Tabel 2. Analisis Perhitungan Nilai Tambah Hayami
Variabel Nilai
I. Output, Input dan Harga
1. Output Kg
1 2.
Input Kg 2
3. Tenaga Kerja HOK
3 4.
Faktor Konversi 4 = 12
5. Koefisien Tenaga Kerja HOK
5 = 32 6.
Harga Output RpKg 6
7. Upah Tenaga Kerja Langsung RpHOK
7
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga bahan Baku RpKg
8 9.
Sumbangan Input Lain RpKg 9
10. Nilai Output RpKg
10 = 4 x 6 11.
a. Nilai Tambah RpKg b. Rasio Nilai Tambah
11a = 10 – 9 – 8
11b = 11a10 x 100 12.
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung RpKg b. Pangsa Tenaga Kerja
12a = 5 x 7 12b = 12a11a x 100
13. a. Keuntungan RpKg
b. Tingkat Keuntungan 13a = 11a
– 12a 13b = 13a11a x 100
III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin RpKg
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung
b. Sumbangan Input Lain
c. Keuntungan Pemilik Perusahaan
14 = 10 – 8
14a = 12a14 x 100 14b = 914 x 100
14c = 13a14 x 100
Sumber: Hayami et al., 1987 di dalam Slamet 2005
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pilot Plant SEAFAST Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology Center, Laboratorium Teknik
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian TPPHP, Laboratorium Pusat Antar Universitas PAU Pangan dan Gizi, Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi,
Laboratorium Pengolahan Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 hingga Januari 2012.
3.2. Bahan dan Alat
Dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah belimbing wuluh Averrhoa bilimbi. L yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan lain yang
digunakan adalah dekstrin, garam dapur beryodium yang diperoleh di Pasar Anyar. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah amilum, iod 0.01 N, indikator
phenolftalen, NaOH 0.01 N, aquades, buffer pH 4 dan buffer pH 7. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pengering mekanik
pengering kabinet dari New Land Engineering, pengering kabut spray dryer mini merk Buchi 190 Gambar 3, homogenizer, kain saring, timbangan analitik,
jangka sorong dan baskom. Alat yang digunakan untuk analisis adalah Rheometer model CR-500 untuk mengukur kekerasan, Chromameter merk Minolta untuk
mengukur warna, pH meter, cawan porselin, oven, desikatoreksikator, tabung reaksi, labu takar, pipet tetes, pompa vakum, dan kertas saring Whatman no 41
dan 42.
Gambar 3. Alat pengering yang digunakan dalam penelitian a Alat pengering cabinet dryer dan b Alat pengering spray dryer
19
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan pertama dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan dari buah belimbing wuluh dengan melakukan pengukuran
berdasarkan warna, ukuran, kekerasan, total asam dan asam oksalat. Penelitian pendahuluan kedua dilakukan untuk menentukan lama waktu pengeringan
belimbing wuluh yang terbaik pada masing-masing perlakuan suhu dengan menggunakan cabinet dryer untuk menghasilkan kadar air yang seragam sesuai
dengan kadar air asam sunti tradisional dari masing-masing perlakuan tingkat kematangan.
3.3.2. Penelitian Utama Tahap Pertama
Penelitian dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu cabinet dryer yang baik untuk menghasilkan asam
sunti dengan mutu yang bagus. Belimbing wuluh dengan beberapa tingkat kematangan ditimbang dan
dicuci kemudian dilumuri dengan garam dengan rasio 20 dari berat bahan dan didiamkan selama 24 jam, selanjutnya dikeringkan di dalam cabinet dryer pada
suhu 50, 65, dan 80ºC. Suhu lingkungan disekitar alat pengering berkisar 30-35°C dengan RH diwilayah Bogor ±70. Lama waktu pengeringan diperoleh dari
penelitian pendahuluan. Kemudian baru dihasilkan produk asam sunti. Parameter yang diamati yaitu rendemen, kadar air, pH, total asam,
asam oksalat, warna menggunakan chromameter, organoleptik warna, rasa, aroma dan tekstur. Berdasarkan parameter tersebut ditentukan tingkat kematangan dan
suhu pengeringan yang baik untuk menghasilkan asam sunti terbaik sebagai bahan baku untuk pembuatan bubuk asam sunti. Penelitian tahap pertama digambarkan
dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Pembuatan Asam Sunti
3.3.3. Penelitian Utama Tahap Kedua
Penelitian dilakukan untuk menentukan perlakuan penambahan dekstrin dan suhu pengering spray dryer terhadap mutu bubuk asam sunti yang
dihasilkan. Prosedur yang dilakukan pada penelitian tahap kedua ini yaitu, asam
sunti dengan kualitas terbaik yang dihasilkan dari penelitian tahap pertama ditimbang lalu dicampur air, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender.
Setelah halus dicampur dengan dekstrin sebanyak 30, 40 dan 50 per berat bahan awal, kemudian dilakukan pengadukan agar tercampur sempurna.
Kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering spray dryer dengan suhu 160, 170 dan 180ºC pada tekanan 2 bar.
Parameter yang diamati pada produk bubuk asam sunti yaitu rendemen, kadar air, pH, daya kelarutan, total asam, asam oksalat, organoleptik
warna, rasa, dan aroma. Adapun diagram alir dari penelitian tahap dua yaitu pembuatan bubuk asam sunti dinyatakan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Pembuatan Asam Sunti Bubuk
3.4. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial RAL Faktorial. Untuk penelitian tahap pertama terdiri dari 2
faktor yaitu tingkat kematangan buah belimbing wuluh sebanyak 3 taraf dan suhu cabinet dryer sebanyak 3 taraf. Sedangkan penelitian tahap kedua terdiri dari 2
faktor yaitu penambahan dekstrin sebanyak 3 taraf dan suhu spray dryer sebanyak 3 taraf.
Model rancangan acak lengkap faktorial RAL Faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan dapat dilihat pada persamaan berikut:
Yijk = µ + A
i
+ B
j
+ AB
ij
+ ε
ijk
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Keterangan : Yijk = Respon setiap parameter yang diamati
µ = Nilai rata-rata umum
A
i
= Pengaruh faktor ke-i B
j
= Pengaruh faktor ke-j AB
ij
= Pengaruh interaksi faktor ke-ij ε
ijk
= Galat percobaan Untuk mengetahui signifikan pengaruh dari berbagai faktor yang ada,
selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam terhadap parameter-parameter yang diamati dan uji lanjut Duncan terhadap data-data yang dihasilkan sesuai model
rancangan percobaan yang digunakan. Data hasil penelitian diolah dengan Microsoft Excell for Windows lalu dianalisis dengan program SPSS 17 for
windows.
3.5. Metode Analisis
3.5.1. Rendemen
Perhitungan rendemen untuk asam sunti semi basah dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
Dimana: a = Asam sunti semi basah yang dihasilkan
b = Belimbing wuluh segar Perhitungan rendemen menggunakan metode gravimetri, dilakukan
untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan bubuk asam sunti dengan persamaan sebagai berikut:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Dimana: a = Berat bubuk asam sunti yang dihasilkan gr
b = Berat pasta asam sunti yang digunakan gr c = Berat bahan pengisi yang digunakan gr
3.5.2. Kekerasan
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Rheometer CR-500 yang diset dengan mode 20, beban maksimum 2 kg, kedalaman probe 10.0 mm
dan laju penekanan 60 mmmenit. Bahan ditekan pada bagian pangkal, tengah dan ujung petiol kemudian hasilnya dirata-ratakan. Nilai kekerasan diperlihatkan
dengan penunjukan angka pada display rheometer dalam satuan kgf.
3.5.3. Warna
Pengukuran warna belimbing wuluh dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter R-200 Minolta. Alat ini mempunyai sistem notasi warna
hunter sistem warna L, a, dan b. Sistem warna L menyatakan parameter kecerahan brightness dengan L = 0 hitam dan L = 100 putih. Sistem warna a
dan b merupakan koordinat-koordinat kromatisitas, menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a dari 0 sampai +60 untuk warna merah dan
–a dari 0 sampai -60 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan +b dari 0 sampai +60 untuk warna kuning dan nilai
–b dari 0 sampai -60 untuk warna biru.
3.5.4. Kadar Air
Cawan porselen dikeringkan di dalam oven dengan kisaran suhu 100- 102ºC selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 20 menit
kemudian ditimbang. Sebanyak 2 gram sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105ºC sampai berat konstan. Sebelum ditimbang, sampel didinginkan dahulu
di dalam eksikator. Kadar air dihitung dengan rumus: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
Dimana : a = Berat sampel mula-mula gr
b = Berat sampel setelah dikeringkan gr
3.5.5. Pengukuran pH
Sebanyak 15 gram bahan dimasukkan ke dalam 30 ml aquades kemudian dihaluskan. Pengukuran pH menggunakan pH meter, pH meter
dinyalakan dan dibiarkan stabil sampai 15 menit. Dalam setiap analisa pH meter dikalibrasi dengan dua macam buffer yaitu buffer pH 4 dan buffer pH 7. Elektroda
dicelupkan pada larutan sampel sampai memperoleh pembacaan yang stabil, dengan demikian pH sampel diperoleh, elektroda dibilas dengan aquades dan
dikeringkan dengan kertas tissue.
3.5.6. Daya Kelarutan
Kelarutan bubuk asam sunti dapat dihitung dengan cara gravimetri. Sebanyak kurang lebih 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml aquades dan
disaring menggunakan pompa vakum dengan menggunakan kertas saring Whatman no. 42. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan dalam oven pada
suhu 105ºC selama 30 menit, lalu ditimbang. Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan dalam oven 105ºC selama 3 jam, lalu ditimbang.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
Dimana : a = Berat kertas saring + residu gr
b = Berat kertas saring gr c = Berat sampel yang digunakan gr
KA = Kadar air sampel bb
3.5.7. Total Asam
Sebanyak10 gram sampel ditimbang, lalu dilarutkan dengan aquades dalam labu takar 250 ml. Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring
Whatman no. 41. Sehingga diperoleh bahan jernih. Pipet 25 ml bahan ke dalam erlenmeyer, lalu ditetesi dengan larutan indikator pp 1 sebanyak 2 tetes.
Kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0.01 N, sampai terbentuk warna merah jambu yang relatif stabil. Bilangan asam dihitung dengan
menggunakan rumus: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6 Dimana :
P = Faktor pengenceran
3.5.8. Asam Oksalat
Sampel dihancurkan, kemudian ditimbang lebih kurang 10 gram lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai
tanda tera. Kemudian sampel disaring sehingga diperoleh bahan jernih, lalu dipipet sebanyak 10 ml dan ditetesi dengan larutan indikator pp. Kemudian
dengan menggunakan NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi, lalu dicatat volume titrasi dan dihitung dengan menggunakan rumus:
. . . . . . . . . 7 BM Asam Oksalat = 126
3.5.9. Uji Organoleptik
Uji organoleptik akan dilakukan langsung pada produk yang dihasilkan tanpa diolah terlebih dahulu. Uji organoleptik untuk asam sunti meliputi uji
hedonik terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan penerimaan keseluruhan sedangkan uji organoleptik terhadap bubuk asam sunti meliputi uji hedonik
terhadap rasa, warna, aroma dan penerimaan keseluruhan. Pengujian dilakukan oleh dua kelompok yaitu orang Aceh asli orang yang telah mengenal asam sunti
dan orang dari luar Aceh orang yang belum mengenal asam sunti yang masing- masing terdiri dari 30 orang panelis. Tanggapan penilaian dikonversi ke dalam
skala 1 sangat suka, 2 tidak suka, 3 agak tidak suka, 4 netral, 5 agak suka, dan 7 sangat suka. Kemudian dilakukan perhitungan data yang diperoleh dalam
bentuk tabel dan grafik. Hasil uji organoleptik yang skornya melebihi 3.5 sebagai perlakuan yang masih diterima oleh konsumen atau panelis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Pendahuluan
4.1.1. Penelitian Pendahuluan Tahap Pertama
Penelitian pendahuluan tahap pertama dilakukan untuk melihat sifat fisik dan kimia dari buah belimbing wuluh segar berdasarkan perbedaan tingkat
kematangannya. Pengukuran terhadap sifat fisik dan kimia belimbing wuluh dilakukan untuk mendapatkan data awal yang diduga berpengaruh terhadap proses
pembuatan asam sunti dan mutu yang dihasilkannya. Sifat fisik dan kimia dari buah belimbing wuluh yang diukur adalah warna, ukuran, kekerasan dan uji
proksimat berupa total asam, serta asam oksalat. Pada penelitian ini, digunakan buah belimbing wuluh yang diperoleh
dari daerah Bogor dengan tiga tingkat kematangan. Tingkat kematangan belimbing wuluh ditentukan berdasarkan umur buah setelah bunga mekar yaitu a
37 hari untuk buah belum matang hijau, b 45 hari untuk buah setengah matang hijau:kuning, dan c 54 hari untuk buah matang penuh kuning Gambar 6.
Gambar 6. Tingkat Kematangan Buah Belimbing Wuluh; a Belum Matang Hijau, b Setengah Matang Hijau:Kuning dan c Matang
Kuning
Adapun hasil pengukuran sifat fisik dan kimia yang dilakukan pada ke tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh berupa warna, ukuran, kekerasan
dan uji proksimat total asam serta asam oksalat disajikan pada Tabel 3.
27
Tabel 3. Nilai warna, ukuran, kekerasan dan total asam belimbing wuluh dari berbagai tingkat kematangan
Tingkat Kematangan
Belimbing Wuluh
Kadar Air
Nilai Warna Ukuran
Kekerasan kgf
Total Asam
Asam Oksalat
L a
b Diameter
cm Panjang
cm
Belum Matang Hijau
94.92 -
94.99 42.52
- 46.84
-13.06 -
-10.58 23.11
- 26.31
1.87-2.20 4.4-5.55
0.68-1.02 21.87
- 26.74
2.76 -
3.37 Setengah Matang
Hijau-Kuning 95.04
- 95.73
42.54 -
47.37 -11.77
- -9.47
23.42 -
28.10 2.10-2.43
5.1-6.04 0.55-0.80
21.55 -
26.48 2.72
- 3.34
Matang Penuh Kuning
97.08 -
97.12 44.57
- 50.51
-11.36 -
-8.48 24.00
- 28.67
2.27-2.47 6.5-7.1
0.54-0.82 21.26
- 25.07
2.68 -
3.16
Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai kecerahan terbesar terdapat pada buah belimbing wuluh matang penuh. Nilai a negatif terendah terdapat pada buah
yang belum matang, menandakan bahwa buah masih berwarna hijau. Seperti ditunjukkan pada Gambar 6a, warna hijau pada buah belum matang masih terlihat
sangat dominan. Nilai b positif menunjukkan warna kuning, semakin kecil nilai b maka semakin berkurang warna kuning dari buah. Pada tabel di atas terlihat
bahwa nilai b tertinggi terdapat pada buah belimbing yang telah matang atau sudah berwarna kuning.
Buah-buahan yang masih muda umumnya mengandung klorofil yang jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan karotenoid atau pigmen-
pigmen lainnya, sehingga buah tersebut berwarna hijau. Selama proses pematangan buah akan terjadi degradasi klorofil sehingga kandungan klorofil
menjadi rendah dan muncul warna pigmen-pigmen lain yang akan menyebabkan perubahan warna dari hijau menjadi kuning, oranye atau merah.
Warna merupakan hal yang sangat penting karena merupakan indikator kematangan yang sangat dikenal oleh konsumen. Konsumen umumnya
mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang korelasi antara warna dan tingkat kematangan buah dan sayuran.
Dimensi buah belimbing wuluh diameter dan panjang menunjukkan perbedaan yang nyata untuk ke tiga tingkat kematangan buah. Perbedaan ukuran
buah akan berpengaruh pada saat proses pengeringan baik terhadap lama waktu
pengeringan maupun kadar air akhir produk yang dihasilkan. Buah yang belum matang umumnya membutuhkan waktu pengeringan lebih lama dibandingkan
dengan buah yang sudah matang. Hal ini disebabkan kandungan air pada buah yang belum matang lebih banyak dalam bentuk air terikat, sementara pada buah
yang matang lebih banyak dalam bentuk air bebas. Air bebas lebih cepat untuk diuapkan dari jaringan buah dibandingkan air terikat.
Hasil pengukuran kekerasan buah menunjukkan bahwa buah yang belum matang nilai kekerasannya lebih tinggi dibanding dengan buah setengah
matang dan matang, sementara antara buah setengah matang dan matang perbedaan nilai kekerasannya kecil. Kandungan pektin di dalam buah
mempengaruhi kekerasan tekstur buah tersebut. Selama proses pematangan buah, terjadi perubahan komponen pektin, dari bentuk pektin tidak larut menjadi
larut sehingga tekstur buah menjadi lunak. Kekerasan buah belimbing wuluh diduga akan berpengaruh terhadap tekstur asam sunti yang dihasilkan.
