Administrasi wilayah Analisis pengembangan perikanan tangkap di provinsi Sumatera Selatan

71 Barat. Penggunaan pukat cincin purse seine berkembang sejak tahun 1986 oleh nelayan yang berpangkalan di Pontianak dan Pemangkat. Dalam perkembangan, banyak kapal pukat cincin dari Pekalongan Jawa Tengah yang menangkap ikan pelagis kecil di perairan Laut Cina Selatan bahkan sampai dengan di daerah Natuna terutama pada musim Tenggara Sadhotomo and Potier, 1995. Penghitungan nilai potensi lestari maximum sustainable yield berdasarkan pada data terbaru tahun 2002 sampai dengan 2004 belum dapat ditentukan. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2001 perairan Laut Cina Selatan yang memiliki luas perairan sekitar 550.000 km 2 2 Sumberdaya ikan demersal mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis kecil 621.500 ton dengan tingkat pemanfaatan sekitar 33 dari potensi lestari. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil neritik dan kostal dengan alat tangkap bagan di perairan Bangka-Belitung didominasi oleh ikan teri Stolephorus spp. dan cumi-cumi Loligo spp.. Sementara itu, hasil tangkapan payang didominasi oleh ikan siro Amblygaster sirm dan tembang Sardinella gibbosa. Hasil tangkapan pancing di sekitar Tanjung Pandan, Belitung didominasi oleh selar Selar spp. dan Atule mate dan banyar Rastrelliger kanagurta. Daerah penyebaran ikan pelagis kecil oseanik di perairan Laut Cina Selatan meliputi perairan Selat Karimata, perairan Barat Pemangkat dan sekitar Kepulauan Natuna. Perikanan bagan di Bangka terdapat di sepanjang pantai Utara seperti di Sungai Liat, Koba dan Pangkal Pinang, serta sebelah Barat Belitung. Daerah penangkapan ikan dengan payang terdapat di perairan Utara Bangka kira-kira 5 sampai dengan 10 mil dari pantai, Pulau Tujuh dan Pulau Kelasa di sebelah Timur pada kedalaman 25 m. Secara geografis, dimaksud dengan perairan Laut Cina Selatan dalam konteks sumberdaya ikan demersal terletak pada posisi geografis antara 01°40’00” LU–03°00’00” LS dan 104°30’00”–110°00’00” BT. Data dan informasi tentang sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan pada periode kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Republik Federasi Jerman GTZ antara tahun 1975 sampai dengan 1978 dapat 72 dikatakan merupakan data awal benchmark yang dapat digunakan sebagai salah satu pembanding bagi hasil-hasil penelitian periode sesudah. Setelah diberlakukan Keppres.3980 tentang pelarangan trawl, penelitian sumberdaya ikan demersal dilakukan secara parsial dan tidak berkesinambungan. Pelaksanaan lebih dititikberatkan di tempat-tempat pendaratan ikan terpilih di Laut Cina Selatan. Tingginya tingkat pemanfaaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan tampak dari kecenderungan menurunnya angka kepadatan stok sebagai hasil dari survei trawl di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun. Survei pada bulan Agustus sampai dengan September 1975 diperoleh kepadatan stok 2,36 ton km -2 diikuti dengan penurunan pada tahun 1978 menjadi 1,8 ton km -2 dan seterusnya pada bulan Agustus 2001 diperoleh nilai 1,04 ton km -2 . Survei trawl dengan tipe standar high opening trawlThailand trawl pada bulan Juni sampai dengan Juli 2005 diperoleh nilai kepadatan stok 1,70 ton km -2 dengan standing stock or biomass 487.000 ton. Mengacu pada luas daerah penangkapan ikan demersal di Laut Cina Selatan seluas 558.000 km 2 Perubahan tersebut diduga sebagai akibat ada perubahan kondisi oseanografis perairan yang secara langsung mempengaruhi perilaku pengelompokkan ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Perubahan musim tersebut berlangsung secara reguler mengikuti pola pergerakkan matahari yang selanjutnya menyebabkan timbul 2 puncak musim monsoon yaitu musim Timur dan Barat. Kegiatan survei pada tahun 1975 dilakukan pada bulan Agustus atau September, sedangkan tahun 1978 dan 2005 dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli. Widodo et al. 1998, maka diperoleh nilai potensi lestari 474.300 ton. Dibandingkan dengan potensi tahun 2001 yang besar 334.800 ton Departemen Kelautan dan Perikanan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2001, maka mengalami peningkatan sekitar 41,6. 3 Sumberdaya perikanan udang Penghapusan trawl di Laut Cina Selatan tampak tidak banyak memberikan dampak penurunan produksi udang, sebaliknya malah cenderung meningkat terutama sejak tahun 1997 sebagaimana tampak di perairan Barat Kalimantan. Peningkatan tersebut terutama untuk jenis udang krosok dalam statistik perikanan dimasukan kategori udang lain.