Analisis hierarki proses Strategi Pengembangan Perikanan
132 variabel elemen di atasnya, dan bobot nilai elemen diatasnya tersebut tidak
dihitung. Sedangkan pengolahan secara vertikal dihitung dengan membandingkan antar semua elemen dalam satu level, dan perhitungan bobot
nilai setiap elemen diatasnya akan berpengaruh terhadap nilai setiap elemen pada level berikutnya. Analisis secara vertikal merupakan hasil akhir bobot nilai
dari setiap elemen variabel pengambilan keputusan.
1 Analisis Hasil Pengolahan Horizontal
Analisis pengolahan horizontal dilakukan terhadap setiap level yang dibuat dalam diagram hierarki AHP. Terdapat tiga level hierarki pengambilan
keputusan yang telah disusun yaitu pada level pertama sebagai fokus utama; level kedua didasarkan pada masalah; dan level ketiga merupakan alternatif
kebijakan. Pada level pertama hanya terdapat satu-satunya elemen fokus yaitu
pengembangan kebijakan perikanan tangkap, sehingga elemen tersebut merupakan satu-satunya hasil pengolahan horisontal pada level pertama.
Pengolahan horisontal pada level kedua dilakukan terhadap berbagai elemen masalah menurut setiap masalah yang ditetapkan sebagai kriteria
penilaian dalam kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil analisis pengolahan data pada level kedua dapat dilihat
pada Tabel 43. Hasil pengolahan horisontal level kedua elemen masalah
Tabel 43 Bobot nilai hasil pengolahan horisontal elemen masalah pada level kedua
No Masalah
Bobot Nilai 1
Sarana dan prasarana 0,483
2 Usaha Penangkapan
0,276 3
Pengolahan 0,101
4 Pemasaran
0,141 Rasio Inkonsistensi RI = 0,08
Berdasarkan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa elemen masalah sarana dan prasarana merupakan elemen masalah yang paling penting dengan
bobot nilai sebesar 0,483. Selanjutnya diikuti oleh elemen masalah usaha penangkapan dengan bobot nilai 0,276. Elemen masalah pemasaran dan
133 pengolahan memiliki bobot nilai masing-masing sebesar 0,141 dan 0,101. Hasil
penilaian responden seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas telah cukup konsisten yang ditandai dengan nilai rasio inkonsistensi RI sebesar 0,08,
berada dibawah nilai 0,1.
No .
Hasil pengolahan horisontal level ketiga elemen alternatif kebijakan Pengolahan horisontal pada level ketiga bertujuan untuk memilih alternatif
kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan didasarkan pada 4 elemen masalah yang telah ditetapkan pada level ketiga.
Secara lebih lengkap hasil analisis pengolahan horisontal pada level ketiga disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Susunan bobot dan prioritas hasil pengolahan horisontal elemen alternatif kebijakan pada level ketiga
Sub masalah Alternatif Kebijakan
RI Alt.1
Alt2 Alt3
Alt4 1.
Sarana dan pasarana 0,305
0,094 0,534
0,067 0,08
2. Usaha penangkapan
0,548 0,109
0,274 0,070
0,05 3.
Pengolahan 0,152
0,523 0,240
0,085 0,02
4. Pemasaran
0,271 0,544
0,122 0,064
0,07 Keterangan :
Alternatif 1 : Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumberdaya komoditi unggulan secara optimum.
Alternatif 2 : Menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas unggulan.
Alternatif 3 : Menambah prasarana pelabuhan .yang di lengkapi dengan pabrik es, galangan kapal dan stasiun pengisian bahan bakar.
Alternatif 4 : Memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil. Berdasarkan analisis pengolahan horisontal AHP seperti yang disajikan
pada tabel di atas dapat dilihat bahwa bobot penilaian dari setiap alternatif kebijakan memiliki distribusi bobot yang hampir merata bagi alternatif kebijakan
pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan bobot nilai untuk alternatif kebijakan keempat memiliki bobot nilai yang paling rendah dipandang dari seluruh elemen
masalah yang telah ditetapkan. Alternatif kebijakan ketiga yaitu melengkapi sarana dan prasarana
pendukung menjadi prioritas utama berdasarkan penilaian masalah sarana dan prasarana. Bila ditinjau berdasarkan aspek masalah usaha penangkapan maka
alternatif kebijakan pertama yakni menambah alokasi jumlah armada
134 penangkapan yang menjadi prioritas utama. Sedangkan prioritas utama
kebijakan yang dipilih berdasarkan aspek pengolahan dan pemasaran yaitu alternatif kebijakan kedua yakni menambah unit pengolahan untuk meningkatkan
akses pasar komoditas unggulan. Hasil penilaian responden seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas telah cukup konsisten yang ditandai dengan
semua nilai rasio inkonsistensi RI sebesar berada dibawah nilai 0,1.
2 Analisis Hasil Pengolahan Vertikal
Pengolahan vertikal adalah menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus.
Pengolahan vertikal dilakukan setelah matriks pendapat diolah secara horisontal dan memenuhi syarat rasio inkonsistensi. Berdasarkan hasil analisis horisontal di
atas dapat diketahui bahwa nilai inkonsistensi yang paling besar yang sebesar 0,08 artinya nilai tersebut masih berada dibawah 0,1 sehingga dapat dianggap
masih memiliki nilai konsistensi yang baik. Analisis pengolahan vertikal dari model hierarki keputusan pemilihan alternatif kebijakan pengembangan
perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan juga dilakukan pada setiap tingkat seperti pada pengolahan horisontal.
Hasil analisis pengolahan vertikal pada level pertama memiliki nilai 1, karena hanya terdapat satu elemen variabel fokus kegiatan yaitu pengembangan
kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
Pengolahan vertikal pada level kedua adalah untuk mengetahui permasalahan yang paling berpengaruh terhadap pemilihan alternatif kebijakan
pengembangan perikanan tangkap. Hasil analisis pengolahan vertikal level kedua disajikan pada Tabel 45.
Hasil pengolahan vertikal level kedua elemen masalah
Tabel 45 Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level kedua
No. Kriteria
Bobot Nilai Ranking
1. Sarana dan prasarana
0,483 1
2. Usaha Penangkapan
0,276 2
3. Pengolahan
0,101 4
4. Pemasaran
0,141 3
Hasil pengolahan vertikal pada level kedua memberikan hasil yang sama dengan hasil pengolahan horisontal pada tingkat yang sama, karena pada tingkat
135 ini langsung berada di bawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki
sistem keputusan. Dari Tabel 45 dapat dilihat bahwa permasalahan utama yang paling berpengaruh terhadap penentuan kebijakan pengembangan perikanan
tangkap di Provinsi Sumatera Selatan yaitu masalah sarana dan prasarana merupakan elemen masalah yang paling penting dengan bobot nilai sebesar
0,483. Selanjutnya secara berurut diikuti oleh elemen masalah usaha penangkapan dengan bobot nilai 0,276. Elemen masalah pemasaran dengan
bobot nilai sebesar 0,141, sedangkan elemen masalah pengolahan hasil perikanan memiliki bobot yang paling rendah yaitu sebesar 0,101.
Hasil analisis pengolahan vertikal pada level kedua menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan
memiliki ketergantung yang relatif besar terhadap kondisi sarana dan prasarana. Dukungan sarana dan prasarana yang baik akan berdampak pada
berkembangnya usaha pada sektor perikanan tidak hanya pada on farm yakni usaha penangkapan, tetapi juga akan berdampak pada pengembangan usaha off
farm yakni usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Adanya infrastruktur yang baik akan menciptakan kondisi usaha menjadi lebih efisien.
Hasil Pengolahan Vertikal pada Level Ketiga Analisis pengolahan pada level ketiga dilakukan untuk menentukan
alternatif kebijakan yang akan dipilih berdasarkan kriteria masalah dan sub masalah yang telah ditetapkan. Hasil analisis pengolahan vertikal pada level
ketiga dapat dilihat pada Tabel 46.
136 Tabel 46
Bobot nilai hasil pengolahan vertikal pada level ketiga elemen
alternatif No.
Alternatif Kebijakan Bobot Nilai
Ranking 1.
Menambah alokasi unit alat tangkap untuk dapat
memanfaatkan sumberdaya komoditas unggulan secara
optimum 0,350
2
2. Menambah unit pengolahan untuk
meningkatkan akses pasar komoditas unggulan.
0,205 3
3. Menambah prasarana pelabuhan
yang dilengkapi dengan pabrik es, galang kapal dan stasiun pengisian
bahan bakar. 0,376
1 4.
Memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan diatas 12 mil
0,069 4
Rasio Inkonsistensi = 0,08 Hasil pengolahan vertikal level keempat menunjukan bahwa prioritas
kebijakan utama dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah melengkapi sarana dan prasarana pendukung
operasional usaha perikanan dengan bobot nilai mencapai sebesar 0,376. Prioritas alternatif berikutnya yaitu menambah alokasi jumlah unit alat tangkap
secara optimum dengan bobot nilai 0,350. Prioritas alternatif yang ketiga yaitu menambah unit pengolahan untuk meningkatkan akses pasar komoditas
unggulan dengan bobot nilai 0,205. Sedangkan alternatif kebijakan memperluas jangkauan daerah penangkapan ikan di atas 12 mil menjadi prioritas terakhir
dengan optimum dengan bobot nilai 0,069 Rasio inkonsistensi yang diperoleh dari pengolahan vertikal pada level
keempat sebesar 0,08. Nilai rasio inkonsistensi ini menunjukan bahwa kualitas informasi yang diperoleh dari para stakeholder yang menjadi responden dalam
kajian ini sangat baik dan mencerminkan konsistensi responden dalam menilai berbagai kriteria yang berpengaruh dalam penyusunan kebijakan pengembangan
perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Prioritas utama alternatif strategi kebijakan pengembangan perikanan di
Provinsi Sumatera Selatan yaitu dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukung operasional usaha perikanan. Hal ini dimungkinkan mengingat bahwa
pengembangan perikanan di Sumatera Selatan memiliki ketergantung yang
137 cukup besar terhadap permasalahan sarana dan prasarana tersebut. Dukungan
dari fasilitas pendukung dan infrastruktur yang baik, maka kegiatan usaha perikanan baik penangkapan, pengolahan maupun pemasaran dapat menjadi
lebih efisien dan menjadi poin penting meningkatkan keunggulan produk perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, pengembangan jumlah unit
armada penangkapan akan menjadi lebih baik dengan tersedianya sarana dan prasarana pendukung di pelabuhan terlebih dahulu. Ketersediaan fasilitas di
pelabuhan akan berdampak pada kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih optimum.
Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan sumberdaya ikan pada wilayah perairan 12 mil, antara lain wilayah Laut Cina Selatan.
Untuk dapat memanfaatkan SDI di perairan tersebut maka dibutuhkan dukungan armada yang besar dan keterampilan nelayan yang lebih baik. Laut cina selatan
masih memiliki potensi perikanan yang besar sehingga peluang pengembangan perikanan ke daerah ini masih cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian Riddo
et al. 2002 bahwa distribusi ikan demersal di Laut Cina Selatan terkonsentrasi pada kedalaman antara 13-75 m, dan konsentrasi paling tinggi berada disekitar
estuaria. Sementara itu menurut Masrikat 2003, perairan Laut Cina Selatan memiliki densitas ikan paling tinggi dilapisan pada kedalaman 5-25 m dan
terkonsentrasi pada bagian selatan perairan yang dangkal dibandingkan dengan bagian utara yang relatif dalam.