Study on Post Harvest Handling of Wuluh Starfruit as a Raw Material to Produce Asam Sunti Powder Using Spray Dryer

(1)

KAJIAN PENANGANAN PASCA PANEN BELIMBING

WULUH (Averrhoa bilimbi. L) SEBAGAI BAHAN BAKU

PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MENGGUNAKAN

PENGERINGAN KABUT (SPRAY DRYER).

Oleh

IRHAMI F153090051

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Irhami


(3)

ABSTRACT

IRHAMI. Study on Post-Harvest Handling of “Wuluh” Starfruit (Averrhoa bilimbi L.) as a Raw Material to Produce Asam Sunti Powder Using Spray Dryer Supervised by SUTRISNO and EMMY DARMAWATI.

Asam sunti is a kind of unique and popular seasoning in tradisional

food that made of the dried “wuluh” starfruit. Recently, asam sunti become

popular widely, not limited only in Aceh, therefore it is need to produce asam sunti in powder form such as tumeric powder, pepper, chili and some other spices. The problems in making asam sunti powder is the lack of quality standards of semi-wet asam sunti to be the raw material for powder asam sunti. The quality of

wet asam sunti is greatly influenced by the level of ripeness of “wuluh” starfruit

and its moisture content. Hence necessary to study the influence of fruit maturity level and mechanically drying temperature to produce of a semi-wet asam sunti which is the raw material of powder asam sunti. The purpose of this research is to determine a maturity level of fruit and the best drying temperature to produce semi-wet asam sunti and then to define of spray dryer temperature and addition of dextrin to produce asam sunti powder that meet with consumer preferences. The study was began by measuring the physicochemical properties of “wuluh” starfruit at three levels of maturity fruit, with parameter of color, size, firmness, total acid, and oxalic acid as the preliminary data from fresh sampel. The second stage of research was done to determine of drying time based on the final moisture content which is close with the moisture content of the control sampel (asam sunti from Aceh). The third stage of research was done to perform drying process of

“wuluh” starfruit using a cabinet dryer with drying time based on the results of the second stage, and follow by the last stage to study of producing asam sunti powder using a spray dryer. The best semi-wet asam sunti according to

consumers’ preferences are made from a half-mature starfruit (green-yellow) with

the drying temperature 50 °C for 8 hours, where it has total acid 37.80%, oxalic acid 4.76% and will perform a rendemen of 50.74%. After that, semi-wet asam sunti is processed into asam sunti powder. The best asam sunti powder which is based on consumer preferences is combination of addition dextrin 30%, drying temperature 180 °C, and will produce the products with moisture content 5.14%, total acid 48.40%, oxalic acid 6.10%, and rendemen 11.28%. Meanwhile, when the local asam sunti is used as raw material for asam sunti powder, the best result based on consumer preferences should be produced by add 30% of dextrin with drying temperature of 170°C.


(4)

RINGKASAN

IRHAMI. Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer). Dibimbing oleh SUTRISNO dan EMMY DARMAWATI.

Belimbing wuluh merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Biasanya belimbing wuluh ini terlebih dahulu diolah menjadi makanan atau dikeringkan sebelum dikonsumsi. Di daerah Aceh pembuatan asam sunti saat ini belum berbentuk produk olahan yang praktis untuk digunakan seperti halnya bumbu masakan jahe, kunyit, lada, cabe dan beberapa bumbu masakan lainnya. Pengguna asam sunti yang tidak terbatas di wilayah Aceh, menjadi pendorong untuk membuat asam sunti dalam bentuk bubuk seperti halnya bubuk dari bumbu-bumbu yang lain. Masalah yang dihadapi saat ini dalam pembuatan asam sunti yaitu tidak seragamnya produk yang dihasilkan karena tingkat kematangan buah yang berbeda saat pengolahan, sehingga perlu adanya kajian terhadap penanganan pasca panen buah belimbing wuluh berdasarkan tingkat kematangan baik dari segi warna, ukuran maupun kekerasan dari komoditi tersebut untuk dijadikan produk asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kematangan belimbing wuluh dan perlakuan pengolahan dalam memproduksi bubuk asam sunti terhadap mutu yang dihasilkan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan (menggunakan pengering kabinet) untuk menghasilkan asam sunti yang baik berdasarkan preferensi konsumen. (2) Menentukan suhu pengeringan terbaik spray dryer untuk menghasilkan bubuk asam sunti. (3) Menentukan perlakuan dekstrin yang optimum terhadap mutu bubuk asam sunti.

Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan dari buah belimbing wuluh dengan melakukan pengukuran berdasarkan warna, ukuran, kekerasan, total asam dan asam oksalat dan tahap kedua dilakukan untuk menentukan lama waktu pengeringan belimbing wuluh yang terbaik pada masing-masing perlakuan suhu dengan menggunakan kabinet dryer untuk menghasilkan kadar air yang seragam (sesuai dengan kadar air asam sunti tradisional) dari masing-masing perlakuan tingkat kematangan. Selanjutnya penelitian utama terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama dilakukan pengeringan belimbing wuluh dari tiga tingkat kematangan yaitu belum matang (hijau), setengah matang (hijau:kuning) dan matang (kuning) dengan menggunakan kabinet dryer pada suhu 50ºC, 65ºC dan 80ºC. Sedangkan penelitian tahap kedua dilakukan untuk menghasilkan produk bubuk asam sunti yang dibuat dari asam sunti terbaik pada tahap pertama dengan pencampuran dekstrin pada konsentrasi 30%, 40% dan 50% dan proses pengeringan menggunakan spray dryer pada suhu 160ºC, 170ºC dan 180ºC dengan tekanan 2 bar pada kecepatan aliran 20 ml/menit. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 ulangan. Parameter mutu yang diamati adalah rendemen, kadar air, pH, total asam, asam oksalat, warna Lab dan daya kelarutan. Uji organoleptik meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penerimaan keseluruhan. Analisis nilai tambah untuk pembuatan asam


(5)

sunti semi basah dan bubuk asam sunti dihitung untuk melihat aspek ekonomisnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 8 jam merupakan produk terbaik yang dipilih sesuai dengan preferensi konsumen untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan bubuk asam sunti dengan skor masing-masing parameter adalah rendemen 50.74%, kadar air 74.85%, pH 1.74, total asam 37.80% dan asam oksalat 4.76%; nilai kecerahan (L) 46.06, nilai a 0.05 dan nilai b 26.49. Suhu pengeringan spray dryer 180°C dengan konsentrasi dekstrin 30% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan bubuk dari asam sunti hasil penelitian yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen. Skor dari masing-masing parameter yang diperoleh yaitu rendemen 11.28%, kadar air 5.14%, pH 1.28, total asam 48.40%, asam oksalat 6.10% dan kelarutan 96.47%. Sedangkan suhu pengeringan 170°C dengan konsentrasi dekstrin 50% merupakan suhu yang dipilih untuk menghasilkan bubuk asam sunti lokal yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen dengan masing-masing skor parameter yang diperoleh yaitu rendemen 14.84%, kadar air 6.36%, pH 1.27, total asam 61.16%, asam oksalat 7.71% dan kelarutan 82.80%. Hasil analisis nilai tambah proses produksi asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti menyatakan bahwa sumbangan input lain terutama pada penggunaan alat mekanis sangat berperan penting. Tetapi proses produksi masih dapat dijalankan karena masih memberikan keuntungan bagi pemilik usaha.

Kata kunci: Belimbing wuluh, tingkat kematangan, pengering kabinet, dekstrin, pengering kabut.


(6)

® Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN PENANGANAN PASCA PANEN BELIMBING

WULUH (Averrhoa bilimbi. L) SEBAGAI BAHAN BAKU

PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MENGGUNAKAN

PENGERINGAN KABUT (SPRAY DRYER).

IRHAMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Judul Tesis : Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer)

Nama : Irhami NRP : F153090051

Program Studi/Mayor : Teknologi Pasca Panen

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pengolahan asam sunti menjadi produk bubuk sebagai bumbu masakan, dengan judul Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer).

Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis mulai penyusunan proposal sampai pada penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si selaku penguji luar komisi atas saran dan

masukannya,

3. Ketua Mayor Teknologi Pascapanen, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB dan staf,

4. Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

6. Bu Rus, Pak Mul, dan Pak Sulyaden yang sudah membantu dan memberikan kemudahan dalam urusan administrasi Mayor TMB,

7. Orang tua penulis (H. Poniman Usman dan Dra. Hj. Sarwati Hamzah), suami tercinta (Abdullah, S.TP), kakak dan adik tersayang (dr. Nurfitriani, Sp.P, Nurbariah, M.Si, Muhammad Baiquni, ST) serta mertua atas segala kasih sayang, kesabaran, doa dan dukungan selama penulis melaksanakan studi, 8. Rekan-rekan seperjuangan dalam TPP’09; Riwan, Jati dan Mamad, serta tak

terlupakan temen-temen TPP’10, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan selama studi,

10. Teman-teman Megakost; Epi, Tajul, Ayu, Putri, Vony, Nia, Mba Farida, Mba Anty, Mba Tia, Mba Tami, terimakasih untuk kebersamaan dan canda tawanya selama ini.


(11)

11. Serta masih banyak lagi ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkat dan anugerah-Nya berlimpah bagi beliau-beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari dalam karya ilmiah ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu semua saran dan kritik penulis terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Akhirnya harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin……….

Bogor, Juli 2012


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Montasik, Aceh Besar pada tanggal 07 Juli 1980 sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Poniman Usman dan Dra. Hj. Sarwati Hamzah. Penulis lulus dari MAN 2 Banda Aceh pada tahun 2000 lalu melanjutkan S1 tahun 2000 di Program Studi Tarbiyah Pendidikan Agama Institut Agama Islam Negeri Arraniry (IAIN Arraniry) melalui jalur Undangan dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis juga diterima di Program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) melalui jalur UMPTN dan selesai tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Mayor Teknologi Pascapanen di Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) ... 5

2.2. Fisiologi Pasca Panen Buah Belimbing ... 6

2.3. Asam Sunti... 8

2.4. Garam ... 8

2.5. Bubuk ... 10

2.6. Pengeringan ... 11

2.6.1. Pengering Kabinet ... 12

2.6.2. Pengering Kabut ... 13

2.7. Dekstrin ... 14

2.8. Analisis Nilai Tambah (Metode Hayami) ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2. Bahan dan Alat ... 19

3.3. Metode Penelitian... 20

3.3.1. Penelitian Pendahuluan ... 20

3.3.2. Penelitian Tahap Pertama ... 20

3.3.3. Penelitian Tahap Kedua ... 21

3.4. Rancangan Percobaan... 22

3.5. Metode Analisis ... 23

3.5.1. Rendemen... 23

3.5.2. Kekerasan ... 24

3.5.3. Warna ... 24

3.5.4. Kadar Air... 24

3.5.5. Pengukuran pH ... 25

3.5.6. Daya Kelarutan ... 25

3.5.7. Total Asam ... 25

3.5.8. Asam Oksalat ... 26


(14)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1. Penelitian Pendahuluan ... 27

4.1.1. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua ... 27

4.1.2. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua ... 29

4.2. Penelitian Utama ... 31

4.2.1. Penelitian Utama Tahap Pertama ... 31

4.2.1.1. Rendemen Asam Sunti ... 31

4.2.1.2. Kadar Air Asam Sunti... 33

4.2.1.3. pH Asam Sunti ... 36

4.2.1.4. Total Asam ... 38

4.2.1.5. Asam Oksalat Asam Sunti ... 41

4.2.1.6. Warna Produk Asam Sunti ... 43

4.2.1.7. Uji Organoleptik Asam Sunti ... 47

4.2.1.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa ... 47

4.2.1.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna ... 50

4.2.1.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma ... 51

4.2.1.7.4. Penerimaan Sensori Terhadap Tekstur ... 53

4.2.1.7.5. Penerimaan Keseluruhan ... 56

4.2.1.8. Perlakuan Terbaik Asam Sunti ... 58

4.2.2. Penelitian Utama Tahap Kedua ... 59

4.2.2.1. Rendemen Bubuk asam Sunti ... 62

4.2.2.2. Kadar Air Bubuk asam Sunti ... 65

4.2.2.3. pH Bubuk asam Sunti ... 68

4.2.2.4. Total Asam Bubuk asam Sunti ... 71

4.2.2.5. Asam Oksalat Bubuk asam Sunti ... 74

4.2.2.6. Daya Kelarutan Bubuk asam Sunti ... 76

4.2.2.7. Uji Organoleptik Bubuk asam Sunti ... 79

4.2.2.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa ... 79

4.2.2.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna ... 83

4.2.2.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma ... 86

4.2.2.7.4. Penerimaan Keseluruhan ... 90

4.2.2.8. Perlakuan Terbaik Bubuk Asam Sunti... 94

4.3. Nilai Tambah Produk Asam Sunti Semi Basah dan Bubuk Asam Sunti... 95

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

5.1. Kesimpulan ... 100

5.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh ... 6

2 Analisis perhitungan nilai tambah Hayami ... 18

3 Nilai warna, ukuran, kekerasan dan total asam belimbing wuluh dari berbagai tingkat kematangan ... 28

4 Kadar air dan waktu lama pengeringan belimbing wuluh untuk tiga tingkat kematangan ... 30

5 Kandungan Asam Organik Buah Belimbing Wuluh ... 43

6 Analisis Nilai Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah ... 97


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagian dari tanaman belimbing wuluh (a) pohon, (b) bunga dan

(c) buah ... 5 2 Skema respirasi klimakterik dan non-klimakterik ... 7 3 Alat pengering yang digunakan dalam penelitian (a) alat pengering

Kabinet dryer dan (b) alat pengering Spray dryer ... 19 4 Diagram pembuatan asam sunti ... 21 5 Diagram pembuatan asam sunti bubuk ... 22 6 Tingkat kematangan buah belimbing wuluh; (a) belum matang (hijau),

(b) setengah matang (hijau:kuning) dan (c) matang (kuning) ... 27 7 Perbandingan rendemen asam sunti berdasarkan tingkat kematangan

buah dan suhu pengeringan ... 31 8 Perbandingan kadar air asam sunti berdasarkan tingkat kematangan

buah dan suhu pengeringan ... 35 9 Perbandingan pH asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah

dan suhu pengeringan... 37 10 Perbandingan total asam berdasarkan tingkat kematangan buah dan

suhu pengeringan ... 39 11 Perbandingan asam oksalat asam sunti berdasarkan tingkat kematangan

buah dan suhu pengeringan ... 42 12 Perbandingan tingkat kecerahan (Nilai L) asam sunti berdasarkan

tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 44 13 Perbandingan nilai a asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah

dan suhu pengeringan... 45 14 Perbandingan nilai b asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah

dan suhu pengeringan... 45 15 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa asam sunti

berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 48 16 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa asam

sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 49 17 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna asam sunti

Berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 50 18 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna asam


(17)

19 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 52 20 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma asam

sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 52 21 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap tekstur asam sunti

berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 54 22 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap tekstur asam

sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 55 23 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap produk

asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 56 24 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap

produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu

pengeringan ... 57 25 Hasil produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian dengan berbagai

tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 61 26 Hasil produk bubuk dari asam sunti lokal dengan berbagai tingkat

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 61 27 Perbandingan rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian

berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 63 28 Perbandingan rendemen bubuk asam sunti lokal berdasarkan

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 64 29 Perbandingan kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian

berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 66 30 Perbandingan kadar air bubuk asam sunti lokal berdasarkan

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 67 31 Perbandingan pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian

berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 69 32 Perbandingan pH bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi

dekstrin dan suhu pengeringan ... 70 33 Perbandingan total asam bubuk dari asam sunti hasil penelitian

berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 72 34 Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 73 35 Perbandingan asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil penelitian

berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 74 36 Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 75 37 Perbandingan daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil penelitian


(18)

38 Perbandingan daya kelarutan bubuk asam sunti lokal berdasarkan

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 77 39 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari

asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengeringan ... 80 40 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk

dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengeringan ... 81 41 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam

sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 82 42 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk

asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu

pengeringan ... 83 43 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk dari

asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengeringan ... 84 44 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari

asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 85 45 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk asam

sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 86 46 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna bubuk

asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu

pengeringan ... 86 47 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk dari

asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 87 48 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk

dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengeringan ... 88 49 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk asam

sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 89 50 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk

asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu

pengeringan ... 90 51 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk

dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengeringan ... 91 52 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap

bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan... 92


(19)

53 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengeringan ... 93 54 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap

bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lama pengeringan dan kadar air dari beberapa tingkat kematangan

belimbing wuluh dan suhu pengeringan ... 109 2 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti ... 110 3 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

Suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti ... 110 4 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti ... 111 5 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

Suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti ... 111 6 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap pH asam sunti ... 112 7 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

Suhu pengeringan terhadap pH asam sunti ... 112 8 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap total asam asam sunti ... 113 9 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap asam oksalat asam sunti ... 113 10 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti... 114 11 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

Suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti ... 114 12 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap warna (nilai a) asam sunti ... 115 13 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap warna (nilai b) asam sunti ... 115 14 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis

Aceh ... 116 15 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis


(21)

16 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis luar

Aceh ... 117 17 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis luar

Aceh ... 117 18 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam sunti panelis

