Perkembangan Anak Kajian Pustaka

dalam 4 tahap yaitu sensorimotorik, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada saat bayi berusia dua tahun. Selama tahap ini, inteligensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungan, seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan sebagainya. Selain itu, pada tahap ini anak belajar mengenali suatu benda dengan berbagai tindakan inderawi tersebut. Pada tahap ini pula, konsep anak mengenai kausalitas sebab akibat juga mulai berkembang terlebih berkaitan dengan konsep ruang dan waktu. Beberapa perkembangan mengenai benda, ruang, waktu, dan kausalitas membantu anak membangun pengetahuan tentang lingkungannya Suparno, 2001:26-27. Oleh karena itu, tahap ini menjadi dasar bagi perkembangan tahapan selanjutnya. Tahapan perkembangan kognitif selanjutnya adalah pra-operasional. Tahapan ini terjadi pada umur dua sampai tujuh tahun. Periode ini merupakan periode peralihan dari periode sensorimotorik. Pada akhir periode sensorimotorik, anak mengembangkan tindakan yang efisien dan terorganisasi dalam menghadapi lingkungan. Selain itu, anak pun menggunakan kemampuan yang sudah diterima pada periode sebelumnya walaupun sekarang berada pada peiode pra-operasional Crain, 2007:182. Anak juga menggunakan simbol maupun tanda untuk menyatakan atau menjelaskan suatu objek. Berdasarkan cara berpikir tersebut, anak mampu mengungkap dan membicarakan hal yang sudah terjadi Suparno, 2001:49. Oleh karena itu, perkembangan kognitif anak semakin berkembang yang terorganisir dengan penggunaan simbol dan bahasa dalam mengungkapkan objek maupun hal yang terjadi. Tahap perkembangan kognitif selanjutnya disebut dengan tahap operasional konkret. Tahap ini, anak sudah mulai mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan dan operasi yang logis. Operasi yang dikembangkan bersifat reversibel operasi yang bersifat dua arah. Salah satu sifat tersebut terdapat pada mata pelajaran matematika. Matematika memiliki sifat reversibel, hal tersebut tampak pada operasi hitung penjumlahan dan pengurangan seperti A+B=C maka dapat dikatakan bahwa C-B=A. Selain itu, operasi yang juga dikembangkan pada tahap ini mengandung sifat kekekalan konservasi Suparno, 2001:69-73. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan menggunakan perumpamaan 2 gelas yang besarnya berlainan. Kedua gelas tersebut selanjutnya diisi dengan air yang volumenya sama. Berdasarkan percobaan tersebut, anak mampu mengetahui bahwa volume dalam kedua gelas tersebut sama, meskipun bentuk dan ukuran gelas berbeda. Selain itu, perkembangan kognitif yang lain adalah kemampuan anak untuk mengurutkan dan mengklasifikasikan objek Crain, 2007:187. Kemampuan-kemampuan tersebut juga digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Hal lain yang menjadi ciri dalam tahap ini adalah adanya sistem operasi berdasarkan objek nyata konkret. Anak menggunakan logika berpikir pada benda konkret dan belum dapat menggunakan logika berpikir abstrak pada tahap ini Suparno, 2001:70. Oleh karena itu, walaupun perkembangan kognitif semakin maju, namun cara berpikir anak masih menggunakan logika berpikir yang didasarkan pada hal konkret. Tahap kognitif selanjutnya adalah tahap operasi formal. Tahap operasi formal ini merupakan tahap terakhir dalam tahap perkembangan kognitif menurut Piaget. Tahap ini terjadi pada umur sekitar sebelas atau dua belas tahun ke atas. Dalam tahap ini, anak dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan tanpa mengamati terlebih dahulu Piaget dalam Suparno, 2001:88. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa cara berpikir abstrak mulai berkembang dan digunakan. Menurut Ginsburg dan Opper mengatakan bahwa anak dalam tahap ini sudah mempunyai tingkat ekuilibrium yang tinggi, dapat berpikir fleksibel dan efektif, serta mampu memecahkan persoalan yang kompleks. Selain itu, anak juga dapat berpikir secara efektif tentang permasalahan dan penyelesaian yang tepat akan hal tersebut. Anak pun dapat memikirkan banyak kemungkinan tentang penyelesaian dari suatu permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri dalam tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif saintifik, dan abstraksi refleksi Suparno, 2001:88-89. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan anak usia SD umumnya terjadi pada fase kedua yang umumnya berusia 6-12 tahun. Selain itu, anak berada pada intellectual period atau periode belajar secara mendalam pada rentang usia ini. Periode ini menuntut anak untuk belajar secara lebih dari pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Selain itu, siswa SD pun juga termasuk pada tahap operasional konkret. Salah satu ciri pada tahap ini adalah anak menggunakan logika berpikir dengan menggunakan benda konkret dan belum dapat menggunakan logika berpikir abstrak. Hal ini berarti siswa SD memerlukan bantuan berupa benda konkret atau alat peraga dalam memahami materi yang abstrak. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk melakukan pengembangan tentang alat peraga yang disesuaikan dengan perkembangan siswa SD karena alat peraga mampu membantu siswa memahami materi yang abstrak.

4. Alat Peraga Montessori

Uraian dalam subbab ini memaparkan beberapa hal tentang alat peraga yaitu pengertian alat peraga, fungsi alat peraga, kriteria alat peraga, alat peraga berbasis metode Montessori, dan alat peraga penjumlahan dan pengurangan berbasis metode Montessori.

a. Pengertian Alat Peraga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005:27, alat dapat didefinisikan sebagai benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu, sedangkan peraga 2005:920 adalah alat media pengajaran untuk memperagakan sajian pelajaran. Dari dua pengertian tersebut, alat peraga dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk memperagakan materi pembelajaran agar dapat menyampaikan materi dengan baik kepada siswa. Senada dengan pengertian di atas, Ali dalam Sundayana, 2014:7 berpendapat bahwa alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan serta perhatian, dan kemauan siswa agar dapat membantu proses pembelajaran. Seperti halnya dengan pendapat sebelumnya, menurut Ruseffendi dalam Sundayana, 2014:7, alat peraga adalah alat yang menerangkan atau menyampaikan konsep pelajaran kepada siswa. Sama dengan paparan pendapat di atas, Simak Yaumi dan Syafei dalam Arsyad, 2014:10 pun merumuskan pengertian alat peraga. Alat peraga merupakan alat yang digunakan guru untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, alat peraga adalah alat yang dapat digunakan untuk membantu menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Berbagai pendapat di atas menyatakan bahwa alat peraga memiliki fungsi untuk membantu dan mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Maria Montessori, Montessori juga beranggapan bahwa siswa membutuhkan seperangkat peralatan pendidikan didactic apparatus yang berguna untuk perkembangannya. Alat peraga menurut Montessori merupakan kesatuan bahan-bahan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan anak secara individu dan mendukung pengembangan kemampuannya Hainstock, 1997:80. Selain itu, alat peraga yang dibuat oleh Montessori ditujukan untuk membantu siswa dalam mencapai pengetahuan yang abstrak dan mengembangkan cara berpikir yang kreatif dengan memvisualisasikan simbol-simbol nyata Lillard, 1996:80-81. Oleh sebab itu, alat peraga selalu tersedia di kelas-kelas Montessori sebagai lingkungan yang terstruktur dan mendukung perkembangan siswa dalam aktivitas sehari-hari. Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh di atas, peneliti menarik kesimpulan secara umum tentang pengertian alat peraga. Alat peraga merupakan alat bantu untuk memperagakan suatu materi dalam pembelajaran dengan mengaktifkan panca indera siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

b. Fungsi Alat Peraga

Siswa memperoleh pengalaman belajarnya dengan menggunakan benda konkret seperti alat peraga. Montessori menegaskan bahwa semua material atau alat peraga tersebut berguna untuk mendorong perkembangan anak secara intelektual dan melatih keterampilan anak Hainstock, 1997:82. Melalui alat peraga, siswa dapat melihat secara langsung, memperagakan atau menggunakannya, dan membentuk konsep yang abstrak serta pemikiran yang kreatif. Fungsi lain yang dapat diperoleh dari alat peraga yang dibuat oleh Montessori antara lain adalah memberikan kontrol pada pergerakan siswa, mengembangkan kemandirian, kehendak, serta mengembangkan kebahasaannya Lillard, 1996:80-85. Selain itu, alat peraga juga memiliki fungsi untuk mempermudah pemahaman siswa tentang materi pembelajaran. Materi yang sifatnya abstrak, pada umumnya sukar dipahami oleh siswa tanpa bantuan alat peraga. Melalui alat peraga, siswa dapat memahami materi yang abstrak dengan melihat, meraba, dan menggunakan alat peraga tersebut Asyhar, 2012:13. Sama halnya dengan paparan pendapat tersebut, Pramudjono dalam Sundayana, 2014:7 juga memaparkan fungsi alat peraga yaitu untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep pembelajaran. Fungsi mengenai alat peraga juga dipaparkan oleh Asyhar. Menurut Asyhar 2012:11 alat peraga pembelajaran berfungsi untuk 1 membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, 2 mengilustrasikan dna memantapkan pesan dan informasi, serta 3 menghilangkan ketegangan dan hambatan serta rasa malas yang dialami oleh siswa.