pasien adalah dengan cara konseling Depkes RI, 2008. Menurut PMK No.58 tahun
2014  tentang  Standar  Pelayanan  Farmasi  Rumah  Sakit,  pun  konseling  perlu dilakukan  terutama  bagi  pasien  denga  kondisi  khusus,  pasien  dengan
pengobatan  jangka  panjang,  pasien  yang  menggunakan  obat  khusus  serta yang memakai banyak obat. Hal ini juga seharusnya sebagai salah satu usaha
dalam mencegah reaksi obat yang tidak diinginkan. Visite  juga  belum  diilakukan  karena  di  RS  X  belum  ada  kerjasama
antar  apoteker  dan  berbagai  tenaga  medis  lain  untuk  melakukan  penyuluhan terkait  obat  kepada  pasien.  SDM  di  RS  X  juga  kembali  menjadi  hambatan
untuk  dilaksanakannya  visite,  karena  saat  ini  apoteker  hanya  berfokus  pad apemberian  informasi  obat  pada  pasien.  Meski  begitu,  sebenarnya  setiap
apoteker  sudah  diberi  tanggung  jawab  satu  ruangan  untuk  dilakukan pengecekan  setiap  ahri  sekali  untuk  mencegah  terjadinya  efek  samping  obat
dan  mencatat  apakah  terjadi  interaksi  atau  efek  samping    pada  terapi  yang diberikan. Visite memang pelayanan yag paling jarang dilakukan oleh rumah
sakit,
dikarenakan  kurangnya  tenaga  kerja  yang  berkompeten  untuk  melakukan kegiatan ini di rumah sakit.  Visite dapat dilakukan secara mandiri oleh apoteker
atau dilakukan secara tim dengan tenaga kesehatan lain Kemenkes RI,2011.
RS  X  juga  belum  melakukan  evaluasi  penggunaan  obat  secara keseluruhan, baerdasarkan hasil wawancara evaluasi penggunaan obat pernah
133
dilakukan  hanya  untuk  obat-obat  tertentu  dan  dilakukan  biasanya  oleh mahasiswa  yang  sedang  melakukan  penelitian.  Padahal  menurut  kemenkes
melakukan evaluasi penggunaan obat adalah untuk memastikan penggunaan obat secara  rasional  pada  pasien,  terutama  penggunaan  antibiotik  Siregar,2014.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang juga menyebutkan evaluasi penggunaan obat belum dilakukan
Restriyani, 2016. Pemantauan  kadar  obat  dalam  darah  juga  belum  dilakukan  di  RS  X
karena  belum  memiliki  alat  yang  menunjang  untuk  melakukan  kegiatan  ini. Padahal,  pentingnya  melakukan  pemantauan  kadar  obat  dalam  darah  adalah
untuk  memastikan  pemberian  obat  yang  optimal  berdasarkan  konsentrasi target,  sehingga  dengan  demikian  penyesuaian  dosis  dapat  dilakukan
Usman,2007.
134
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari  hasil  penelitian  yang  telah  dilakukan  maka  didapatkan  simpulan bahwa  RS  X  belum  sepenuhnya  menjalankan  semua  kegiatan  farmasi
klinis  yang  terdapat  pada  PMK  No.58  Tahun  2014  tentang  Standar Pelayanan  Farmasi  di  Rumah  Sakit.  Ada  pun  rinciannya  berdasarkan
pendekatan sistem sebagai berikut: 1.  Pada  pelayanan  farmasi  klinis  di  RS  X  yang  menjadi  kendala
dalam input adalah SDM yang kurang memadai  yaitu total jumlah tenaga  kefarmasian  hanya  63  dengan  jumlah  apoteker  7  orang
sedangkan  resep  yang  masuk  per  hari  bisa  800-900  resep.  Selain itu,  pada  sarana  RS  X  juga  belum  menerapkan  sistem  electronic
prescribing dalam meminimalisir kesalahan peresepan. Sedangkan kebijakan di RS X sudah ada 96 SOP, namun masih ada beberapa
pelanggaran karena kurangnya monitoring. 2.  Berdasarkan proses maka gambaran pelayanan farmasi klinis di RS
X adalah sebagai berikut: a.  Pada  proses  pengkajian  dan  pelayanan    resep  masih  banyak
ditemukan  resep  yang  tidak  lengkap  baik  secara  administrasi, farmasetik,
maupun klinis.
Kelengkapan persyaratan
administrasi  mencapai  71.33,  kelengkapan  persyaratan