Aceh ... 118 19 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam sunti panelis luar

Aceh ... 118 20 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis

Aceh ... 119 21 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis

Aceh ... 119 22 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis luar

Aceh ... 120 23 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis luar

Aceh ... 120 24 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis

Aceh ... 121 25 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis

Aceh ... 121 26 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis luar

Aceh ... 122 27 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis luar

Aceh ... 122 28 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis Aceh ... 123 29 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis Aceh ... 123


(22)

30 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis luar Aceh ... 124 31 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan

suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis luar Aceh ... 124 32 Data parameter yang diuji pada berbagai tingkat kematangan belimbing

Wuluh dan suhu pengeringan ... 125 33 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 126 34 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spraydryer terhadap rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 126 35 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap rendemen bubuk asam sunti lokal ... 127 36 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap rendemen

bubuk asam sunti lokal ... 127 37 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 128 38 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap kadar air

bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 128 39 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal ... 129 40 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spraydryer terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal ... 129 41 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 130 42 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap pH bubuk dari

asam sunti hasil penelitian ... 130 43 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap pH bubuk asam sunti lokal ... 131 44 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap

pH bubuk asam sunti lokal ... 131 45 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap total asam bubuk dari asam sunti hasil

penelitian ... 132 46 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap total asam bubuk asam sunti lokal ... 132 47 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap total asam


(23)

48 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil

penelitian ... 133 49 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap asam oksalat bubuk asam sunti lokal ... 134 50 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap asam oksalat

bubuk asam sunti lokal ... 134 51 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil

penelitian ... 135 52 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spraydryer terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ... 135 53 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ... 136 54 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap daya kelarutan

bubuk asam sunti lokal ... 136 55 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk dari

asam sunti hasil penelitian ... 137 56 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap organoleptik

panelis Aceh pada rasa bubuk dari asam hasil penelitian ... 137 57 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa bubuk

dari asam sunti hasil penelitian ... 138 58 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan spray

dryer dan interaksi terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa

bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 138 59 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk asam

sunti lokal ... 139 60 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa bubuk

asam sunti lokal ... 139 61 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 140 62 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk


(24)

63 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk dari asam sunti hasil

penelitian ... 141 64 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada warna bubuk asam sunti lokal ... 141 65 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk

asam sunti lokal ... 142 66 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada aroma bubuk dari

asam sunti hasil penelitian ... 142 67 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 143 68 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap

organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk dari asam sunti hasil

penelitian ... 143 69 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada aroma bubuk

asam sunti lokal ... 144 70 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk asam sunti lokal ... 144 71 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 145 72 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap penerimaan

keseluruhan panelis Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 145 73 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada

bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 146 74 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan dan

interaksi terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 146 75 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk

asam sunti lokal ... 147 76 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada


(25)

77 Data parameter bubuk asam sunti hasil penelitian yang diuji pada berbagai tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 148 78 Data parameter bubuk asam sunti lokal yang diuji pada berbagai tingkat

konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 149 79 Data bahan baku dan bahan penolong, serta analisis nilai tambah

pengolahan asam sunti semi basah ... 150 80 Data bahan baku dan bahan penolong, serta analisis nilai tambah

pengolahan bubuk asam sunti ... 151 81 Formulir pengujian organoleptik (hedonic test) ... 152


(26)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) atau sering disebut belimbing asam merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh. Belimbing wuluh banyak ditanam masyarakat dan biasa dipakai sebagai bumbu untuk beberapa masakan karena rasa khasnya tidak dapat digantikan oleh buah lain. Biasanya belimbing wuluh ini terlebih dahulu diolah menjadi makanan atau dikeringkan sebelum dikonsumsi (Lingga, 1997).

Di daerah Aceh, belimbing wuluh yang dikeringkan untuk bumbu

masakan dinamakan dengan ”asam sunti”. Pembuatan asam sunti saat ini masih

dalam bentuk produk olahan semi basah, belum dijadikan produk olahan yang lebih praktis untuk digunakan seperti halnya bumbu masakan seperti jahe, kunyit, lada, cabe dan beberapa bumbu masakan lainnya. Upaya pembuatan bumbu-bumbu dalam bentuk bubuk selain untuk kepraktisan dalam penggunaannya, juga untuk meningkatkan nilai tambah melalui tindakan pemasaran yang lebih luas dengan masa simpan lebih lama. Penggunaan asam sunti yang tidak terbatas hanya di wilayah Aceh, menjadi pendorong untuk membuat asam sunti dalam bentuk bubuk seperti halnya bubuk dari bumbu-bumbu yang lain.

Pengolahan asam sunti menjadi bubuk akan memudahkan dalam penggunaannya karena bentuk bubuk lebih awet, penampakan lebih menarik dan higienis, mudah dikemas dalam bentuk kemasan retail (eceran) yang menarik sehingga dapat dipasarkan di pasar modern untuk meningkatkan nilai jual asam sunti di luar Aceh.

Asam sunti (asam sunti semi basah) yang dihasilkan oleh masyarakat Aceh pada umumnya diolah dari buah belimbing wuluh yang ada di lahan tanpa memperhatikan kualitas bahan bakunya, diantaranya adalah tingkat kematangan buah. Tingkat kematangan buah diduga akan berpengaruh terhadap mutu asam sunti yang dihasilkan. Sebagai bahan baku bubuk asam sunti, maka asam sunti yang dihasilkan dari pengolahan buah belimbing wuluh segar seharusnya memiliki mutu yang baik dan distandarkan agar mudah dalam melakukan pengolahan menjadi bubuk asam sunti pada skala industri. Kajian tingkat


(27)

kematangan buah dalam menghasilkan asam sunti perlu dilakukan untuk dapat menetapkan tingkat kematangan dan lama pengeringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan asam sunti dengan mutu yang baik dan diharapkan dapat dijadikan standar bagi pembuatan bubuk asam sunti.

Penelitian pembuatan asam sunti secara mekanis dengan mesin pengering telah dilakukan oleh Hayati (2002). Pada penelitian tersebut proses pembuatan asam sunti dilakukan dengan menggunakan belimbing wuluh yang umur petiknya 34 hari setelah bunga mekar. Hasil asam sunti terbaik diperoleh pada perlakuan penggaraman awal saat pengeringan dengan suhu pengeringan 60ºC menggunakan cabinet dryer. Penggaraman dilakukan dengan penambahan 10% garam dalam tiga kali penambahan (Zuhra dan Syamsuddin, 2007).

Proses pembuatan bubuk berbahan hasil pertanian telah banyak dilakukan dengan menggunakan proses spray drying (alat pengering kabut). Metode pengeringan kabut mampu mengeringkan produk tanpa harus kontak dengan permukaan panas sehingga komponen-komponen yang terdapat di dalam bahan terutama yang peka terhadap panas tidak mengalami kerusakan setelah menjadi produk. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan hanya beberapa detik saja karena penguapan air terjadi pada permukaan yang luas, sehingga produk yang dihasilkan memiliki sifat dan mutu yang dapat terkontrol secara efektif. Pengeringan dengan spray drying dapat digunakan pada makanan yang peka terhadap panas, menghasilkan produk yang relatif seragam dan partikel-partikelnya berbentuk bulat mendekati proporsi yang sama.

Moreau dan Rosenberg (1996) mengemukakan bahwa pengeringan dengan spray drying memberikan luas permukaan butiran yang sangat besar sehingga mempertinggi proses oksidasi, oleh karena itu kulit yang melapisi butiran harus mampu menahan masuknya O2. Penggunaan bahan penyalut untuk

enkapsulasi biasanya berupa hidrokoloid yaitu polimer rantai panjang dengan berat molekul yang tinggi, memperlihatkan kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan mengemulsi, dapat membentuk lapisan film, serta memiliki kemampuan mengering dan menghasilkan konsentrat larutan dengan viskositas yang rendah.


(28)

Fitrotin et al (2008) menjelaskan bahwa kandungan vitamin C menurun setelah sari buah tomat dibuat menjadi bubuk yang diduga akibat kerusakan vitamin C yang disebabkan oleh proses oksidasi. Oleh karena itu penambahan dekstrin diharapkan dapat mengurangi kerusakan vitamin C. Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah. Semakin tinggi proporsi dekstrin yang digunakan, lapisan film yang mengelilingi droplet akan semakin tebal dan kuat, sehingga ketika proses pengeringan berlangsung partikel vitamin C akan terlindungi (Rosenberg et al., 1990).

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian dalam penyediaan bahan baku berupa pemilihan tingkat kematangan belimbing wuluh segar, proses pembuatan asam sunti menggunakan pengering mekanis dengan perlakuan suhu pengering, dan proses pembuatan bubuk asam sunti menggunakan spray drying.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kematangan belimbing wuluh dan perlakuan pengolahan dalam memproduksi bubuk asam sunti terhadap mutu yang dihasilkan.

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan

(menggunakan pengering kabinet) untuk menghasilkan asam sunti yang baik berdasarkan preferensi konsumen.

2. Menentukan suhu pengeringan terbaik spray dryer untuk menghasilkan bubuk asam sunti.

3. Menentukan perlakuan dekstrin yang optimum terhadap mutu bubuk asam sunti.


(29)

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai umur petik belimbing wuluh (tingkat kematangan) yang terbaik untuk dijadikan sebagai bahan baku bubuk asam sunti.

2. Memberikan alternatif produk asam sunti dalam bentuk bubuk instan yang diharapkan mampu memberi nilai tambah, praktis dalam penggunaan dan distribusinya.

3. Meningkatkan jangkauan distribusi dan nilai jual asam sunti di luar daerah Aceh.


(30)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

Buah belimbing adalah nama Melayu untuk jenis tanaman buah dari keluarga Oxalidaceae, marga Averrhoa. Tanaman belimbing dibagi menjadi dua jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoacarambola) dan belimbing asam (Averrhoabilimbi) atau disebut juga dengan belimbing wuluh atau belimbing sayur, belimbing asam atau belimbing buluh, merupakan tanaman yang mempunyai buah berasa asam yang kaya khasiat dan sering digunakan sebagai bumbu sayuran atau campuran jamu (Lingga, 1997).

Tumbuhan belimbing wuluh berjenis pepohonan yang hidup di ketinggian dari 5-500 meter di atas permukaan laut. Pohon ini dapat mencapai tinggi 10 meter dengan batang yang tidak begitu besar dan mempunyai garis tengah sekitar 30 cm. Batang belimbing wuluh kasar, percabangannya sedikit dan arahnya condong ke atas, dimana cabang muda berambut halus seperti beledru, warnanya coklat muda. Daunnya majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Perbungaan berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau percabangan yang besar, bunganya kecil-kecil berbentuk bintang dengan warna ungu kemerahan. Buahnya merupakan buah buni dengan bentuk bulat lonjong bersegi yang memiliki panjang 4-10 cm. Buahnya berwarna hijau bila masih muda dan berwarna kuning sampai kuning pucat bila telah masak, dimana daging buahnya berair dan sangat asam (Gambar 1). Biasanya buah belimbing wuluh digunakan sebagai penyedap masakan, membersihkan noda pada kain, mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, juga sebagai bahan obat tradisional (Anonim, 2010).

Gambar 1. Bagian dari Tanaman Belimbing Wuluh (a) Pohon, (b) Bunga dan (c) Buah


(31)

Belimbing wuluh selain mengandung vitamin A, B, dan C, juga mengandung saponin dan flavonoid. Vitamin C dalam belimbing wuluh cukup besar, tetapi kurang diminati oleh masyarakat karena rasanya sangat asam. Belimbing wuluh jarang dimakan sebagai buah segar, tetapi lebih banyak digunakan sebagai bumbu.

Kandungan gizi yang ada pada belimbing wuluh cukup banyak sehingga bila tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia. Adapun komposisi kimia yang terdapat dalam belimbing wuluh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh

Komponen Jumlah

Energi (kal) 32

Karbohidrat (gr) 7

Protein (gr) 0.4

Vitamin C (mg) 52

Kalsium (mg) 10

Phospor (mg) 10

Zat Besi (mg) 1

Sumber: Lingga, 1985 di dalam Haryati (2010)

2.2. Fisiologi Pasca Panen Buah Belimbing

Rahardi et al (2000) mengatakan bahwa buah belimbing wuluh termasuk ke dalam golongan buah non-klimakterik. Buah non-klimakterik mempunyai pola respirasi yang berbeda dengan buah klimakterik, dimana pada buah non-klimakterik, jumlah CO2 yang dihasilkan terus menurun secara

perlahan-lahan sampai pada saat senescene, sedangkan pada buah klimakterik menunjukkan adanya laju produksi CO2 yang sangat rendah saat praklimakterik,

diikuti dengan peningkatan mendadak saat puncak klimakterik dan penurunan laju produksi CO2 pada fase senesence (Gambar 2) (Winarno, 2002). Secara praktis,

perbedaan antara buah klimakterik dan buah non klimakterik terkait dengan tingkat kematangan buah setelah panen maupun sebelum dipanen. Buah klimakterik yang dipanen pada saat sudah tua (mature), untuk mendapatkan kematangan yang optimum dapat dilakukan dengan pemeraman (karbit), tetapi pada buah non klimakterik kematangan hanya dapat diperoleh ketika buah masih


(32)

di pohon, bila buah dipanen dalam keadaan belum matang maka buah tersebut tidak akan matang lagi setelah dipanen.

Gambar 2. Skema Respirasi Klimakterik dan Non-Klimakterik

Menurut Muchtadi (1992), selama proses pematangan terjadi beberapa perubahan penting pada buah-buahan, misalnya warna yang asalnya hijau menjadi kuning atau merah, rasa yang asalnya asam menjadi manis, teksturnya menjadi lebih lunak, terbentuknya vitamin, dan timbulnya aroma yang khas karena terbentuknya senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil). Proses di atas dapat terjadi pada buah klimakterik pasca dipanen tetapi tidak dapat terjadi pada buah non-klimakterik.

Mutu buah yang baik adalah apabila pemanenan dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat. Selama pematangan, buah mengalami beberapa perubahan dalam warna, tekstur dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan-perubahan dalam susunannya. Pantastico (1997) mengatakan bahwa pada jeruk manis perubahan warna diakibatkan oleh perombakan klorofil dan pembentukan zat warna karotenoid. Sedangkan pada buah belimbing, perubahan warna yang terjadi tidak menyolok, karena pada umur buah di atas 40 hari setelah bunga mekar baru terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning.

Menetapkan tingkat kematangan buah pada saat panen akan sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil, dan juga sangat berpengaruh pada penanganan pascapanen buah tersebut. Umumnya selama proses pematangan


(33)

buah, kadar asam organik cenderung menurun akibat dikonversi menjadi gula (Zulkarnain, 2010).

Menurut Prabowo (2009) umur panen buah belimbing sangat dipengaruhi oleh letak geografi penanaman, yaitu faktor lingkungan dan iklim. Ciri buah belimbing yang sudah saatnya dipanen adalah ukurannya besar (maksimal), telah matang dan warna buahnya berubah dari hijau menjadi kuning.

Waktu panen merupakan faktor yang penting dalam mengurangi kemerosotan kualitas karena dapat mempengaruhi kelunakan dari produk akhirnya. Pelunakan buah biasanya disebabkan karena adanya perombakan protopektin yang tidak larut menjadi larut atau hidrolisis zat pati atau lemak.

2.3. Asam Sunti

Asam sunti adalah jenis bumbu dapur khas Aceh yang terbuat dari belimbing wuluh yang telah dikeringkan. Biasanya bumbu dapur ini digunakan masyarakat Aceh dalam masakan yang memiliki rasa asam pedas seperti gulai asam ke’eung (ikan bilis), uengkoet kemamah (ikan kayu), pepes ikan dan sebagainya.

Di daerah Aceh, cara pembuatan asam sunti adalah buah belimbing setelah dipanen, dicuci, kemudian dijemur pada sinar matahari. Setelah penjemuran tahap pertama, belimbing kemudian diberi garam dan disimpan di tempat yang teduh dan keesokan harinya dijemur kembali. Kandungan asam dan garam yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme. Penjemuran dilakukan secara berulang-ulang sampai belimbing kering atau kandungan airnya menurun. Biasanya asam sunti yang dihasilkan berwarna coklat dan teksturnya kenyal, bentuknya pipih, ukurannya lebih kecil dari buah segar karena kadar airnya sudah berkurang, rasanya asam dan asin. Asam sunti dapat disimpan dalam waktu lebih dari 3 bulan (Aceh Pedia, 2009).

2.4. Garam

Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia. Bentuknya kristal putih, tetapi kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan yang berasal dari kotoran-kotoran yang ada di dalamnya, seringkali dihasilkan dari air


(34)

laut karena air laut mengandung ± 3% garam dapur. Biasanya garam dapur yang tersedia secara umum adalah Natrium Klorida (NaCl).

Secara umum garam terdiri dari 39.39% Na dan 60.69% Cl dengan kristalnya berbentuk seperti kubus dan berwarna putih. Garam digunakan sebagai pengawet karena mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses osmose dalam bahan dan pada sel-sel mikroorganisme yang menyebabkan plasmolisis sehingga air sel mikroorganisme tertarik keluar dan mikroorganisme mati (Sastra, 2008).

Dalam proses penggaraman bahan akan mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain yaitu kadar air, berat akhir bahan, pH, tekstur dan warna. Penggunaan garam dalam pengolahan bahan makanan selain berfungsi untuk mencegah pembusukkan juga berfungsi untuk membentuk cita rasa. Garam memiliki cita rasa yang khas sehingga penambahan garam pada suatu bahan juga dapat meningkatkan cita rasa dari bahan tersebut. Penggunaan garam dalam proses fermentasi seringkali menghasilkan komponen-komponen yang membentuk cita rasa seperti pada pembuatan kecap, asinan, dan sebagainya.

Garam juga berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan bakteri halofilik. Penggunaan garam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri proteolitik (Winarno dan Fardiaz, 1982). Syarief dan Halid (1993), juga berpendapat bahwa penggaraman bahan pangan akan membatasi jumlah dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini juga dapat disebabkan karena pengurangan aktivitas air bahan pangan oleh garam itu sendiri. Penyimpanan ikan asin pada kadar air 15 persen dengan kadar garam 5-20 persen dapat mempertahankan daya simpan hingga lebih dari satu tahun. Beberapa jenis bakteri yang toleran terhadap kadar garam yang tinggi bahkan tidak dapat tumbuh bila kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10 persen. Biasanya konsentrasi garam dapur yang digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga bahan-bahan lain adalah minimal sebanyak 20% atau 2 ons/kg bahan (Anonim, 2000).

Menurut Muchtadi dan Tien (1989), cara penggaraman dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu metode penggaraman kering dan metode penggaraman basah. Metode penggaraman kering yaitu menggunakan garam dalam bentuk padat atau kristal, sedangkan metode penggaraman basah


(35)

menggunakan larutan garam pada bahan yang akan direndam. Pada pembuatan asam sunti biasanya dilakukan penggaraman dengan cara kering dan konsentrasi garam yang ditambahkan berkisar 10-20% dari berat buah belimbing wuluh.

2.5. Bubuk

Bubuk dan tepung biasanya dibedakan berdasarkan ukuran partikel. Bubuk merupakan produk yang mempunyai ukuran partikel lebih kasar dan dapat melewati saringan berukuran 10-60 mesh. Sedangkan tepung mempunyai ukuran partikel yang lebih halus dan dapat disaring melalui saringan berukuran 100 mesh (Muchtadi, 1989 ; Winarno, 1993).

Dalam proses pengolahan bahan pangan, pengayakan sering digunakan untuk memisahkan campuran yang berbentuk butiran atau bubuk dalam suatu interval ukuran tertentu. Pada tepung hasil pengayakan dapat dicapai dengan 80 mesh, sedangkan pada bubuk adalah 60 mesh. Perbedaan mesh ini disebabkan karena bubuk masih dalam keadaan kasar, sedangkan tepung sudah dalam keadaan halus sehingga mudah menembus pori-pori dari ayakan mesh yang memiliki lubang sesuai dengan jumlah mesh yang dihasilkan (Mc Cabe et al., 1994).

Produk bubuk selain bentuknya yang menarik, saat ini juga sangat diminati oleh masyarakat karena memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah dalam penggunaan, umur simpannya panjang karena kadar air bahan rendah, bubuk yang dihasilkan tidak menggumpal sehingga perlu digunakan kemasan yang kedap udara agar uap air dari lingkungan tidak masuk ke dalam kemasan, dan tidak memakan banyak tempat untuk penyimpanannya.

Penelitian untuk membuat produk bubuk dari komoditi hasil pertanian telah banyak dilakukan antara lain yaitu pembuatan bubuk Spice Blend dari daging buah pala sebagai flavor, bubuk konsentrat kunyit, bubuk bawang putih, bubuk cabe merah, bubuk pepaya terfermentasi, minuman bubuk jambu biji dan masih banyak lagi komoditi pertanian lainnya yang diproduksi dalam bentuk bubuk.


(36)

2.6. Pengeringan

Pengeringan merupakan bagian penting dari proses penanganan pasca panen produk pertanian. Kadar air yang tinggi, membuat pertumbuhan mikroorganisme sangat cepat yang akan mengakibatkan berbagai kerusakan baik secara fisik maupun kimia. Hal tersebut akan menyebabkan umur simpan produk pertanian menjadi sangat pendek.

Menurut Winarno (1993) pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Selama proses pengeringan, air dalam bahan pangan akan dipindahkan ke permukaan bahan dan kemudian diuapkan jika RH (kelembaban) ruangan lebih rendah. Proses ini terjadi hingga keseimbangan kadar air bahan dengan RH lingkungan tercapai (Kuswanto, 2003).

Taib et al (1988) menyatakan bahwa parameter yang mempengaruhi kecepatan pengeringan antara lain adalah suhu, kelembaban, laju aliran udara, kadar air bahan, jenis alat pengering dan bahan baku yang ditambahkan. Ukuran bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya proses pengeringan yang berlangsung. Proses pengeringan akan berlangsung lebih lama dengan rendahnya suhu pengeringan. Namun, jika suhu terlalu tinggi maka bahan akan mengalami kerusakan baik secara fisik maupun kimia. Kelembaban berbanding lurus dengan waktu pengeringan. Jika kelembaban udara tinggi, proses pengeringan akan berlangsung lama. Laju pengeringan akan konstan sampai kadar air bebas di permukaan telah hilang dan laju pengeluaran air makin lama makin berkurang. Kadar air pada saat laju pengeringan berubah dari konstan ke pengeringan menurun disebut kadar air kritis (Brooker et al., 1974).

Menurut Devahastin (2000), pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan umpan basah. Panas yang diberikan dapat disediakan melalui konveksi (pengering langsung), medium pemanas yang dipakai biasanya udara panas atau gas-gas pembakaran ini kontak langsung dengan bahan padat yang dikeringkan, kemudian terjadi difusi uap air dari dan di


(37)

dalam produk pangan. Konduksi (tidak langsung), medium pemanas yang digunakan biasanya uap panas dan terpisah dari bahan padat yang akan dikeringkan, radiasi atau secara volumetrik dengan menempatkan bahan basah tersebut dalam medan elektromagnetik gelombang mikro atau frekuensi radio. Seluruh cara pengeringan kecuali gelombang mikro atau frekuensi radio, menyediakan panas pada batas objek yang dikeringkan sehingga panas berdifusi ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan harus bergerak ke batas bahan sebelum diangkut keluar oleh gas pembawa (atau dengan penerapan vakum pada pengeringan non konveksi).

Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dijemur, pengeringan buatan (menggunakan alat pengering), dan pengeringan beku (freeze drying). Pemilihan alat pengering disesuaikan dengan sifat dan karakteristik bahan yang dikeringkan, bentuk produk akhir yang diinginkan, dan cara kerja mesin pengering (Loesecke dalam Ginting, 2004). Bahan pangan yang berbentuk padat umumnya dikeringkan dengan cabinet dryer, tray dryer, tunnel dryer, dan lain-lain. Bahan pangan yang berbentuk cair dikeringkan dengan menggunakan spray dryer dan drum dryer.

2.6.1. Pengering Kabinet

Pengering kabinet terdiri dari suatu ruangan dimana rak-rak untuk produk yang dikeringkan dapat diletakkan di dalamnya. Di dalam pengering yang berukuran besar tersebut, rak-rak pengering disusun di atas kereta untuk memudahkan penanganannya, sedangkan dalam unit yang berukuran kecil, rak-rak pengering dapat disusun di atas suatu penyangga yang tetap di dalam pengering tersebut. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui suatu pemanas dan kemudian menembus rak-rak yang berisi bahan pangan yang dikeringkan.

Pengering kabinet biasanya merupakan pengering yang paling murah pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya. Pada umumnya pengering ini digunakan untuk penelitian-penelitian dehidrasi sayuran dan buah-buahan di dalam laboratorium, dan di dalam skala kecil serta digunakan secara komersial (Desrosier, 1988).


(38)

2.6.2. Pengering Kabut (Spray Dryer)

Proses pengeringan dengan spray dryer adalah suatu proses mengubah bahan fluida menjadi produk kering dalam satu operasi. Menurut Suharto (1991), spray dryer digunakan untuk mengeringkan bahan yang berbentuk larutan kental (viscous) serta berbentuk pasta (cream). Biasanya produk yang diperoleh dari mesin ini yaitu dalam pengolahan susu menjadi tepung, susu telur menjadi tepung telur maupun berbagai bahan lainnya. Prinsip pengeringan kabut ini cukup sederhana, yang mana larutan disemprotkan menuju ke dalam ruang pengering. Cairan yang diatomisasikan menggunakan nozzle dan butiran air kontak secara mendadak dengan udara panas dalam ruang pengering. Hasil evaporasi yang cepat mengandung suhu butiran yang rendah sehingga suhu pengering yang tinggal dapat digunakan tanpa mempengaruhi produk. Waktu pengeringan yang sangat singkat memungkinkan spray dryer digunakan untuk produk-produk yang peka terhadap panas dan menghasilkan produk berkualitas tinggi (Widodo dan Budiharti, 2006).

Suhu inlet dan suhu outlet yang digunakan pada spray dryer tergantung dari bahan yang akan dikeringkan. Pola aliran udara, kelembaban, suhu, aliran cairan dan pembentukan butiran merupakan variabel-variabel proses utama dari spray dryer. Menurut Singh dan Heldman (2001), keuntungan dari penggunaan alat spray dryer adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi dalam ruang pengeringan (residence time) singkat dan produk akhir siap dikemas ketika selesai proses dengan kadar air bahan yang dihasilkan berkisar 3% hingga 5% dengan tekanan-tekanan nozzle sekitar 125 hingga 350 kg/cm2 (122.58 hingga 343.23 bar) (Suharto, 1991). Residence time pada alat pengering semprot yaitu antara 5-100 detik dan partikel yang dihasilkan mempunyai ukuran 10-500 µ m (Canovas dan Mercado, 1996). Oleh karena tuntutan produk, maka udara/uap yang masuk pun dipergunakan penyaring untuk membersihkan udara panas ke dalam ruang pengering. Tempat pengumpul hasil pengeringan berada pada bagian paling bawah dari ruang pengering dan dikumpulkan dengan bantuan pengerok ataupun klep yang berputar. Pada sebagian tipe mesin yang lain, bahan kering keluar dari ruang pengeringan bersama-sama dengan udara panas/uap panas yang keluar (Suharto, 1991).


(39)

Menurut Masters didalam Lindawati (1992), ada tiga elemen terpenting pada alat spray dryer yaitu atomizer, ruang pengering dan pengumpul partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang akan dikeringkan. Untuk buah-buahan, suhu pengeringan yang umum digunakan berkisar antara 135-180ºC.

Penelitian yang dilakukan Rahayu (1988), menghasilkan bubuk bawang putih terbaik yaitu produk cukup kering dengan aroma yang masih tajam dengan menggunakan spray dryer pada kisaran suhu 160-170ºC dibandingkan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari, oven biasa (Electric driyer oven), cabinet dryer, dan oven vakum. Sedangkan pada penelitian Lindawati (1992), produk minuman bubuk jambu biji terbaik diperoleh pada penggunaan suhu spray dryer180ºC dengan tekanan 4,8 kg/cm2. Bila tekanan dinaikkan atau diturunkan akan diperoleh produk yang agak basah (lengket).

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2002), menyatakan bahwa suhu terbaik untuk mengeringkan gelatin tipe A dan tipe B dari kulit sapi menggunakan spray dryer adalah suhu 170ºC dengan laju alir bahan 15 ml/menit. Karakteristik kedua jenis gelatin tersebut masuk dalam standar SNI yang berlaku. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sharief (2006), penggunaan spray dryer dengan suhu 180ºC, menghasilkan rendemen teh hijau instan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan suhu 120 dan 150ºC. Teh hijau instan yang dihasilkan bersifat mudah larut pada air panas.

2.7. Dekstrin

Young et al (1993) mengatakan bahwa untuk bahan-bahan yang akan menggunakan metode spray drying maka bahan penyalut yang digunakan harus memperlihatkan kemampuan kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan mengemulsi, dapat membentuk lapisan, kemampuan mengering dan menghasilkan konsentrat larutan dengan viskositas yang rendah. Pada penggunaan spray dryer untuk mengenkapsulasikan bahan, maka bahan yang akan dilakukan atomisasi sebelumnya harus dilarutkan terlebih dahulu bersama bahan pengenkapsulasinya, tetapi keduanya bersifat tidak saling melarutkan.


(40)

Senyawa yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi adalah pati yang telah dimodifikasi oleh asam, basa dan enzim yang biasanya dipecah-pecah sampai Dextrose Equivalent (DE) tertentu. Salah satu produk yang dihasilkan oleh degradasi pati yang memiliki viskositas rendah serta DE lebih kecil dari 20 yaitu dekstrin.

Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati secara tidak sempurna, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul yang lebih kecil dan larut dalam air. Acton (1976) menyatakan bahwa dekstrin mempunyai rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur molekulnya lebih kecil dan bercabang

dibandingkan pati. Menurut Shallenberger dan Birch (1975), struktur molekul dekstrin berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap di

dalam struktur “spiral helix”. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat

menekan komponen volatil selama proses pengolahan.

Dekstrin merupakan campuran dari banyak jenis molekul oligosakarida yang berbeda baik dalam ukuran maupun dalam derajat percabangannya. Perbedaan struktur molekul pati dengan dekstrin menyebabkan terjadinya perbedaan sifat antara pati dan dekstrin tersebut. Dalam pembuatan dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh suatu enzim atau hidrolisa asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu dengan 6-10 unit glukosa. Dengan berkurangnya panjang rantai, maka terjadi perubahan sifat dimana pati yang tidak larut dalam air dingin menjadi dekstrin yang mudah larut (Somaatmadja, 1970).

Fennema (1976) mengatakan bahwa dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, karena itu pemakaian dekstrin dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini sangat menguntungkan apabila pemakaian dekstrin sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan dalam bentuk bubuk.

Penambahan dekstrin tidak meningkatkan kekentalan secara berlebihan sehingga dapat digunakan lebih banyak, tetapi konsentrasi dekstrin yang terlalu banyak dapat mengakibatkan warna produk menjadi pucat. Penambahan dekstrin juga dapat meningkatkan rendemen serta mempermudah proses pengeringan. Penggunaan dekstrin sebagai bahan penyalut menghasilkan enkapsulasi vitamin,


(41)

flavor, lemak dan bahan-bahan lain, yang tidak mengkristal dan terbentuk penampakan yang baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitrotin et al (2008), menyatakan bahwa penambahan konsentrasi dekstrin 5% memberikan kualitas bubuk sari buah tomat yang baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Murtala (1999), menyatakan bahwa penambahan dekstrin 10% menghasilkan kualitas bubuk sari buah markisa yang baik secara fisik, kimia dan organoleptik. Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Lindawati (1992), menyatakan bahwa penambahan konsentrasi dekstrin 9% memberikan hasil yang baik pada minuman bubuk jambu biji daripada penambahan konsentrasi dekstrin 17% yang menghasilkan penampakan produk yang kurang baik.

2.8. Analisis Nilai Tambah (Metode Hayami)

Nilai tambah didefinisikan sebagai pertambahan nilai yang terjadi pada suatu komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses pengolahan lebih lanjut dalam suatu proses produksi (Harjanto, 1989). Analisis nilai tambah ini merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar imbalan bagi tenaga kerja dan keuntungan yang diperoleh pengusaha untuk setiap kilogram bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Nilai tambah yang tinggi dapat digunakan sebagai parameter untuk pengembangan suatu agroindustri. Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan analisa nilai tambah dari pengolahan hasil pertanian adalah metode Hayami (Tabel 2)

Pada perhitungan nilai tambah dapat diketahui kategori suatu agroindustri berdasarkan rasio nilai tambahnya yang dihasilkan dari pembagian antara nilai tambah dan nilai output dari produk dan dipersenkan. Dengan rasio nilai tambah, maka suatu agroindustri dapat dikategorikan bernilai tambah rendah, sedang atau tinggi. Kategori nilai tambah rendah, sedang dan tinggi ditentukan dengan kriteria, yaitu nilai tambah dikatakan rendah jika nilai rasio <15%, sedang jika nilai rasio berkisar 15%-40% dan tinggi jika nilai rasio >40% (Sari, 2011).


(42)

Pengolahan produk pertanian menjadi produk-produk tertentu untuk diperdagangkan akan memberikan banyak arti ditinjau dari segi ekonomi menurut (Soekartawi, 2001) antara lain:

1. Meningkatkan nilai tambah

Adanya pengolahan produk pertanian dapat meningkatkan nilai tambah, yaitu meningkatkan nilai (value) komoditas pertanian yang diolah dan meningkatkan keuntungan pengusaha yang melakukan pengolahan komoditas tersebut.

2. Meningkatkan kualitas hasil

Dengan kualitas hasil yang lebih baik, maka nilai barang akan menjadi lebih tinggi. Kualitas hasil yang baik dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang digunakan. Perbedaan segmentasi pasar, tetapi juga mempengaruhi harga barang itu sendiri.

3. Meningkatkan pendapatan

Selain pengusaha, petani penghasil bahan baku yang digunakan dalam industri pengolahan tersebut akan mengalami peningkatan pendapatan.

4. Menyediakan lapangan kerja

Dalam proses pengolahan produk-produk pertanian menjadi produk lain tentunya tidak terlepas dari adanya keikutsertaan tenaga manusia sehingga proses ini akan membuka peluang bagi tersedianya lapangan kerja.

5. Memperluas jaringan distribusi

Adanya pengolahan produk-produk pertanian akan menciptakan atau meningkatkan diversifikasi produk sehingga keragaman produk ini akan memperluas jaringan distribusi.


(43)

Tabel 2. Analisis Perhitungan Nilai Tambah Hayami

Variabel Nilai

I. Output, Input dan Harga

1.Output (Kg) (1)

2.Input (Kg) (2)

3.Tenaga Kerja (HOK) (3)

4.Faktor Konversi (4) = (1)/(2)

5.Koefisien Tenaga Kerja (HOK) (5) = (3)/(2)

6.Harga Output (Rp/Kg) (6)

7.Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7)

II. Penerimaan dan Keuntungan

8.Harga bahan Baku (Rp/Kg) (8)

9.Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) (9)

10. Nilai Output (Rp/Kg) (10) = (4) x (6)

11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) b. Rasio Nilai Tambah (%)

(11a) = (10) – (9) – (8) (11b) = (11a)/(10) x 100% 12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg)

b. Pangsa Tenaga Kerja (%)

(12a) = (5) x (7)

(12b) = (12a)/(11a) x 100% 13. a. Keuntungan (Rp/Kg)

b. Tingkat Keuntungan (%)

(13a) = (11a) – (12a) (13b) = (13a)/(11a) x 100% III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/Kg)

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) b. Sumbangan Input Lain (%)

c. Keuntungan Pemilik Perusahaan (%)

(14) = (10) – (8)

(14a) = (12a)/(14) x 100% (14b) = (9)/(14) x 100% (14c) = (13a)/(14) x 100% Sumber: Hayami et al., 1987 di dalam Slamet (2005)


(44)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Pilot Plant SEAFAST (Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology) Center, Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi, Laboratorium Pengolahan Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 hingga Januari 2012.

3.2. Bahan dan Alat

Dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi. L) yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah dekstrin, garam dapur beryodium yang diperoleh di Pasar Anyar. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah amilum, iod 0.01 N, indikator phenolftalen, NaOH 0.01 N, aquades, buffer pH 4 dan buffer pH 7.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pengering mekanik (pengering kabinet) dari New Land Engineering, pengering kabut (spray dryer) mini merk Buchi 190 (Gambar 3), homogenizer, kain saring, timbangan analitik, jangka sorong dan baskom. Alat yang digunakan untuk analisis adalah Rheometer model CR-500 untuk mengukur kekerasan, Chromameter merk Minolta untuk mengukur warna, pH meter, cawan porselin, oven, desikator/eksikator, tabung reaksi, labu takar, pipet tetes, pompa vakum, dan kertas saring Whatman no 41 dan 42.

Gambar 3. Alat pengering yang digunakan dalam penelitian (a) Alat pengering cabinetdryer dan (b) Alat pengering spray dryer


(45)

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan pertama dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan dari buah belimbing wuluh dengan melakukan pengukuran berdasarkan warna, ukuran, kekerasan, total asam dan asam oksalat. Penelitian pendahuluan kedua dilakukan untuk menentukan lama waktu pengeringan belimbing wuluh yang terbaik pada masing-masing perlakuan suhu dengan menggunakan cabinet dryer untuk menghasilkan kadar air yang seragam (sesuai dengan kadar air asam sunti tradisional) dari masing-masing perlakuan tingkat kematangan.

3.3.2. Penelitian Utama Tahap Pertama

Penelitian dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu cabinet dryer yang baik untuk menghasilkan asam sunti dengan mutu yang bagus.

Belimbing wuluh dengan beberapa tingkat kematangan ditimbang dan dicuci kemudian dilumuri dengan garam dengan rasio 20% dari berat bahan dan didiamkan selama 24 jam, selanjutnya dikeringkan di dalam cabinet dryer pada suhu 50, 65, dan 80ºC. Suhu lingkungan disekitar alat pengering berkisar 30-35°C dengan RH diwilayah Bogor ±70%. Lama waktu pengeringan diperoleh dari penelitian pendahuluan. Kemudian baru dihasilkan produk asam sunti.

Parameter yang diamati yaitu rendemen, kadar air, pH, total asam, asam oksalat, warna menggunakan chromameter, organoleptik warna, rasa, aroma dan tekstur. Berdasarkan parameter tersebut ditentukan tingkat kematangan dan suhu pengeringan yang baik untuk menghasilkan asam sunti terbaik sebagai bahan baku untuk pembuatan bubuk asam sunti. Penelitian tahap pertama digambarkan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 4.


(46)

Gambar 4. Diagram Pembuatan Asam Sunti

3.3.3. Penelitian Utama Tahap Kedua

Penelitian dilakukan untuk menentukan perlakuan penambahan dekstrin dan suhu pengering spray dryer terhadap mutu bubuk asam sunti yang dihasilkan.

Prosedur yang dilakukan pada penelitian tahap kedua ini yaitu, asam sunti dengan kualitas terbaik yang dihasilkan dari penelitian tahap pertama ditimbang lalu dicampur air, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah halus dicampur dengan dekstrin sebanyak 30%, 40% dan 50% per berat bahan awal, kemudian dilakukan pengadukan agar tercampur sempurna. Kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering spray dryer dengan suhu 160, 170 dan 180ºC pada tekanan 2 bar.


(47)

Parameter yang diamati pada produk bubuk asam sunti yaitu rendemen, kadar air, pH, daya kelarutan, total asam, asam oksalat, organoleptik warna, rasa, dan aroma. Adapun diagram alir dari penelitian tahap dua yaitu pembuatan bubuk asam sunti dinyatakan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Pembuatan Asam Sunti Bubuk

3.4. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial). Untuk penelitian tahap pertama terdiri dari 2 faktor yaitu tingkat kematangan buah belimbing wuluh sebanyak 3 taraf dan suhu cabinet dryer sebanyak 3 taraf. Sedangkan penelitian tahap kedua terdiri dari 2 faktor yaitu penambahan dekstrin sebanyak 3 taraf dan suhu spray dryer sebanyak 3 taraf.


(48)

Model rancangan acak lengkap faktorial (RAL Faktorial) dengan dua faktor dan tiga ulangan dapat dilihat pada persamaan berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk . . . (1)

Keterangan :

Yijk = Respon setiap parameter yang diamati µ = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh faktor ke-i

Bj = Pengaruh faktor ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor ke-ij

εijk = Galat percobaan

Untuk mengetahui signifikan pengaruh dari berbagai faktor yang ada, selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam terhadap parameter-parameter yang diamati dan uji lanjut Duncan terhadap data-data yang dihasilkan sesuai model rancangan percobaan yang digunakan. Data hasil penelitian diolah dengan Microsoft Excell for Windows lalu dianalisis dengan program SPSS 17 for windows.

3.5. Metode Analisis 3.5.1. Rendemen

Perhitungan rendemen untuk asam sunti semi basah dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:

. . . (2)

Dimana:

a = Asam sunti semi basah yang dihasilkan b = Belimbing wuluh segar

Perhitungan rendemen menggunakan metode gravimetri, dilakukan untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan bubuk asam sunti dengan persamaan sebagai berikut:


(49)

Dimana:

a = Berat bubuk asam sunti yang dihasilkan (gr) b = Berat pasta asam sunti yang digunakan (gr) c = Berat bahan pengisi yang digunakan (gr)

3.5.2. Kekerasan

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Rheometer CR-500 yang diset dengan mode 20, beban maksimum 2 kg, kedalaman probe 10.0 mm dan laju penekanan 60 mm/menit. Bahan ditekan pada bagian pangkal, tengah dan ujung petiol kemudian hasilnya dirata-ratakan. Nilai kekerasan diperlihatkan dengan penunjukan angka pada display rheometer dalam satuan kgf.

3.5.3. Warna

Pengukuran warna belimbing wuluh dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter (R-200 Minolta). Alat ini mempunyai sistem notasi warna hunter (sistem warna L, a, dan b). Sistem warna L menyatakan parameter kecerahan (brightness) dengan L = 0 (hitam) dan L = 100 (putih). Sistem warna a dan b merupakan koordinat-koordinat kromatisitas, menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a dari 0 sampai +60 untuk warna merah dan

–a dari 0 sampai -60 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan +b dari 0 sampai +60 untuk warna kuning dan nilai

–b dari 0 sampai -60 untuk warna biru.

3.5.4. Kadar Air

Cawan porselen dikeringkan di dalam oven dengan kisaran suhu 100-102ºC selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 20 menit kemudian ditimbang. Sebanyak 2 gram sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105ºC sampai berat konstan. Sebelum ditimbang, sampel didinginkan dahulu di dalam eksikator. Kadar air dihitung dengan rumus:


(1)

Lampiran 75. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu

pengeringan

spray dryer

terhadap penerimaan keseluruhan panelis

Aceh pada bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.159a 8 .145 1.278 .314

Intercept 620.161 1 620.161 5472.013 .000

Dekstrin .690 2 .345 3.042 .073

Suhu .003 2 .001 .013 .987

Dekstrin * Suhu .466 4 .116 1.028 .420

Error 2.040 18 .113

Total 623.360 27

Corrected Total 3.199 26

Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 76. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu

pengeringan

spray dryer

terhadap penerimaan keseluruhan

panelis luar Aceh pada bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .227a 8 .028 .600 .766

Intercept 707.379 1 707.379 14921.281 .000

Dekstrin .021 2 .010 .219 .806

Suhu .045 2 .023 .477 .629

Dekstrin * Suhu .161 4 .040 .852 .511

Error .853 18 .047

Total 708.460 27

Corrected Total 1.081 26

Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.


(2)

Lampiran 77. Data Parameter Bubuk Asam Sunti Hasil Penelitian yang Diuji Pada Berbagai Tingkat Konsentrasi

Dekstrin dan Suhu Pengeringan

Spray Dryer

Perlakuan Rendemen

(%)

Kadar Air

(%) pH

Total Asam (%)

Asam Oksalat (%)

Daya Kelarutan (%)

D1S1 6.73 7.31 1.16 52.80 6.65 88.60

D2S1 7.07 7.06 1.19 52.64 6.63 92.30

D3S1 7.39 5.70 1.44 46.43 5.85 93.31

D1S2 7.05 6.45 1.10 52.98 6.68 90.72

D2S2 8.29 5.75 1.31 48.10 6.06 94.32

D3S2 9.81 5.19 1.58 44.89 5.66 95.88

D1S3 7.95 6.23 1.21 50.59 6.37 92.58

D2S3 10.13 5.68 1.25 49.89 6.29 94.74

D3S3 11.28 5.14 1.28 48.40 6.10 96.47

Organoleptik Bubuk Asam Sunti dari Asam sunti Hasil Penelitian

Perlakuan Panelis Aceh Panelis Luar Aceh

Rasa Warna Aroma Keseluruhan Rasa Warna Aroma Keseluruhan

D1S1 4.8 4.6 4.5 4.5 4.4 4.6 4.6 4.5

D2S1 4.5 4.5 4.5 4.4 4.0 4.5 4.2 4.3

D3S1 4.1 4.4 4.4 4.3 3.5 4.2 4.0 3.8

D1S2 4.6 4.2 4.8 4.4 4.4 4.2 4.4 4.4

D2S2 4.1 4.3 4.7 4.3 4.1 4.6 4.6 4.3

D3S2 4.2 4.2 4.6 4.2 4.4 4.4 4.5 4.4

D1S3 4.6 4.6 5.0 4.9 4.7 4.6 4.8 4.7

D2S3 4.3 4.4 4.7 4.5 4.6 4.6 4.7 4.7

D3S3 4.0 4.2 4.6 4.3 4.4 4.3 4.5 4.4

Keterangan:

D1 = Dekstrin 30% S1 = Suhu Pengeringan 160°C D2 = Dekstrin 40% S2 = Suhu Pengeringan 170°C D3 = Dekstrin 50% S3 = Suhu Pengeringan 180°C


(3)

Lampiran 78. Data Parameter Bubuk Asam Sunti Lokal yang Diuji Pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Dekstrin dan

Suhu Pengeringan

Spray Dryer

Perlakuan Rendemen

(%)

Kadar Air

(%) pH

Total Asam (%)

Asam Oksalat (%)

Daya Kelarutan (%)

D1S1 8.76 8.05 1.31 72.56 9.14 73.23

D2S1 9.28 7.07 1.34 52.60 6.63 79.51

D3S1 14.73 6.59 1.41 49.18 6.20 81.75

D1S2 8.80 7.40 1.45 61.92 7.80 75.11

D2S2 11.88 6.58 1.15 71.61 9.02 80.78

D3S2 14.84 6.36 1.27 61.16 7.71 82.80

D1S3 8.97 6.10 1.39 62.01 7.81 76.14

D2S3 12.80 5.79 1.40 50.54 6.37 83.64

D3S3 14.92 5.77 1.49 50.28 6.33 84.99

Organoleptik Bubuk Lokal

Perlakuan Panelis Aceh Panelis Luar Aceh

Rasa Warna Aroma Keseluruhan Rasa Warna Aroma Keseluruhan

D1S1 4.5 5.0 5.1 5.1 4.9 5.3 5.3 5.2

D2S1 4.4 4.6 4.6 4.7 4.9 5.0 5.4 5.1

D3S1 4.5 4.8 4.5 4.6 4.8 5.3 5.0 5.1

D1S2 4.8 5.2 5.1 5.1 5.0 5.2 5.3 5.2

D2S2 4.7 4.4 4.2 4.4 4.8 5.2 5.4 5.0

D3S2 4.3 5.1 4.9 4.8 5.1 5.3 5.3 5.3

D1S3 4.7 4.8 4.8 4.8 4.9 5.1 5.1 5.1

D2S3 4.6 4.9 4.9 4.8 4.9 5.0 5.1 5.1

D3S3 4.5 4.7 4.8 4.7 4.8 5.0 5.0 5.0

Keterangan:

D1 = Dekstrin 30% S1 = Suhu Pengeringan 160°C D2 = Dekstrin 40% S2 = Suhu Pengeringan 170°C D3 = Dekstrin 50% S3 = Suhu Pengeringan 180°C


(4)

Lampiran 79. Data Bahan Baku dan Bahan Penolong, serta Analisis Nilai

Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah

1.

Komponen Bahan Baku dan Bahan Penolong dalam Pembuatan Asam Sunti

Semi Basah untuk Satu kali Proses

Nama Bahan Satuan Jumlah Komponen

Bubuk Asam Sunti

Belimbing Wuluh Kg 1

Garam Kg 0.200

Air - 3000

2.

Daftar Perincian Hari Orang Kerja (HOK) untuk Satu Kali Proses

(1000 gr Belimbing Wuluh)

Kegiatan Jenis TK Jumlah Orang Lama Kerja (menit)

Penyortiran

Laki-laki 1

10

Pencucian 15

Penggaraman 15

Pengeringan 15

Jumlah 1 55

3.

Perhitungan Sumbangan Input Lain Pengolahan Asam Sunti Semi basah

Input Lain Satuan Harga

Persatuan Volume

Jumlah Biaya

Garam Kg 5.600 0.200 1.120

Air - 0.160 3000 480

Biaya Sewa Alat - 5240 1 5240

Jumlah Input Lain - - - 5721.120

Sumbangan Input Lain/Bahan


(5)

Lampiran 80. Data Bahan Baku dan Bahan Penolong, serta Analisis Nilai

Tambah Pengolahan Bubuk Asam Sunti

1.

Komponen Bahan Baku dan Bahan Penolong dalam Pembuatan Asam Sunti

Semi Basah untuk Satu kali Proses

Nama Bahan Satuan Jumlah Komponen

Bubuk Asam Sunti

Asam Sunti Kg 0.500

Dekstrin Kg 0.300

Air - 1500

2.

Daftar Perincian Hari Orang Kerja (HOK) untuk Satu Kali Proses

(500 gr Asam Sunti)

Kegiatan Jenis TK Jumlah Orang Lama Kerja (menit)

Pengecilan ukuran (blender)

Laki-laki 1

15

Pemerasan 20

Pencampuran dan

Pengadukan 15

Pengeringan 15

Jumlah 1 65

3.

Perhitungan Sumbangan Input Lain Pengolahan Bubuk Asam Sunti

Input Lain Satuan Harga

Persatuan Volume

Jumlah Biaya

Dekstrin Kg 15000 0.300 4500.000

Air - 0.160 1500 240

Biaya Sewa Alat Kg 30000 0.500 15000.000

Jumlah Input Lain 19740.000

Sumbangan Input


(6)

Lampiran 81. Formulir Pengujian Organoleptik (

Hedonic Test

)

Nama panelis : Tanggal pengujian :

Instruksi : Nyatakan penilaian Anda dengan menuliskan skor kesukaan (antara 1 - 7) pada kolom tanggapan terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan penerimaan keseluruhan dengan terlebih dahulu menuliskan kode sampel pada kolom yang tersedia.

Kode Sampel

Tingkat kesukaan yang diuji

Rasa Warna Aroma Tekstur Penerimaan keseluruhan

Keterangan notasi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Agak tidak suka 4. Netral

5. Agak suka 6. Suka 7. Sangat suka