Asam sunti merupakan produk bumbu yang diharapkan rasa asamnya, sehingga kandungan awal total asam dalam buah belimbing wuluh akan
berpengaruh terhadap kandungan atau rasa asam dari asam sunti yang dihasilkan. Berbeda dengan rasa asam yang diharapkan tinggi, maka kandungan asam oksalat
diupayakan untuk serendah mungkin karena sifat asam oksalat yang mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan tubuh bila dikonsumsi secara terus-menerus
dalam jangka panjang. Buah yang belum matang muda memiliki total asam dan asam
oksalat yang lebih tinggi daripada buah yang telah matang. Hal ini disebabkan pada buah muda banyak mengandung asam-asam organik dimana selama proses
pematangan buah, kandungan asam organik ini akan menurun. Data total asam dan asam oksalat diperlukan dalam pembuatan asam sunti karena merupakan
salah satu parameter mutu dari asam sunti yang akan dihasilkan.
4.1.2. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua
Penelitian pendahuluan tahap kedua dilakukan untuk mengetahui dan menentukan lama waktu pengeringan buah belimbing wuluh dengan tiga tingkat
kematangan dan suhu pengeringan yang berbeda. Parameter yang digunakan untuk menetapkan lama pengeringan adalah kadar air akhir buah belimbing wuluh
nilainya mendekati dengan kadar air dari asam sunti kontrol produk asam sunti lokal dari Aceh. Pemilihan kadar air yang sesuai dengan kadar air kontrol
dikarenakan produk asam sunti dari Aceh kontrol merupakan produk yang selama ini disukai dan digunakan oleh masyarakat Aceh.
Data kadar air dan lama waktu pengeringan hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data tersebut ditetapkan lama waktu
pengeringan pada tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan tiga tingkat suhu pengeringan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kadar air dan waktu lama pengeringan belimbing wuluh untuk tiga
tingkat kematangan buah
Tingkat Kematangan
Belimbing Wuluh Suhu Pengeringan
°C Lama Pegeringan
Jam Kadar Air
Belum Matang Hijau
50 9
72.45 65
7 72.39
80 5
73.93 Setengah Matang
Hijau:Kuning 50
8 73.37
65 6
72.28 80
4 73.08
Matang Penuh Kuning
50 7
73.73 65
5 72.66
80 3
72.79 Kontrol
- -
71.99
Penetapan lama waktu pengeringan didasarkan pada kadar air yang mendekati kadar air kontrol, walaupun beberapa kadar air akhir relatif lebih
tinggi dari kadar air kontrol. Penetapan tersebut dikarenakan bila diperpanjang lama pengeringan akan menyebabkan kadar air akhir buah belimbing wuluh lebih
rendah dari kadar air kontrol. Lama waktu pengeringan yang dihasilkan pada tahap ini, akan
digunakan dalam proses pembuatan asam sunti. Kombinasi tingkat kematangan buah dan suhu pengering dengan lama waktu pengeringan yang telah ditetapkan,
menjadi perlakuan untuk menghasilkan asam sunti. Asam sunti dengan mutu terbaik, akan dipilih untuk diolah menjadi bubuk. Adapun parameter yang
digunakan untuk membandingkan mutu asam sunti yang dihasilkan adalah rendemen, kadar air, pH, total asam, asam oksalat, warna dan uji terhadap
preferensi konsumen menggunakan uji organoletik yang meliputi penilaian terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur dari asam sunti yang dihasilkan.
4.2. Penelitian Utama
4.2.1. Penelitian Utama Tahap Pertama
Penelitian utama tahap pertama dilakukan untuk membuat asam sunti semi basah dari tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan tiga tingkat
suhu pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan produk asam sunti semi basah yang memiliki mutu yang baik berdasarkan pada rendemen, kadar air,
pH, total asam, asam oksalat, dan kesukaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Asam sunti dengan mutu terbaik akan digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bubuk asam sunti pada penelitian selanjutnya.
4.2.1.1. Rendemen Asam Sunti
Rendemen merupakan nisbah antara hasil yang diperoleh dengan bahan dasarnya. Bahan dasar belimbing wuluh yang digunakan pada penelitian
ini sebesar 1 kg pada setiap perlakuan. Dari hasil pengukuran dan perhitungan didapatkan rata-rata rendemen asam sunti berkisar antara 25.36-52.82.
Asam sunti semi basah yang dihasilkan dari buah belimbing wuluh matang penuh pada pengeringan dengan suhu 80°C selama 3 jam menghasilkan
rendemen terendah, sedang rendemen tertinggi dihasilkan oleh buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 9 jam Gambar
7.
Gambar 7. Perbandingan rendemen asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
10 20
30 40
50 60
50 C 65 C
80 C R
e n
d e
m e
n
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 2 menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan memberikan pengaruh
yang nyata P0.05 terhadap rendemen asam sunti yang dihasilkan, sehingga perlu dilakukannya uji lanjut Duncan. Pada Uji Duncan terlihat bahwa ada
perbedaan yang nyata terhadap rendemen asam sunti yang dihasilkan pada tiap tingkat kematangan. Rendemen tertinggi dihasilkan dari buah belimbing wuluh
yang belum matang dan terendah dari buah belimbing wuluh yang telah matang. Suhu pengeringan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen
asam sunti yang dihasilkan. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 50°C, dan rendemen terendah terdapat pada suhu pengeringan 80°C.
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa tiap tingkat suhu menghasilkan rendemen yang berbeda nyata Lampiran 3, sedang interaksi antara kedua perlakuan tingkat
kematangan dan suhu tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap rendemen asam sunti yang dihasilkan.
Dari data pengamatan yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan, semakin rendah rendemen yang dihasilkan dan semakin
matang buah yang digunakan maka semakin sedikit rendemen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada buah yang matang banyak terdapat kandungan air
bebas. Rendahnya rendemen yang dihasilkan pada buah belimbing wuluh
yang matang diduga dipengaruhi oleh perlakuan awal bahan sebelum dikeringkan. Buah belimbing wuluh sebelum dikeringkan, terlebih dahulu direndam dengan
garam selama 24 jam. Perendaman dengan garam bertujuan untuk mengawetkan atau penghambat pertumbuhan mikroba pada bahan pangan, penambah aroma dan
cita rasa atau flavor, selain itu juga untuk mempercepat proses pengeringan. Selama proses perendaman terjadi penyerapan garam ke dalam jaringan buah
secara osmose. Larutan garam merembes ke dalam jaringan buah dan karena larutan garam lebih pekat dibanding air maka air yang ada didalam jaringan buah
tertarik keluar dari sel atau jaringan buah sampai terjadi keseimbangan antara kadar garam diluar dan didalam sel. Banyaknya air bebas yang ditarik oleh garam
didalam buah belimbing wuluh yang matang yang dilanjutkan dengan proses
pengeringan pada suhu tinggi menjadi penyebab rendahnya rendemen yang dihasilkan.
Pada buah yang belum matang rendemen produk yang dihasilkan lebih banyak, ini kemungkinan disebabkan karena pada buah yang belum matang
terdapat kandungan air terikat yang sulit untuk diuapkan sehingga menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang matang. Semakin
matang buah dan tingginya suhu pengeringan maka rendemen produk yang dihasilkan akan semakin sedikit, ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh
Tranggono 1989 bahwa kehilangan air dan susut berat akan lebih cepat pada buah yang besar daripada buah yang kecil, hal ini sesuai dengan penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan bahwa ukuran buah yang belum matang lebih kecil dibandingkan dengan buah yang telah matang.
4.2.1.2. Kadar Air Asam Sunti
Air dalam bahan pangan merupakan komponen terpenting karena kandungan air dalam bahan ikut menentukan cita rasa, tekstur, serta kenampakan
makanan. Air merupakan tempat utama perkembangan mikroba pada bahan pangan dan penyebab utama berbagai kerusakan bahan pangan. Salah satu kunci
pengawetan bahan pangan adalah dengan mengurangi kadar air atau mengubah karakteristik dari air tersebut dengan proses pengeringan. Kadar air dalam bahan
pangan sangat mempengaruhi kualitas daya simpan dari bahan pangan tersebut. Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar
dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapatkan penanganan yang tepat.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh rataan kadar air asam sunti berkisar antara 71.02-74.97, sedangkan kadar air asam sunti kontrol
adalah 71.99. Nilai kadar air tersebut hasil dari pengeringan mekanis belimbing wuluh dengan menggunakan suhu dan waktu pengeringan seperti yang telah
ditetapkan pada penelitian pendahuluan. Kadar air akhir yang dihasilkan tidak selalu sama dengan kadar air yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan
walaupun dengan suhu dan lama waktu pengeringan yang sama. Kisaran nilai kadar air hasil pengeringan pendahuluan 72.28-73.93 sedangkan hasil dari
penelitian utama adalah 71.02-74.97. Besarnya perbedaan terbut masih dalam
range kadar asam sunti yang ada di pasar sebagai kontrol. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya tingkat kecepatan pengeringan produk yang tidak
sama pada saat proses berlangsung. Faktor yang diduga mempengaruhi laju perubahan kadar air pada produk asam sunti antara lain sifat bahan dan ukuran
bahan yang dikeringkan. Jika beberapa bahan pangan dengan ukuran dan bentuk yang sama dikeringkan pada kondisi yang sama, maka bahan tersebut akan
kehilangan air dengan kecepatan yang sama pula Wirakartakusumah, 1992. Keseragaman ukuran belimbing wuluh yang digunakan pada penelitian
pendahuluan dengan penelitian utama menjadi kendala dalam penelitian ini. Masa produksi pohon belimbing yang sangat singkat menyebabkan buah yang
digunakan tidak selalu berasal dari pohon yang sama dimana ukuran buah dapat berbeda dengan tingkat kematangan yang sama.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 4, terlihat bahwa perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan berpengaruh
nyata P0.05 terhadap kadar air asam sunti yang dihasilkan. Untuk mengetahui pengaruh tersebut, hasil analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Hasil uji
memperlihatkan bahwa tingkat kematangan belimbing wuluh yang memberikan perbedaan nyata terhadap kadar air akhir hasil pengeringan adalah antara
belimbing wuluh belum matang dan matang penuh, sementara untuk belimbing wuluh setengah matang tidak berbeda bila dibandingkan dengan yang belum
matang dan juga tidak berbeda bila dibandingkan dengan yang matang penuh. Kadar air asam sunti terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing
wuluh matang penuh dan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh yang belum matang. Suhu pengeringan juga memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar air asam sunti yang dihasilkan. Suhu pengeringan 80°C terlihat tidak berbeda nyata dengan suhu pengeringan 50°C dan
65°C, akan tetapi terlihat adanya perbedaan yang nyata antara suhu pengeringan 50°C dan 65°C Lampiran 5. Adapun interaksi antara perlakuan tingkat
kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap kadar air asam sunti yang dihasilkan,
sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan.
Gambar 8. Perbandingan kadar air asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Dari grafik di atas terlihat bahwa nilai kadar air terendah terdapat pada produk asam sunti dengan tingkat kematangan penuh buah belimbing wuluh pada
suhu pengeringan 65°C selama 5 jam dan kadar air tertinggi diperoleh pada buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 9
jam Gambar 8. Tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan sangat menentukan nilai kadar air suatu produk yang dihasilkan. Semakin matang buah
yang dikeringkan maka kadar airnya akan semakin berkurang karena didalam buah yang matang banyak terkandung air bebas yang tidak sulit untuk diuapkan
dalam proses pengeringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syarief dan Halid 1993, bahwa tinggi rendahnya kadar air suatu bahan sangat ditentukan oleh air
terikat dan air bebas yang terdapat dalam bahan. Air bebas menunjukkan sifat- sifat air dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukkan air yang
terikat erat dengan komponen bahan pangan lainnya. Air terikat membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menguapkannya daripada air bebas yang
membutuhkan suhu yang relatif rendah untuk menguapkannya, sehingga bahan yang memiliki air terikat lebih banyak cenderung memiliki kadar air lebih tinggi.
Air yang dibutuhkan untuk terjadinya berbagai reaksi di dalam bahan pangan serta tumbuhnya mikroba adalah air bebas. Air yang terikat kuat secara kimia sulit
digunakan oleh mikroba untuk hidupnya. Gaman dan Sherrington 1992, menyatakan bahwa hal yang paling
penting dalam proses pengeringan adalah suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi, karena akan menyebabkan perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan
pangan. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi akan menyebabkan case
10 20
30 40
50 60
70 80
50 C 65 C
80 C K
ad ar
A ir
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan akan menjadi keriput dan keras, sedangkan air terperangkap di dalamnya. Air ini tidak bisa menerobos
bahan dengan proses difusi secara normal. Jika suhu terlalu rendah pengeringan akan berlangsung lama. Sementara jika suhu terlalu tinggi tekstur bahan akan
kurang baik. Semakin tinggi suhu pengeringan, maka proses pengeringan akan
semakin cepat. Rata-rata waktu pengeringan buah dari tiga tingkat kematangan berturut-turut untuk suhu 50°C adalah 9, 8 dan 7 jam, suhu 65°C adalah 7, 6 dan 5
jam, sedangkan untuk suhu 80°C adalah 5, 4 dan 3 jam.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makin tinggi suhu pengeringan, maka laju pengeringan akan
semakin tinggi dan waktu pengeringan akan semakin singkat. Adapun nilai kadar air asam sunti yang mendekati kadar air asam sunti kontrol yaitu pada perlakuan
buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu pengeringan 65°C dengan kadar air akhir pengeringan sebesar 71.12, dan buah belimbing matang pada
suhu pengeringan 65°C dan 80°C dengan nilai kadar air masing-masing adalah 71.02 dan 71.69.
4.2.1.3. pH Asam Sunti
Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan atau produk pangan.
Dari hasil pengamatan diperoleh rata-rata pH asam sunti berkisar antara 1.53- 1.93. Nilai pH produk asam sunti hasil penelitian tidak jauh berbeda dengan nilai
pH produk asam sunti tradisional kontrol yaitu 1.54. Nilai pH terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh yang
belum matang dengan suhu pengeringan 80°C selama 5 jam dan nilai pH tertinggi terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh matang penuh dengan suhu
pengeringan 50°C selama 7 jam dan 65°C selama 5 jam Gambar 9.
Gambar 9. Perbandingan pH asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Dari Grafik di atas terlihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai pH akan semakin rendah. Penggunaan suhu tinggi pada pengeringan
mekanis mengakibatkan makin rendahnya pH karena pengeringan pada suhu tinggi dengan cepat dapat menyebabkan kulit luar testa mengeras dan bersifat
tidak permeabel, sehingga asam-asam organik yang terdapat dalam bahan tidak dapat terbebaskan secara sempurna. Derajat keasaman pH yang rendah dapat
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme di dalam bahan pangan Yanti dan Rochima, 2009.
Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 6, terlihat bahwa perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh berpengaruh nyata P0.05 terhadap
pH asam sunti yang dihasilkan, sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan. Dengan uji lanjut Duncan diketahui bahwa pH asam sunti dari belimbing wuluh setengah
matang tidak berbeda nyata dengan pH asam sunti dari belimbing wuluh belum matang dan matang penuh, tetapi nilai pH asam sunti dari belimbing wuluh belum
matang dan matang penuh berbeda nyata. Nilai pH terendah terdapat pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh yang belum matang, sedangkan produk
asam sunti dari buah belimbing wuluh matang penuh memiliki nilai pH yang paling tinggi Lampiran 7. Suhu pengeringan dan interaksi antara perlakuan
tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap pH asam sunti yang dihasilkan.
Tingkat kematangan belimbing wuluh sangat mempengaruhi nilai pH atau tingkat keasaman yang ada didalam buah. Buah belimbing wuluh yang belum
matang memiliki pH lebih rendah dibandingkan dengan buah yang sudah matang.
0.5 1
1.5 2
50 C 65 C
80 C
pH
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Tingkat keasaman yang tinggi memberikan nilai pH yang rendah dapat ditunjukkan oleh kadar asam total dari ketiga tingkat kematangan belimbing
wuluh yang digunakan yaitu 21.87-26.74 untuk belimbing wuluh yang belum matang, 21.55-26.48 untuk belimbing wuluh setengah matang dan 21.26-25.07
untuk belimbing wuluh matang. Zulkarnain 2010 menyatakan bahwa selama proses pematangan, kadar asam organik cenderung menurun akibat dikonversi
menjadi gula. Tingkat keasaman atau pH berkaitan erat dengan konsentrasi ion
hidrogen yang terkandung pada suatu larutan atau produk pangan yang diukur. Konsentrasi ion hidrogen dalam makanan merupakan faktor pengontrol beberapa
reaksi kimia dan mikrobiologi. Konsentrasi ion hidrogen dipengaruhi oleh sifat dan jenis asam, suhu serta adanya zat-zat lain yang mungkin terlarut didalamnya.
Semakin tinggi tingkat keasaman suatu bahan pada larutan maka semakin besar kecenderungan untuk melepaskan proton ion H
+
sehingga pH menjadi turun. Derajat keasaman pH suatu bahan sangat mempengaruhi daya
simpannya, karena mikroba dapat tumbuh baik pada batas pH tertentu. Bakteri paling baik tumbuh pada pH netral, beberapa suka suasana asam, sedikit asam
atau basa. Kapang tumbuh pada pH 2-8.5, biasanya lebih suka pada suasana asam. Sedangkan khamir tumbuh pada pH 4-4.5 dan tidak tumbuh pada suasana basa
Susiwi, 2009. Hayati 2002 menyatakan bahwa tidak ditemukan total bakteri, bakteri asam laktat, kapang dan khamir dalam asam sunti hasil pengeringan
menggunakan cabinet dryer yang dilakukan dengan penambahan garam sebelum dilakukan pengeringan, karena pH yang dihasilkan rendah yaitu 1.73-1.77.
4.2.1.4. Total Asam
Total asam merupakan nilai keseluruhan asam yang terdapat dalam suatu produk. Dari hasil pengamatan diperoleh nilai total asam dari produk asam
sunti berkisar antara 32.31-47. Nilai total asam produk asam sunti hasil penelitian tidak jauh berbeda dengan nilai total asam produk asam sunti kontrol
yaitu 47.33. Meningkatnya nilai total asam setelah menjadi produk asam sunti diduga karena adanya pengaruh perendaman garam pada buah belimbing wuluh
segar. Dalam proses penggaraman, bahan akan mengalami perubahan-perubahan antara lain perubahan kadar air, berat akhir bahan, perubahan pH, perubahan
tekstur dan perubahan warna. Penggunaan garam dalam pengolahan bahan pangan selain berfungsi untuk mencegah pembusukan juga berfungsi untuk membentuk
cita rasa. Garam memiliki cita rasa yang khas sehingga penambahan garam pada suatu bahan akan meningkatkan cita rasa dari bahan tersebut.
Nilai total asam tertinggi produk asam sunti terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 80°C selama
5 jam dan total asam terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh matang dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam Gambar 10.
Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 8, terlihat bahwa perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh, suhu pengeringan serta interaksi
antara keduanya tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap total asam dari produk asam sunti yang dihasilkan, sehingga tidak
dilanjutkan dengan uji Duncan.
Gambar 10. Perbandingan total asam berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Grafik di atas menunjukkan bahwa total asam tertinggi terdapat pada produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh yang belum matang
dengan suhu pengeringan 80°C dan total asam terendah terdapat pada produk asam sunti dengan suhu pengeringan65°C. Tingginya suhu pengeringan akan
menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan permukaan sudah kering sedangkan di bagian dalamnya masih basah. Hal
ini disebabkan suhu yang tinggi di awal pengeringan akan menguapkan air yang ada dipermukaan bahan secara cepat sehingga permukaan bahan menjadi kering
dan keras serta akan menghambat penguapan selanjutnya dari air yang terdapat di
10 20
30 40
50
50 C 65 C
80 C
To tal
A sam
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
bagian dalam bahan tersebut, sehingga asam organik terperangkap didalamnya Rachmawan, 2001.
Pada buah yang belum matang kandungan asamnya lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang telah matang karena pada buah matang selama
proses pematangannya kandungan asam yang ada didalam buah menjadi berkurang akibat dikonversi menjadi gula. Kenaikan keasaman ini kemungkinan
juga disebabkan oleh biosintesa asam oksalat yang berlebihan pada waktu buah masih hijau dan biosintesa asam malat yang dominan pada tingkat-tingkat
kemasakan berikutnya Wyman dan Palmer dalam Pantastico, 1997. Buah belimbing wuluh memiliki tingkat keasaman tinggi yang terdiri
dari beberapa senyawa kimia yang bersifat asam seperti: asam oksalat, asam sitrat, asam tartarat dan asam suksinat, asam format, glukosit, flavonoid, kalium oksalat,
minyak menguap, fenol dan pektin Nugrahawati et al. 2000. Asam-asam organik banyak terdapat pada buah-buahan yang merupakan hasil proses metabolisme
terutama oleh siklus Kerbs Winarno dan Fardiaz, 1982. Menurut Subhadrabandhu 2001, asam yang dominan di dalam belimbing wuluh adalah
asam sitrat dan asam oksalat. Asam sitrat merupakan asam organik yang secara alami terdapat pada
buah-buahan. Keberadaan asam sitrat dalam produk pangan bukan merupakan masalah karena asam tersebut selain berfungsi sebagai penambah citarasa juga
sebagai pengawet. Asam sitrat dapat merangsang sel-sel darah putih untuk berkembang sehingga membentuk antibodi yang dapat menghalangi beberapa
bibit penyakit yang ada dalam tubuh. Sebaliknya, kandungan asam oksalat tinggi di dalam produk pangan harus dihindari. Asam oksalat bersama-sama dengan
kalsium dalam tubuh manusia akan membentuk senyawa yang tidak larut dan tidak dapat diserap oleh tubuh. Oleh karena itu penggunaan kalsium yang juga
terdapat dalam produk-produk yang mengandung oksalat perlu dihindari. Asam oksalat dan garamnya yang larut air juga dapat membahayakan, karena senyawa
tersebut bersifat toksis. Karena pengaruh distropik oleh oksalat tergantung pada ratio molar
antara asam oksalat dan kalsium, hal ini dapat dicegah dengan cara membatasi konsumsi bahan makanan yang banyak mengandung oksalat yang larut, yaitu
dengan menghindari makan dalam jumlah besar atau juga menghindari makan dalam jumlah kecil tetapi berulang-ulang, mengkombinasikan beberapa makanan
yang banyak mengandung oksalat. Perebusan juga dapat mengurangi kandungan oksalat dalam makanan dengan membuang air perebusan, sehingga memperkecil
proporsi asam oksalat dalam bahan pangan Noonan dan Savage, 1999. Orang- orang yang mengalami peningkatan batu kalsium oksalat harus mengindari
makanan dengan kandungan oksalat tinggi Oscarsson dan Savage, 2007.
4.2.1.5. Asam Oksalat Asam Sunti
Asam oksalat H
2
C
2
O
4
merupakan asam organik yang tersebar di seluruh bagian tanaman Liebman, 2002. Garamnya terdapat dalam bentuk
oksalat terlarut dan tidak terlarut Huang et al., 1992. Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam bentuk garam. Bentuk yang lebih
banyak ditemukan adalah bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut terdapat baik dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam
tanaman lebih besar daripada hewan Noonan dan Savage, 1999. Asam oksalat merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada asam
asetat. Kadar total asam oksalat dalam produk asam sunti hasil penelitian
berkisar antara 4.07-5.92, sedangkan pada asam sunti kontrol 5.96. Nilai tersebut lebih tinggi dari kadar asam oksalat dari buah belimbing segar yang
berkisar antara 2.72-3.34. Meningkatnya kadar asam oksalat setelah menjadi produk asam sunti semi basah diduga karena telah dilakukan proses perendaman
dengan garam dan pengeringan sehingga kadar air berkurang. Perendaman dengan garam akan mempermudah keluarnya air dalam belimbing wuluh sehingga
kandungan asam oksalat akan lebih tinggi pada produk asam sunti yang dihasilkan.
Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 9, terlihat bahwa perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh, suhu pengeringan serta interaksi
antara keduanya tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap asam oksalat dari asam sunti yang dihasilkan, sehingga tidak dilanjutkan
dengan uji Duncan.
Gambar 11. Perbandingan asam oksalat asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai asam oksalat terendah terdapat pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh setengah matang
dengan suhu pengeringan 65°C selama 6 jam dan asam oksalat tertinggi diperoleh pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh belum matang dengan suhu
pengeringan 80°C selama 5 jam Gambar 11. Penyebab tingginya asam oksalat pada asam sunti yang dikeringkan dengan suhu tinggi sama seperti halnya kadar
total asam. Suhu pengeringan yang tinggi akan terjadi pengerasan pada kulit luar buah yang dikeringkan sehingga asam organik terperangkap didalamnya.
Tingginya kandungan asam oksalat pada buah yang belum matang hijau sesuai seperti yang dikemukakan oleh Love dan Paull 2011, bahwa kandungan asam
oksalat pada buah hijau lebih tinggi berkisar 10.5-14.7 mgg bahan dibandingkan dengan buah yang matang yaitu berkisar 8.45-10.8 mgg bahan. Oscarsson dan
Savage 2007, juga mengatakan bahwa pada daun talas muda mengandung total oksalat 35.8 mg100g bahan, sedangkan daun talas tua mengandung total oksalat
15.0 mg100g bahan. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pada komoditi yang masih muda lebih banyak terkandung asam oksalat dibandingkan dengan
komoditi yang sudah matang. Hal ini juga dipengaruhi oleh iklim pada saat pemanenan buah, sesuai dengan pendapat Joseph Mendonca di dalam Lima et
al. 2001, bahwa buah belimbing memiliki variasi tingkat asam oksalat di dua musim yang berbeda. Buah-buahan yang dikumpulkan pada musim hujan
memiliki tingkat oksalat yang tertinggi yaitu 11.2-14.7 mgg dalam buah-buahan hijau dan 9.86-10.8 mgg dalam buah-buahan matang dan buah belimbing yang
dipanen pada musim kemarau memiliki tingkat oksalat yang lebih rendah yaitu
1 2
3 4
5 6
50 C 65 C
80 C A
sam O
k sal
at
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
10.50-14.00 mgg dalam buah-buahan hijau dan 8.45-9.00 mgg dalam buah- buahan matang.
Asam-asam organik banyak terdapat pada buah-buahan yang merupakan hasil proses metabolisme terutama oleh siklus Kerbs Winarno dan
Fardiaz, 1982. Kandungan asam organik yang dominan pada belimbing wuluh adalah asam sitrat dan asam oksalat. Kandungan asam organik dalam belimbing
wuluh disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Asam Organik Buah Belimbing Wuluh
Asam Organik Jumlah
meq asam100 g total padatan Asam asetat
1.6 – 1.9
Asam sitrat 92.6
– 133.8 Asam format
0.4 – 0.9
Asam laktat 0.4
– 1.2 Asam oksalat
5.5 – 8.9
Sedikit asam malat
Sumber: Subhadrabandhu 2001 Asam oksalat bersama dengan kalsium dan zat besi didalam tubuh
manusia membentuk kristal yang tidak larut sehingga dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh. Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi
asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Individu yang memiliki kerentanan khusus dengan oksalat harus membatasi asupan asam
oksalat, sedangkan orang yang sehat mungkin tidak perlu, dengan tetap menjaga agar konsumsi bahan pangan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus dalam
jangka panjang Noonan dan Savage, 1999 ; Mariana, 2008. Asam oksalat dan garamnya tergolong senyawa yang berbahaya karena bersifat toksik. Senyawa
oksalat dengan dosis 4-5 g dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa, tetapi dosis yang dapat menyebabkan pengaruh fatal biasanya adalah 10-15 g
Noonan dan Savage, 1999.
4.2.1.6. Warna Produk Asam Sunti
Warna merupakan parameter penting yang harus diperhatikan karena menentukan kesan awal penerimaan produk oleh konsumen. Pengukuran warna
secara objektif dinyatakan dengan nilai L, a, dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan lightness bernilai 100 untuk warna putih dan 0 untuk warna hitam.
Semakin tinggi nilai L warna semakin cerah dan mengarah ke putih. Nilai a dan b adalah koordinat kromositas. Nilai a positif + menyatakan warna merah, warna
abu-abu bila positif nol, dan warna hijau bila bernilai negatif -. Sedangkan nilai b positif + menunjukkan warna kuning, warna abu-abu bila bernilai nol, dan
warna biru bila bernilai negatif -. Nilai L asam sunti hasil penelitian ada pada kisaran 44.42-51.33. Nilai
L tertinggi terdapat pada produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh matang dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam, sedangkan nilai
terendah terdapat pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 9 jam Gambar 12.
Gambar 12. Perbandingan tingkat kecerahan nilai L asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin matang buah belimbing wuluh, tingkat kecerahannya semakin tinggi. Kecerahan nilai L asam sunti hasil
penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan asam sunti lokal kontrol yaitu 33.84. Rendahnya nilai kecerahan asam sunti kontrol ini kemungkinan karena
terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis yaitu suatu proses pencoklatan yang disebabkan oleh enzim fenolase yang kontak dengan oksigen dan udara sehingga
mengubah fenolik menjadi metanin yang berwarna coklat. Proses pembuatan asam sunti dengan cara dijemur dibawah sinar matahari menyebabkan produk
kontak langsung dengan oksigen dan udara sehingga kecerahan dari produk asam sunti kontrol lebih rendah daripada asam sunti hasil penelitian.
Asam sunti hasil penelitian mempunyai kisaran nilai a 0.04-0.96. Nilai a asam sunti terendah diperoleh dari buah belimbing wuluh setengah matang
dengan suhu pengeringan 65°C selama 6 jam dan nilai a asam sunti tertinggi
10 20
30 40
50 60
50 C 65 C
80 C K
e c
e r
ah an
N il
ai L
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
diperoleh dari buah belimbing wuluh matang penuh dengan suhu pengeringan 80°C selama 3 jam Gambar 13. Peningkatan nilai a menunjukkan berkurangnya
warna hijau sehingga warnanya menjadi gelap atau kecoklatan.
Gambar 13. Perbandingan nilai a asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Grafik di atas menunjukkan bahwa terjadinya variasi nilai a positif pengurangan warna hijau pada produk asam sunti yang dihasilkan. Hal ini
mungkin disebabkan karena berbedanya waktu lama pengeringan pada tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan yang dilakukan.
Nilai b produk asam sunti yang dihasilkan berkisar antara 25.74- 29.64. Nilai b tertinggi terdapat pada produk asam sunti yang dibuat dari
belimbing wuluh matang pada suhu pengeringan 80°C selama 3 jam dan nilai b asam sunti terendah dari buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu
pengeringan 65°C selama 7 jam Gambar 14. Nilai b asam sunti tradisional yaitu 15.55 yang nilainya lebih rendah dibandingkan asam sunti hasil penelitian.
Rendahnya nilai b asam sunti kontrol menunjukkan semakin berkurangnya warna kuning. Asam sunti kontrol yang di datangkan dari Aceh berwarna coklat tua,
sedangkan asam sunti hasil penelitian berwarna coklat agak kekuningan.
Gambar 14. Perbandingan nilai b asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
0.2 0.4
0.6 0.8
1
50 C 65 C
80 C N
il ai
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
10 20
30
50 C 65 C
80 C N
il ai
b
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Dari grafik di atas terlihat bahwa semakin matang buah dan semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai b produk asam sunti semakin tinggi karena
waktu yang diperlukan untuk mengeringkan bahan lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan suhu rendah sehingga warna kuningnya masih dapat
dipertahankan. Dari hasil analisis sidik ragam nilai L, a, dan b Lampiran 10, 12 dan
13, terlihat bahwa perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai L atau kecerahan asam
sunti yang dihasilkan, sehingga dilakukan uji lanjut Duncan. Dari hasil uji Duncan untuk nilai L Lampiran 11, memperlihatkan bahwa buah belimbing
wuluh setengah matang tidak berbeda nyata dengan buah belimbing wuluh yang belum matang dan buah belimbing wuluh matang akan tetapi buah belimbing
wuluh yang belum matang terlihat berbeda nyata dengan buah belimbing wuluh yang sudah matang. Suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tidak
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai kecerahan L produk asam sunti yang dihasilkan. Sedangkan perlakuan tingkat kematangan
buah belimbing wuluh, suhu pengeringan serta interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap
nilai a dan nilai b produk asam sunti yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji kesukaan panelis terhadap warna produk asam
sunti hasil penelitian maupun asam sunti lokal masih disukai. Warna asam sunti yang dihasilkan nantinya akan mempengaruhi warna dari suatu masakan. Karena
asam sunti ini akan dijadikan ke dalam produk bubuk, maka akan sangat mempengaruhi warna dari bubuk yang akan dihasilkan. Dari hasil pengamatan
kecerahan warna asam sunti, diperkirakan asam sunti hasil penelitian akan menghasilkan ekstrak yang lebih cerah warnanya daripada asam sunti lokal.
Sehingga warna bubuk asam sunti hasil penelitian juga akan lebih cerah daripada warna bubuk dari asam sunti lokal.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk produk bubuk, warna yang diinginkan adalah tergantung dari jenis bahan baku
yang digunakan untuk membuat bubuk. Pada penelitian yang dilakukan oleh kumalasari 2001, warna yang disukai untuk minuman madu bubuk adalah warna
madu yang lebih kuat dan warna putih yang lebih lemah. Hal ini menandakan bahwa warna bubuk madu yang putih tidak disukai. Pada produk minuman instan
sari kurma, warna coklat transparan lebih disukai daripada yang berwarna putih Bahctiar, 2011. Sedangkan pada produk bubuk konsentrat pala, warna yang
disukai adalah warna putih Mulia, 1998. Warna suatu produk merupakan parameter awal yang akan dilihat oleh konsumen, oleh sebab itu warna yang
diharapkan dari suatu produk tergantung dari preferensin konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Berdasarkan kebiasaan yang ada, masyarakat Aceh
menyukai asam sunti yang berwarna coklat.
4.2.1.7. Uji Organoleptik Asam Sunti
Penerimaan dengan indra disebut juga dengan penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif.
Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Kadang-kadang penilaian ini
dapat memberikan hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif Susiwi, 2009.
