dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang diceraikannya setelah
beberapa bulan menikah. Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari
berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah
Baiq
3
Siti Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, adalah: Satu, Chasanah; Dua,
Hajjah Siti Fatmah; Tiga, Hajjah Raihan; Empat, Hajjah Siti Jauhariyah; Lima, Hajjah Siti Rahmatullah; Enam, Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar;
Tujuh, Hajjah Adniyah.
4
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau sendiri
sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada
akhirnya beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu: a.
Hajjah Siti Rauhun daru Ummi Jauhariyah b.
Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap
dipanggil dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.
2. Pendidikan
Perjalanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di
dalam lingkungan keluarga, yakni dengan belajar mengaj yaitu membaca Al-
Qur‟an dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh
3
Baiq adalah gelar kebangsawanan bagi perempuan yang secara stratifikasi social masyarakat Lombok berada satu tingkat di atas masyarakat umum, dan dua tingkat di bawah strata
tertinggi, yakni Datu Bini dan Denda. Biasanya gelar Baiq ditujukan kepada mereka yang belum menikah. Setelah menikah gelar tersebut berubah menjadi Mamiq Bini.
4
Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan …, h. 125.
ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian
memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umu yang pada saat itu disebut dengan
Sekolah Rakyat Negara Sekolah Gubernemen di Selong Lombok Timur.
Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk
belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas lagi pada beberapa kyai local saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji
Muhammad Sa‟id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan
Guru Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus
mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Syarf.
5
Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik. Yaitu masih menggunakan system halaqoh, yang dalam
pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para
murid masing-masing mebacanya saling bergantian satu persatu.. Pada saat ini system pengajaran seperti ini sering digunakan pada
pondok pesantren yang berbasis salafi. Berhubung pada saat itu sangat janrang ditemukan system pengajaran yang bersifat klasikal atau
menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di atas bangku dan sang guru mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media
pengajaran. Apalagi pada saat itu berbeda dengan zaman yang dialami saat ini, yaitu pada saat itu apabila seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu
apalagi ilmu agama mesti ke rumah sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk mengajarinya tentang ilmu pengetahuan yang ia miliki.
5
Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan …, h. 134.
Namun pada saat ini sangatlah berbeda apabila seorang murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal meminta pada orang tuannya untuk
memasukkannya pada pondok pesantren dan kemudian mendalami tentang ilmu agama dan berbagai macamnya didalamnya.
Selanjutnya Muhammad Noor dan kawan-kawan dalam buku Visi Kebangsaan Relijius lebih jauh mengungkapkan bahwa Bagi Tuan Guru
Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari
membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran. Sebagai
gantinya, mereka dihariskan berkerja disawah tuan guru tersebut. Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia
menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun sekitar 2 ton padigabah, sebagai ganti kewajiban
bekerja disawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi
pada pelajarannya. Menjelang musim haji pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad
Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan di antar langsung oleh kedua orang tuanya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Fishal, H.
Ahmad Rifa‟i, dan seorang kemenakannya. Bahkan pada saat itu salah seorang gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru Haji
Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Beliau belajar di Tanah Suci Makkah selama 12 tahu.
Di kota suci Makkah Al-Mukarramah beliau mula-mula belajar di masjidil Haram, ayahnya pun sangat selektif dalam mencarikan dan
menentukan seorang guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru adalah
sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi