11
1.5.2 Bagi Peneliti
Dapat mengaplikasikan teori pelayanan pelaksanaan standar farmasi klinis yang telah dipelajari ke kondisi sebenarnya.
1.5.3 Bagi Institusi
Hasil penelitian dapat dijadikan referensi yang dapat diteliti lebih lanjut. Serta dapat dijadikan informasi dan dokumentasi
di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan standar pada pelayanan farmasi klinis di Rumah Sakit
X tahun 2017 yang akan diteliti oleh mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada bulan Juli 2016-Januari 2017. Penelitian ini dilakukan untuk di ketahuinya pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik di RS
X. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu penelitian deskriptif dengan menggunakan desain studi kasus dan metode pendekatan
sistem. Penelitian
ini merupakan
penelitian yang
akan mengeskplorasi permasalahan mengenai gambaran pelaksanaan
standar pada pelayanan farmasi di rumah sakit. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer
yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan telaah dokumen.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Farmasi Klinik Rumah Sakit
Farmasi klinik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien.
Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk drug oriented menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien
patient oriented dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian Pharmaceutical Care Prayitno, 2003.
Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat
dalam tim pelayanan kesehatan Hepler, 2004;Miller, 1981 dalam Restriyani, 2016.
Berdasarkan PMK No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan
13
keselamatan pasien patient safety sehingga kualitas hidup pasien quality of life terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep; 2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat; 4. Pelayanan Informasi Obat PIO;
5. Konseling; 6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat PTO; 8. Monitoring Efek Samping Obat MESO;
9. Evaluasi Penggunaan Obat EPO; 10. Dispensing Sediaan Steril; Dan
11. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah PKOD
2.1.1 Pengkajian dan pelayanan Resep
Dalam PMK No. 58 tahun 2014, pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat medication error.
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis
14
resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi:
a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien; b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
c. tanggal Resep; dan d. ruanganunit asal Resep.
Persyaratan farmasetik meliputi: a. nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
b. dosis dan jumlah obat; c. stabilitas yaitu derajat degradasi suatu obat dipandangdari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknyapenurunan kadar selama penyimpanan; dan
d. aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat; b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki ROTD; d. kontraindikasi; dan
e. interaksi obat.
15
Penulisan resep sendiri memiliki standar yang berbeda di setiap negara. Namun, yang terpenting resep yang ditulis harus jelas. Beberapa
resep masih ditulis dalam bahasa latin dibeberapa negara, meski bahasa lokal lebih banyak ditemukan. Setidaknya dalam resep memuat informasi
ini maka kemungkinan kecil terjadi kesalahan WHO, 1994: a. Nama dan alamat prescriber, dengan nomor telepon jika mungkin
Hal ini biasanya pra-dicetak pada formulir. Jika apoteker memiliki pertanyaan tentang resep ia dapat dengan mudah menghubungi prescriber
tersebut. b. Tanggal resep
Di banyak negara validitas resep tidak memiliki batas waktu, tetapi di beberapa negara apoteker tidak memberikan obat resep lebih dari tiga
sampai enam bulan. Maka tanggal resep penting untuk mengetahui vaiditas obat yang disediakan itu sendiri.
c. Nama dan kekuatan obat R tidak Rx berasal dari Resep Latin untuk mengambil. Setelah
R harus ditulis nama obat dan kekuatan. Sangat dianjurkan untuk menggunakan nama generik obat. Hal ini menandakan penulis resep tdak
cenderung pada salah satu merk obat yang bisa saja mahal bagi pasien. Namun, jika ada alasan khusus untuk meresepkan merek khusus, nama
dagang dapat dituliskan dalam resep.
16
Kekuatan obat menunjukkan berapa miligram kandungan obat dalam setiap tablet, supositoria, atau mililiter cairan. Singkatan yang
diterima secara internasional harus digunakan: g untuk gram, ml untuk mililiter. Cobalah untuk menghindari desimal dan, jika perlu, menulis
kata-kata penuh untuk menghindari kesalahpahaman. Misalnya, menulis Levotiroksin 50 mikrogram, bukan 0.050 miligram atau 50 ug. Dalam
resep untuk obat yang diawasi atau yang berpotensi disalahgunakan lebih aman untuk menulis kekuatan dan jumlah total dalam kata-kata, untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan. Instruksi penggunaan harus jelas dan dosis harian maksimum disebutkan. Gunakan tinta tak terhapuskan.
d. Bentuk sediaan dan jumlah total Hanya menggunakan singkatan standar yang akan diketahui
apoteker. e. Informasi untuk label paket
S singkatan Signa Latin untuk menulis. Semua informasi berikut S atau kata Label harus disalin oleh apoteker ke label paket. Termasuk
berapa banyak obat yang harus diambil, seberapa sering, dan setiap instruksi dan peringatan tertentu. Semuanya harus diberikan dalam bahasa
awam. Jangan gunakan singkatan atau pernyataan seperti seperti sebelumnya atau seperti yang diarahkan.
f. Inisial atau tanda tangan prescriber g. Nama dan alamat pasien; usia untuk anak-anak dan orang tua
17
2.1.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Dalam PMK No.58 Tahun 2014, penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obatsediaan
farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medikpencatatan penggunaan obat
pasien. Adapun tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat sebagai berikut: a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam
medikpencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat;
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan; c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki ROTD; d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat;
f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan; g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang
digunakan; h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;
18
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan minum obat concordance aids;
k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan
l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan Informasi yang harus didapatkan menurut PMK No.58 Tahun 2014 dalam
penelusuran riwayat penggunaan obat di antaranya adalah nama obat termasuk obat non resep, dosis, bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama
penggunaan obat; reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat jumlah obat yang tersisa.
Riwayat penggunaan obat adalah hal yang penting dalam mencegah kesalahan peresepan serta pengurangan risiko untuk pasien. Di samping itu,
riwayat penggunaan obat yang akurat juga berguna untuk mendeteksi hubungan terapi obat atau perubahan tanda-tanda klinis yang mungkin akibat dari
penggunaan obat. Riwayat penggunaan obat uang baik harus mencakup semua obat yang sedang dan telah diresepkan pada pasien, reaksi obat sebelumnya
termasuk kemungkinan reaksi hipersensitif, dan obat-obat yang tak menggunakan resep, termasuk pengobatan herbal atau alternatif, serta kepatuhan terhadap terapi
FitzGerald, 2009. Bagian penting dari riwayat penggunaan obat sering tidak lengkap dan
tidak akurat. Penelitian menunjukan hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang terjadi di dunia. Apoteker bisa memainkan peran penting pada pencegahan
19
kesalahan ini dengan terlibat dalam memperoleh riwayat penggunaan obat setelah adanya perpindahan pasien FitzGerald, 2009.
Riwayat penggunaan obat yang hati-hati merupakan hal penting. Hal ini dilakukan untuk menilai penyebab dari efek obat. Karena bisa berisi keterangan
alergi pasien sebelumnya Ritter, et al, 2008.
2.1.3 Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan secara
konsisten setiap kali terjadi perpindahan pemberian layanan kesehatan seorang pasien. Pengertian rekonsiliasi obat tersebut menyiratkan beberapa elemen
penting yang mendasari keberhasilan implementasi program tersebut, yaitu: 1 proses rekonsiliasi obat merupakan proses formal; 2 proses rekonsiliasi obat
merupakan proses dengan pendekatan multisiplin; 3 penyedia layanan kesehatan harus dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarga pasienpenjaga pasien.
Proses perpindahan pemberian layanan kesehatan dapat terjadi pada setting berikut: 1 saat pasien Masuk Rumah Sakit MRS; 2 pasien mengalami
perpindahan antar bangsal atau unit layanan dalam suatu instansi rumah sakit yang sama misalnya dari bangsal rawat inap menuju intensive care unit; 3
perpindahan dari suatu instansi rumah sakit menuju: rumah, layanan kesehatan primer antara lain: puskesmas, praktek pribadi dokter yang bekerja sama dengan
apotek, atau klinik, atau rumah sakit lain Setiawan, et al, 2015.
20
Dalam PMK No.58 Tahun 2014 rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat medication error seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.
Kesalahan obat medication error rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien
yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien;
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter; dan
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
Sedangkan setelah itu diatur pula tahap proses rekonsiliasi obat yang terdiri dari pengumpulan data, komparasi, melakukan konfirmasi kepada dokter
apabila terjadi kesalahan, dan komunikasi. Berikut penjelasan masing-masing tahap:
a. Pengumpulan data Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek
21
samping obat yang pernah terjadi. khusus untuk data alergi dan efek samping obat, dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi
dan efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,
daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam medikmedication chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 tiga bulan
sebelumnya. Semua obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b. Komparasi Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan
akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokanperbedaan diantara
data-data tersebut.
Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada
rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja intentional oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak disengaja unintentional
dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep. c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi. Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24
jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
22
mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi
obat. d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien danatau keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung
jawab terhadap informasi obat yang diberikan.
2.1.4 Pelayanan Informasi Obat PIO
Rata-rata, 50 pasien tak menggunakan obat yang diresepkan dengan benar, meminumnya tidak teratur, atau tidak sama sekali. Alasan yang paling umum
adalah karena gejala telah berhenti, efek samping yang terjadi, obat tidak dianggap efektif, atau jadwal dosis rumit bagi pasien, terutama orang tua. Tidak
patuhnya pasien terhadap pengobatan mungkin tidak memiliki konsekuensi serius bagi sebagian obat, namun pada sebagin lainnya, obat menjadi tidak efektif atau
beracun jika digunakan tidak teratur WHO, 1994. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat ditingkatkan dengan tiga cara
yaitu, pemilihan terapi obat yang baik. menciptakan hubungan dokter-pasien yang baik, atau meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang diperlukan,
seperti petunjuk dan peringatan. Terapi obat yang baik terdiri dari sedikitnya obat yang diresepkan, dengan tindakan cepat, sedikit efek samping sesedikit mungkin,
dalam bentuk sediaan yang tepat, jadwal dosis sederhana satu atau dua kali sehari, dan durasi pengobatan sesingkat mungkin WHO, 1994.
23
Pelayanan Informasi Obat PIO adalah salah satu untuk mengurangi ketidapatuhan tersebut. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk dan peringatan
agar mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan mengikuti pengobatan serta mendapat keterampilan yang diperlukan untuk menggunkaa obat dengan
tepat. Dalam beberapa studi, kurang dari 60 pasien telah memahami bagaimana menggunakan obat yang mereka terima. Informasi harus diberikan yang jelas,
menggunakan bahasa umum dan meminta pasien untuk mengulang kata-kata yang diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait beberapa informasi inti, untuk
memastikan bahwa infromasi terlah dipahami WHO, 1994. Dalam memberikan infromasi terkait obat apoteker harus memberikan
informasi obat untuk pasien yang akurat dan komprehensif . Infromasi terrapi obat juga diinformasikan untuk profesional kesehatan, pasien, dan perawat pasien yang
sesuai. Tanggapan terhadap permintaan informasi obat umum dan pasien-spesifik harus disediakan secara akurat dan tepat waktu oleh apoteker, dan harus ada
penilaian untuk memastikan kualitas tanggapan yang diberikan ASHP, 2013. Apoteker juga harus menginformasikan pada staf dan penyedia layanan
kesehatan rumah sakit tentang penggunaan obat secara berkelanjutan melalui publikasi yang tepat, presentasi, dan program terterntu. Apoteker harus
memastikan penyebaran informasi produk obat secara tepat waktu misalnya, ingat pemberitahuan, perubahan pelabelan, dan perubahan ketersediaan produk.
Infromasi pun dapat diberikan dengan komunikasi elektronik misalnya, situs web, newsletter email, intranet posting, cara ini lebih efektif dan lebih mudah
diakses ASHP, 2013.
24
Menurut PMK No. 58 Tahun 2014 PIO merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah
Sakit. PIO bertujuan untuk: a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit; b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obatsediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi;
c. Menunjang penggunaan obat yang rasional. Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang
bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan
melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker
pelayanan informasi obat mernberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2006.
Sedangkan dalam PMK No.58 Tahun 2014 kegiatan tersebut, meliputi : a.
Menjawab pertanyaan; b.
Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
25
c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan
penyusunan formularium rumah sakit; d.
Bersama dengan tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit PKRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya; dan f.
Melakukan penelitian.
2.1.5 Konseling
Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran, melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah suatu kegiatan
bertemu dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan klien dan seseorang yang memberikan konselor dukungan dan dorongan sedemikian
rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan
dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga
harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat disimpulkan bahwa
pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi dan
edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007.
26
Apoteker harus berpartisipasi dalam konseling pasien. Apoteker harus membantu untuk memastikan bahwa semua pasien diberikan informasi yang
memadai tentang obat yang mereka terima untuk membantu pasien berpartisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan mereka sendiri dan
mendorong kepatuhan terhadap pengobatan. Kegiatan konseling pasien harus dikoordinasikan dengan keperawatan, medis, dan staf klinis lainnya yang
diperlukan. Materi terkait obat yang dikembangkan oleh layanan lain dan departemen serta sumber komersial harus ditinjau oleh staf farmasi ASHP,
2013. Konseling obat dalam PMK No.58 Tahun 2014 adalah suatu aktivitas
pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker konselor kepada pasien danatau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian
konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien danatau keluarga terhadap apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki ROTD, dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien patient safety.
Secara khusus konseling obat ditujukan untuk: a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien;
27
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien; c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan penyakitnya;
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi;
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Dalam PMK No.58 Tahun 2014 pun diatur mengenai kriteria pasien
yang harus diberikan konseling, di antaranya adalah pasien kondisi khusus pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui, pasien
dengan terapi jangka panjangpenyakit kronis TB, DM, epilepsi, dan lain- lain, pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
penggunaan kortiksteroid dengan tappering downoff, pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit digoksin, phenytoin, pasien
yang menggunakan banyak obat polifarmasi.
28
2.1.6 Visite
Visite dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan ROTD, meningkatkan
terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang
biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Home Pharmacy Care. Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan
mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.
Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan kondisi.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing lihat tabel yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi
Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011. Dalam pelaksanaan visite kolaborasi banyak kendala yang dialami
petugas. Beberapa studi menggambarkan sikap dokter terhadap peran farmasi klinik khususnya pendampingan apoteker. Di Sudan, dokter menjadi tidak
nyaman dengan adanya apoteker yang merekomendasikan peresepan obat untuk
29
pasien meskipun jenis pengobatan tersebut untuk penyakit minor. Sedangkan, di Jordan terdapat 63 dokter mengharapkan apoteker untuk mengajari pasien
mereka mengenai keamanan dan ketepatan penggunaan obat. Di samping itu, sebagian dokter menyetujui bahwa apoteker selalu dapat diandalkan sebagai
sumber informasi obat Abu-Garbieh, et al., 2010. a. Visite Mandiri
Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker
sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Apoteker berkomunikasi efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat
lihat informasi penggunaan obat di atas. Respon dapat berupa keluhan yang disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetapbertambah, sulit buang air
besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing. Apoteker harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut terkait dengan
penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya urin berwarna merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan siprofloksasin
atau metformin Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011. Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan yang
diperoleh, apoteker dapat i menetapkan status masalah aktual atau potensial, dan ii mengidentifikasi adanya masalah baru. Pada visite mandiri, rekomendasi
lebih ditujukan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dalam hal aturan pakai, cara pakai, dan hal-hal yang harus
30
diperhatikan selama menggunakan obat. Rekomendasi kepada pasien yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara
penggunaan obat. Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011 Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan
rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya: obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan interval waktu pemberian yang
sama, pemberian obat sebelumsesudah makan, selang waktu pemberian obat untuk mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang
digunakan, stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada perawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan
pendampingan cara penyiapan obat. Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan pada bukti terbaik, terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi
yang optimal. Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur dan
laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan
terapi. Apoteker juga harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien, perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus
menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan penyelesaian masalah. Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011.
31
b. Visite Kolaborasi Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain, perkenalan
anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim visite. Pada saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan perkembangan
kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan wawancara dengan pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker untuk
memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau mengkaji ulang permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus
berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait penggunaan obat Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011
Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi
informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya
dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi
antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang berlaku. Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari pasien,
pengalaman klinis kepakaran dokter dan bukti terbaik yang dapat diperoleh. Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang terbaik agar
diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada dokter yang merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu yang bersifat
32
sensitif dapat menimbulkan kesalahpahaman diberikan secara pribadi tidak di depan pasienperawat Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011.
Setelah rekomendasi
disetujui dokter
yang merawat
untuk diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi
perubahan terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebabnya dan
mengupayakan penyelesaian masalah Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2011.
2.1.7 Pemantauan Terapi Obat PTO
Pemantauan Terapi Obat PTO dalam PMK No.58 Tahun 2014 merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat
yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD. Pasien yang mendapatkan
terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi
dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Hasil meta-analisis yang dilakukan di Amerika Serikat pada pasien rawat
inap didapatkan hasil angka kejadian ROTD yang serius sebanyak 6,7 dan ROTD yang fatal sebanyak 0,32. Sementara penelitian yang dilakukan di rumah
sakit di Perancis menunjukkan : masalah terkait obat yang sering muncul antara
33
lain: pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi pasien 21,3, cara pemberian yang tidak tepat 20,6, pemberian dosis yang sub terapeutik
19,2, dan interaksi obat 12,6.1 Data dari penelitian yang dilakukan di satu rumah sakit di Indonesia menunjukkan 78,2 pasien geriatri selama menjalani
rawat inap mengalami masalah terkait obat. Beberapa masalah yang ditemukan dalam praktek apoteker komunitas di Amerika Serikat, antara lain: efek samping
obat, interaksi obat, penggunaan obat yang tidak tepat.3 Sementara di Indonesia, data yang dipublikasikan tentang praktek apoteker di komunitas masih terbatas
Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009. Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjangdalam
melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan
keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai
dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses
tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009.
Kegiatan dalam PTO menurut PMK No.58 Tahun 2014 meliputi:
34
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki ROTD;
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
2.1.8 Monitoring Efek Samping Obat MESO
Monitoring Efek Samping Obat MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi. Monitoring efek samping obat yang benar adalah dicatat pada lembar
MESO yang kemudian akan ditandatangani oleh dokter, kemudian akan dikirimkan secara ke pusat MESO Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan
Makanan BPOM di Jakarta Purwantiastuti, 2015. Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran
dilakukan untuk mengetahui efektifitas efectiveness dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak
bukti menunjukkan bahwa sebenarnya Efek Samping Obat ESO dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan
aspek keamanan obat pasca pemasaran atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen
35
penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.
2.1.9 Evaluasi Penggunaan Obat EPO
Evaluasi Penggunaan Obat EPO dalam PMK No. 58 Tahun 2014 merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO yaitu:
j. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat; k. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;
l. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan h. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
2.1.10 Dispensing Sediaan Steril
Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di instalasi farmasi rumah sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya
kesalahan pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses
pelarutan atau penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di sarana pelayanan kesehatan ASHP, 1985 dalam Dirjen Bina
Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009. Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknik aseptis didefinisikan
sebagai prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan
36
dapat mengurangi risiko paparan terhadap petugas. Kontaminan kemungkinan terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat, atau petugas
jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor ini selama proses pengerjaan produk aseptis.. Pencampuran sediaan steril harus memperhatikan perlindungan produk
dari kontaminasi mikroorganisme; sedangkan untuk penanganan sediaan sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan perlindungan terhadap petugas,
produk dan lingkungan Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, 2009. Sedangkan menurut PMK No. 58 Tahun 2014 dispensing sediaan steril
harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril dalam PMK No.58 Tahun 2014 bertujuan:
a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk; c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
2.1.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah PKOD
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah PKOD merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. Kegiatan PKOD meliputi:
37
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD
c. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar
2.2 Medication Error
Kesalahan obat medication error adalah setiap kejadian yang sebenarnya dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada
penggunaan obat yang tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat dalam kontrol petugas kesehatan, pasien, atau konsumen NCCMERP
Cahyono, 2008. Kejadian kesalahan obat medication error merupakan salah satu
ukuran pencapaian keselamatan pasien. Medicaton error dapat terjadi pada tahap peresepan precribing, penyiapan dispensing, dan pemberian obat
drug administrastion . Kesalahan pada salah satu tahap dapat menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Kejadian kesalahan obat
medication error terkait dengan praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang melibatkan peresepan prescibing ,
penyiapan dispensing, dan administrasi administration Tajuddin, et al. 2012
Berdasarkan keputusan
Menteri Kesehatan
No.1027MENKESSKIX2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, kesalahan obat medication error adalah kejadiaan yang
merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga
38
kesehatan yang sebenarnya dapat dicegah. Kesalahan pengobatan biasa terjadi di rumah sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap dari
peresepan dokter melalui dispensing apoteker atau staf dispensing untuk administrasi keperawatan atau pasien sendiri Depkes, 2006.
Leape, et. Al 1995 mengidentifikasi penyebab kesalahan antara lain 1 Kurangnya diseminasi pengetahuan, terutama para dokter yang
merupakan 22 penyebab kesalahan, 2 Tidak cukupnya informasi, 14 dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 3
Sebanyak 10 kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan oleh tidak diikutinya SOP pengobatan, 4 9 Lupa, 5 9 kesalahan dalam
membaca resep seperti tulisan tidak terbaca, interprestasi perintah dalam resep, dan singkatan dalam resep, 6 Salah mengerti perintah lisan, 7
Pelabelan dan kemasan, 8 Stok dan penyimpanan obat yang tidak baik, 9 Masalah dengan standard an distribusi, 10 Assesment alat penyampai
obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, 11 Stress di lingkungan kerja, dan 12 Ketidaktahuan pasien.
Ada pun menurut Kepmenkes tahun 2004 tentang standa pelayanan kefarmasian di apotek faktor-faktor lain yang berkontribusi
pada kesalahan obat medication error antara lain: 1. Komunikasi atau kegagalan berkomunikasi
Hal ini merupakan suber utama terjadinya kesalahan. Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikai antar petugas
39
kesehatan dan membuat SOP bagiaman reseppenerimaan obat dan informasi obat lainnya dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker
maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi
dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftarsingkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
2. Kondisi lingkungan Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi
linngkungan, area disepensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan
yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu, area kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya keslaahan. Obat untuk
setiap pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah. 3. Gangguaninterupsi saat bekerja
Gangguaninterupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
4. Beban kerja Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk
mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
5. Edukasi staf
40
Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insidenkesalahan,tetapi mereka dapat memainkan peran
penting ketika dilibatka dalam sistem menurunkan insidenkesalahan.
Sedangkan menurut American Hospital Association, kesalahan obat medication error antara lain dapat terjadi pada situasi berikut:
1. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya.
2. Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika
timbul efek samping. 3. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi apoteker
yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal,
pembacaan unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas. 4. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru
oleh pasien. 5. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotekruang obat yang tidak
terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan timbulnya medication error.
41
2.3 Pencegahan Medication Error