Tujuan dilakukannya uji organoleptik terkait langsung dengan selera. Setiap orang di setiap daerah memiliki kecenderungan selera tertentu sehingga
produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan selera masyarakat setempat.Adapun penilaian indera dengan cara uji organoleptik meliputi penilai
terhadap tekstur suatu bahan, yaitu salah satu unsur kualitas bahan pangan yang dapat dirasa dengan rabaan ujung jari, lidah, mulut atau gigi, faktor kenampakan
yang meliputi warna dan kecerahan gloss dapat dinilai melalui indera penglihatan, serta flavor adalah suatu rangsang yang dapat dirasakan oleh indera
pembau dan perasa secara bersama-sama. Penilaian Flavor langsung berhubungan dengan indera manusia, sehingga merupakan salah satu unsur kualitas yang hanya
bisa diukur secara subyektif Anonim, 2011
4.2.1.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa
Rasa merupakan komponen sifat sensori yang penting dalam penerimaan produk pangan. Hasil penilaian uji hedonik dari panelis Aceh
terhadap rasa produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.6-4.5
mendekati netral sampai agak suka, sedangkan untuk rasa produk asam sunti lokal 5.4 agak suka, ini menunjukkan bahwa panelis Aceh lebih menyukai
produk asam sunti lokal dibandingkan asam sunti hasil penelitian walaupun skor yang diperoleh hampir mendekati produk lokal. Nilai rata-rata tertinggi produk
asam sunti hasil penelitian terdapat pada perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dan matang penuh dengan suhu pengeringan
80°C selama 3 jam dan rata-rata terendah pada perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50°C selama
9 jam Gambar 15.
Gambar 15. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Penilaian uji hedonik panelis dari luar Aceh terhadap rasa produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.1-3.7 agak tidak suka sampai mendekati
netral, sedangkan untuk produk asam sunti lokal diperoleh nilai 3.4 agak tidak suka, ini menunjukkan bahwa panelis dari luar Aceh kurang menyukai rasa asam
yang dimiliki oleh produk asam sunti. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh dari perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu
pengeringan 80°C selama 4 jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan penuh buah belimbing wuluh dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam
Gambar 16.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Gambar 16. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis dari Aceh
Lampiran 14, terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik rasa asam sunti, sehingga pada
hasil uji Duncan Lampiran 15 menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 80°C yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu
pengeringan 50°C dan 65°C, sedangkan nilai organoleptik rasa terendah terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 50°C yang tidak berbeda nyata dengan suhu
pengeringan 65°C akan tetapi berbeda nyata dengan suhu pengeringan 80°C. Sedangkan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua
perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik rasa asam sunti yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk asam sunti yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam uji organoleptik rasa panelis
luar Aceh Lampiran 16, memperlihatkan bahwa perlakuan suhu pengeringan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penerimaan panelis luar
Aceh terhadap rasa asam sunti yang dihasilkan P0.05. Pada uji Duncan terlihat bahwa penggunaan suhu pengering 50°C tidak berbeda hasilnya dengan
menggunakan suhu pengering 65°C dan 80°C, akan tetapi penggunaan suhu pengering 65°C berbeda nyata dengan suhu 80°C Lampiran 17. Tingkat
kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik rasa
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
asam sunti, sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan. Hal ini diduga bahwa perlakuan tersebut tidak mempengaruhi kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa
asam sunti yang dihasilkan.
4.2.1.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna
Warna merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Nilai kesukaan panelis Aceh
terhadap warna produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4.2-5 netral sampai agak suka, sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang diperoleh
dari panelis adalah 4.6 mendekati agak suka, ini menunjukkan bahwa panelis dari Aceh agak menyukai warna produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti
lokal walaupun ada perbedaan dari warna kedua produk tersebut. Nilai rata-rata warna asam sunti tertinggi terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh
setengah matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 8 jam dan terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh matang pada suhu pengeringan
80°C selama 3 jam Gambar 17.
Gambar 17. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Nilai penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap warna produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.7-4.5 mendekati netral sampai agak suka,
sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang diperoleh dari panelis adalah 3.6 mendekati netral. Hasil ini menunjukkan bahwa penilaian panelis dari luar
Aceh terhadap warna produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal tidak berbeda, walaupun pada kenyataannya warna yang dihasilkan dari kedua
produk tersebut agak berbeda. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
War n
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
tingkat kematangan belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 8 jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan penuh buah
belimbing dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam Gambar 18.
Gambar 18. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan
Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik warna panelis dari Aceh Lampiran 18 dan panelis dari luar Aceh Lampiran 19, terlihat bahwa
perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang
nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik warna asam sunti yang dihasilkan, sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan bahwa suhu
pengeringan dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk asam sunti yang dihasilkan.
4.2.1.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma
Aroma merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen dalam memilih produk makanan yang disukai. Penerimaan panelis dari Aceh terhadap
aroma produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4.2-4.8 netral sampai mendekati agak suka, sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang
diperoleh dari panelis adalah 5.4 agak suka. Panelis dari Aceh ternyata agak menyukai aroma produk asam sunti lokal, sedangkan aroma beberapa produk
asam sunti hasil penelitian adalah sama. Rata-rata nilai aroma produk asam sunti tertinggi terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh setengah matang dengan
suhu pengeringan 50°C selama 8 jam dan nilai aroma produk asam sunti terendah
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
War n
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh yang sudah matang dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam dan 80°C selama 3 jam Gambar 19.
Gambar 19. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap aroma produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.7-4.3 mendekati netral sampai netral,
sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang diperoleh dari panelis adalah 4.3 netral, ini menunjukkan bahwa kepekaan panelis dari luar Aceh terhadap
aroma produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal tidak berbeda. Nilai aroma produk asam sunti tertinggi diperoleh dari perlakuan belimbing wuluh yang
belum matang dengan suhu pengeringan 80°C selama 5 jam dan nilai produk asam sunti terendah diperoleh dari perlakuan belimbing wuluh setengah matang
dengan suhu pengeringan 65°C selama 6 jam Gambar 20.
Gambar 20. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan
Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis dari Aceh terhadap aroma produk asam sunti Lampiran 20, terlihat bahwa perlakuan
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
A r
o m
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang 0.0
1.0 2.0
3.0 4.0
5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
A r
o m
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
tingkat kematangan buah belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik aroma asam sunti yang dihasilkan. Oleh
karena itu dilakukan uji lanjut Duncan Lampiran 21, yang menunjukkan bahwa nilai penerimaan terendah diperoleh pada produk asam sunti yang terbuat dari
buah belimbing wuluh matang penuh dan nilai penerimaan tertinggi diperoleh pada produk asam sunti yang terbuat dari belimbing wuluh setengah matang.
Produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh yang tidak matang memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap asam sunti yang
terbuat dari belimbing wuluh setengah matang dan matang penuh, tetapi asam sunti yang terbuat dari belimbing wuluh dengan tingkat kematangan setengah
matang berbeda nyata dengan asam sunti yang terbuat dari belimbing wuluh matang penuh. Sedangkan perlakuan suhu pengeringan dan interaksi antara kedua
perlakuan tersebut tidak terperlihat adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap penerimaan panelis pada aroma produk asam sunti yang dihasilkan. Hal
ini menunjukkan bahwa suhu pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tersebut tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk asam sunti
yang dihasilkan. Hasil uji sidik ragam panelis dari luar Aceh terhadap tingkat kesukaan
aroma produk asam sunti Lampiran 22, menunjukkan bahwa tingkat kematangan belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata terhadap organoleptik aroma
asam sunti yang dihasilkan, sehingga dilakukanlah uji lanjut Duncan. Hasil uji Duncan untuk penerimaan panelis dari luar Aceh Lampiran 23, menunjukkan
bahwa skor penerimaan aroma terendah diperoleh pada produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh setengah matang yang berbeda nyata dengan
asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh belum matang dan matang penuh, sedangkan skor penerimaan aroma tertinggi diperoleh pada produk asam
sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh belum matang yang tidak berbeda nyata dengan buah belimbing wuluh matang penuh tetapi berbeda nyata dengan
belimbing wuluh setengah matang.
4.2.1.7.4. Penerimaan Sensori Terhadap Tekstur
Penerimaan panelis dari Aceh terhadap tekstur produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.8-4.2 mendekati netral sampai netral, sedangkan
nilai panelis untuk produk asam sunti lokal adalah 5.2 agak suka. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa panelis Aceh agak lebih menyukai tekstur produk
asam sunti lokal yang lebih kenyal daripada produk asam sunti hasil penelitian. Rata-rata nilai tertinggi terdapat pada perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 8 jam dan 80°C selama 5 jam, serta perlakuan tingkat kematangan belimbing wuluh
yang belum matang dengan suhu pengeringan 65°C selama 7 jam. Sedangkan rata-rata nilai terendah terdapat pada perlakuan tingkat kematangan penuh
belimbing wuluh pada suhu pengeringan 65°C selama 5 jam dan tingkat kematangan belimbing wuluh yang belum matang pada suhu pengeringan 80°C
selama 5 jam Gambar 21.
Gambar 21. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap tekstur asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Nilai penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.1-4 agak tidak suka sampai netral dan untuk
produk asam sunti lokal adalah 4.2 netral. Panelis dari luar Aceh ternyata kurang menyukai tekstur produk asam sunti baik produk hasil penelitian maupun produk
lokal, sehingga penilaian terhadap tekstur dianggap sama. Rata-rata nilai tertinggi terdapat pada produk asam sunti dengan perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 80°C selama 5 jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan penuh buah belimbing
wuluh pada suhu pengeringan 50°C selama 7 jam Gambar 22.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
Te k
stu r
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Gambar 22. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap tekstur asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan
Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis Aceh Lampiran 24, terlihat bahwa interaksi antara tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap organoleptik tekstur asam sunti yang dihasilkan, sedangkan perlakuan tingkat
kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan memperlihatkan pengaruh yang tidak nyataP0.05 terhadap nilai organoleptik tekstur asam sunti
yang dihasilkan. Adapun uji lanjut Duncan dari interaksi perlakuan tingkat kematangan dan suhu pengeringan terhadap penerimaan tekstur panelis Aceh
Lampiran 25, menunjukkan bahwa nilai penerimaan tertinggi terdapat pada produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh setengah matang pada
suhu pengeringan 50°C yang berbeda nyata dengan perlakuan buah belimbing wuluh matang pada suhu pengeringan 50°C dan 65°C, serta tingkat kematang
buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 80°C, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan penerimaan terhadap
tekstur dengan nilai terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh matang dengan suhu pengeringan 65°C yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan belimbing wuluh yang belum matang pada suhu pengeringan 80°C, buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu pengeringan 65°C dan buah
belimbing wuluh matang penuh pada suhu pengeringan 50°C, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Hasil analisis sidik ragam panelis dari luar Aceh Lampiran 26, memperlihatkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata
P0.05 terhadap organoleptik tekstur asam sunti yang dihasilkan, tetapi tingkat
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
Te k
stu r
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
kematangan dan interaksi kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap organoleptik tekstur asam sunti yang dihasilkan. Hasil uji
Duncan untuk penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap tekstur produk asam sunti Lampiran 27, menunjukkan bahwa nilai penerimaan tertinggi terdapat pada
produk asam sunti dengan proses pengeringan pada suhu 80°C yang berbeda nyata dengan produk asam sunti pada proses pengeringan suhu 50°C dan 65°C,
sedangkan nilai penerimaan terendah terdapat pada produk asam sunti dengan proses pengeringan pada suhu 65°C yang tidak berbeda nyata dengan produk
asam sunti yang diproses pada suhu pengeringan 50°C.
4.2.1.7.5. Penerimaan Keseluruhan
Penerimaan keseluruhan merupakan penerimaan panelis secara umum terhadap parameter uji hedonik yang ada rasa, warna, aroma dan tekstur. Nilai
penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4.1-4.6 netral sampai mendekati agak suka, sedangkan produk
asam sunti lokal adalah 6 suka. Dari nilai yang ada dapat diketahui bahwa produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal masih dapat diterima oleh
panelis Aceh walaupun produk asam sunti lokal yang lebih disukai baik dari segi rasa, warna, aroma dan tekstur. Nilai rata-rata tertinggi penerimaan keseluruhan
terhadap produk asam sunti terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu pengeringan 50°C selama 8 jam dan penerimaan
keseluruhan terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing yang sudah matang dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam Gambar 23.
Gambar 23. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
K e
se lu
r u
h an
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Hasil uji kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan panelis dari luar Aceh berkisar antara 3.6-4 mendekati netral sampai netral, sedangkan nilai
penerimaan keseluruhan untuk produk asam sunti lokal adalah 3.9 mendekati netral. Dari nilai yang ada dapat diketahui bahwa panelis luar Aceh menganggap
bahwa produk asam sunti hasil penelitian maupun asam sunti lokal adalah sama baik dari segi rasa, warna, aroma dan tekstur, sehingga produk ini dikategorikan
masih dapat diterima. Nilai rata-rata penerimaan tertinggi terdapat pada perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu
pengeringan 50°C selama 8 jam dan terendah pada tingkat kematangan penuh buah belimbing dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam Gambar 24.
Gambar 24. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan
Dari hasil analisis sidik ragam penerimaan keseluruhan panelis Aceh Lampiran 28, menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai penerimaan keseluruhan asam sunti yang dihasilkan, akan tetapi suhu pengeringan
dan interaksi antara kedua perlakuan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap penerimaan keseluruhan panelis pada produk asam sunti
yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan untuk penerimaan keseluruhan dari panelis Aceh Lampiran 29 terhadap produk asam sunti, memperlihatkan bahwa
nilai tertinggi terdapat pada perlakuan dengan belimbing wuluh setengah matang yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan belimbing wuluh yang belum matang,
akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan belimbing wuluh matang penuh yang merupakan nilai terendah dari perlakuan yang ada.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
K e
se lu
r u
h an
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Analisis sidik ragam penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap produk asam sunti yang dihasilkan Lampiran 30, menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata P0.05 terhadap produk asam sunti yang dihasilkan, sehingga diperoleh hasil uji lanjut Duncan untuk
penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh Lampiran 31, yaitu nilai tertinggi terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 80°C yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan suhu 50°C, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan suhu 65°C yang merupakan nilai terendah dari perlakuan yang ada. Akan tetapi perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh nyata P0.05 terhadap produk
asam sunti yang dihasilkan.
4.2.1.8. Perlakuan Terbaik Asam Sunti
Dari hasil penelitian utama tahap pertama yang telah dilakukan, maka dicari perlakuan terbaik dari produk asam sunti yang dihasilkan untuk digunakan
pada penelitian utama tahap kedua. Hasil perlakuan terbaik yang didapatkan mengacu pada banyaknya penerimaan keseluruhan panelis pada setiap perlakuan
asam sunti yang disajikan dan tidak terlepas dari analisis fisik dan kimia yang telah dilakukan.
Pemilihan Perlakuan terbaik berdasarkan kesukaan panelis terhadap suatu produkdidasarkan pada suatu pemikiran bahwa kualitas produk tidak hanya
dinilai dari sudut obyektif, tetapi produk pangan juga mempunyai kualitas dari sudut subyektif. Sebaliknya, kualitas subyektif ditentukan dari penilaian
instrumen manusia atau yang lebih dikenal sebagai sifat sensori organoleptik. Uji sensori organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. Menurut Soekarto 1990 uji fisik dan kimia serta uji gizi dapat menunjukkan suatu produk pangan bermutu tinggi, namun
tidak akan ada artinya jika produk tersebut tidak dapat dikonsumsi karena tidak enak atau sifat organoleptiknya tidak membangkitkan selera atau tidak dapat
diterima konsumen. Berdasarkan dari penilaian keseluruhan baik panelis Aceh maupun
panelis luar Aceh terhadap produk asam sunti, perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 8 jam
merupakan produk yang masih dapat diterima oleh panelis dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan lainnya. Adapun nilai parameter dari
perlakuan terbaik yang diperoleh antara lain rendemen 50.74, kadar air 74.85, pH 1.74, total asam 37.80 dan asam oksalat 4.76; nilai kecerahan L 46.06,
nilai a 0.05 dan nilai b 26.49; nilai kesukaan panelis Aceh terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan berturut-turut adalah 4.3, 5, 4.8, 4.2, dan 4.6,
sedangkan nilai kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan berturut-turut adalah 3.6, 4.5, 4.1, 3.7 dan 4. Setelah dilakukan
pengamatan terhadap nilai dari hasil analisis lainnya maka perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan
50°C memiliki nilai yang tidak lebih rendah dari perlakuan lainnya. Tabel urutan nilai dari hasil setiap analisis disajikan pada Lampiran 32.
4.2.2. Penelitian Utama Tahap Dua
Penelitian utama tahap kedua dilakukan pada produk asam sunti hasil penelitian pengering cabinet dryer dan asam sunti lokal penjemuran. Asam
sunti hasil penelitian yang digunakan untuk pembuatan bubuk merupakan asam sunti dari perlakuan terbaik yang diperoleh pada penelitian tahap pertama yaitu
asam sunti dengan menggunakan belimbing wuluh setengah matang pada suhu pengeringan 50°C. Sedangkan asam sunti lokal yang digunakan merupakan asam
sunti yang didatangkan dari daerah Aceh dengan proses pengeringan matahari. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh beberapa
konsentrasi dekstrin yang ditambahkan ke dalam ekstrak asam sunti dan tingkat suhu pengeringan spray dryer yang digunakan terhadap sifat fisik, kimia dan
organoleptik produk akhir bubuk asam sunti, serta menentukan mutu terbaik bubuk asam sunti yang dihasilkan berdasarkan preferensi konsumen.
Tahap proses pembuatan bubuk asam sunti dilakukan dengan cara mencampur asam sunti dan air. Adapun tujuan dari penambahan air adalah untuk
menaikkan volume cairan yang akan dikeringkan. Perbandingan antara asam sunti dan air yang dicampur adalah 1:1.5 500 gr asam sunti: 1.5 liter air, kemudian
campuran tersebut asam sunti dan air diblender. Selanjutnya dilakukan pengepresan dan penyaringan dengan menggunakan kain saring. Penyaringan ini
digunakan untuk memisahkan sari asam sunti dengan ampas asam sunti, setelah
dihasilkan ekstrak asam sunti kemudian ditambahkan dengan bahan pengisi yaitu dekstrin. Konsentrasi dekstrin yang diuji adalah 30, 40 dan 50. Campuran
ekstrak asam sunti dengan dekstrin diaduk menggunakan alat homogenizer, setelah homogen dikeringkan dengan spray dryer pada suhu 160, 170 dan 180°C.
Penggunaan konsentrasi dekstrin yang tinggi pada penelitian ini disebabkan karena produk yang dikeringkan bersifat asam, sehingga akan
menghasilkan produk yang lengket pada saat pengeringan berlangsung. Proses kerja dari spray dryer adalah dengan cara melewatkan cairan yang akan
dikeringkan pada suatu nozzle semacam saringan bertekanan sehingga keluar dalam bentuk butiran droplet yang sangat halus. Butiran ini selanjutnya masuk
ke dalam ruang pengering yang dilewati oleh aliran udara panas. Evaporasi air akan berlangsung dalam hitungan detik, meninggalkan bagian padatan produk
dalam bentuk tepung. Kecepatan aliran bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 20 mlmenit dengan tekanan 2 bar, jika kecepatan dinaikkan maka produk
yang dihasilkan akan lengket. Menurut Master di dalam Lindawati 1992, semakin cepat putaran atomizer akan menurunkan ukuran droplet, semakin
banyak droplet yang terbentuk dengan kecepatan gerak yang tinggi sehingga droplet tidak sempat kering ketika sampai di dinding ruang pengering semprot.
Berikut disajikan produk bubuk yang dihasilkan dari asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal dari berbagai macam perlakuan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer Gambar 25 dan 26.
Gambar 25. Hasil produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian dengan berbagai
tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer
Gambar 26. Hasil produk bubuk dari asam sunti lokal dengan berbagai tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer
Keterangan gambar 25 dan 26: a = Dekstrin 30, suhu pengeringan 160°C
b = Dekstrin 40, suhu pengeringan 160°C c = Dekstrin 50, suhu pengeringan 160°C
d = Dekstrin 30, suhu pengeringan 170°C e = Dekstrin 40, suhu pengeringan 170°C
f = Dekstrin 50, suhu pengeringan 170°C g = Dekstrin 30, suhu pengeringan 180°C
h = Dekstrin 40, suhu pengeringan 180°C i = Dekstrin 50, suhu pengeringan 180°C
4.2.2.1. Rendemen Bubuk Asam Sunti
Nilai rendemen dihitung berdasarkan perbandingan antara berat produk akhir, yaitu bubuk asam sunti dengan berat total larutan yang masuk ke
alat pengering atau spray dryer, kemudian dihitung dan dinyatakan dalam persen. Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rendemen bubuk dari asam sunti dengan
pengering mekanis berkisar antara 6.73-11.28 dan nilai rendemen bubuk dari asam sunti lokal berkisar antara 8.76-14.92. Semakin tinggi nilai rendemen
semakin besar output yang dihasilkan. Tingginya nilai rendemen pada bubuk asam sunti lokal diduga karena saat asam sunti diekstraksi menghasilkan larutan
yang encer sehingga pada waktu pengeringan air yang terdapat di dalam partikel tidak seluruhnya teruapkan. Hal ini menyebabkan tingginya kadar air bubuk asam
sunti lokal yang dihasilkan, yang mengakibatkan rendemen menjadi lebih tinggi. Kendala yang dihadapi selama pengeringan dengan spray dryer pada
saat penelitian ini berlangsung adalah tingginya kandungan asam pada bahan baku yang menyebabkan produk mudah lengket dan menggumpal, seperti yang
disampaikan oleh Gaula dan Adamopoulos 2010 bahwa produk yang akan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer dikategorikan dalam dua jenis
yaitu produk yang tidak lengket dan produk yang lengket. Faktor penyebab bahan pangan tersebut mempunyai sifat lengket yang tinggi adalah sifat higroskopis
yang tinggi, kelarutan yang tinggi, suhu leleh yang rendah, dan suhu transisi gelas yang rendah. Asam sunti termasuk salah satu produk yang lengket ketika akan
dikeringkan. Penggunaan dekstrin dengan konsentrasi yang tepat dapat menghindari terjadinya lengket saat proses pengeringan berlangsung karena
partikel memiliki lapisan dinding yang tebal. Tetapi penggunaan dekstrin dengan konsentrasi yang tidak tepat rendah maka akan menyebabkan produk menjadi
lengket dan menggumpal. Salah satu faktor yang menyebabkan mengapa rendemen bubuk asam sunti rendah karena terjadinya penggumpalan pada dasar
wadah yang diduga akibat penggunaan dekstrin dengan konsentrasi yang rendah, sehingga lapisan dinding yang mengelilingi partikel kurang tebal sehingga bahan
yang bersifat higroskopis mudah menyerap uap air dalam wadah penampung plastik yang tidak dapat menyerap panas sehingga bahan menjadi lengket dan
rendemen menjadi rendah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam bubuk dari asam sunti yang
berasal dari pengering kabinet Lampiran 33, menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata P0.05,
sehingga analisis ini dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil uji Duncan Lampiran 34, memperlihatkan bahwa konsentrasi dekstrin memberikan perbedaan nyata
terhadap rendemen bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet adalah konsentrasi dekstrin 30 dan 50, sementara konsentrasi dekstrin 40 tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin 30 dan 50. Begitu juga dengan suhu pengeringan yang digunakan terlihat bahwa suhu pengeringan 170°C
tidak berbeda nyata dengan suhu pengeringan 160°C dan 180°C, akan tetapi suhu pengeringan 160°C dan 180°C memperlihatkan adanya perbedaan nyata antara
kedua perlakuan tersebut.
Gambar 27. Perbandingan rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Grafik di atas memperlihatkan bahwa nilai rendemen tertinggi bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet adalah pada perlakuan konsentrasi
5 10
15
160 C 170 C
180 C R
e n
d e
m e
n
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
dekstrin 50 dan suhu pengeringan 180°C, sedangkan nilai rendemen terendah terdapat pada perlakuan dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 160°C.
Hasil analisis sidik ragam untuk bubuk asam sunti lokal Lampiran 35 memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0,05 pada perlakuan dekstrin,
yang mana hasil uji Duncan Lampiran 36 menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin 30, 40 dan 50 saling berbeda nyata satu sama lain. Akan tetapi
perlakuan suhupengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05, sehingga tidak dilakukan
uji lanjut Duncan.
Gambar 28. Perbandingan rendemen bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Dari grafik di atas terlihat bahwa nilai rendemen tertinggi produk bubuk asam sunti lokal terdapat pada perlakuan konsentrasi dekstrin 50 dengan
suhu pengeringan 180°C, sedangkan nilai rendemen terendah pada konsentrasi dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 160°C. Dari kedua hasil perlakuan baik
pada bubuk asam sunti dari pengering mekanis dan bubuk asam sunti lokal memperlihatkan rendahnya rendemen yang dihasilkan dengan penggunaan
dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 160°C. Pada pengamatan yang telah dilakukan saat penelitian, terlihat bahwa
dengan konsentrasi dekstrin serta suhu pengeringan yang rendah akan menyebabkan terjadinya pengeringan yang tidak sempurna pada produk, sehingga
saat produk bubuk sampai ke dalam wadah penampung yang terbuat dari plastik akan terjadinya penguapan air dari produk tersebut dan didukung juga oleh
produk yang bersifat asam dan wadah plastik yang tidak dapat menyerap panas sehingga bubuk pada dasar wadah menjadi lengket, yang mengakibatkan
5 10
15
160 C 170 C
180 C R
e n
d e
m e
n
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
rendahnya rendemen yang dihasilkan. Sedangkan dengan penggunaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan yang tinggi menghasilkan rendemen bubuk yang
tinggi pula. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Master di dalam Lindawati 1992, bahwa semakin banyak bahan pengisi yang ditambahkan maka rendemen
bubuk asam sunti yang dihasilkan akan semakin meningkat. Penambahan bahan pengisi ke dalam suatu larutan dimaksudkan untuk meningkatkan total padatan
pada bahan yang akan dikeringkan. Semakin tinggi total padatan pada bahan yang akan dikeringkan maka semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan.
4.2.2.2. Kadar Air Bubuk Asam Sunti
Air merupakan kandungan penting dalam bahan pangan. Adanya air mempengaruhi kemerosotan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi.
Begitu pula penghilangan air penting pada beberapa metode pengawetan makanan Deman, 1997. Penentuan kadar air merupakan analisis paling penting dan paling
luas dilakukan dalam pengolahan dan pengujian pangan, karena kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan daya simpan bahan tersebut.
Kadar air juga dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada produk yang dihasilkan. Oleh karena itu pengukuran kadar air suatu bahan sangat
penting agar mendapatkan penanganan yang tepat. Kadar air dalam bahan pangan menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar
air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan
Winarno, 1997. Hasil pengukuran kadar air bubuk asam sunti dari asam sunti hasil
penelitianada pada kisaran nilai 5.14-7.31 dan hasil pengukuran kadar air bubuk asam sunti lokal nilainya berada pada kisaran 5.77-8.05. Nilai kadar air bubuk
dari asam sunti hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air bubuk asam sunti lokal. Hal ini diduga karena asam sunti lokal menghasilkan larutan yang
lebih encer dibandingkan asam sunti hasil penelitian dengan cara yang sama. Semakin encer ekstrak bahan yang digunakan maka semakin besar kadar air yang
terkandung dalam bubukyang dihasilkan Srihari et al, 2010. Begitu juga dengan banyaknya penambahan dekstrin, maka semakin kecil kadar air yang terkandung
dalam bubuk asam sunti yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
besar total padatan dalam umpan yang dikeringkan, semakin sedikit jumlah air yang harus dievaporasi.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 37 menunjukkan bahwa adanya penambahan dekstrin pada pembuatan bubuk asam sunti memberikan pengaruh
yang nyata P0.05 terhadap kadar air yang diperoleh, yang mana pada uji Duncan Lampiran 38 terlihat bahwa penggunaan dekstrin 30 dan 50
memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar air yang diperoleh, tetapi penggunaan dekstrin 40 tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata
terhadap konsentrasi dekstrin 30 dan 50. Sedangkan perlakuan suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan
adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap kadar air yang dihasilkan. Pada Gambar 29, terlihat bahwa kadar air terendah dihasilkan dengan
penggunaan konsentrasi dekstrin 50 pada suhu pengeringan 180°C dan kadar air tertinggi dihasilkan pada penggunaan dekstrin 30 dengan suhu pengeringan
180°C. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan konsentrasi dekstrin serta suhu pengeringan yang tinggi, maka akan dihasilkan
produk dengan kadar air yang rendah.
Gambar 29. Perbandingan kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Hasil analisis sidik ragam bubuk asam sunti lokal Lampiran 39 menunjukkan adanya perlakuan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal, sehingga perlu dilakukan dengan uji Duncan. Akan tetapi interaksi kedua
perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh nyata P0.05 terhadap kadar air bubuk yang dihasilkan.
2 4
6 8
10
160 C 170 C
180 C K
ad ar
A ir
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Pada hasil uji Duncan yang dilakukan Lampiran 40, untuk penggunaan dekstrin dengan konsentrasi 30 menghasilkan kadar air yang tertinggi serta terlihat
adanya perbedaan yang nyata pada penggunaan dekstrin 40 dan 50, sedangkan kadar air terendah dihasilkan dari penggunaan dekstrin 50 yang tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin 40, tetapi memberikan perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi dekstrin 30. Sedangkan hasil uji
Duncan untuk penggunaan suhu pengeringan terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal menunjukkan bahwa dengan penggunaan suhu 180°C menghasilkan kadar
air yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan suhu lainnya. Pada penggunaan suhu 180°C terlihat adanya perbedaan yang nyata dengan
penggunaan suhu 160°C dan 170°C. Adapun penggunaan suhu pengeringan 160°C menghasilkan kadar air yang lebih tinggi serta memberikan perbedaan
yang nyata pada pengeringan dengan suhu 180°C, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan suhu pengeringan 170°C. Hal ini sesuai dengan
pendapat Solval et al. 2012, bahwa penggunaan suhu 170°C memiliki kadar air bubuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan suhu 180°C, seperti
yang diharapkan dengan peningkatan suhu pengeringan semprotan, maka akan semakin tinggi jumlah air yang menguap dan kadar air produk menjadi semakin
rendahAguilar et al., 2011.
Gambar 30. Perbandingan kadar air bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Dari grafik di atas terlihat bahwa dengan menggunakan konsentrasi dekstrin 50 dan suhu pengeringan 180°C akan menghasilkan kadar air yang
rendah pada produk bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan, tetapi dengan penggunaan dekstrin 30 dan suhu pengeringan 160°C maka produk bubuk asam
2 4
6 8
10
160 C 170 C
180 C K
ad ar
A ir
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
sunti lokal akan menghasilkan kadar air yang tinggi Gambar 30. Perlakuan pada bubuk asam sunti hasil penelitian dan bubuk asam sunti lokal ternyata
memberikan hasil yang sama yaitu, pada penggunaan dekstrin serta suhu pengering yang tinggi akan menghasilkan kadar air yang rendah dan sebaliknya.
Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung persatuan bahan dan merupakan salah satu parameter mutu yang penting untuk produk-produk kering
karena akan menentukan kecenderungan kerusakan pada bahan tersebut. Semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi yang ditambahkan, maka kadar air semakin
rendah. Hal ini disebabkan karena total padatan yang semakin tinggi akan mempercepat laju pengeringan bahan dan jumlah air yang diuapkan semakin
banyak. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual, penggunaan dekstrin 50 serta suhu pengeringan 180°C menghasilkan produk yang tidak
lengket pada dasar wadah penampung dan hanya sedikit yang menempel pada drying chamber tetapi masih berupa bubuk yang dapat diambil sehingga
mendapatkan bubuk asam sunti yang lebih banyak. Produk bubuk baik asam sunti hasil penelitian maupun asam sunti lokal masih memenuhi syarat SNI rempah-
rempah bubuk yaitu maksimum kadar air 12 bb SNI, 1995.
4.2.2.3. pH Bubuk Asam Sunti
Derajat keasaman pH merupakan salah satu parameter penting untuk diukur jika dihubungkan dengan perubahan kualitas suatu produk pangan yang
disimpan. Tingkat keasaman pH menunjukkan banyaknya ion hidrogen pada suatu bahan. Setiap bahan pangan mempunyai pH yang berbeda-beda. Tingkat
keasaman bahan pangan sangatmempengaruhi kehidupan mikroba dalam bahan tersebut baik selama pengolahan, penyimpanan maupun distribusinya.
Pertumbuhan mikroba membutuhkan pH tertentu berkaitan dengan permeabilitas membran sitoplasma dan metabolisme mikrobia Iryanti, 2009.
Nilai pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian berkisar antara 1.10- 1.58, sedangkan pH bubuk dari asam sunti lokal berkisar antara 1.15-1.49. Nilai
pH yang dihasilkan dari bubuk asam sunti sangat rendah dikarenakan tingginya kadar keasaman pada produk ini. Nilai pH suatu produk dipengaruhi oleh pH
bahan-bahan penyusunnya. Semakin rendah nilai pH akan menunjukkan tingginya keasaman dari suatu produk.
Berdasarkan analisis sidik ragam nilai pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh P0.05 penggunaan dekstrin
terhadap nilai pH bubuk yang dihasilkanLampiran 41. Nilai pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian yang dibuat dengan menambahkan 50 dekstrin dan
dikeringkan pada suhu 170°C mempunyai nilai tertinggi diantara perlakuan lainnya, sedangkan nilai pH terendah terdapat pada bubuk asam sunti yang dibuat
dengan penambahan dekstrin 30 pada suhu pengeringan 170°C Gambar 31. Penambahan dekstrin 40 dan 30 tidak memberikan perbedaan pada nilai pH
bubuk yang dihasilkan, tetapi dengan dekstrin 50, nilai pHnyaberbeda dengan dua perlakuan yang lain Lampiran 42. Penggunaan suhu pengering dan interaksi
antara variasi dekstrin dan suhu tidak memberikan pengaruh P0.05 pada nilai pH bubuk asam sunti hasil penelitian.Penggunaan bahan pengisi dengan
konsentrasi yang tinggi akan menyebabkan pH bubuk menjadi tinggi. Tingginya suhu pengeringan juga akan mempengaruhi nilai pH dari suatu bahan. Semakin
tinggi suhu yang digunakan akan semakin rendah nilai pH yang diperoleh, karena air yang terdapat dalam bahan akan menguap pada saat proses pengeringan
berlangsung sehingga akan menurunkan nilai pH bahan tersebut Yanti dan Rochima, 2009.
Gambar 31. Perbandingan pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Hasil analisis sidik ragam nilai derajat keasaman pH bubuk asam sunti lokal Lampiran 43, memperlihatkan bahwa penggunaan dekstrin dengan
berbagai variasi konsentrasi tidak berpengaruh P0.05 terhadap nilai pH bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Sedangkan penggunaan variasi suhu pengering
dan interaksi antara dekstrin dan suhu berpengaruh nyata P0.05 terhadap nilai
0.5 1
1.5 2
160 C 170 C
180 C
pH
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
pH bubuk yang dihasilkan. Hasil uji Duncan Lampiran 44, menunjukkan adanya perbedaan pada penggunaan dekstrin 40 dengan suhu pengering 170°C terhadap
perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut memiliki tingkat pH terendah pada bubuk asam sunti lokal. Pada perlakuan dekstrin 50 dan suhu pengering 170°C terlihat
tidak ada perbedaan nilai pH yang signifikan pada perlakuan dekstrin dan suhu pengering
masing-masing yaitu
30:160°C, 30:180°C,
40:160°C, 50:160°C, 50:180°C, tetapi berbeda dengan perlakuan 30:170°C dan
40:180°C. Adapun perlakuan konsentrasi 30 dekstrin dan suhu pengering 160°C tidak berbeda dengan perlakuan 40:160°C, 30:180°C, 50:160°C,
tetapi berbeda pada perlakuan 30:70°C, 40:180°C dan 40:170°C. Sedangkan pada perlakuan dekstrin 30 dan suhu pengering 180°C tidak terlihat
adanya perbedaan pada perlakuan 50:180°C, 50:160°C, 30:170°C, 40:180°C, namun berbeda dengan perlakuan 40:160°C, 30:160°C,
50:170°C dan 40:170°C. Pembuatan bubuk menggunakan konsentrasi dekstrin 50 pada proses pengeringan dengan suhu 180°C memperoleh nilai pH
yang paling tinggi. Ketidak seimbangan nilai pH yang dihasilkan pada bubuk asam sunti lokal diduga karena asam sunti semi basah yang dipakai untuk
pembuatan bubuk diperoleh dari buah yang tidak seragam umur petiknya.
Gambar 32. Perbandingan pH bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Bubuk asam sunti lokal yang dibuat dengan menggunakan konsentrasi dekstrin 40 pada suhu pengering 170°C menghasilkan pH yang paling rendah,
sedangkan dengan penggunaan dekstrin 30 pada suhu pengeringan 170°C menghasilkan nilai pH bubuk yang lebih tinggi. Tingginya nilai pH menandakan
tingkat keasaman dari suatu produk pangan berkurang Gambar 32.
0.5 1
1.5 2
160 C 170 C
180 C
pH
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Kandungan asam dalam buah bervariasi dan dipengaruhi juga oleh umur buah, asal pohon, kondisi lingkungan, kondisi saat panen dan proses
pengolahan. Proses pengolahan dengan pengeringan akan menyebabkan sebagian asam terdisosiasi. Perbedaan jumlah asam terdisosiasi pada masing-masing
sampel akan mempengaruhi pH sampel, karena nilai pH tersebut diukur berdasarkan kandungan asam-asam organik dalam bentuk terdisosiasi. Kandungan
asam yang tinggi pada asam sunti semi basah akan menimbulkan rasa asam pada sampel bubuk. Derajat keasaman akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada
produk yang dihasilkan. Pada umumnya pertumbuhan optimum mikroba terjadi pada pH 7 dan
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5-8. Kecuali pada kelompok bakteri asam cuka yang tumbuh optimal pada pH 5.4-6.3 dan bakteri asam laktat yang
tumbuh optimal pada pH 5.5-6.0. Pada umumnya jamur dan yeast mempunyai pH minimum yang lebih rendah daripada bakteri, walaupun pH maksimumnya
hampir sama. pH yang sangat asam atau sangat alkali dapat menghambat bahkan merusak pertumbuhan sel mikroba Iryanti, 2012. Karena rendahnya nilai pH
yang dihasilkan dari bubuk asam sunti, maka diduga mikroba tidak dapat tumbuh pada produk ini.
4.2.2.4. Total Asam Bubuk Asam Sunti
Total asam merupakan jumlah keseluruhan asam yang ada didalam suatu bahan. Total asam yang tinggi sangat diharapkan pada produk bubuk asam
sunti, karena akan mempengaruhi keasaman suatu masakan yang dihasilkan. Kisaran nilai total asam yang dihasilkan pada produk bubuk asam sunti hasil
penelitian yaitu 44.89-52.98. Sedangkan total asam bubuk asam sunti lokal memiliki kisaran 49.18-72.56. Dalam bentuk grafik, kadar total asam bubuk
asam sunti dari masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 33. Perbedaan nilai total asam dari ke dua produk tersebut kuat diduga
karena kandungan total asam dari ke dua bahan baku berbeda dimana asam sunti semi basah dari Aceh mempunyai total asam yang lebih tinggi dibanding dengan
asam sunti semi basah hasil penelitian. Nilai total asam bubuk asam sunti dari asam sunti semi basah yang didatangkan langsung dari Aceh mempunyai kisaran
yang cukup besar, disebabkan oleh sifat heterogenitas bahan baku yang
digunakan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada kriteria standar dalam membuat asam sunti tradisional baik dari bahan baku, bahan
tambahan dan proses pengeringan. Hasil ini dapat menjadi kajian lebih lanjut bila akan membuat bubuk asam sunti berbahan baku asam sunti semi basah
tradisional. Kadar total asam dari bubuk asam sunti lebih tinggi dari asam sunti
semi basah, diduga karena ekstraksi pemerasan yang dilakukan pada proses pembuatan bubuk asam sunti. Pada proses pemerasan ini kemungkinan asam-
asam organik yang ada didalam asam sunti ikut bersama sari asam sunti yang dihasilkan, sehingga menyebabkan kadar asam bubuk lebih tinggi dari asam sunti
semi basah.
Gambar 33. Perbandingan total asam bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 45. menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap nilai total asam bubuk yang dihasilkan dengan
penggunaan variasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Walaupun kedua faktor tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh
terhadap total asam dari bubuk yang dihasilkan, tetapi pada Gambar 33. terlihat bahwa dengan penambahan dekstrin sebanyak 40 yang dikeringkan
menggunakan suhu 170°C memiliki total asam yang lebih tinggi. Sedangkan bubuk yang dibuat dengan konsentrasi dekstrin 50 pada suhu pengeringan
170°C menghasilkan total asam bubuk yang rendah. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi yang ditambahkan maka semakin
rendah nilai total asam bubuk yang dihasilkan. Rendahnya total asam yang
10 20
30 40
50 60
70 80
160 C 170 C
180 C
To tal
A sam
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
dihasilkan diduga karena total asam yang tertitrasi atau yang terbentuk hanya berasal dari sari asam sunti saja, sedangkan total asam dari bahan pengisi tidak
dapat tertitrasi karena banyak membutuhkan NaOH untuk menitrasi sampel yang diujikan. Semakin meningkatnya konsentrasi bahan pengisi akan mengakibatkan
total asam produk semakin rendah.
Gambar 34. Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Pada Lampiran 46. penggunaan dekstrin untuk menghasilkan bubuk asam sunti menunjukkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 pada nilai total
asam bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Konsentrasi 40 dekstrin terlihat tidak berbeda dengan konsentrasi 30 dan 50, akan tetapi dengan penggunaan
dekstrin 30 nilai total asam bubuk yang dihasilkan akan berbeda dengan konsentrasi 50 dekstrin Lampiran 47. Sedangkan pada penggunaan berbagai
suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap total asam dari
bubuk asam sunti lokal. Nilai total asam tertinggi daribubuk asam sunti lokal ada pada penggunaan konsentrasi dekstrin 30 dan suhu pengering 160°C, sedangkan
penggunaan dekstrin 50 pada suhu pengering yang sama yaitu 160°C menghasilkan bubuk dengan keasaman yang lebih rendah. Semakin tinggi
konsentrasi dekstrin maka total asam akan semakin rendah, tetapi pada Gambar 34. terlihat adanya nilai total asam yang fluktuatif pada penggunaan suhu 170°C.
Total asam dengan konsentrasi dekstrin 40 lebih tinggi dibandingkan dengan dekstrin 30. Hal ini diduga karena bahan baku yang digunakan berasal dari
berbagai umur petik yang berbeda.
10 20
30 40
50 60
70 80
160 C 170 C
180 C
To tal
A sam
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
4.2.2.5. Asam Oksalat Bubuk Asam Sunti
Asam oksalat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus H
2
C
2
O
4
dengan nama sistematis asam etanadioat. Asam oksalat hanya terdiri dari dua atom C pada masing-masing molekul, sehingga dua gugus karboksilat berada
berdampingan. Karena letak gugus karboksilat yang berdekatan, asam oksalat mempunyai konstanta dissosiasi yang lebih besar daripada asam-asam organik
lain Azad, 2007. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh
kisaran nilai asam oksalat bubuk asam sunti yang berasal dari asam sunti hasil penelitian adalah 5.66-6.68. Sedangkan nilai asam oksalat dari bubuk asam
sunti lokal berkisar antara 6.20- 9.14. Kadar asam oksalat di dalam bubuk asam sunti lokal lebih tinggidibandingkan dengan bubuk dari asam sunti hasil
penelitian. Hal ini diduga karena adanya perbedaan ketika memperoleh bahan baku awal dalam membuat asam sunti lokal baik dari segi umur petik yang tidak
seragam maupun proses pengolahannya. Kadar asam oksalat yang diperoleh setelah produk menjadi bubuk juga lebih tinggi dari kadar asam oksalat pada saat
masih dalam bentuk asam sunti semi basah. Hal ini diduga saat ekstraksi berlangsung kandungan asam yang ada didalam bahan ikut bersama filtrat yang
dihasilkan, sehingga menyebabkan kadar asam oksalat bubuk asam sunti lebih tinggi dari asam sunti semi basah.
Gambar 34. Perbandingan asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Jumlah asam oksalat yang terdapat didalam bubuk asam sunti hasil penelitian tidak dipengaruhi P0.05 oleh penggunaan dekstrin, suhu pengering
maupun interaksi kedua perlakuan tersebut Lampiran 48. Kadar asam oksalat
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
160 C 170 C
180 C A
sam O
k sal
at
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
yang rendah diperoleh pada penggunaan dekstrin 50 dengan suhu pengeringan 170°C dan asam oksalat yang tinggi terdapat pada bubuk asam sunti dengan
perlakuan dekstrin 30 juga pada suhu 170°C Gambar 34. Hasil anaslisi sidik ragam pada Lampiran 49 memperlihatkan adanya
pengaruh P0.05 jumlah asam oksalat dalam bubuk asam sunti lokal dengan penggunaan berbagai konsentrasi dekstrin. Nilai asam oksalat di dalam bubuk
asam sunti lokal pada penggunaan dekstrin 40 tidak berbeda nyata hasilnya dengan penggunaan dekstrin 30 dan 50, tetapi penggunaan dekstrin 30 akan
menghasilkan asam oksalat bubuk yang berbeda dengan penggunaan dekstrin 50 Lampiran 50. Sedangkan penggunaan suhu pengering dan interaksi antara
kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap kandungan asam oksalat bubuk yang dihasilkan.
Gambar 36. Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Bubuk yang mengandung asam oksalat tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi dekstrin 30 dengan suhu pengering 160°C, sedangkan asam oksalat
terendah terdapat pada perlakuan dekstrin 50 pada suhu pengering 160°C Gambar 36. Kadar asam oksalat yang diharapkan dalam suatu produk pangan
adalah kadar asam oksalat yang rendah. Asam oksalat bersama-sama dengan kalsium dalam tubuh manusia akan membentuk senyawa yang tidak larut dan
tidak dapat diserap tubuh. Semakin lama dengan berjalannya waktu senyawa tersebut akan membentuk batu di ginjal maupun di kandung kemih. Biasanya,
produk-produk limbah larut dalam urine, pada saat perjalanan ke ginjal produk limbah akan dieliminasi dari tubuh. Urine mengandung berbagai bahan kimia
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
160 C 170 C
180 C A
sam O
k sal
at
Suhu Pengeringan ˚C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
yang membantu menjaga semua komponen dalam urine dalam bentuk larutan untuk mencegah pembentukan kristal. Tetapi batu ginjal akan terbentuk ketika
bahan kimia dalam urine tidak seimbang dengan komponen kemih lainnya, seperti kalsium dan oksalat. Hal ini dapat disebabkan karena asupan berlebihan dari
makanan kaya oksalat. Oleh karena itu asupan makanan dengan oksalat tinggi harus dihindari. Kadar asam oksalat yang tinggi akan berbahaya bagi kesehatan
bila dikonsumsi secara terus menerus.
4.2.2.6. Daya Kelarutan Bubuk Asam Sunti
Kelarutan merupakan suatu kemampuan bahan untuk larut dalam air. Kelarutan produk diukur untuk mengetahui daya kelarutannya didalam pelarut
air. Daya larut bahan semakin tinggi dengan meningkatnya nilai kelarutan. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai kelarutan bubuk asam sunti dari
asam sunti hasil penelitian memiliki kisaran 88.60-96.47 dan nilai kelarutan bubuk asam sunti lokal berkisar antara 73.23-84.99. Dari data yang diperoleh
terlihat bahwa bubuk asam sunti dari asam sunti hasil penelitian memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk asam sunti lokal. Hal ini
diduga karena kelarutan dipengaruhi oleh kadar air bubuk yang dihasilkan. Bila kadar air bubuk rendah akan membuat bubuk mudah larut Goula dan
Adamopoulos, 2005, sehingga ditandai dengan tingginya nilai kelarutan. Hasil analisis sidik ragam bubuk asam sunti dari pengering kabinet
pada Lampiran 51. menunjukkan bahwa penggunaan dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap
kelarutan bubuk asam sunti yang dihasilkan. Penggunaan dekstrin 50 menghasilkan kelarutan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan dekstrin 30,
akan tetapi tidak berbeda nyata dengan dekstrin 40. Sedangkan dekstrin 30 menghasilkan kelarutan terendah yang berbeda nyata dengan dekstrin 40 dan
50. Perlakuan suhu pengeringan 170°C memberikan perbedaan yang tidak nyata terhadap suhu pengeringan 160°C dan 180°C. Kelarutan tertinggi diperoleh pada
penggunaan suhu pengeringan 180°C dan terendah pada suhu pengeringan 160°C yang memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara keduanya Lampiran
52. Sedangkan interaksi antara konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray
dryer tidak mempengaruhi daya kelarutan bubuk asam sunti dari pengering kabinet.
Gambar 37. Perbandingan daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 53 dan uji lanjut Duncan Lampiran 54, menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi dekstrin
memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai kelarutan bubuk asam sunti lokal. Semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang ditambahkan, maka nilai
kelarutan bubuk akan semakin meningkat. Penambahan dekstrin sebesar 30 berbeda nyata dengan konsentrasi dekstrin 50 dan 40, namun penambahan
dekstrin 50 tidak berbeda nyata dengan penambahan dekstrin 40 tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi dekstrin 30. Sedangkan penggunaan suhu
pengeringan dan interaksi antara kedua pelakuan tidak memperlihatkan tidak adanya pengaruh nyata terhadap nilai kelarutan bubuk yang dihasilkan.
Gambar 38. Perbandingan daya kelarutan bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
160 C 170 C
180 C
D ay
a K
e lar
u tan
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50 10
20 30
40 50
60 70
80 90
100
160 C 170 C
180 C
D ay
a K
e lar
u tan
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Dari Gambar 37 di atas, terlihat nilai kelarutan tertinggi terdapat pada penggunaan dekstrin 50 dengan suhu pengeringan180°C dan terendah pada
penggunaan dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 160°C. Pada Gambar 38. juga terlihat bahwa konsentrasi dekstrin 50 dengan suhu pengering 180°C
meningkatkan daya kelarutan bubuk, sedangkan dekstrin 30 pada suhu pengeringan 160°C menghasilkan kelarutan bubuk yang rendah. Bubuk asam
sunti dari asam sunti hasil penelitian dan bubuk asam sunti lokal pada perlakuan yang sama menghasilkan tingkat kelarutan yang sama pula, hanya nilai
kelarutannya yang berbeda. Menurut Khotimah 2006, kelarutan berhubungan dengan kadar air
bahan, dimana semakin tinggi kadar air kelarutan cenderung semakin kecil, karena jika kadar air tinggi terbentuk gumpalan
–gumpalan sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk memecah ikatan antar partikel dan kemampuan produk
untuk larut menurun, sebagai akibat total padatan yang tersaring pada kertas saring meningkat. Kelarutan juga berhubungan dengan konsentrasi dekstrin yang
digunakan, semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang ditambahkan maka nilai kelarutan produk akan semakin tinggi pula. Hal ini diduga karena sifat dekstrin
yang sangat mudah larut dalam air dingin maupun dalam air panas sehingga daya larut produk semakin tinggi.
Menurut Goula dan Adamopoulos 2005, kelarutan juga ditunjukkan dengan peningkatan suhu inlet. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh suhu
udara inlet terhadap kadar air. Rendahnya kadar air bubuk membuat bubuk mudah larut. Peningkatan suhu udara pengering pada umumnya menghasilkan
peningkatan ukuran partikel dan penurunan waktu terlarutnya bubuk. Semakin besar partikel maka sulit untuk larut. Waktu yang dibutuhkan untuk terlarutnya
bubuk seiring dengan peningkatan laju aliran udara yang termampatkan, ukuran partikel akan mempengaruhi laju kelarutan. Bila ukuran partikel besar maka akan
mengendap, dimana partikel yang kecil akan mengapung di atas air sehingga partikel tersebut tidak terbasahi dengan sempurna dan akhirnya terjadi
pengenceran.Rendahnya kadar air dan tingginya kelarutan menghasilkan produk yang lebih baik. Pada penelitian ini suhu pengeringan 180°C merupakan suhu
pengeringan yang optimum untuk menghasilkan produk bubuk asam sunti dengan kelarutan yang tinggi.
4.2.2.7. Uji Organoleptik Bubuk Asam Sunti
4.2.2.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu produk pangan.
Rasa suatu produk pangan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila yaitu bagian noda merah jingga pada lidah
Winarno, 1997. Rasa merupakan komponen terakhir dalam menentukan enak tidaknya suatu pangan. Rasa asam adalah ciri khas dari bubuk asam sunti yang
dibuat. Hasil uji skoring dapat dilihat bahwa nilai yang diberikan panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4-4.8 netral
sampai mendekati agak suka dan nilai kesukaan panelis dari luar Aceh terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian memiliki kisaran antara 3.5-4.7 netral
sampai mendekati agak suka. Dari nilai kesukaan yang diperoleh terlihat bahwa baik panelis Aceh maupun panelis luar Aceh memiliki tingkat kesukaan yang
sama terhadap bubuk asam sunti, walaupun nilai kesukaan yang dihasilkan dari panelis luar Aceh lebih kecil dibandingkan dengan nilai kesukaan dari panelis
Aceh tetapi masih dikategorikan dalam tingkat kesukaan yang sama. Pada Lampiran 55. diperlihatkan bahwa penambahan dekstrin
memberikan pengaruh nyata P0.05 terhadap tingkat kesukaan panelis Aceh pada rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian. Penambahan dekstrin 40
berbeda nyata dengan penambahan dekstrin 30, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan dekstrin 50. Sedangkan penambahan dekstrin
30 memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin 40 dan 50 Lampiran 56. Penggunaan suhu pengering dan interaksi antara perlakuan
dekstrin dan suhu memperlihatkan tidak adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap tingkat kesukaan panelis pada rasa bubuk asam sunti. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan dekstrin memberikan kepekaan kepada panelis terhadap rasa bubuk asam sunti yang diuji. Dengan penambahan dekstrin 50,
rasa bubuk yang dihasilkan pada saat uji organoleptik, panelis menyatakan bahwa ada rasa tepung dekstrin yang lebih kuat walau rasa asam masih terasa.
Gambar 39. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan
Grafik di atas memperlihatkan bahwa tingkat kesukaan tertinggi panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian terdapat pada
perlakuan konsentrasi dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 160°C dan terendah dengan penambahan dekstrin 50 pada pengeringan 180°C. Jika penambahan
dekstrin terlalu banyak maka citarasa produk yang diperoleh akan semakin berkurang. Panelis Aceh lebih menyukai rasa asam dari bubuk yang dihasilkan
karena sudah terbiasa dengan rasa asam tersebut disebabkan asam sunti merupakan bumbu tradisional daerah yang sering digunakan dalam masakan.
Hasil analisis ragam yang diperoleh pada tingkat kesukaan panelis luar Aceh terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian Lampiran 57,
memperlihatkan bahwa perlakuan penambahan dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang nyata
P0.05 terhadap tingkat kesukaan panelis luar Aceh terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian. Berdasarkan uji Duncan akan diperoleh perbedaan antara
satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Pada Lampiran 58. terlihat bahwa perlakuan dekstrin 50 dan suhu pengering 160°C berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya dan merupakan nilai terendah panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet. Sedangkan perlakuan yang
mendapatkan respon tertinggi dari panelis adalah dengan penggunaan dekstrin 30 dan 40 pada suhu pengeringan 180°C yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan dekstrin dan suhu pengering yaitu 50:180°C, 30:170°C, 50:170°C dan 30:160°C. Penggunaan dekstrin dengan konsentrasi rendah pada ekstrak
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
asam sunti ternyata menghasilkan rasa produk bubuk yang lebih disukai panelis dibandingkan dengan konsentrasi dekstrin yang tinggi.
Gambar 40. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Pengujian tingkat kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian pada grafik di atas terlihat dengan penambahan
dekstrin 30 pada suhu pengeringan 180°C tingkat kesukaannya lebih tinggi dan penambahan dekstrin 50 pada suhu pengeringan 160°C tingkat kesukaan panelis
lebih rendah. Dari tingkat kesukaan yang telah diperoleh baik panelis Aceh maupun panelis Luar Aceh dapat disimpulkan bahwa panelis kurang menyukai
bubuk dengan penambahan dekstrin yang lebih tinggi 50 karena akan mengurangi rasa asam pada saat produk menyentuh indra pencecap.
Tingkat kesukaan panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal memiliki kisaran nilai antara 4.3-4.5 netral sampai mendekati agak suka.
Sedangkan tingkat kesukaan panelis luar Aceh memperoleh nilai dengan kisaran 4.8-5.1 mendekati agak suka sampai suka. Hasil analisis sidik ragam Lampiran
53, terlihat penggunaan dekstrin, suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata P0.05
terhadap rasa bubuk asam sunti lokal yang diuji coba oleh panelis Aceh. Hal ini berarti bahwa baik dekstrin maupun suhu pengering tidak mempengaruhi
kepekaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Analisis ragam pada Lampiran 59. memperlihatkan tingkat kesukaan
rasa panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal dengan penambahan dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05. Hal ini menandakan bahwa penggunaan dekstrin dan suhu pengering yang bervariasi tidak
mempengaruhi kepekaan rasa panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal yang diuji.
Pada Gambar 41. terlihat tingkat kesukaan tertinggi panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal terdapat pada perlakuan dengan penambahan
dekstrin 30 dan suhu pengeringan 170°C. Tingkat kesukaan terendah pada penambahan dekstrin 50 dengan menggunakan suhu pengeringan 170°C.
Panelis Aceh lebih menyukai rasa asam karena dengan penambahan dekstrin 30 tidak mengurangi rasa asam yang diinginkan dari produk asam sunti.
Gambar 41. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan
Hasil analisis ragam Lampiran 60 terlihat bahwa penggunaan dekstrin dan suhu pengeringan, serta interaksi antara kedua perlakuan tidak
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap tingkat kesukaan rasa panelis luar Aceh pada bubuk asam sunti lokal. Hal ini juga menandakan
bahwa penggunaan dekstrin dan suhu pengering yang bervariasi tidak mempengaruhi kepekaan rasa panelis luar Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal
yang diuji.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Gambar 42. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan
Dari grafik di atas terlihat bahwa penggunaan dekstrin 50 dengan suhu pengeringan 170°C mendapatkan nilai tertinggi dari panelis terhadap rasa
bubuk asam sunti lokal, sedangkan nilai terendah yang diperoleh dari hasil uji hedonik terdapat pada penggunaan dekstrin 50 pada suhu pengeringan 160°C,
dekstrin 40 pada suhu pengeringan 170°C dan dekstrin 50 pada suhu pengeringan 180°C. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa panelis
luar Aceh kurang dapat membedakan rasa bubuk asam sunti lokal dari berbagai variasi bahan pengisi disebabkan tingkat keasamannya yang tinggi.
4.2.2.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna
Warna merupakan nama umum untuk semua pengindraan yang berasal dari aktivitas retina mata. Jika cahaya mencapai retina, mekanisme saraf
mata menanggapi dan salah satunya memberi sinyal warna Deman, 1997. Hasil pengamatan uji hedonik warna bubuk asam sunti dari pengering
kabinet oleh panelis Aceh, maka didapatkan kisaran nilai antara 4.2-4.6 netral sampai mendekati agak suka. Sedangkan nilai yang diperoleh dari panelis luar
Aceh terhadap warna bubuk berkisar antara 4.2-4.6 netral sampai mendekati agak suka. Dari data diatas terlihat bahwa baik panelis Aceh maupun panelis luar
Aceh memberikan nilai yang sama terhadap warna bubuk asam sunti yang dihasilkan, ini berarti para panelis mengganggap bahwa antara satu perlakuan
dengan perlakuan lainnya menghasilkan bubuk dengan warna yang tidak jauh berbeda.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Perlakuan variasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tersebut pada hasil analisis ragam Lampiran 61, memperlihatkan tidak
adanya pengaruh nyata P0.05 terhadap tingkat kesukaan panelis Aceh pada warna bubuk yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang
dilakukan tidak mempengaruhi tingkat kepekaan panelis terhadap warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian. Pada Gambar 43. terlihat panelis lebih menyukai
perlakuan dekstrin dan suhu pengeringan yaitu 30:160°C dan 30:180°C untuk warna bubuk asam sunti yang dihasilkan. Sedangkan untuk perlakuan 30:170°C,
50:170°C dan 50:180°C mendapatkan skor terendah dari panelis, walaupun nilai rataan yang dihasilkan dari setiap perlakuan tidak jauh berbeda yaitu antara
netral sampai suka.
Gambar 43. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan
Pada Lampiran 62. terlihat hasil analisis ragam pada perlakuan dekstrin dan interaksi antara dekstrin dengan suhu pengering memberikan
pengaruh nyata P0.05 terhadap warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata P0.05 pada variasi suhu pengeringan.
Warna bubuk yang dihasilkan dengan penggunaan dekstrin 30 pada suhu pengeringan 170°C mendapatkan respon yang paling rendah dari panelis luar
Aceh. Sedangkan warna bubuk dengan respon tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 180°C yang tidak
memperlihatkan adanya perbedaan dengan konsentrasi deksrin dan suhu pengeringan yaitu 40:180°C, 30:160°C, 40:170°C, 40:160°C dan
50:170°C. Warna bubuk dengan konsentrasi dekstrin rendah serta suhu
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
Wa r
n a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
pengering yang tinggi ternyata lebih disukai oleh panelis dari luar Aceh. Uji Duncan ini tersaji pada Lampiran 63.
Gambar 44. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Nilai penerimaan tertinggi terhadap warna bubuk asam sunti yaitu pada perlakuan dekstrin dan suhu pengering masing-masing adalah 30:160°C,
40:170°C, 30:180°C dan 40:180°C. Adapun nilai terendah terdapat pada perlakuan 50:160°C dan 30:170°C. nilai warna yang dihasilkan sangat
fluktuatif karena penerimaan panelis yang satu dengan yang lainnya akan berbeda dari tingkat kesukaannya terhadap suatu parameter produk Gambar 44.
Berdasarkan uji organoleptik panelis Aceh terhadap parameter warna bubuk asam sunti lokal memiliki kisaran nilai antara 4.3-4.8 netral sampai
mendekati agak suka. Nilai kesukaan terhadap warna yang diperoleh dari panelis luar Aceh yaitu antara 5-5.3 suka. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa panelis luar Aceh suka terhadap warna bubuk asam sunti lokal yang diuji, begitu juga dengan panelis Aceh yang mengganggap warna bubuk adalah biasa
tetapi tetap disukai. Hasil analisis ragam pada Lampiran 64. menunjukkan bahwa
penggunaan dekstrin dan suhu pengeringan, serta interaksi antara dekstrin dengan suhu pengering tidak mempengaruhi P0.05 penilaian panelis Aceh terhadap
warna bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Panelis Aceh lebih menyukai warna dari bubuk dengan penggunaan dekstrin 30 dan suhu pengering 170°C,
sedangkan untuk warna yang bubuk yang kurang diminati adalah penggunaan dekstrin 40 dengan suhu pengering 170°C Gambar 45.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
War n
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Gambar 45. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan
Penerimaan panelis luar Aceh pada penggunaan dekstrin dan suhu pengering, serta interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memberikan
pengaruh yang nyata P0.05 terhadap warna bubuk asam sunti lokal Lampiran 65. Hal ini menandakan bahwa perlakuan yang dilakukan tidak mempengaruhi
kepekaan panelis luar Aceh terhadap penilaian warna bubuk yang diuji. Dari berbagai perlakuan yang ada panelis lebih menyukai pengunaan dekstrin dan suhu
pengering 30:160°C, 50:160°C dan 50:170°C, sedangkan tingkat kesukaan terendah ada pada perlakuan dekstrin dan suhu pengering 40:160°C,
40:180°C dan 50:180°C, tersaji pada Gambar 46.
Gambar 46. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan
4.2.2.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma
Pengamatan yang dilakukan pada panelis Aceh terhadap aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian memiliki nilai antara 4.4-5 netral sampai suka.
Panelis Aceh mengganggap bahwa bubuk yang dihasilkan memiliki aroma yang
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
War n
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C S
K O
R WAR
N A
SUHU PENGERINGAN C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
biasa, namun juga disukai karena menghasilkan aroma yang asam. Panelis luar Aceh juga mengganggap aroma bubuk adalah biasa, walaupun sebagian tetap
disukai dengan kisaran nilai 4-4.8 netral sampai mendekati suka. Hasil analisis sidik ragam tingkat kesukaan panelis Aceh terhadap
aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian menunjukkan bahwa dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata
P0.05 pada bubuk yang dihasilkan Lampiran 66. Berdasarkan uji organoleptik didapatkan aroma bubuk yang paling disukai oleh panelis adalah
pada penambahan dekstrin 30 dengan menggunakan suhu pengering 180°C dan penerimaan terendah dengan menggunakan dekstrin 50 pada suhu pengeringan
160°C Gambar 47. Kesukaan panelis terhadap aroma didukung oleh kepekaan pembau masing-masing panelis pada produk yang diuji. Pada uji yang dilakukan
terlihat panelis Aceh lebih menyukai aroma bubuk dengan penggunaan dekstrin dalam konsentrasi yang rendah. Hal ini mungkin karena aroma bubuk yang yang
dihasilkan lebih tajam. Gambar 47. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Berdasarkan hasil sidik ragam dan uji Duncan Lampiran 67, 68, dekstrin dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata P0.05 pada
tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bubuk yang dihasilkan, yang mana perlakuan dekstrin 40 tidak berbeda dengan dekstrin 30 dan 50, namun
perlakuan dekstrin 30 yang merupakan skor kesukaan tertinggi berbeda dengan dekstrin 50 yang memiliki tingkat kesukaan terendah. Adapun interaksi antara
perlakuan dekstrin dan suhu pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap kesukaan panelis pada aroma bubuk asam sunti. Tingkat
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
A r
o m
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
kesukaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian terlihat sama dengan tingkat kesukaan panelis Aceh. Panelis lebih menyukai
aroma bubuk yang dibuat dengan dekstrin 30 melalui proses pengeringan pada suhu 180°C, namun pada penggunaan dekstrin 30 dengan suhu pengering 160°C
diperoleh tingkat kesukaan panelis yang lebih rendah, walaupun tingkat kesukaannya berada pada skala netral Gambar 48.
Gambar 48. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan
Dari uji hedonik terhadap aroma bubuk asam sunti lokal oleh panelis Aceh, didapatkan nilai kesukaan berkisar antara 4.2-5.1 netral sampai suka,
sedangkan nilai yang diperoleh berdasarkan kesukaan panelis luar Aceh pada bubuk asam sunti lokal adalah 5-5.4 suka. Dari data yang diperoleh sepertinya
panelis Aceh merasakan aroma yang biasa atau sama antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya, tetapi tetap menyukai aroma dari perlakuan yang ada.
Sedangkan panelis luar Aceh menyukai bubuk asam sunti lokal dari seluruh perlakuan yang ada. Hal ini mungkin disebabkan karena aroma bubuk asam sunti
lokal lebih tajam daripada bubuk asam sunti dari pengering kabinet. Perlakuan variasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi kedua
perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh P0.05 terhadap kepekaan panelis Aceh pada aroma bubuk asam sunti lokal yang diperoleh
Lampiran 69. Tetapi berdasarkan grafik yang tersaji pada Gambar 49. terlihat panelis lebih suka dengan penambahan dekstrin 30 pada suhu pengeringan
160°C dan 170°C daripada dengan penambahan dekstrin 40 pada suhu pengeringan 170°C. Hal ini diperkirakan dengan penambahan dekstrin yang
rendah aroma yang dihasilkan akan lebih tajam seperti pada analisis tingkat
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
A r
o m
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
kesukaan sebelumnya, yang mana panelis juga menyukai aroma bubuk dengan konsentrasi dekstrin rendah Gambar 49.
