16
Cara panen wortel yaitu dengan mencabut seluruh tanaman bersama umbinya. Tanaman yang baik dan dipelihara secara intensif dapat menghasilkan
umbi antara 20-30 tonhektar.
9. Pascapanen
Kumpulkan seluruh rumpun tanaman wortel yang usai dipanen pada suatu tempat yang strategis, misalnya di pinggir kebun yang teduh, atau di gudang
penyimpanan hasil. Penyortiran dan penggolongan dilakukan dengan memisahkan umbi yang rusak, cacat, atau busuk secara tersendiri dan klasifikasikan umbi
wortel yang baik berdasarkan ukuran dan bentuknya yang seragam. Untuk penyimpanan, simpan hasil panen wortel dalam wadah atau ruangan yang
suhunya dingin dan berventilasi baik. Tahap selanjutnya yaitu pengemasan dan pengangkutan. Pengemasan dilakukan sesuai dengan pasar atau konsumen yang
dituju, misalnya untuk sasaran pasar Swalayan, Gelael, Hero, dan lain-lain di kota-kota besar, sedangkan untuk pasar tradisional wortel biasanya diikat menjadi
ikatan-ikatan tertentu sehingga praktis dalam pengangkutan dan penyimpanannya. Setekah itu, diangkut ke pasar dengan menggunakan alat angkut yang tersedia di
daerah setempat.
2.4 Studi Penelitian Terdahulu
Beberapa judul penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan sistem tataniaga, diantaranya adalah :
Analisis Tataniaga Ubi Jalar di Desa Gunung Malang, Kecamatan tenjolayan, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat yang diteliti oleh Purba,
2010. Tataniaga ubi jalar di Desa Gunung Malang dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga, diantaranya petani, pedagang
pengumpul tingkat pertama pedagang pengumpul desa tengkulak, pedagang pengumpul tingka kedua bandar besar, pedagang grosir pedagang pasar induk,
pedagang pengecer. Saluran tataniaga ubi jalar di Desa Gunung Malang memiliki tiga saluran, yaitu saluran tataniaga pertama merupakan saluran tataniaga antara
petani – pedagang pengumpul tingkat pertama – pabrik keripik saluran tataniaga
terpendek. Saluran tataniaga kedua yaitu saluran tataniaga antara petani –
pedagang pengumpul tingkat pertama – pedagang pengumpul tingkat kedua –
17
pedagang grosir – pedagang pengecer – konsumen saluran tataniga terpanjang.
Sedangkan saluran tataniaga ketiga yaitu antara petani – pedagang pengumpul
tingkat pertama – pedagang pengumpul tingkat kedua – pedagang grosir –
konsumen. Dari ketiga saluran tataniaga tersebut, saluran tataniaga yang relatif lebih efisien adalah saluran tataniaga pertama, karena memiliki marjin tataniaga
terkecil yaitu sebesar Rp 325kg dan farmer’s share terbesar yaitu sebesar 74,51
persen. Sementara saluran tataniaga yang relatif kurang efisien karena memiliki marjin tataniaga dan
farmer’s share terkecil yaitu masing-masing sebesar Rp 1.550kg dan 38 persen.
Penelitian mengenai Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dilakukan oleh Maryani
2008 dengan tujuan untuk menganalisis tingkat pendapatan usahatani kedelai, mengkaji saluran tataniaga, struktur pasar dan permasalahan yang ada di setiap
pelaku pasar, dan menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Untuk tataniaga digunakan
penelusuran saluran tataniaga, analisis margin pemasaran, analisis struktur pasar, dan analisis efisiensi tataniaga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat
dua saluran tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kecamatan Cianjur, Jawa Barat. Dua saluran tataniaga tersebut yakni saluran tataniaga kedelai polong tua
dan saluran tataniaga polong muda. Saluran tataniaga kedelai polong muda yaitu, kedelai yang dihasilkan oleh petani kemudian didistribusikan kepada pedagang
pengumpul dan didistribusikan kembali ke pedagang Pasar Induk di Parung. Sedangkan untuk saluran tataniaga kedelai polong tua terdapat delapan saluran
saluran tataniaga yang digunakan oleh petani hingga sampai produk sampai kepada konsumen akhir. Struktur yang dihadapi antara petani dan pedagang
pengumpul, petani dan pedagang Kecamatan, serta antara petani dan pedagang besar adalah persaingan dan oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi oleh
pedagang pengumpul adalah persaingan, sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh Kecamatan adalah oligopsoni. Berdasarkan perhitungan margin tataniaga
total margin tataniaga, yaitu Rp 1.000kg dan farmer’s share yang paling tinggi
yaitu sebesar 77,78 persen.
18
Sihombing 2010 melakukan penelitian mengenail Analisis Sistem Tataniaga Nenas Bogor di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemasaran nenas Bogor di Desa Cipelang memiliki tiga pola saluran pemasaran dan melibatkan beberapa lembaga
pemasaran. Adapun lembaga pemasaran yang terlibat diantaranya pedagang pengumpul desa, pengecer dan pedagang besar. Ketiga pola saluran pemasaran
tersebut yaitu pola saluran pertama adalah petani – pedala petani – pedagang gang
pengumpul desa – pedagang besar grosir – pedagang pengecer – konsumen lokal
saluran terpanjang. Pada pola pemasaran pertama rantai tataniaga nenas yang digunakan oleh 17 orang petani responden 85 persen dari total petani reponden.
Pola saluran pemasaran kedua yaitu petani – pedagang pengumpul desa –
konsumen pedagang pengolah, pola pemasaran ini hanyta digunakan oleh satu pedagang pengumpul desa PPD yang menjadi responden. Pedagang pengumpul
desayang terlibat dalam saluran ini adalah pedagang pengumpul desa PPD yang menjual nenas terhadap pedagang pengolah processors and manufacture.
Sedangkan pola pemasaran ketiga adalah petani – pedagang pengecer – konsumen
lokal, pada pola pemasaran ini hanya digunkan oleh 3 orang responden 15 pesen dari total petani responden.
Dari ketiga pola pemasaran tersebut margin pemasaran yang paling besar terdapat pada saluran pertama yaitu sebesar Rp 1.000, hal ini disebabkan karena
saluran satu merupakan rantai atau saluran pemasaran terpanjang dalam mendistribusikan nenas ke konsumen akhir dari semua saluran pemasaran yang
ada. Sedangkan untuk saluran pemasaran kedua dan ketiga margin pemasarannya hanya sebesar Rp 500 dan Rp 700 karena kedua saluran pemasaran tesebut tidak
banyak melibatkan lembaga pemasaran dalam mendistribusikan nenas, bahkan hanya melibatkan satu lembaga pemasaran sehingga menghasilkan saluran
pemasaran yang relatif pendek. Secara operasional dari ketiga jalur yang ada jalur dua merupakan jalur yang paling efisien, hal ini terlihat dari margin pemasaran
yang rendah dan farmer’s share yang paling tinggi serta keuntungan terhadap
biaya yang tinggi dengan volumen penjualan 2.100minggu atau sekitar 62,59 persen dari total produksi petani.
19
Rachma 2008 melakukan penelitian tentang Efisiensi Tataniaga Cabai Merah, Studi kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis,
Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga 1 pedagang
pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer ke 2, saluran tataniaga Ii
pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer 1 – pedagang
pengecer 2, saluran tataniaga III pedagang pengumpul – pedagang grosir –
pedagang pengecer 2, saluran tataniaga IV pedagang pengumpul – pedagang
pengecer 1 – pedagang pengecer 2, dan saluran tataniaga V pedagang
pengumpul dan pedagang pengecer 1. Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani ke pedagang
pengumpul. Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan bahwa marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan marjin terkecil terdapat pada
saluran I dan V. Struktur pasar yang terbentuk dalam tataniaga cabai merah adalah bersaing tidak sempurna, maka setelah dianalisis tidak ada keterpaduan.
Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.
Penelitian Peranginangin 2011 dengan judul Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo dengan studi kasus di Desa Sebaraya, Kecamatan
Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara menganalisis mengenai tataniaga dan tingkat efisiensi tataniaga markisa ungu serta menemukan alternatif
saluran tataniaga yang lebih efisien secara relatif jika dibandingkan dengan tataniaga yang lain. Tataniaga markisa ungu merupakan serangkaian kegiatan
bisnis dalam menyalurkan markisa ungu mulai dari tingkat petani hingga konsumen akhir. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa
lembaga tataniaga yang terlibat yaitu diantaranya petani, pedagang pengumpul perkoper, grosir, pabrik pengolah, pedagang antar kota, pedagang pengecer,
toko minuman serta cafe minuman. Namun selain kedelapan lembaga tataniaga tersebut, dalam penelitian ini “tukang kilo” pemilik alat timbanganjasa
penimbangan markisa ungu juga menjadi pelaku tataniaga. Saluran tataniaga yang dihasilkan pada penelitian ini sebanyak 7 saluran tataniaga. Saluran 1 :
petani – pabrik pengolahan – toko minuman – konsumen. Saluran 2 : petani –
20
pedagang pengumpul - grosir – pabrik pengolah – toko minuman – konsumen.
Saluran 3 : petani – pedagang pengumpul – grosir – pedagang antar kota –
pedagang pengecer luar kota – konsumen. Saluran 4 : petani – grosir – pabrik
pengolah – toko minuman – konsumen. Saluran 5 : petani – grosir – pedagang
antar kota – pedagang pengecer luar kota – konsumen. Saluran 6 : petani
pedagang pengecer lokal – konsumen. Dan saluran 7 : petani – toko minuman –
konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yaitu
fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Dari ketujuh saluran tataniaga yang dihasilkan saluran tataniaga yang paling efisien secara relatif dibandingkan
dengan saluran tataniaga yanag lain dengan produk akhir sirup markisa adalah saluran tataniaga 1. Sedangkan saluran tataniaga yang efisien secara relatif dengan
produk akhir buah markisa yaitu saluran tataniaga 5. Namun secara keseluruhan, saluran tataniaga 1 merupakan saluran tataniaga yang paling efisien secara relatif
jika dibandingkan dengan saluran tataniaga yang lain yaitu dengan nilai farmer’s
share 18,75 persen, margin tataniaga 81,25 persen, penerimaan bersih petani Rp 2.710kg dan mampu menampung 19,43 persen volume markisa yang dihasilkan
petani dengan nilai penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya relatif merata.
2.5 Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu