Pengelolaan sumberdaya ikan Sumberdaya Ikan .1 Sifat sumberdaya ikan
20 Pada sub model biologi digambarkan dinamika populasi dalam perikanan,
dan berhubungan erat dengan sub model ekonomi melalui kegiatan penangkapan. Sementara sub model sosial-ekonomi menggambarkan adanya
manfaat dan biaya didalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini, harga memainkan peranan penting didalam menentukan penerimaan dan keuntungan.
Pada Gambar 3 juga dapat dilihat adanya hubungan antara sub model sosial- ekonomi dan manajemen melalui beberapa parameter seperti keuntungan sosial,
konsumen surplus, pendapatan individu nelayan serta tenaga kerja yang terserap. Parameter-parameter ini dapat digunakan sebagai alat ukur untuk
melihat dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan perikanan yang ada. Disamping itu, hubungan juga digambarkan antara sub model manajemen dan
biologi yang berkaitan dengan alternatif kebijakan dari upaya penangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep
hasil maksimum yang lestari Maximum Sustainable Yield disingkat dengan MSY. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya
ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, pendekatan yang dipergunakan dalam konsep ini hanya
mempertimbangkan faktor biologi semata. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 3 tiga faktor utama, yaitu
tambahan individu ikan recruitment, pertumbuhan individu ikan growth dan kematian ikan mortalitas. Kematian ikan sendiri pada stok ikan yang
diupayakan atau dieksploitasi, dapat dikelompokkan menjadi 2 dua yaitu kematian ikan karena penangkapan fishing mortality dan kematian ikan secara
alami natural mortality.
21
Gambar 4 Dinamika stok ikan yang dieksploitasi Pauly 1984. Berdasarkan Gambar 4, dapat dijelaskan bahwa pada kondisi alami stok
ikan tidak diupayakan, pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ikan dan rekruitmen, serta dikurangi oleh mortalitas alami. Dalam hal ini,
pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan cenderung ke titik nol, dimana besarnya pertumbuhan dan rekruitmen stok ikan akan sama dengan jumlah ikan
yang mati secara alami. Oleh karena itu, stok ikan disuatu perairan akan terkendali secara alami melalui interaksi antara faktor lingkungan dan
karakteristik pertumbuhan ikan itu sendiri. Dengan kata lain, stok ikan secara alami akan cenderung stabil pada kondisi lingkungan tertentu, dengan ukuran
stok ikan tertentu. Kecenderungan ini dikenal dengan gejala density-dependent process Muhammad 2002. Perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh
terhadap besarnya daya dukung carrying capacity perairan bagi sumber daya ikan. Dalam hal ini, perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh pada faktor
biologi utama seperti tambahan individu ikan, pertumbuhan dan mortalitas. Secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada periode tertentu di
suatu daerah terbatas, adalah merupakan fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Ini artinya perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan
oleh populasi pada awal periode. Analisis ini didasarkan pada konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883, dan
kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yang bernama Schaefer pada tahun 1954. Penerapan konsep produksi kuadratik untuk
perikanan ini menggambarkan hubungan linier antara produksi yield dengan Faktor penentu
meningkatnya ukuran stok ikan
Faktor penentu meningkatnya
ukuran stok ikan
Recruitmen Growth
Fishing Mortality
Natural Mortality
Exploited Stock
feeding reproduction
22 upaya effort yang kurvanya berbentuk simetris. Hubungan ini kemudian dikenal
dengan Model Pertumbuhan Schaefer Lawson 1984 atau disebut juga dengan kurva produksi lestari Fauzi 2004, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Model pertumbuhan Schaefer kurva produksi lestari. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas
penangkapan ikan tidak ada upaya, maka produksi ikan juga sama dengan nol. Akan tetapi apabila upaya ditingkatkan sampai mencapai titik E
msy
, maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau lebih dikenal dengan sebutan MSY.
Mengingat sifat dari kurva produksi lestari yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus-menerus setelah melampaui titik
MSY, tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Dengan kata lain, produksi akan turun kembali dan mencapai nol pada titik upaya maksimum
E
max
Pendekatan ini pula yang dipergunakan sebagai kriteria oleh Bailey et al., 1987 dan FAO 1995, didalam menentukan status pemanfaatan sumberdaya
ikan di suatu perairan dengan mengelompokkannya menjadi 6 enam kelompok, yaitu :
.
1 Unexploited, Stok sumberdaya ikan berada pada posisi belum tereksploitasi, sehingga
aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.
MSY Yield
Upaya effort P
roduk s
i l es
tar i
h
msy
E
msy
E
max
23 2 Lightly exploited,
Stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit kurang dari 25 persen MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan
sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya catch per unit effort-CPUE masih
memungkinkan meningkat. 3 Moderately exploited,
Stok sumberdaya ikan sudah terekploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih, dianjurkan tanpa
mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun.
4 Fully exploited, Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini
peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan
akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti menurun.
5 Over exploited, Stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena terekploitasi melebihi nilai
MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu.
6 Depleted, Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan
secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan yang sudah terancam.
Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya resource oriented yang lebih ditujukan untuk melestarikan
sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum
berorientasi pada perikanan secara keseluruhan fisheries oriented, apalagi berorientasi pada manusia sosial oriented. Oleh karena itu, pengelolaan
sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY telah mendapat
24 tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat
bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan
Widodo dan Nurhakim 2002. Dengan kata lain, pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini
berangkat dari adanya masalah pertambahan yang semakin berkurang diminishing return yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung
semakin lambat dengan adanya penambahan effort Lawson, 1984. Lebih lanjut Clark 1985 mengemukakan adanya beberapa kelemahan dalam pendekatan
MSY antara lain : 1 Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok ikan yang meleset sedikit saja
bisa mengarah ke pengurasan stok stock depletion. 2 Didasarkan pada konsep keseimbangan semata, sehingga pendekatan ini
tidak berlaku pada kondisi ketidakseimbangan. 3 Tidak memperhitungkan nilai ekonomis, apabila stok ikan tidak dipanen atau
tidak diekploitasi. 4 Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya, dan
5 Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri jenis yang beragam multi-species.
Dengan memperhatikan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya
ikan. Pendekatan ini berangkat dari pemikiran Gordon yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open acces, artinya siapa saja dapat
berpartisipasi untuk memanfaatkannya tanpa perlu memilikinya. Kondisi ini cenderung menjadi tidak terkontrol, dan akan mengarah pada perikanan lebih
tangkap baik secara biologi maupun ekonomi. Dalam pendekatannya, Gordon memanfaatkan kurva produksi lestari, dimana kurva pertumbuhan berada dalam
kondisi keseimbangan jangka panjang. Dari sinilah selanjutnya dikenal teori Gordon-Schaefer, yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan didalam
melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan Fauzi 2004. Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi di dalam pengelolaan
sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan sebutan MEY. Dalam
25 pendekatan ini dipergunakan beberapa asumsi Andenson 1977; Lawson 1984;
Fauzi 2002, yaitu : 1 Harga per satuan ikan output adalah konstan.
2 Biaya per satuan upaya dianggap konstan. 3 Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal single species
4 Struktur pasar bersifat kompetitif. 5 Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan tidak memasukkan faktor
pascapanen dan lain sebagainya. Selanjutnya secara lebih detail, pendekatan konsep ini dapat dilihat
melalui Gambar 6.
Gambar 6 Model ekonomi statis pada perikanan Lawson 1984; Cunningham
SMRD and Whitmarsh D. 1985. Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total total
revenue adalah sama dengan kurva produksi lestari, sebab harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil
tangkapan ikan. Kurva biaya total total cost berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya adalah meningkat secara proporsional
dengan meningkatnya effort Anderson 1977; Lawson 1984. Dengan demikian, keuntungan maksimum dari pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya
tercapai sebelum tingkat produksi MSY yaitu pada tingkat penggunaan effort E
3
. Titik E
2
, dikenal dengan tingkat upaya penangkapan pada saat terjadinya
Rp
MSY MEY
Total cost
Total Revenue Upaya effort
E
2
E
1
E
3
π max B
iay a,
P ener
im aan
26 keseimbangan open-access Open-Access Equilibrium. Dengan kata lain pada
setiap effort yang lebih rendah dari E
2
, maka penerimaan total total revenue akan melebihi biaya total total cost, sehingga pelaku penangkapan nelayan
akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan mengakibatkan bertambahnya pelaku masuk ke
industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat effort yang lebih tinggi dari E
2
Hasil kompromi kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield OSY, sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham
et al. 1985. Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor
lainnya. Besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian menjadi dasar didalam menetapkan total allowable catch
TAC. Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah :
, maka biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan
akan keluar dari perikanan.
1 Berkurangnya resiko terjadinya depresi dari stok ikan. 2 Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar.
3 Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Dalam kegiatan perikanan yang bersifat open access dimana didalamnya
terjadi persaingan sempurna serta industri perikanan berlangsung dalam jangka panjang long run, maka keseimbangan open access menggambarkan bahwa
seluruh usaha penangkapan ingin memaksimumkan keuntungannya dengan beroperasi pada tingkat dimana biaya marjinal marginal cost adalah sama
dengan pendapatan rata-rata average revenue. Ini juga berarti bahwa pada kondisi ini akan lebih banyak upaya penangkapan yang ingin masuk untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada. Disisi lain, tingkat produksi harus dipertahankan pada titik maximum sustainable yield, agar sumberdaya ikan yang
ada terpelihara. Sementara titik maximum economic yield adalah perbedaan terbesar antara biaya total total cost dan pendapatan total total revenue yang
diinginkan oleh masing-masingunit penangkapan. Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan
kondisi lebih tangkap dan jumlah nelayan upaya, maka menurut Lawson 1984 pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka
27 pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan dimaksud berkaitan dengan
metoda pendekatan sebagai berikut :
1 Pengelolaan langsung
Metoda ini pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan, dan bentuknya
adalah berupa kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1 Pembatasan alat tangkap restriction on gears
Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping
itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak
efisien. 2 Penutupan musim closed season
Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di Negara dimana sistem
penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering
kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi spesies. Beddington and Ratting 1983 yang dikutip Nikijuluw
2002 mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : i Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk
memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak.
ii Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh
karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya.
3 Penutupan area closed area Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan
penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan
ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat
28 beberapa Negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran
tertentu dan atau alat tangkap tertentu. 4 Kuota penangkapan
Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan
tertentu di perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada.
Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan
atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu kuota. Hak kuota ini dapat
berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap TAC, yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut
pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain. 5 Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan
Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umum yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini
dilakukan dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan
berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang
tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal tidak diikuti oleh kebijakan lain, akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil
tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol.
2 Pengelolaan tidak langsung
Disamping metode langsung sebagaimana telah dikemukakan diatas, pemerintah didalam mengelola sumberdaya perikanan dapat pula mengambil
kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut :
i Penetapan pajak dan subsidi
29 Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang
dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan
memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dan ini tentunya diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada
tingkat produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi ini akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan tentunya
kondisi ini tidak menguntungkan bagi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumberdaya perikanan.
ii Strategi harga dan pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Sistem pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan
pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumberdaya ikan yang ada.
Hal ini disebabkan oleh karena dengan strategi harga dan pemasaran yang tepat, maka nelayan akan memperoleh harga ikan yang optimal dan pada
akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan
sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 maupun Undang-Undang No. 9
tahun 1985 tentang perikanan yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2004. Intinya adalah memberikan mandat kepada pemerintah
dalam mengelola sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ikan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya
ikan ini, menurut Nikijuluw 2002 diwujudkan dalam 3 tiga fungsi yaitu : 1 Fungsi alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk mengimbangi
sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 2 Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan
kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih
atau lebih lemah.
30 3 Fungsi stabilisasi, diwujudkan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan
tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat.
Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia people problem dari pada masalah sumberdaya
resources problem. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60 produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang
banyak menyerap tenaga kerja atau lebih dikenal dengan sebutan nelayan. Kaiser dan Forsberg 2001 memberikan beberapa hal yang harus
dipertimbangkan didalam pengelolaan perikanan yaitu : 1 Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak.
2 Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder. 3 Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
4 Kebijakan harus mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi. Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada
hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya saja pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia
pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat Government Based Management, walaupun sejak lahirnya Undang-
Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagian kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan telah diserahkan ke pemerintah daerah.
Dalam pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan
kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produk- produk kebijakan dari pemerintah. Menurut Satria et al. 2002, pengelolaan
perikanan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah : 1 Aturan-aturan yang dibuat menjadi kurang terinternalisasi didalam
masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk ditegakkan. 2 Biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan
adalah sangat besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
31 Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan
Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikantahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka
4,069 juta ton ikantahun atau sekitar 63,49 dari potensi lestari Ditjen Perikanan Tangkap 2004. Ini artinya, masih ada cukup peluang untuk
meningkatkan produksi perikanan nasional melalui kegiatan usaha penangkapan ikan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa wilayah
pengelolaan perikanan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya over fishing, seperti halnya di perairan
Selat Malaka dan perairan Laut Jawa. Di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa kelompok ikan ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat
Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya.
Sementara di 7 tujuh zona penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah
potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi over fishing. Sebagai contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina
Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan
sumberdaya ikannya telah mendekati atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak
collapse. Informasi yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya
ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut pada tahun 1998. Dalam publikasi
tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 9 Sembilan zona atau wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Selat Malaka; Laut Cina Selatan; Laut
Jawa; Selat Makassar dan Laut Flores; Laut Banda; Laut Seram dan Teluk Tomini; Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; Laut Arafura serta Samudera
Hindia. Saat ini WPP RI telah mengalami perubahan menjadi 11 WPP meliputi WPP 571 yaitu Selat Malaka danLaut Andaman, WPP 572 yaitu Samudera
Hindia Sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, WPP 573 yaitu Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa hingga Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan
Laut Timor bagian Barat, WPP 711 yaitu Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selayan, WPP 712 yaitu Laut Jawa, WPP 713 yaitu Selat Makassar, Teluk
32 Bone, Laut Flores dan Laut Bali, WPP 714 yaitu Laut Banda, WPP 715 yaitu Laut
Aru, Laut Arafuru, Laut Timor , WPP 716 yaitu Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, WPP 717 yaitu Laut Sulawesi dan Laut Halmahera dan WPP 718
yaitu Samudera Pasifik www.brkp.dkp.go.id.