Gambar 49. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan
Dari analisis ragamLampiran 70, ternyata penggunaan dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh P0.05 terhadap
kepekaan panelis luar Aceh pada aroma bubuk asam sunti lokal. Perlakuan tersebut ternyata tidak mempengaruhi kepekaan panelis luar Aceh maupun panelis
Aceh terhadap aroma bubuk yang dihasilkan. Penggunaan konsentrasi dekstrin 40 pada suhu pengeringan 160°C dan 170°C ternyata mendapatkan tingkat
penerimaan yang paling tinggi dari panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk asam sunti lokal. Bila dibandingkan dengan penambahan dekstrin 50 pada suhu
pengeringan 160°C dan 180°C yang memperoleh tingkat penerimaan yang paling rendah Gambar 50. Berdasarkan data sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
panelis Aceh maupun panelis dari luar Aceh lebih menyukai aroma bubuk yang dibuat dengan penambahan dekstrin rendah yaitu 30 atau 40, terbukti dengan
tingginya skor penerimaan yang ada. Sedangkan untuk dekstrin 50 kebanyakan skor penerimaan berada pada tingkat yang rendah.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
A r
o m
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Gambar 50. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan
4.2.2.7.4. Penerimaan Keseluruhan
Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap tingkat penerimaan keseluruhan yang bertujuan untuk mengetahui penerimaan panelis secara umum
terhadap rasa, warna dan aroma bubuk asam sunti yang diuji. Penerimaan panelis Aceh terhadap bubuk dari asam sunti dengan pengering berkisar antara 4.2-4.9
netral sampai mendekati agak suka, sedangkan nilai penerimaan panelis dari luar Aceh memiliki kisaran 3.8-4.7 mendekati netral sampai mendekati agak suka.
Berdasarkan hasil sidik ragam pada Lampiran 71 menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin memberikan pengaruh P0.05 terhadap hasil penerimaan
keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti, yang mana konsentrasi dekstrin 40 tidak berbeda dengan konsentrasi dekstrin 30 dan 50. Akan
tetapi antara dekstrin 30 berbeda dengan 50. Konsetrasi dekstrin 30 merupakan penerimaan keseluruhan panelis tertinggi, sedangkan dekstrin 50
memperoleh respon yang sangat rendah dari panelis Lampiran 72. Pada perlakuan variasi suhu pengering dan interaksi antara dekstrin dengan suhu
pengeringan tidak memberikan pengaruh P0.05 terhadap bubuk yang dihasilkan.
Respon panelis Aceh terhadap tingkat penerimaan keseluruhan tertinggi bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet terdapat pada perlakuan
dekstrin 30 pada suhu pengeringan 180°C, dan tingkat penerimaan terendah pada penambahan dekstrin 50 dengan suhu pengering 170°C Gambar 51. Dari
penerimaan keseluruhan terlihat bahwa panelis Aceh ternyata lebih menyukai bubuk asam sunti baik dari segi rasa, warna dan aroma dengan menggunakan
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
A r
o m
a
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
bahan pengisi yang lebih rendah dan suhu pengering yang lebih tinggi. Sedangkan dengan bahan pengisi yang lebih tinggi kurang disukai oleh panelis Aceh karena
mempengaruhi rasa, warna dan aroma bubuk yang dihasilkan.
Gambar 51. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Analisis sidik ragam Lampiran 73 yang diperoleh memperlihatkan bahwa penggunaan dekstrin, suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan
tersebut memiliki pengaruh P0.05 terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada bubuk asam sunti yang dihasilkan, sehingga dilakukan uji lanjut
Duncan pada interaksi perlakuan yang dihasilkan Lampiran 74. Hasil uji lanjut menunjukan adanya perbedaan nyata pada perlakuan dekstrin dan suhu
pengeringan 50:180°C terhadap perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut merupakan perlakuan yang mendapatkan nilai penerimaan keseluruhan yang lebih
rendah dari panelis. Adapun perlakuan dekstrin dan suhu pengering 40:160°C tidak berbeda dengan perlakuan 30:160°C, 30:170°C, 40:170°C,
50:170°C dan 50:180°C, tetapi berbeda dengan perlakuan30:180°C dan 40:180°C. Perlakuan dekstrin dan suhu pengering 40:170°C juga
memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada perlakuan 30:160°C, 30:170°C, 30:180°C, 40:180°C, 50:170°C dan 50:180°C. Perlakuan
dekstrin dan suhu pengering yang menunjukan nilai tertinggi terhadap tingkat penerimaan panelis pada bubuk asam sunti yang diuji yaitu pada perlakuan 30
dekstrin dan 180°C suhu pengering. Ternyata panelis dari luar Aceh juga menyukai rasa, warna dan aroma bubuk dengan penggunaan bahan pengisi yang
rendah.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
K e
se lu
r u
h an
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
Dari Gambar 52. juga diperlihatkan perlakuan 30 dekstrin dan 180°C suhu pengering akan meningkatkan kesukaan panelis terhadap rasa, warna
dan aroma bubuk yang dihasilkan, sebaliknya dengan perlakuan 50 dekstrin dan 160°C suhu pengering malah akan menurunkan kesukaan panelis terhadap
parameter rasa, warna dan aroma bubuk yang dihasilkan. Semakin rendah konsentrasi dekstrin yang ditambahkan menyebabkan peningkatan penerimaan
keseluruhan panelis dari luar Aceh terhadap parameter yang diuji.
Gambar 52. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Pada uji hedonik panelis Aceh terhadap penerimaan keseluruhan bubuk asam sunti lokal mendapatkan nilai dengan kisaran 4.4-5.1 netral sampai
suka, sedangkan nilai penerimaan dari panelis luar Aceh berkisar antara 5-5.3 suka. Dari data yang diperoleh setelah dilakukan uji secara organoleptik
terhadap keseluruhan parameter rasa, warna dan aroma dari bubuk asam sunti lokal, ternyata produk masih dapat diterima oleh panelis.
Hasil analisis sidik ragam tingkat penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk asam sunti lokal menunjukkan tidak adanya pengaruh P0.05
tingkat kesukaan panelis terhadap bubuk asam sunti dengan penggunaan variasi dekstrin, suhu pengering maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut
Lampiran 75. Hal ini menunjukkan bahwa kepekaan panelis Aceh terhadap penerimaan umum parameter yang ada tidak dipengaruhi oleh perlakuan
– perlakuan tersebut. Tetapi dari grafik pada Gambar 53. terlihat bahwa respon
panelis terhadap parameter keseluruhan rasa, warna dan aroma tertinggi ada pada perlakuan dekstrin 30 dengan suhu pengeringan 160°C dan 170°C,
sedangkan respon terendah terdapat pada penggunaan dekstrin 40 dengan suhu
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
K e
se lu
r u
h an
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
pengering 170°C. Dari penerimaan keseluruhan parameter uji, terbukti bahwa panelis lebih menyukai bubuk dengan konsentrasi bahan pengisi yang rendah baik
dari segi rasa, warna dan aroma. Gambar 53. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap
bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Pada Lampiran 76. juga terlihat tidak adanya pengaruh P0.05 respon keseluruhan panelis luar Aceh dengan penggunaan variasi dekstrin, suhu
pengering maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut terhadap bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Pada perlakuan dekstrin 50 dan suhu pengeringan
170°C mendapatkan respon yang lebih tinggi dari panelis, ini menandakan bahwa perlakuan tersebut lebih diminati oleh panelis luar Aceh baik dari segi rasa, warna
maupun aroma. Sedangkan penggunaan 40 dekstrin pada suhu pengering 170°C memperoleh respon yang lebih rendah dari panelis terhadap penerimaan
keseluruhan parameter rasa, warna dan aroma Gambar 54.
Gambar 54. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin
dan suhu pengeringan
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
K e
se lu
r u
h an
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
160 C 170 C
180 C N
il ai
K e
se lu
r u
h an
Suhu Pengeringan C
Dekstrin 30 Dekstrin 40
Dekstrin 50
4.2.2.8. Perlakuan Terbaik Bubuk Asam Sunti
Berdasarkan dari hasil pengamatan pada penelitian utama tahap kedua, maka dilakukan pemilihan perlakuan terbaik yang didasarkanpada preferensi
konsumen terhadap produk bubuk yang dihasilkandengan mempertimbangkan parameter-parameter mutu lainnya. Hasil perlakuan terbaik yang diperoleh
mengacu pada banyaknya penerimaan keseluruhan panelis terhadap rasa, warna dan aroma produk bubuk yang diujikan dengan berbagai variasi perlakuan
dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer. Dari penilaian keseluruhan baik panelis Aceh maupun panelis luar
Aceh terhadap produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian, perlakuan dengan konsentrasi dekstrin 30 pada suhu pengeringan 180°C merupakan produk yang
mendapatkan respon lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Adapun nilai parameter dari perlakuan terbaik yang diperoleh yaitu rendemen
11.28, kadar air 5.14, pH 1.28, total asam 48.40, asam oksalat 6.10 dan kelarutan 96.47. Sedangkan pada uji hedonik, respon kesukaan panelis Aceh
terhadap produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian yaitu nilai rasa 4.6, warna 4.6, aroma 5 dan penerimaan keseluruhan memperoleh nilai 4.9. Panelis luar Aceh
memberikan nilai kesukaan terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan penerimaan keseluruhan pada produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian yaitu berturut-
turut adalah 4.7, 4.6, 4.8 dan 4.7. Setelah dilakukan pengamatan pada nilai hasil analisis lainnya maka perlakuan terbaik dekstrin 30 dan suhu pengering 180°C
dari bubuk asam sunti hasil penelitian memiliki nilai yang tidak lebih rendah dari perlakuan lainnya dan masih dapat diterima oleh panelis Lampiran 77.
Pada produk bubuk asam sunti lokal, uji hedonik yang dilakukan oleh panelis Aceh dan panelis luar Aceh ternyata memberikan perbedaan terhadap nilai
kesukaan dari perlakuan proses pembuatan bubuk asam sunti lokal. Berdasarkan tingkat kesukaannya maka panelis Aceh memilih perlakuan dengan konsentrasi
dekstrin 30 pada suhu pengeringan 170°C D1S2 dan skor kesukaan dari parameter rasa, warna, aroma dan penerimaan keseluruhan yaitu berturut-turut
adalah 4.8, 5.2, 5.1, 5.1. Sedangkan penerimaan panelis luar Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal ada pada perlakuan dekstrin 50 pada suhu pengeringan 170°C
D3S2 dengan nilai kesukaan terhadap rasa, warna, aroma dan penerimaan keseluruhan yaitu bertutur-turut adalah 5.1, 5.3, 5.3, 5.3 Lampiran 78.
Adanya perbedaan preferensi konsumen terhadap perlakuan pada pembuatan bubuk asam sunti lokal, maka perlakuan terbaik yang dipilih adalah
dengan melihat parameter fisik dan kimia yang memiliki nilai sesuai dengan mutu yang nantinya diharapkan akan lebih baik. Dari pertimbangan yang ada, maka
perlakuan terbaik dipilih berdasarkan hasil uji hedonik panelis luar Aceh yaitu pada perlakuan dekstrin 30 dan suhu pengering 170°C D3S2. Hal ini sebabkan
parameter mutu lainnya seperti rendemen dan kelarutan yang lebih tinggi yaitu masing-masing 14.84 dan 82.80, kadar air, pH dan asam oksalat yang lebih
rendah yaitu masing-masing adalah 6.36, 1.27 dan 7.71. Sedangkan total asam yang diperoleh dari perlakuan D3S2 yaitu 61.16, walaupun lebih rendah
dari perlakuan D1S2 yaitu 61.92 tetapi tidak lebih rendah dari perlakuan lainnya, sehingga perlakuan D3S2 dapat dipilih menjadi perlakuan terbaik dari hasil
preferensi konsumen dan pertimbangan pada parameter mutu lainnya.
4.3. Nilai Tambah Produk Asam sunti Semi Basah dan Bubuk Asam Sunti
Nilai tambah merupakan pertambahan nilai komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan. Nilai tambah
dalam proses pengolahan buah belimbing wuluh menjadi produk asam sunti semi basah dan akhirnya menghasilkan bubuk asam sunti bertujuan untuk melihat
apakah produk ini memiliki nilai tambah, sehingga layak untuk diproduksi dalam skala yang lebih besar. Prosedur perhitungan nilai tambah yang dicari adalah
berdasarkan dari perlakuan terbaik asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti yang dihasilkan, sehingga nantinya dapat diketahui apakah proses pengolahan dari
perlakuan yang terpilih memiliki nilai tambah baik terhadap bahan baku yang diolah atau faktor produksi lain yaitu tenaga kerja dan sumbangan input lain.
Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan asam sunti adalah buah belimbing wuluh yang dibeli dengan harga Rp 5000kg, sedangkan asam sunti
semi basah yang akan dijadikan dalam bentuk bubuk biasanya dijual dengan harga Rp 35000kg. Harga bahan baku merupakan salah satu faktor yang nantinya akan
mempengaruhi nilai tambah suatu aktifitas produksi. Tenaga kerja diukur berdasarkan standar Hari Orang Kerja HOK yaitu delapan jam perhari yang
terlibat dalam satu kali proses produksi. Nilai tenaga kerja menggambarkan produktifitas tenaga kerja yaitu efisiensi penggunaan tenaga kerja dalam proses
produksi belimbing wuluh menjadi asam sunti maupun pengolahan asam sunti menjadi bubuk. Biasanya tenaga kerja memperoleh upah langsung yang diterima
pada saat pengolahan produk dengan hitungan RpHOK. Sedangkan sumbangan input lain diperoleh dari biaya pemakaian input lain per kilogram bahan baku,
yang mana sumbangan input lain merupakan persentase input lain terhadap marjin.
Proses pengolahan belimbing wuluh menjadi asam sunti adalah melalui tahapan penyortiran, pencucian, penggaraman dan pengeringan. Waktu
kerja yang dibutuhkan untuk mengolah 1 kg bahan baku belimbing wuluh dibutuhkan waktu 55 menit setara dengan 0.11 HOK dengan asumsi 1 hari kerja
adalah 8 jam. Bila upah tenaga kerja per HOK adalah Rp 20000 maka biaya untuk tenaga kerja adalah 2200kg. Sumbangan input dari pembuatan asam sunti
semi basah adalah bahan tambahan berupa garam, air dan alat pengering mekanis yang besarnya untuk 1 kg bahan baku adalah Rp 6840, secara rinci dapat dilihat di
Lampiran 79. Hasil perhitungan nilai tambah disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Nilai Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah
Variabel Nilai
I. Output, Input dan Harga
1. Output Kg 0.5074
2. Input Kg 1
3. Tenaga Kerja HOK 0.1100
4. Faktor Konversi 0.5074
5. Koefisien Tenaga Kerja 0.1100
6. Harga Output RpKg 35000
7. Upah Tenaga Kerja Langsung RpHOK 2200
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku 5000
9. Sumbangan Input Lain RpKg 6840
10. Nilai Output 17759
11. a. Nilai Tambah RpKg 5919
b. Rasio Nilai Tambah 33.3296
12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung RpKg 242
b. Pangsa Tenaga Kerja 4.0885
13. a. Keuntungan RpKg 5677
b. Tingkat Keuntungan 95.9115
III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin RpKg 12759
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung 1.8967
b. Sumbangan Input Lain 53.6092
c. Keuntungan Pemilik Perusahaan 44.4941
Hasil analisis nilai tambah, menunjukkan bahwa komponen sumbangan input lain mempunyai persentase yang cukup tinggi terhadap margin
yang dihasilkan yaitu sebesar 53.61. Biaya penggunaan alat pengering mekanis merupakan komponen utama pada sumbangan input lain yaitu sebesar 76 Rp
5240 dari Rp 6840. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya alat pengering mekanis sangat berperan dalam membentuk nilai tambah. Hasil analisis nilai
tambah juga menunjukkan persentase keuntungan bagi pemilik usaha yang cukup tinggi yaitu 44.49, hal ini berarti bahwa peluang usaha pembuatan asam sunti
secara mekanis dapat memberikan kegiatan yang menguntungkan. Dari rasio nilai tambah yang dihasilkan yaitu 33.33, maka dapat dikategorikan bahwa proses
produksi asam sunti memiliki nilai tambah yang sedang Sari, 2011.
Pada proses pengolahan asam sunti semi basah menjadi bubuk asam sunti dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu proses pengecilan ukuran
blender, pemerasan, pencampuran dan pengadukan, serta pengeringan dengan menggunakan spray dryer. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk proses tersebut
adalah 1 orang yang membutuhkan waktu 65 menit untuk melakukan kegiatan pengolahan ½ kg asam sunti menjadi bubuk yang setara dengan 0.14 HOK bila
diasumsikan 1 hari kerja adalah 8 jam. Upah tenaga kerja per HOK diasumsikan Rp 20000, maka untuk 1 kg bahan baku yang diolah tenaga kerja mendapatkan
upah sebesar 2800kg. Dalam proses pengolahan bubuk asam sunti tidak terlepas dari bahan penunjang lainnya seperti dekstrin, air dan biaya sewa alat sebagai
sumbangan input lain terhadap proses pengolahan sebesar Rp 12240 untuk 1 kg bahan baku. Rincian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 80. Hasil
perhitungan nilai tambah disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Analisis Nilai Tambah Pengolahan Bubuk Asam Sunti
Variabel Nilai
I. Output, Input dan Harga