29 tinggi adalah dapat memperburuk neraca pembayaran dan meningkatkan pinjaman
eksternal untuk pembiayaan kekurangan anggaran, yang mengarah pada meningkatnya rasio pembayaran hutang dan hambatan dalam pembiayaan
program-program sosial sehingga dapat mengganggu aktivitas ekonomi Nkomo, 2007.
2.5 Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Pengembangan bahan bakar nabati secara global diilhami oleh kisah sukses Brazil dalam mengembangkan etanol dari gula tebu sebagai dampak dari krisis
minyak bumi sejak tahun 1973 yang telah memukul perekonomian Brazil yang pada saat itu sangat tergantung pada impor minyak bumi dan sebelumnya telah
terbebani oleh hutang sehingga menderita inflasi yang tinggi dan pelemahan nilai tukar mata uang FAO, 2008. Pemerintah Brazil kemudian meluncurkan program
substitusi bahan bakar fosil dengan etanol secara resmi pada tahun 1975 dan mengintegrasikan program ini dengan pengembangan industri manufaktur mobil
berteknologi hibrida bahan bakar minyak dan etanol sehingga industri bio etanol di Brazil dapat berkembang dengan baik Amatucci dan Spers, 2008.
Faktor-faktor yang mendorong kebijakan pengembangan bahan bakar nabati semakin meningkat secara global menurut ECLAC 2008 dapat dikelompokkan
sebagai berikut : 1. Faktor
Energi Adanya ketergantungan terhadap impor minyak bumi dari banyak negara
non produsen membuat fluktuasi harga minyak bumi dapat mengganggu perekonomian. Program bahan bakar nabati bertujuan untuk menjamin
pasokan energi, mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi
30 dan menurunkan dampak yang terjadi akibat fluktuasi harga minyak bumi
terhadap harga internasional Vedenov et al, 2006. 2. Faktor
Lingkungan Argumentasi lingkungan berpusat pada kebutuhan masyarakat global untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab terjadinya pemanasan global. Penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar
nabati terutama pada sektor transportasi sejalan dengan kesepakatan dalam Protokol Kyoto Kennedy et al, 2002.
3. Faktor Terkait Pembangunan Pertanian
Pengembangan bahan bakar nabati membuka peluang baru untuk pembangunan pertanian dimana produsen dan eksportir produk pertanian di
negara-negara berkembang berpotensi menghasilkan bahan bakar nabati pada harga yang bersaing dengan bahan bakar minyak Johnson et al,
2006. Ini membuat produsen dan eksportir tersebut memiliki peluang untuk mengambil keuntungan dari perbaikan harga bahan baku, mempromosikan
bahan bakar nabati dan menurunkan impor atau meningkatkan ekspor Orden, 2002.
Pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia menurut Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral 2009 dilatar belakangi oleh beberapa hal
berikut : 1.
Besarnya subsidi bahan bakar minyak dalam anggaran negara sehingga jika terjadi kenaikan harga minyak mentah maka beban subsidi yang disiapkan
akan semakin besar.
31 2.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh bahan bakar fosil semakin mengkhawatirkan seiring terjadinya perubahan iklim dan pemasanan global
akibat efek rumah kaca. 3.
Cadangan minyak mentah Indonesia semakin terbatas dan kinerja industri perminyakan Indonesia semakin menurun sementara penemuan cadangan
baru belum sesuai harapan. 4.
Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang cukup tinggi baik di perkotaan maupun di perdesaan serta masih banyaknya lahan-lahan kritis yang
sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Indonesia seharusnya mampu menjadi produsen utama bahan bakar nabati
karena memiliki potensi besar dalam hal sumber bahan baku, curah hujan memadai, hamparan lahan luas, dan jumlah tenaga kerja yang lebih dari cukup.
Indonesia memiliki lebih dari 50 jenis tanaman penghasil minyak lemak yang dapat diubah menjadi bahan bakar biodiesel untuk substitusi solar dan lebih dari
12 jenis tanaman yang dapat dikonversi menjadi bioetanol sebagai substitusi premium Prihandana dan Hendroko, 2007. Secara global lahan yang tersedia
untuk pengembangan bahan bakar nabati sekitar 3.8 milyar ha. Untuk memenuhi sampai dengan 10 persen substitusi bahan bakar petroleum dengan bahan bakar
nabati generasi pertama secara global hanya memerlukan lahan pertanian sekitar 118 – 508 juta ha FAO, 2008.
2.6 Biodiesel dari Kelapa Sawit