BAB VI DAMPAK SOSIO-EKONOMIS KONVERSI LAHAN
PERTANIAN
Fenomena konversi lahan pertanian memberikan perubahan pada kehidupan sosial ekonomi rumah tangga Desa Tugu Utara. Semua rumah tangga yang tinggal
dan menetap di desa ini telah beradaptasi dengan kondisi yang ditimbulkan dari kegiatan konversi lahan pertanian ke peruntukkan lahan diluar pertanian. Adapun
dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut antara lain perubahan struktur agraria, perubahan kesempatan kerja baik di sektor pertanian maupun diluar sektor
pertanian, perubahan pola kerja, struktur pendapatan yang diperoleh, kondisi tempat tinggal dan perubahan hubungan antar anggota keluarga dan hubungan
antar warga. Apabila dikaitkan dengan tiga dimensi konversi lahan yang terjadi di desa ini, terdapat perbedaan dampak yang diterima oleh rumah tangga di kawasan
yang dekat dengan jalan raya dan rumah tangga di kawasan yang jauh dari jalan raya.
6.1 Struktur Agraria
6.1.1 Perubahan Penguasaan Lahan
Konversi lahan merupakan akibat dari perpindahan penguasaan lahan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan rumah tangga
setempat. Pada penelitian ini penguasaan lahan pertanian dikategorikan menjadi lima yaitu kategori tidak punya lahan, tumpang sari, bagi hasil, sewa dan milik.
Selama sepuluh tahun terakhir 2000-2010 telah terjadi perpindahan penguasaan lahan di Desa Tugu Utara yang berimplikasi pada terjadinya perubahan derajat
penguasaan lahan rumah tangga setempat. Data pada Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan perpindahan penguasaan lahan rumah tangga Kampung Sampay dan
Kampung Sukatani selama kurun waktu sepuluh tahun.
Tabel 7. Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung Sampay, 2010.
Perubahan Penguasaan Lahan Derajat kuatnya akses terhadap
penguasaan lahan Total
rumah tangga
I II III IV V
Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan
22 0 2 1 5 30 Setelah terjadi perpindahan
penguasaan lahan 26 0 0 1 3 30
Keterangan: n = 30 rumah tangga I
= tidak menguasai lahan II = tumpang sari menjaga batas-batas lahan sambil menikmati manfaat
III = bagi hasil IV = sewa lahan
V = milik sendiri
Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas dapat ditarik interpretasi bahwa jumlah rumah tangga yang menjadi tunakisma tidak bertanah
15
mengalami peningkatan menjadi 26 rumah tangga dari yang awalnya sebanyak 22 rumah
tangga sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan. Distribusi perpindahan penguasaan lahan ini terjadi akibat dari kegiatan konversi lahan yang memaksa
rumah tangga setempat untuk keluar dari sektor pertanian dan beralih ke sektor non pertanian sehingga menimbulkan terjadinya penurunan derajat penguasaan
lahan rumah tangga setempat. Kemudian jumlah pemilik lahan sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan sebanyak lima rumah tangga, namun setelah terjadi
perpindahan penguasaan lahan jumlah rumah tangga yang menguasai lahan milik sendiri mengalami penurunan menjadi tiga rumah tangga, sehingga terdapat dua
rumah tangga yang mengalami penurunan derajat penguasaan lahan. Rumah tangga yang mengalami penurunan derajat penguasaan lahan terjadi karena rumah
tangga tersebut menjual lahannya pada warga luar desa sehingga terjadi perubahan penguasaan lahan, kemudian lahan yang telah dibeli warga luar desa selaku
pemilik yang baru dialihfungsikan peruntukkan lahannya menjadi hotel. Oleh karena itu dalam wacana ini terjadi perpindahan penguasaan lahan dari yang
asalnya lahan milik rumah tangga lokal menjadi lahan milik warga luar desa dan terjadi perubahan pemanfaatan lahan dari yang awalnya lahan pertanian menjadi
bangunan hotel. Selain terjadi perpindahan penguasaan lahan milik rumah tangga setempat menjadi lahan milik warga luar desa, terjadi pula perpindahan
15
Tunakisma berasal dari kata tuna yang artinya “tanpa” dan kisma yang artinya “tanah”, sehingga apabila digabungkan menjadi tanpa tanah.
penguasaan lahan untuk sistem pertanian melalui bagi hasil. Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan, rumah tangga yang menggunakan sistem bagi
hasil sebanyak dua orang, namun setelah terjadi perpindahan penguasaan jumlahnya menurun menjadi satu rumah tangga.
Tabel 8. Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung Sukatani, 2010.
Perubahan Penguasaan Lahan Derajat kuatnya akses terhadap
penguasaan lahan Total
rumah tangga
I II III IV V
Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan
15 5 0 2 8 30 Setelah terjadi perpindahan
penguasaan lahan 16 5 0 4 5 30
Keterangan: n = 30 rumah tangga I
= tidak menguasai lahan II = tumpang sari menjaga batas-batas lahan sambil menikmati manfaat
III = bagi hasil IV = sewa lahan
V = milik sendiri
Data pada Tabel 8 menunjukkan terjadinya perpindahan penguasaan lahan pada rumah tangga Kampung Sukatani, sehingga dari data tersebut dapat ditarik
interpretasi bahwa jumlah rumah tangga yang menjadi tuna-kisma mengalami peningkatan dari yang awalnya sebanyak 15 rumah tangga namun setelah terjadi
perpindahan penguaaan lahan jumlahnya meningkat menjadi 16 rumah tangga. Seperti halnya dengan perpindahan penguasaan di Kampung Sampay, di kampung
ini juga tejadi penurunan derajat penguasaan lahan akibat dari kegiatan konversi lahan. Penurunan derajat penguasaan tersebut dapat dilihat dari sebelum adanya
perpindahan penguasaan lahan rumah tangga yang memiliki lahan sebanyak delapan rumah tangga namun setelah terjadi perpindahan jumlahnya menurun
menjadi lima rumah tangga. Sementara itu bagi rumah tangga yang bertani melalui sistem sewa mengalami peningkatan dari yang awalnya sebanyak dua rumah
tangga, jumlahnya bertambah menjadi empat rumah tangga. Ketiga penguasaan lahan di atas mengalami perubahan penguasaan lahan akibat terjadinya konversi,
namun hal ini berbeda dengan penguasaan lahan melalui sistem tumpang sari baik sebelum maupun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan, jumlah rumah
tangga yang menguasai lahan melalui tumpang sari tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebanyak lima rumah tangga.
Dari paparan di atas terlihat bahwa di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani telah terjadi perubahan penguasaan lahan sebagai berikut:
1. Terjadi peningkatan rumah tangga yang tidak memiliki lahan
tunakisma 2.
Terjadi penurunan derajat penguasaan lahan dari pemilik menjadi penyewa, pemilik menjadi tunakisma serta bagi hasil menjadi
tunakisma. Oleh karena itu, penurunan derajat penguasaan lahan memiliki hubungan
dengan konversi lahan. Semakin tinggi tingkat konversi, maka semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan derajat penguasaan lahan. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa konversi lahan di Desa Tugu Utara berdampak buruk pada penguasaan lahan rumah tangga setempat.
6.1.2 Luas lahan