Belimbing wuluh selain mengandung vitamin A, B, dan C, juga mengandung saponin dan flavonoid. Vitamin C dalam belimbing wuluh cukup
besar, tetapi kurang diminati oleh masyarakat karena rasanya sangat asam. Belimbing wuluh jarang dimakan sebagai buah segar, tetapi lebih banyak
digunakan sebagai bumbu. Kandungan gizi yang ada pada belimbing wuluh cukup banyak
sehingga bila tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia. Adapun komposisi kimia yang terdapat dalam belimbing wuluh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh
Komponen Jumlah
Energi kal 32
Karbohidrat gr 7
Protein gr 0.4
Vitamin C mg 52
Kalsium mg 10
Phospor mg 10
Zat Besi mg 1
Sumber: Lingga, 1985 di dalam Haryati 2010
2.2. Fisiologi Pasca Panen Buah Belimbing
Rahardi et al 2000 mengatakan bahwa buah belimbing wuluh termasuk ke dalam golongan buah non-klimakterik. Buah non-klimakterik
mempunyai pola respirasi yang berbeda dengan buah klimakterik, dimana pada buah non-klimakterik, jumlah CO
2
yang dihasilkan terus menurun secara perlahan-lahan sampai pada saat senescene, sedangkan pada buah klimakterik
menunjukkan adanya laju produksi CO
2
yang sangat rendah saat praklimakterik, diikuti dengan peningkatan mendadak saat puncak klimakterik dan penurunan laju
produksi CO
2
pada fase senesence Gambar 2 Winarno, 2002. Secara praktis, perbedaan antara buah klimakterik dan buah non klimakterik terkait dengan
tingkat kematangan buah setelah panen maupun sebelum dipanen. Buah klimakterik yang dipanen pada saat sudah tua mature, untuk mendapatkan
kematangan yang optimum dapat dilakukan dengan pemeraman karbit, tetapi pada buah non klimakterik kematangan hanya dapat diperoleh ketika buah masih
di pohon, bila buah dipanen dalam keadaan belum matang maka buah tersebut tidak akan matang lagi setelah dipanen.
Gambar 2. Skema Respirasi Klimakterik dan Non-Klimakterik Menurut Muchtadi 1992, selama proses pematangan terjadi beberapa
perubahan penting pada buah-buahan, misalnya warna yang asalnya hijau menjadi kuning atau merah, rasa yang asalnya asam menjadi manis, teksturnya menjadi
lebih lunak, terbentuknya vitamin, dan timbulnya aroma yang khas karena terbentuknya senyawa-senyawa yang mudah menguap volatil. Proses di atas
dapat terjadi pada buah klimakterik pasca dipanen tetapi tidak dapat terjadi pada buah non-klimakterik.
Mutu buah yang baik adalah apabila pemanenan dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat. Selama pematangan, buah mengalami beberapa
perubahan dalam warna, tekstur dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan-perubahan dalam susunannya. Pantastico 1997 mengatakan bahwa
pada jeruk manis perubahan warna diakibatkan oleh perombakan klorofil dan pembentukan zat warna karotenoid. Sedangkan pada buah belimbing, perubahan
warna yang terjadi tidak menyolok, karena pada umur buah di atas 40 hari setelah bunga mekar baru terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning.
Menetapkan tingkat kematangan buah pada saat panen akan sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil, dan juga sangat berpengaruh pada
penanganan pascapanen buah tersebut. Umumnya selama proses pematangan
buah, kadar asam organik cenderung menurun akibat dikonversi menjadi gula Zulkarnain, 2010.
Menurut Prabowo 2009 umur panen buah belimbing sangat dipengaruhi oleh letak geografi penanaman, yaitu faktor lingkungan dan iklim.
Ciri buah belimbing yang sudah saatnya dipanen adalah ukurannya besar maksimal, telah matang dan warna buahnya berubah dari hijau menjadi kuning.
Waktu panen merupakan faktor yang penting dalam mengurangi kemerosotan kualitas karena dapat mempengaruhi kelunakan dari produk
akhirnya. Pelunakan buah biasanya disebabkan karena adanya perombakan protopektin yang tidak larut menjadi larut atau hidrolisis zat pati atau lemak.
2.3. Asam Sunti