madu yang lebih kuat dan warna putih yang lebih lemah. Hal ini menandakan bahwa warna bubuk madu yang putih tidak disukai. Pada produk minuman instan
sari kurma, warna coklat transparan lebih disukai daripada yang berwarna putih Bahctiar, 2011. Sedangkan pada produk bubuk konsentrat pala, warna yang
disukai adalah warna putih Mulia, 1998. Warna suatu produk merupakan parameter awal yang akan dilihat oleh konsumen, oleh sebab itu warna yang
diharapkan dari suatu produk tergantung dari preferensin konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Berdasarkan kebiasaan yang ada, masyarakat Aceh
menyukai asam sunti yang berwarna coklat.
4.2.1.7. Uji Organoleptik Asam Sunti
Penerimaan dengan indra disebut juga dengan penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif.
Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Kadang-kadang penilaian ini
dapat memberikan hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif Susiwi, 2009.
Tujuan dilakukannya uji organoleptik terkait langsung dengan selera. Setiap orang di setiap daerah memiliki kecenderungan selera tertentu sehingga
produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan selera masyarakat setempat.Adapun penilaian indera dengan cara uji organoleptik meliputi penilai
terhadap tekstur suatu bahan, yaitu salah satu unsur kualitas bahan pangan yang dapat dirasa dengan rabaan ujung jari, lidah, mulut atau gigi, faktor kenampakan
yang meliputi warna dan kecerahan gloss dapat dinilai melalui indera penglihatan, serta flavor adalah suatu rangsang yang dapat dirasakan oleh indera
pembau dan perasa secara bersama-sama. Penilaian Flavor langsung berhubungan dengan indera manusia, sehingga merupakan salah satu unsur kualitas yang hanya
bisa diukur secara subyektif Anonim, 2011
4.2.1.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa
Rasa merupakan komponen sifat sensori yang penting dalam penerimaan produk pangan. Hasil penilaian uji hedonik dari panelis Aceh
terhadap rasa produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.6-4.5
mendekati netral sampai agak suka, sedangkan untuk rasa produk asam sunti lokal 5.4 agak suka, ini menunjukkan bahwa panelis Aceh lebih menyukai
produk asam sunti lokal dibandingkan asam sunti hasil penelitian walaupun skor yang diperoleh hampir mendekati produk lokal. Nilai rata-rata tertinggi produk
asam sunti hasil penelitian terdapat pada perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dan matang penuh dengan suhu pengeringan
80°C selama 3 jam dan rata-rata terendah pada perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50°C selama
9 jam Gambar 15.
Gambar 15. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan
Penilaian uji hedonik panelis dari luar Aceh terhadap rasa produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.1-3.7 agak tidak suka sampai mendekati
netral, sedangkan untuk produk asam sunti lokal diperoleh nilai 3.4 agak tidak suka, ini menunjukkan bahwa panelis dari luar Aceh kurang menyukai rasa asam
yang dimiliki oleh produk asam sunti. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh dari perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu
pengeringan 80°C selama 4 jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan penuh buah belimbing wuluh dengan suhu pengeringan 65°C selama 5 jam
Gambar 16.
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
Gambar 16. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis dari Aceh
Lampiran 14, terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik rasa asam sunti, sehingga pada
hasil uji Duncan Lampiran 15 menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 80°C yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu
pengeringan 50°C dan 65°C, sedangkan nilai organoleptik rasa terendah terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 50°C yang tidak berbeda nyata dengan suhu
pengeringan 65°C akan tetapi berbeda nyata dengan suhu pengeringan 80°C. Sedangkan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua
perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik rasa asam sunti yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk asam sunti yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam uji organoleptik rasa panelis
luar Aceh Lampiran 16, memperlihatkan bahwa perlakuan suhu pengeringan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penerimaan panelis luar
Aceh terhadap rasa asam sunti yang dihasilkan P0.05. Pada uji Duncan terlihat bahwa penggunaan suhu pengering 50°C tidak berbeda hasilnya dengan
menggunakan suhu pengering 65°C dan 80°C, akan tetapi penggunaan suhu pengering 65°C berbeda nyata dengan suhu 80°C Lampiran 17. Tingkat
kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata P0.05 terhadap nilai organoleptik rasa
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0
50 C 65 C
80 C N
il ai
R as
a
Suhu Pengeringan C
Belum Matang Setengah Matang
Matang
asam sunti, sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan. Hal ini diduga bahwa perlakuan tersebut tidak mempengaruhi kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa
asam sunti yang dihasilkan.
4.2.1.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna