Katekese bagi lansia berdasarkan surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat lansia

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Sisiliya Yudiyanti

NIM: 131124015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

i

S K R I P S I

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Sisiliya Yudiyanti

NIM: 131124015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(3)

(4)

KATEKESE

BAG1

KAUM LANSIA

BERDASARKAN SURAT PAUS YOHANES PAULUS I1

KEPADA

UMAT LANSIA

Dipersiapkan

dan ditulis oleh:

Sisiliya Yudiyanti

M:,

1124015

Ketua

Sekretaris

\

Anggota

Yogyakarta, 23 Juni 2017

Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan


(5)

iv

Kedua orang tuaku, Bapak Albertus Suratno (almarhum) dan Ibu Elisabet Jumiati, kakakku Petrus Yudiantoro dan keluarga kecilnya, adikku Martha Yuliana serta Yohanes De Brito yang telah dengan setia selalu mendoakan dan memberi semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mempersembahkan skripsi ini kepada seluruh katekis dan semua orang yang turut terlibat dalam mendampingi para lansia di manapun mereka berada.


(6)

v

tapi berapa banyak cinta yang kita masukkan ke dalam sebuah pemberian" (Bunda Theresa)

"Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tak pantas dijalani."


(7)

(8)

(9)

viii

LANSIA”. Judul skripsi ini diambil berdasarkan keprihatinan penulis kepada kaum lansia yang selama ini kurang mendapat katekese yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Persoalan pokok dalam skripsi ini, yaitu menggali pesan dari surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat lansia dan inspirasi katekese macam apa yang sesuai untuk mendampingi kaum lansia. Persoalan tersebut diolah menggunakan studi pustaka dengan metode deskriptif intepretatif untuk menggali pesan dari surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat lansia. Pesan dari surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat lansia ini menjadi dasar untuk membuat katekese yang sesuai dengan kebutuhan kaum lansia.

Proses menua merupakan proses alami semua makhluk hidup. Batasan mengenai kaum lanjut usia di berbagai negara cukup bervariasi, karena angka harapan hidup masing-masing negara beragam. Angka harapan hidup di negara maju relatif lebih tinggi daripada di negara berkembang. Di Indonesia sendiri batas usia kaum lansia, yaitu 60 tahun ke atas. Terdapat berbagai ciri kaum lansia yang bahagia dan tidak bahagia. Kaum lansia yang bahagia ditandai dengan ciri mampu menerima diri dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Sedangkan kaum lansia yang kurang bahagia salah satunya ditandai dengan ciri mudah mengeluh. Salah satu masalah paling mencolok yang dialami kaum lansia, yaitu terjadinya penurunan fisik dan kesehatan.

Paus Yohanes Paulus II mengajak kaum lansia untuk memaknai dan mensyukuri hidupnya. Paus Yohanes Paulus II juga mengajak mereka untuk tetap terlibat aktif di dalam kerasulan Gereja, misalnya melalui doa-doa mereka. Selain itu, kaum lansia dapat memberikan sumbangan bagi Gereja melalui kesaksian hidup mereka yang dijiwai oleh semangat Injil.

Salah satu model katekese yang penulis tawarkan untuk menggali kekayaan pengalaman iman para kaum lansia adalah Share Christian Praxis (SCP). Model SCP memberikan ruang yang luas kepada peserta untuk mengungkapkan pengalaman hidup mereka masing-masing. Melalui katekese model SCP ini diharapkan para kaum lansia dapat semakin menyadari bahwa pada usia tua mereka, Allah tetap memberikan karunia bagi mereka untuk bertumbuh menuju kematangan jasmani dan rohani, serta tetap mampu memberikan kesaksian iman kepada orang-orang di sekitar melalui sikap dan tindakan mereka.


(10)

ix

JOHN PAUL II‟S LETTER TO THE ELDERLY FOR IMPLEMENTING CATECHETICAL ASSISTANCE TO THE ELDERLY”. This title is originated from a concern of the author for the elderly people, who are not given enough attention and corresponding catechesis needed for their life.

The basic theme of this writing consists of drawing the teachings and inspiration from Pope John Paul II‟s Letter for the Elderly to develop a catechesis well-suited to assist those in advanced age. This theme is elaborated using litterature research with method of interpretative descriptive to reflecti on the papal letter. The insights tapped from the papal letter will hopefully provide a sufficient base for a catechesis suitable for the elderly.

Entering old age is a natural process for every living being. There is a

great variation in defining “old age” from country to country due to the variety of life-span expectancy among those countries. In developed countries this expectancy is defined at a higher age than in the developing countries. In Indonesia, those over sixty years old are considered elderly. The segment of old people consists of two groups, representing respectively two opposing attitudes: happy elderly and unhappy elderly. The happy elderly is marked by an acceptance of self with its strengths and weaknesses. The unhappy elderly, on the opposite side, is marked by constant complaints nearly on everything. The most obvious general experience of the elderly is the declining physical capabilities and health.

Pope John Paul II invites the elderly people to give meaning and be grateful for their life. He urges them to be actively involved, according to their capacities, in the apostolate of the Church, especially through their prayers. Besides, the elderly people can contribute much to the Church by way of their life witness, animated by the evangelical spirit.

One possible model of catechesis that is proposed by the author to dig up the riches of elderly experiences is Shared Christian Praxis (SCP). This model would provide ample opportunities for the participants to articulate their life experiences. It is hoped that by way of sharing, the elderly participants will realize

more deeply God‟s constant invitation for them to move forward into physical as

well as spiritual maturity. By this they would be able to render witness of their faith to the surrounding neighbours through their attitudes and actions.


(11)

x

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” KATEKESE BAGI KAUM LANSIA BERDASARKAN SURAT PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA UMAT LANSIA” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Banyak pihak yang telah membantu penulis dengan caranya masing-masing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ., selaku pembimbing utama dalam penulisan skripsi yang telah dengan setia mendampingi, memberi saran, dan kritik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd., selaku dosen penguji II yang telah bersedia membaca, memberi dukungan, dan menguji penulis untuk mempertanggungjawabkan skripsi ini.

3. Dr. I. L. Madya Utama, SJ., selaku dosen penguji III yang telah bersedia membaca, memberi masukan, dan menguji penulis untuk mempertanggungjawabkan skripsi ini.

4. Dr. CB. Putranta, SJ., yang telah dengan setia mencarikan buku referensi dan memberi saran sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Kedua orang tuaku, Bapak Albertus Suratno (almarhum) dan Ibu Elisabet

Jumiati, kakakku Petrus Yudiantoro beserta keluarga kecilnya, dan adikku Martha Yuliana yang telah dengan setia selalu mendoakan dan memberi semangat penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Yohanes De Brito, SS., MBA., yang selalu menemani dan membantu penulis

sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Keluarga besar Prodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma yang telah menemani dan mendukung penulis selama proses menimba ilmu di almamater tercinta ini.


(12)

(13)

xii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... HALAMAN MOTTO... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN... ii iii iv v vi vii viii ix x xi xiii xvi BAB I PENDAHULUAN...

A. Latar Belakang Masalah…... B. Rumusan Masalah…... C. Tujuan Penulisan... D. Manfaat Penulisan... E. Metode Penulisan... F. Sistematika Penulisan...

1 1 6 6 7 7 7 BAB II DINAMIKA KEHIDUPAN KAUM LANSIA...

A. Pengertian Kaum Lansia………... B. Batasan Kaum Lansia………... C. Ciri-ciri Kaum Lansia Bahagia dan Kurang Bahagia……... D. Masalah-masalah yang Dihadapi Kaum Lansia...

1. Penurunan Fisik………... 2. Perubahan Sosio-emosional... 3. Kesepian (loneliness)...

9 9 12 13 15 15 18 19


(14)

xiii

LANSIA... A. Surat Paus Yohanes Paulus II Kepada Umat Lansia... B. Makna dan Nilai Kaum Lansia…... C. Kaum Lansia dalam Kitab Suci... D. Gereja dan Kaum Lansia... E. Petunjuk untuk Reksa Pastoral Kaum Lansia... 1. Keluarga... 2. Kegiatan-kegiatan Amal Kasih... 3. Kerasulan... 4. Kontemplasi dan Doa... 5. Cobaan, Sakit, dan Penderitaan... F. Rangkuman... 24 24 26 30 37 41 42 43 44 45 45 46 BAB IV KATEKESE UNTUK KAUM LANSIA BERDASARKAN

SURAT PAUS YOHANES PAULUS II…... A. Gambaran Umum Katekese...

1. Pengertian Katekese... 2. Dasar Katekese... 3. Tujuan Katekese... 4. Tugas Utama Katekese... B. Gambaran Katekese Umat... 1. Pengertian Katekese Umat... 2. Tujuan Katekese Umat... 3. Kekhasan Katekese Umat... C. Katekese Model Shared Christian Praxis... 1. Komponen Utama Shared Christian Praxis... a) Shared...

b) Christian………...

48 49 49 51 51 54 56 56 57 58 59 61 61 62


(15)

xiv

a) Langkah 0 (awal): Pemusatan Aktivitas………... b) Langkah I: Mengungkapkan Pengalaman

Hidup Peserta………... c) Langkah II: Mendalami Pengalaman Hidup Peserta... d) Langkah III: Menggali Pengalaman Iman Kristiani... e) Langkah IV: Menerapkan iman Kristiani dalam Situasi

Peserta Konkret……… f) Langkah V: Mengusahakan Suatu Aksi Konkret……... D. Program Pendampingan Katekese bagi Kaum Lansia

Berdasarkan Surat Paus Yohanes Paulus II Kepada Umat

Lansia………...

E. Implementasi Pendampingan Melalui Katekese dengan Model Shared Christian Praxis bagi Kaum Lansia Berdasarkan Surat Paus Yohanes Paulus II Kepada Umat Lansia………. 65 66 67 69 70 71 72 77

BAB V PENUTUP………

A. Simpulan……….. B. Saran………. DAFTAR PUSTAKA………. LAMPIRAN-PLAMPIRAN

Lampiran 1 Ndherek Gusti……… Lampiran 2 Hikayat dari Swedia………... Lampiran 3 Injil Markus 4:26-34……….………….

Lampiran 4 Di saat Daku Tua………

Lampiran 5 Sakjege Aku Ndherek Gusti………... 97 97 99 102 (1) (2) (3) (4) (5)


(16)

xv

CT: Catechesi Tradendae,(Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Penyelenggaraan Katekese), 16 Oktober 1979.

DI: Daerah Istimewa Gal: Galatia

Im: Imamat

LE: Letter to the Elderly, (Surat Paus Yohanes Paulus II Kepada Umat Lanjut Usia), 1 Oktober 1999.

KAS: Keuskupan Agung Semarang Kej: Kejadian

Kis: Kisah Para Rasul Luk: Lukas

Mat: Matius Mrk: Markus Mzm: Mazmur Pkh: Pengkhotbah

PKKI: Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se-Indonesia Rm: Roma

SCP: Shared Christian Praxis Tob: Tobit

WHO: World Health Organization Yoh: Yohanes

1Kor: 1Korintus 2Mak: 2Makabe


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini, tema mengenai kaum lansia menjadi topik yang cukup banyak dibicarakan di kalangan luas. Bahkan di Indonesia sendiri sebenarnya terdapat Hari Lanjut Usia Nasional (Hari Lansia) yang diperingati setiap 29 Mei sebagai wujud penghargaan dan kepedulian terhadap kaum lansia (Widyamartaya, 2015: 5). Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyatakan tahun 1999 sebagai Tahun Lansia Internasional. Namun sangat disayangkan, karena pada kenyataannya tidak banyak masyarakat yang mengetahui mengenai hal ini dan perhatian kepada kaum lansia masih sangat kurang.

Istilah lansia sebenarnya merupakan kepanjangan dari “lanjut usia”. Terdapat

istilah lain yang juga sering digunakan untuk menyebut lansia, yaitu manula (manusia usia lanjut), usila (usia lanjut), glamur (golongan lanjut umur) (Waramis & Pit, 1993: 3). Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Dalam undang-undang ini, lansia dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu lansia potensial dan lansia tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan atau jasa. Lansia tidak potensial adalah


(18)

lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.

Menurut Elisabet Hurlock dalam Bock (2007: 3), usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup manusia. Laslett juga menyatakan bahwa menjadi tua (aging) merupakan proses perubahan biologis secara terus-menerus yang dialami manusia pada semua tingkat umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) adalah proses akhir dari penuaan tersebut (Siti Partini Suardiman, 2011: 1). Kedua tokoh tersebut memiliki konsep yang sama mengenai lansia. Menurut mereka, lansia merupakan proses akhir atau periode penutup dalam rentang hidup manusia.

Kini masyarakat semakin menyadari bahwa memasuki lansia perlu dipersiapkan dengan baik. Sebagai manusia, menjadi tua bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah proses alamiah yang tidak dapat dihindari dan sekaligus merupakan kenyataan yang melekat dalam hidup manusia. Seseorang yang menjadi tua berarti telah melewati tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Ketika seseorang telah memasuki masa tua, maka mereka dihadapkan pada kenyataan mengenai adanya kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang semakin mengendur, rambut memutih, pendengaran berkurang, gigi menjadi ompong, dan lain sebagainya.

Singkatnya, proses penuaan paling tidak memiliki dampak terhadap tiga aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat Statistik, 2014). Secara biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara terus-menerus yang ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap berbagai penyakit. Secara ekonomi,


(19)

mereka yang telah memasuki lansia sering dipandang sebagai beban dari pada sebagai sebuah sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering dipersepsikan negatif atau seringkali dianggap tidak dapat lagi memberikan manfaat bagi keluarga dan masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat usia tua ini harus dipersiapkan sungguh-sungguh agar dapat diterima sebagai sebuah kenyataan dan fenomena biologis alamiah. Oleh karena itu, Gereja perlu hadir menjadi garda terdepan untuk memberi perlindungan dan pendampingan kepada para lansia agar mereka dapat memasuki usia tua dengan gembira dan tetap dapat menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya.

Pada Tahun Lansia Internasional, tepatnya pada puncak peringatan Hari Lansia Internasional yang jatuh pada 1 Oktober 1999, Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II menulis Surat untuk Lansia,

Saya sendiri sekarang sudah lanjut usia. Maka, saya ingin sekali berkomunikasi dengan saudara-saudari saya para lansia… Saya hanya ingin menyatakan betapa saya dekat secara rohani dengan kalian sebagai orang yang telah semakin dalam memahami tahap hidup ini bersama dengan berlalunya tahun-tahun hidupnya dan oleh karenanya merasa perlu membangun hubungan yang lebih erat dengan orang-orang lain yang seusia… (Widyamartaya, 2015: 5-6). Surat yang ditulis Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia menunjukkan bahwa ada perhatian dari Gereja kepada kaum lansia. Oleh karena itu, Surat yang telah ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II ini perlu digali dan dapat menjadi sumber acuan sebagai pedoman untuk memberikan katekese kepada kaum lansia yang selama ini kurang mendapat perhatian yang cukup, baik dari Negara maupun Gereja. Surat ini pun sangat penting untuk menjadi sumber inspirasi dalam


(20)

membuat model katekese bagi kaum lansia, karena surat ini merupakan hasil refleksi dari Paus Yohanes Paulus ke II yang juga adalah lansia. Jadi, Paus sungguh mengerti situasi dan kondisi yang dihadapi kaum lansia pada umumnya.

Kemendesakan mengenai perlunya menyiapkan katekese atau pendampingan iman bagi kaum lansia, selain karena berdasarkan surat yang ditulis Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia, juga atas dasar situasi global mengenai kaum lansia. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) [2013], setengah jumlah kaum lansia di dunia (400 juta jiwa) berada di Asia; pertumbuhan kaum lansia di negara sedang berkembang lebih tinggi dari pada negara yang sudah berkembang; dan diperkirakan pada 2050 kaum lansia penderita penyakit degeneratif1tidak dapat

beraktivitas (tinggal di rumah). Berdasarkan data tersebut, maka Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga memiliki pertumbuhan jumlah kaum lansia yang besar. Persentase penduduk lansia tahun 2008, 2009, dan 2012 telah mencapai di atas 7 % dari keseluruhan total penduduk Indonesia. Jika dilihat berdasarkan Provinsi, maka Provinsi DI Yogyakarta memiliki persentase penduduk lansia tertinggi sebagaimana tampak pada tabel.

1 Penyakit degeneratif adalah penyakit yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau penghacuran

terhadap jaringan atau organ tubuh. Proses dari kerusakan ini dapat disebabkan oleh usia yang menua

maupun karena gaya hidup yang tidak sehat “Triana Primalia Irawati”,


(21)

Tabel Penduduk Lanjut Usia menurut Provinsi

Sumber: Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik RI

Berdasarkan data pada tabel, maka persentase penduduk lansia paling tinggi ada di Provinsi DI Yogyakarta (13,04%), disusul oleh Jawa Timur (10,40%) dan Jawa Tengah (10,34%). Oleh karena itu, katekese bagi kaum lansia yang terinspirasi dari surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lanjut Usia menjadi kontekstual, baik bagi umat Katolik di Indonesia maupun di Yogyakarta pada khususnya, di mana penulis saat ini tinggal.

Penyelenggaraan katekese yang dilakukan oleh Gereja hendaknya menyentuh para kaum lansia yang jumlahnya juga cukup besar dan semakin meningkat di Indonesia. Apalagi dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae art. 1 disebutkan

bahwa “Penyelenggaraan katekse oleh Gereja selalu dipandang sebagai salah satu tugasnya yang amat penting… Tidak pernah Gereja berhenti mencurahkan tenaganya

untuk menunaikan tugas itu”. Dalam Anjuran Apostolik ini sangat jelas semangat

Gereja yang begitu besar untuk menyelenggarakan katekese dalam rangka membantu


(22)

katekese ini merupakan konsekuensi langsung dari identitas Gereja yang bersifat misioner (Dewan Karya Pastoral KAS, 2014: 21). Pelayanan pastoral berupa katekese bagi kaum lansia haruslah membantu para lansia untuk dapat menghayati hidup mereka dalam terang iman dan mencapai kepenuhan di dalam Kristus. Oleh karena

itu, judul skripsi yang diangkat oleh penulis adalah “KATEKESE BAGI KAUM LANSIA BERDASARKAN SURAT PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA

UMAT LANSIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi pesan Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia? 2. Implikasi pendampingan melalui katekese macam apa yang dapat digali dari

Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia bagi kegiatan katekese yang sesuai untuk pendampingan terhadap kaum lansia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pesan Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia. 2. Untuk mengetahui implikasi katekese macam apa yang dapat digali dari Surat


(23)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Memberi pengetahuan dan pemahaman mengenai pesan Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia.

2. Memberi alternatif pendampingan bagi kaum lansia berdasarkan Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia.

E. Metode Penulisan

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah studi pustaka dengan menggunakan metode deskriptif intepretatif. Melalui metode deskriptif intepretatif, penulis akan menyusun, mengungkapkan atau menyampaikan berbagai hal yang didapat melalui studi pustaka. Hasil tersebut kemudian dimaknai dan dijelaskan secara komprehensif. Penulis mengumpulkan informasi dan data dari berbagai buku, dokumen, majalah, dan artikel yang dapat digunakan untuk memahami secara komprehensif mengenai Surat Kepada Umat Lansia menurut Paus Yohanes Paulus II.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.


(24)

BAB II DINAMIKA KEHIDUPAN KAUM LANSIA

Bab ini menjelaskan tentang dinamika kehidupan kaum lansia yang meliputi pengertian kaum lansia, batasan kaum lansia, ciri-ciri kaum lansia bahagia dan kurang bahagia, serta masalah-masalah yang dihadapi kaum lansia.

BAB III SURAT PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA UMAT LANSIA

Bab ini menjelaskan tentang Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia yang meliputi makna dan nilai kaum lansia, kaum lansia dalam Kitab Suci, Gereja dan kaum lansia, petunjuk untuk reksa pastoral kaum lansia.

BAB IV KATEKESE KEPADA UMAT LANSIA TERINSPIRASI DARI SURAT PAUS YOHANES PAULUS II

Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum katekese, gambaran katekese umat, katekse model Shared Christian Praxis, program pendampingan katekese bagi kaum lansia berdasarkan Surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat lansia, dan pengembangan katekese dengan model Shared Christian Praxis bagi kaum lansia berdasarkan Surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat Lansia.

BAB V PENUTUP


(25)

BAB II

DINAMIKA KEHIDUPAN KAUM LANSIA

Gejala peningkatan usia tua merupakan fakta yang cukup menarik dan perlu mendapat perhatian dari semua pihak, tidak terkecuali dari pihak Gereja Katolik. Apalagi usia tua merupakan kenyataan yang harus dihadapi oleh semua orang di dunia, tanpa memandang ras maupun agama. Oleh karena itu, berbagai kajian mengenai kaum lansia sangat dibutuhkan untuk memahami lansia secara utuh dan mendalam harapannya, dengan memahami kaum lansia dan berbagai problematikanya secara mendalam, dapat menjadi dasar pijakan untuk mendampingi dan memberdayakan kaum lansia secara optimal.

Bab II ini membahas secara khusus dinamika kehidupan kaum lansia yang dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengertian tentang kaum lansia. Bagian kedua akan mengkaji batasan kaum lansia menurut WHO dan Setyonegroho. Bagian ketiga menguraikan ciri-ciri kaum lansia bahagia dan kurang bahagia. Bagian keempat mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi kaum lansia.

A. Pengertian Kaum Lansia

Kaum lansia merupakan dua kesatuan fakta, yaitu fakta sosial dan biologis. Sebagai suatu fakta sosial, lansia merupakan suatu proses penarikan diri seseorang


(26)

dari berbagai status dalam suatu struktur masyarakat. Secara fisik, pertambahan usia dapat berarti semakin melemahnya manusia secara fisik dan kesehatan (Suhargo Prayitno, 1999: 4). Proses menua atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk hidup. Leslett menyatakan bahwa menjadi tua (aging) merupakan proses biologis secara terus-menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) adalah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Siti Partini Suardiman, 2011: 1).

Hal senada juga disampaikan oleh Maurus (2007: 17), bahwa secara biologis proses penuaan dimulai saat manusia lahir. Sistem organisme manusia adalah kumpulan fungsi yang sangat rumit dan bukan merupakan sebuah sel yang sederhana. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang menyangka bahwa proses penuaan yang dialami manusia dimulai pada akhir masa pertumbuhan. Pendapat umum mengatakan bahwa, makin panjang kurun masa pertumbuhan makin lambat proses penuaan dimulai dan akibatnya makin panjang pula masa hidup (Maurus, 2007: 17). Dengan kata lain, masa pertumbuhan merupakan masa regenerasi sel yang baru sehingga memungkinkan terjadinya penundaan proses penuaan. Namun semakin tua seseorang, regenerasi sel ini semakin berkurang dan mengalami penurunan fisik yang sangat drastis.

Setelah seseorang berusia 30 tahun, kira-kira terdapat 30.000 sel neuron, yaitu sel yang aktif dalam proses mental untuk berpikir, merasa, dan menggerakkan otot-otot, yang mengalami kematian (Wignyasumarta, 2013: 227). Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah sel neuron yang mati dapat mencapai 10 juta. Memang seseorang


(27)

tidak perlu khawatir akan segera kehabisan sel neuron, karena setiap orang mempunyai 12 milyar sel neuron. Meskipun demikian, saat memasuki lansia ada fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap orang bahwa mereka akan mengalami penurunan fungsi organ atau penurunan mental.

Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998, kaum lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam undang-undang ini, kaum lansia dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kaum lansia potensial dan kaum lansia tidak potensial. Kaum lansia potensial adalah kaum lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan atau jasa. Kaum lansia tidak potensial adalah kaum lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada orang lain. Apapun status mereka, baik sebagai kaum lansia potensial maupun kaum lansia tidak potensial, mereka sama-sama harus memiliki kemampuan memisahkan dan membedakan garis biologis dan garis rohani (Zahnweh, 2007: 8), mengingat mereka sudah sangat dekat dengan kematian. Garis biologis manusia memang akan berakhir dengan kematian. Hal ini tentu berbeda dengan garis rohani yang akan terus berlanjut sebagaimana yang disampaikan dalam sabda Yesus:

Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi siapa yang tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup kekal (Yoh. 12:24-25).

Oleh karena itu, lansia perlu dibantu untuk mempersipkan diri menyambut rahasia Sang Sumber hidup dalam kematian yang akan segera mereka alami.


(28)

B. Batasan Kaum Lansia

Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Australia, Swedia, dan beberapa negara Eropa lainnya, yang angka harapan hidup penduduknya relatif lebih tinggi dari pada negara-negara berkembang, menggunakan batasan usia 65 tahun sebagai batas terbawah untuk kelompok penduduk usia lanjut. Hal itu agak beberbeda dengan negara Asia, termasuk Indonesia, yang menggunakan batasan umur 60 tahun ke atas (Siti Partini Suardiman, 2011: 2). Batasan mengenai umur kaum lansia di Indonesia termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab1 Pasal 1 Ayat 2. Batasan mengenai umur kaum lansia ini memang berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa terdapat berbagai pendapat mengenai batasan umur kaum lansia.

Menurut WHO, batasan usia lansia meliputi:

 Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

 Lanjut usia (elderly), yaitu antara 60 sampai 74 tahun.

 Lanjut usia tua (old), yaitu antara 75 sampai 90 tahun.

 Usia sangat tua (very old), yaitu di atas 90 tahun.

Batas bawah usia lansia yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 60 tahun. Artinya, batasan mengenai usia lansia ini sama dengan batas bawah usia lansia yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Batas bawah usia lansia juga senada dengan yang disampaikan oleh Setyonegroho dalam Padila (2013). Ia menetapkan batasan usia lansia sebagai berikut:

 Usia dewasa muda (young adulthood) usia 18/20-25 tahun.


(29)

 Lanjut usia (geriatric age) usia > 65/70 tahun, terbagi atas: (1) Young old (usia 70-75); (2) Old (usia 75-80); (3) Very old (usia >80 tahun).

C. Ciri-ciri Kaum Lansia Bahagia dan Kurang Bahagia

Menurut Paul (2012:25-27) terdapat beberapa ciri yang dapat ditemukan dari pribadi kaum lansia yang bahagia, yaitu:

1. Hidupnya dekat dan pasrah pada Tuhan yang tampak melalui kebiasaannya untuk berdoa.

2. Ada kegembiraan batin yang mendalam; hidupnya damai

3. Ia menerima dirinya apa adanya, baik kekuatan dan kelemahannya, termasuk menerima bahwa dirinya telah menjadi tua.

4. Ia berdamai dengan dirinya.

5. Ia mau berkorban dan bertahan dalam situasi yang kurang baik, seperti tidak mengeluh karena sakitnya.

6. Ia dapat bersahabat dengan orang lain, dapat menerima orang lain.

7. Ia mudah mengampuni orang lain dan juga suka minta ampun kepada orang lain dan Tuhan jika merasa bersalah.

8. Ia mudah mensyukuri keadannya.

Hal yang kurang lebih senada juga disampaikan oleh Wignyasumarta (2013). Menurut (Wingnyasumarta, 2013:189-191), terdapat beberapa hal yang dapat membantu agar masa lansia menjadi lebih menarik, tidak menjemukan, dan menggembirakan, yaitu:


(30)

1. Siap menerima kenyataan lansia dengan rela. Sikap rela menerima ini adalah sikap paling dasar untuk menerima diri dan mengakui bahwa diri telah menjadi tua. Dengan sikap ini, kaum lansia akan dapat melihat sisi positif kehidupan mereka, karena menjadi lansia berarti memasuki usia matang, tingkat penyempurnaan hidup, dan pemenuhan diri.

2. Mengembangkan pandangan positif mengenai kaum lansia. Kaum lansia harus mempunyai pandangan positif yang menonjolkan indahnya masa lansia, memberi wacana dan makna ketenangan, kedamaian, serta kepasrahan hidup di bawah berkat Tuhan pada tahap akhir tugas hidupnya.

3. Mengembangkan kekayaan pengalaman hidup untuk menjadi semakin arif bijaksana. Hal ini dapat dilakukan oleh kaum lansia melalui pengalaman dan kematangan diri dalam hidupnya.

4. Mengatasi problema kesepian. Ada berbagai macam cara untuk mengatasi yang dapat dilakukan oleh kaum lansia, misalnya membaca, tulis-menulis, ataupun meningkatkan hidup doa.

5. Mencapai keutuhan hidup. Ketika kekuatan fisik mulai berkurang, kaum lansia masih memiliki potensi psikologis, intelektual, dan spiritual yang dapat dikembangkan secara optimal, misalnya memberikan pemikiran atau ide yang bermutu dalam bidang musik, sastra, agama, karya tulis dan lain-lain.


(31)

Selain mengungkapkan beberapa ciri dari kaum lansia yang bahagia, (Suparno, 2012: 26) juga menyebutkan beberapa ciri kaum lansia yang kurang bahagia, yaitu: 1. Relasi dengan Tuhan kurang dekat.

2. Selalu mengeluh, mudah marah mengenai hal-hal yang kurang penting. 3. Sulit menerima keadaan diri.

4. Gelisah, tidak tenang.

5. Suka menyendiri, mengasingkan diri.

6. Suka mengkritik dan mencela orang lain, padahal dia sendiri tidak sempurna. 7. Sulit dilayani, sehingga yang melayani menjadi tidak suka.

8. Banyak orang tidak suka padanya. 9. Sombong, merasa paling hebat. 10. Kurang bersyukur.

D. Masalah-masalah yang Dihadapi Kaum Lansia 1. Penurunan Fisik

Usia biologis manusia meliputi tiga fase, yaitu fase pertumbuhan, fase pematangan, dan fase penurunan (Siti Partini Suardiman, 2011: 36). Ketika seseorang memasuki masa lansia, fungsi sel-sel di dalam tubuh akan mengalami penurunan, karena telah lama berfungsi. Proses penurunan ini akan berlangsung secara alamiah dan terus-menerus, sehingga menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, biokemis pada jaringan tubuh. Perubahan tersebut akhirnya akan memengaruhi fungsi dan kemampuan fisik secara keseluruhan. Beberapa perubahan aspek fisik yang akan


(32)

dialami kaum lansia, yaitu adanya perubahan kerangka tubuh, sehingga setelah umur 60 tahun manusia menjadi lebih pendek (Maramis, 1993: 22). Rongga dada tidak begitu mekar dan lebar seperti ketika berumur 30 tahun. Pundak menyempit dan pinggul melebar. Tulang menjadi keras dan mudah patah. Kecepatan belajar dan mengingat pada kaum lansia juga akan menurun, karena kemampua sistem saraf pusat semakin berkurang. Rambut kaum lansia menjadi berubah dan berkurang.

Selain penurunan di atas, kaum lansia juga akan kehilangan elastisitas pada kulitnya. Hilangnya elastisitas pada kulit menyebabkan kulit menjadi kering dan keriput, sehingga tidak tahan pada suhu panas dan dingin. Mulai timbul bercak-bercak putih dikulit karena pigmen yang mulai berkurang (Maramis, 1993: 22). Sensitivitas pada organ alat indera juga turut mengalami penurunan, karena saraf menjadi lebih lambat dalam mengantar impuls2 dan adanya perubahan pada organ indera itu sendiri. Kecepatan reaksi dan dan koordinasi gerak pada kaum lansia menjadi kurang baik dan semakin lamban, karena adanya penurunan kecepatan motorik. Peredaran darah perlahan-lahan mulai terganggu, karena terjadi penebalan pada dinding pembuluh darah. Kondisi ini kemudian mengakibatkan tekanan darah pada kaum lansia meningkat. Daya tampung paru-paru untuk zat asam semakin kecil dan semakin sedikit yang diserap, sehingga mengakibatkan energi untuk beraktivitas dan daya tahan stres berkurang (Maramis, 1993: 23).

2 Rangsang atau pesan yang diterima oleh reseptor dari lingkungan luar, kemudian dibawa oleh

neuron. Impuls dapat juga dikatakan sebagai serangkaian pulsa elektrik yang menjalari serabut saraf. Contoh rangsangan, yaitu perubahan dari dingin menjadi panas dan berbagai aroma yang tercium oleh hidung ”NN”. https://systembiosaraf.wordpress.com/2010/04/11, Impuls,diakses pada 26 Juni 2017.


(33)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat dari gejala kemunduran fisik antara lain (Siti Partini Suardiman 2011: 39):

a. Kulit mulai mengendur dan pada wajah timbul keriput serta garis-garis yang menetap;

b. Rambut mulai beruban dan menjadi putih; c. Gigi mulai tanggal;

d. Pengelihatan dan pendengaran mulai berkurang; e. Mudah lelah;

f. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah;

g. Keterampilan tubuh menghilang, terjadi timbunan lemak terutama di bagian perut dan pinggul.

Kemunduran atau penurunan fungsi biologis pada kaum lansia ini dapat terlihat pada adanya gejala sebagai berikut:

a. Menopouse adalah perubahan hidup pada perempuan yang ditandai oleh berakhirnya periode menstruasi bulanan secara rutin.

b. Andropouse adalah tahap penurunan tetosteron secara berangsur-angsur pada usia lanjut laki-laki.

c. Climacteric adalah satu titik pada usia pertengahan, di saat laki-laki mengalami perubahan kesehatan, kekuatan fisik, dan penampilan secara berarti.

d. Biological aging adalah perubahan fisik yang menyertai peningkatan usia pada usia lanjut.


(34)

2. Perubahan Sosio-emosional

Emosi memiliki peran penting dalam kehidupan usia lanjut. Kata emosi berasal dari Bahasa Latin, yaitu motereyang berarti “bergerak” dan emosi mengandung arti menggerakkan kita (Siti Partini Suardiman, 2011: 97). Kaum lansia yang mengalami penurunan fisik, seperti hilangnya memori, daya tahan tubuh, maupun fleksibilitas psikologis, juga turut berpengaruh pada emosi mereka. Emosi ini merupakan kondisi yang menggerakkan dan mewarnai seseorang. Misalnya, pengalaman penting yang mewarnai emosi seseorang, seperti pengalaman kegembiraan karena menikah, rasa sedih saat menghadiri pemakaman, atau perasaan marah ketika hak miliknya diganggu.

Erik Erikson dalam Siti Partini Suardiman (2011: 99) menyatakan bahwa usia lanjut berada pada tahap atau fase integritas diri versus hilangnya harapan. Integritas diri merupakan suatu pencapaian yang didasarkan pada refleksi tentang hidupnya. Dalam hal ini usia lanjut perlu melakukan evaluasi diri untuk menerima hidupnya seperti halnya menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dekat dengan kematian. Orang yang berhasil pada tahapan final ini (integritas diri), akan memperoleh arti hidup dalam makna sosial yang lebih luas, pada masa lalu, kini, dan yang akan datang. Kebajikan yang telah berkembang pada tahap ini adalah kearifan (wisdom). Kearifan berarti penerimaan akan ketidaksempurnaan pada dirinya, pada orangtua, dan dalam hidupnya. Erikson merasa yakin bahwa kaum lansia tetap harus menjaga keterlibatan di dalam masyarakat meskipun fungsi tubuh melemah.


(35)

3. Kesepian (loneliness)

Meningkatnya usia lanjut, terutama di Indonesia harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak, agar kaum lansia tetap dapat mandiri dan berguna. Menuanya usia membuat banyak kaum lansia mengalami kemunduran dan penurunan, terutama fungsi biologis dan psikis. Kemunduran atau penurunan fungsi biologis dan psikis ini mempengaruhi mobilitas dan kontak sosial mereka. Keadaan ini jika dibiarkan terus berlangsung secara terus-menerus akan membuat kaum lansia mengalami kesepian atau loneliness.

Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Kesepian umumnya akan muncul apabila seseorang merasa (1) tersisih dari kelompoknya; (2) tidak diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya; (3) terisolasi dari lingkungan; (4) tidak ada seseorang sebagai tempat berbagi rasa dan pengalaman; dan (5) seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan (Siti Partini Suardiman, 2011: 117). Sedangkan menurut Nouwen dan Gaffney (1989: 31), kesepian adalah pengalaman yang melumpuhkan karena semakin sempitnya lingkaran sahabat disertai kesadaran bahwa dalam tahun-tahun kehidupannya yang masih tinggal, lingkaran itu tidak mungkin bertambah besar lagi. Oleh karena itu, sebenarnya kesepian merupakan gejala umum yang dialami oleh semua usia. Namun pada kaum lansia, kesepian umumnya lebih disebabkan karena berkurangnya kontak dan peran sosial yang mereka alami, baik dengan anggota keluarga, masyarakat maupun teman kerja. Hal ini menunjukkan suatu kondisi putusnya sejarah hidup seseorang, terpotongnya ikatan-ikatan kekeluargaan, suatu penelanjangan sosial. Dalam kesepian ini


(36)

pengalaman kesendirian menusuk masuk dalam kehidupan seseorang (Nouwen dan Gaffney, 1989: 32). Kesepian yang dialami kaum lansia ini juga dipengaruhi oleh tatanan masyarakat modern yang semakin individualistik, sehingga membuat kaum lansia kurang mendapat perhatian dan tersisih dari lingkungan sosial.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya kontak sosial yang dialami kaum lansia, yaitu (Siti Partini Suardiman, 2011: 120):

 Ditinggalkan oleh semua anaknya karena masing-masing sudah membentuk keluarga dan tinggal terpisah di rumah atau kota lain.

 Berhenti dari pekerjaannya karena pensiun sehingga kontak dengan teman kerjanya juga terputus atau berkurang.

 Mundur dari kegiatan yang memungkinkan bertemu dengan banyak orang.

 Kurang dilibatkannya para usia lanjut dalam berbagai kegiatan.

 Ditinggalkan oleh orang yang dicintai, seperti pasangan hidup.

Paling tidak ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesepian yang dialami oleh kaum lansia seperti:

a. Upaya yang berasal dan dilakukan oleh usia lanjut itu sendiri.

Kaum lansia memang sering dilanda kesepian, namun hal ini tidak mengubah mereka untuk tetap mengisi hari-hari dengan bahagia, caranya adalah mengenali diri sendiri, mengenali perasaan, dan menyelesaikan masalah-masalah mereka. Selain itu, para lansia juga harus melakukan aktivitas yang berguna bagi dirinya dengan membuat pengaturan waktu, seperti; olahraga, membaca, ikut pertemuan keluarga, reuni dengan teman-teman, dan mengikuti kegiatan keagamaan.


(37)

b. Melalui bantuan orang lain, baik oleh anak, cucu, sanak keluarga maupun orang lain yang peduli pada usia lanjut.

Orang-orang di sekitar dan anggota keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk menghibur kaum lansia. Dari merekalah kaum lansia dapat menikmati masa tuanya tanpa kesepian. Caranya ialah dengan senantiasa melibatkan mereka dalam kehidupan sehari-hari, mengajak mereka berkomunikasi, memberi mereka tanggung jawab, dan mengikutsertakan kaum lansia dalam pengambilan keputusan baik dalam hidup berkeluarga maupun hidup bermasyarakat.

4. Marginalisasi

Marginalisasi merupakan salah satu permasalahan yang dialami oleh kaum lansia dan sangat melukai martabat pribadi mereka. Berkembangnya masalah ini, yang relatif baru, telah menemukan tempat pertumbuhan yang subur dalam masyarakat yang hanya memuja keberhasilan jasmani dan citra awet muda, sampai-sampai orang yang tidak lagi memiliki sifat-sifat itu praktis tersisih (Widyamartaya, 2015: 28-29).

Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab kaum lansia mengalami marginalisasi atau tersisih dari masyarakat atau hidup sosial. Menurunnya kondisi fisik, kemiskinan atau menurunnya pendapatan atau sumber-sumber finansial secara drastis, kurangnya perhatian dari keluarga, serta anggapan bahwa kaum lansia tidak memiliki kemampuan atau sumber daya yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar menjadi beberapa faktor yang menyebabkan kaum lansia tersisih dari lingkungan


(38)

sosial. Penderitaan yang dialami kaum lansia bukan hanya karena tidak dapat berkontak dengan lingkungan sosial atau orang-orang di sekitarnya, tetapi lebih karena merasa ditinggalkan, kesepian dan terpencil dari hubungan-hubungan manusiawi.

Berkurangnya kontak sosial yang dialami kaum lansia membuat mereka menjadi miskin, tidak memiliki kesempatan untuk pengayaan intelektual dan budaya yang mereka perlukan. Kaum lansia mengalami suatu rasa tidak berdaya karena tidak dapat mengubah situasi mereka sebagai akibat ketidakmampuan mereka untuk mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara (Widyamartaya, 2015: 29). Hal ini kemudian membuat mereka tercabut dari lingkungan sosialnya dan kehilangan rasa kebersamaan dengan masyarakat tempat mereka berada sebagai anggota.

E. Rangkuman

Proses menua atau aging merupakan proses alami semua makhluk hidup, termasuk manusia. Siapapun manusia yang ada di dunia ini akan mengalami menjadi kaum lansia. Sedangkan batas usia kaum lansia di berbagai negara cukup bervariasi, karena angka harapan hidup penduduk masing-masing negara cukup beragam. Di negara maju, angka harapan hidup relatif lebih tinggi, dari pada di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri batas usia kaum lansia yaitu 60 tahun ke atas.


(39)

Terdapat bebagai ciri yang dapat diamati untuk mendeteksi apakah kaum lansia bahagia atau kurang bahagia. Kaum lansia yang bahagia, salah satunya akan ditunjukkan dengan ciri-ciri mampu menerima diri apa adanya dengan segala kekuatan dan kelemahannya serta memiliki kegembiraan batin yang mendalam. Sedangkan kaum lansia yang kurang bahagia, salah satunya ditunjukkan dengan ciri-ciri selalu mengeluh dan mudah marah. Masalah paling mencolok yang dialami kaum lansia pada umumnya, yaitu mengalami berbagai penurunan, terutama penurunan fisik dan kesehatan. Selain itu, kaum lansia juga mengalami perubahan sosio-emosional, kesepian, dan marginalisasi.


(40)

BAB III

SURAT PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA UMAT LANSIA

Paus Yohanes Paulus II memiliki perhatian yang khusus terhadap kaum lansia. Perhatian Paus Yohanes Paulus II kepada kaum lansia ditunjukkan dengan menulis surat kepada umat lansia. Dalam suratnya, beliau menyapa para kaum lansia dan memberi peneguhan iman kepada mereka. Peneguhan iman yang Paus Yohanes Paulus II sampaikan kepada kaum lansia sangat mendalam, karena merupakan hasil refleksi hidup beliau sendiri yang juga telah memasuki usia senja.

Pada Bab III ini penulis fokus membahas mengenai isi surat Paus Yohanes Paulus II kepada umat lansia dan melihat secara lebih mendalam pesan Paus melalui suratnya. Terdapat beberapa hal yang akan dibahas dalam surat ini, yaitu makna dan nilai kaum lansia, kaum lansia dalam Kitab Suci, Gereja dan kaum lansia, serta petunjuk untuk reksa pastoral kaum lansia.

A. Surat Paus Yohanes Paulus II kepada Umat Lansia

Pada Tahun Lansia Internasional, tepatnya pada puncak peringatan Hari Lansia Internasional yang jatuh pada 1 Oktober 1999, Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II menulis Surat kepada Umat Lansia (Widyamartaya, 2015: 5). Surat yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II ini merupakan bentuk sapaan personal dan penghargaan Bapa


(41)

Suci kepada kaum lansia. Hal ini tercermin di bagian awal surat kepada umat lansia yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Letter to the Elderly, yaitu:

Sebagai orang tua sendiri, saya telah merasa rindu untuk bertemu-wicara

dengan Anda… Penuh kemesraan saya arahkan gagasan-gagasan saya kepada Anda semua, saudara-saudari terkasih yang sudah lanjut usia dari semua bahasa dan kebudayaan. Surat ini saya tulis kepada Anda pada tahun ini, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa cocok sekali telah hendak dibaktikan kepada para lanjut usia, untuk mengarahkan perhatian masyarakat secara keseluruhan kepada situasi mereka semua yang, akibat beban tahun-tahun mereka, sering harus menghadapi keragaman masalah-masalah yang sukar… Dalam surat ini

hendak saya ungkapkan melulu kedekatan rohani saya terhadap Anda… (art. 1).

Ungkapan atau sapaan personal yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada umat lansia ini sungguh menunjukkan suasana kedekatan rohani dan kemesraan beliau kepada kaum lansia. Paus Yohanes Paulus II juga memiliki perhatian dan penghargaan yang besar kepada mereka. Melalui surat ini, sebagai sesama lansia, Paus Yohanes Paulus II ingin memberi dukungan rohani kepada mereka.

Selain itu, dalam surat ini juga dapat ditemukan adanya penghargaan yang besar terhadap hidup, bukan kerena produktivitas kerja dan lain-lain, melainkan karena martabat kehidupan itu sendiri. Surat ini juga sekaligus merupakan refleksi Paus Yohanes Paulus II atas hidup beliau sendiri di usia senja dan mengajak kita semua untuk mengevaluasi kehidupan kita sendiri. Surat yang ditulis Bapa Suci ini dapat menjadi tuntunan atau panduan bagi kaum lansia untuk menghayati hidup di usia senja dengan penuh syukur.

Menanggapi usia lansia dengan penuh syukur memang cukup mendapat perhatin tersendiri dari Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada umat lansia.


(42)

Tampaknya Paus Yohanes Paulus II dapat menangkap kenyataan yang dialami oleh kaum lansia pada umumnya. Kaum lansia umumnya melihat usia tua sebagai pengalaman yang menakutkan, karena dianggap dekat dengan kelemahan, kesepian, dan kematian. Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II mengajak kaum lansia untuk dapat memaknai usia tua mereka dengan penuh syukur dan tidak perlu merasa takut

dengan usia tua. Beliau menyatakan: „„…Kendati hidup kita masing-masing dibatasi dan memang rapuh, kita dihibur oleh gagasan bahwa berkat kekuatan jiwa-jiwa

rohani kita, kita akan tetap hidup melampaui maut sendiri…‟‟ (LE, art. 2).

B. Makna dan Nilai Kaum Lansia

Di zaman sekarang ini usia tua seringkali dipandang sebagai masa kemunduran serta masa kelemahan manusiawi dan sosial. Ada sebagian kaum lansia yang memandang usia tua sebagai pengalaman yang traumatis dan menanggapinya dengan sikap-sikap seperti kepasrahan pasif, pemberontakan, penolakan, dan keputusasaan. Ada sebagian kaum lansia juga yang mampu melihat usia tua dalam konteks eksistensi manusia dan mampu menghadapi usia tua dengan ceria dan bermartabat. Mereka juga mampu melihat masa tua sebagai kesempatan untuk tumbuh-berkembang dan bertekad bakti serta membagikan kebijaksanaan mereka melalui pengalaman yang telah mereka lalui. Hal itupun ditegaskan secara gamblang oleh Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada umat lansia: Dalam arti tertentu, itulah musim kebijaksanaan, yang pada umumnya bertumbuh dari pengalaman, sebab waktu itu guru yang ulung. Doa pemazmur terkenal: Ajarilah kami menghitung


(43)

cermat hari-hari kami, supaya kami mencapai kebijaksanaan hari (Mzm. 90:12) [LE, art. 5]. Di dalam usia tua yang penuh dengan kerapuhan fisik, tetap memuat keuntungan-keuntungan tersendiri, yakni kesempatan untuk berkembangnya kebijaksanaan dalam diri kaum lansia yang muncul dari pengalaman masa lalu.

Mutu usia tua sangat bergantung pada kemampuan setiap kaum lansia dalam memahami makna dan menghargai nilainya, baik dalam tingkat manusiawi maupun pada tingkat iman. Oleh karena itu, kaum lansia harus meletakkan usia tua dalam konteks rencana penyelenggaraan Allah sendiri yang adalah kasih (Widyamartaya, 2015: 16). Masa tua hendaknya disambut sebagai tahap dalam perjalanan yang digunakan oleh Kristus untuk menuntun umat-Nya ke rumah Bapa (Yoh. 14:2). Hanya dengan diterangi iman dan diperkuat oleh pengharapan yang tidak akan sia-sia (Rm. 5:5), kaum lansia akan mampu menyambut usia tua dengan cara-cara yang benar-benar Kristiani, baik sebagai anugerah maupun sebagai tugas.

Sumbangan yang dapat diberikan oleh kaum lansia berkat pengalaman mereka akan sangat berharga untuk membuat kebudayaan dan masyarakat menjadi lebih manusiawi. Itulah mengapa dalam awal suratnya, Paus Yohanes Paulus II

menyatakan bahwa: „„…refleksi yang pertama muncul di hati ada hubungannya dengan lalunya waktu yang tak terelakkan‟‟ (LE, art. 2). Artinya, kaum lansia

memiliki begitu banyak pengalaman bersama berlalunya waktu yang telah mereka lewati. Hal itu dapat menjadi sumbangan yang dapat dibagikan oleh kaum lansia. Terdapat beberapa sumbangan yang dapat diberikan oleh lansia dengan memupuk kharisma-kharisma khas usia tua (Widyamartaya, 2015: 19-20), yaitu:


(44)

1. Sikap tanpa pamrih

Sikap tanpa pamrih adalah keberanian untuk memberi sesuatu atau memberikan diri kita sendiri tanpa berharap mendapat balasan. Kaum lansia tidak lagi diburu-buru oleh waktu, maka mereka dapat mengingatkan masyarakat yang selama ini selalu mengukur nilai tindakan menurut kriteria efisiensi dan sukses jamani.

2. Ingatan

Saat ini banyak generasi muda yang kehilangan kesadaran bersejarah. Hal ini kemudian membuat mereka kehilangan jati diri mereka sendiri. Masyarakat yang kehilangan kesadaran bersejarah akan gagal mendidik orang-orang muda, karena mereka akan cenderung mengulangi kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Hilangnya kesadaran bersejarah ini juga turut menyebabkan kaum lansia menjadi tersingkir dan terasing.

3. Pengalaman

Di zaman modern ini ilmu dan teknologi yang semakin maju telah menggantikan nilai pengalaman kaum lansia. Orang muda sudah tidak memiliki lagi ketertarikan untuk mendengar kisah-kisah pengalaman dari para lansia. Cerita-cerita kuno yang dialami oleh kaum lansia dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Rintangan budaya semacam inilah yang tidak boleh menghalangi kaum lansia yang memiliki begitu banyak kisah menarik untuk dikatakan dan dibagikan kepada generasi muda terbuang begitu saja.


(45)

4. Kebergantungan satu sama lain

Kaum lansia mengingatkan masyarakat akan kodrat sosial manusia dan perlunya memperbaiki tata susunan hubugan antar pribadi dan sosial. Melalui sikap kebergantungan inilah kaum lansia dan masyarakat di sekitar dibantu untuk saling membantu dan mengisi, baik lewat perilaku dan keteladanan hidup sehari-hari. Sikap individualistik dan pencarian kepentingan pribadi masyarakat di zaman modern ini harus digerus sehingga didapati Visi hidup yang lebih lengkap dan bermutu.

5. Visi hidup yang lebih lengkap

Hidup kita dikuasai oleh sikap buru-buru, resah-gelisah, dan tidak jarang oleh neurosis3. Hidup seperti ini adalah hidup yang kacau, hidup yang melupakan pertanyaan-pertanyaan pokok tentang panggilan martabat dan tujuan akhir manusia. Usia lansia merupakan usia kesederhanaan dan kontemplasi. Nilai-nilai afektif, moral, dan religius yang hidup dalam diri kaum lansia merupakan sumber daya yang sangat diperlukan untuk mengembangkan keselarasan masyarakat, keharmonisan keluarga, dan keserasian individu. Nilai-nilai ini mencakup kesadaran bertanggungjawab, iman akan Allah, persahabatan, sikap tidak memihak pada kekuasaan, pertimbangan, kebijaksanaan, kesabaran, dan keyakinan batin yang dalam akan perlunya menghormati alam ciptaan dan memupuk kedamaian.

3 Neurosis, sering disebut juga psikoneurosis, adalah istilah umum yang merujuk pada

ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stress ”NN”. https://id.wikipedia.org/wiki, Neurosis, diakses pada 26 Juni 2017.


(46)

C. Kaum Lansia dalam Kitab Suci

Kitab Suci dapat menjadi sumber acuan untuk memahami sepenuhnya makna dan nilai kaum lansia. Gambaran kaum lansia dalam Kitab Suci memang tidak selalu positif, misalnya dalam kata-kata yang disampaikan Pengkotbah: ‟‟umur muda dan fajar hidup itu kesia-siaan‟‟ (Pkh. 11:10) [LE, art. 6]. Kendati Kitab Suci memuat kenyataan pahit mengenai kaum lansia, namun Kitab Suci tetap mempertahankan visi

yang positif sekali tentang nilai hidup. Manusia selamanya tetap “dalam gambar Allah” (Kej. 1:26), dan tiap tahap hidup mempunyai keindahannya sendiri dan tugas -tugasnya sendiri (LE. art. 6). Berikut beberapa ulasan dan renungan dalam Kitab Suci mengenai kaum lansia serta tantangan yang mereka hadapi dalam masyarakat dewasa ini:

1. Engkau harus bangun berdiri di hadapan orang ubanan dan engkau harus menaruh hormat kepada orang yang tua dan engkau harus takut akan Allahmu (Im. 19:32).

Dalam Kitab Suci penghormatan kepada orang tua menjadi hukum dan perintah yang harus ditaati oleh seluruh umat (Im. 19:32, Ul.5:16). Dalam Putra Sirakh (3:16), juga secara jelas disampaikan nasihat atau himbauan agar menghormati orang tua, terutama mereka yang telah memasuki masa lansia. Menghormati orang-orang tua mencakup tiga tugas, yakni menyambut mereka, menolong mereka, dan memanfatkan baik sifat-sifat mereka (LE, art. 12). Sehingga dibutuhkan usaha bersama untuk melawan kecenderungan yang meluas dewasa ini, yakni kecenderungan untuk mengabaikan dan meminggirkan kaum lansia (Widyamartaya, 2015: 22). Oleh karena


(47)

itu, kaum muda perlu dididik sejak dini agar tetap menghormati dan tidak meninggalkan kaum lansia, karena pada hakikatnya mereka saling membutuhkan dan dapat saling melengkapi. Paus Yohanes Paulus II juga mengajak seluruh umat agar mengembangkan peradaban penuh manusiawi yang menampakkan sikap hormat dan penuh cinta kasih kepada kaum lansia (LE, art. 12).

2. Mereka masih berbuah pada masa tua (Mzm. 92:15).

Kuasa Allah dapat dinyatakan dalam usia tua, sekalipun ciri khas usia tua adalah kelemahan-kelemahan serta rintangan-rintangan jasmani (Widyamartaya, 2015: 23). 1Kor. 1:27-29 juga memberikan penegasan yang senada:

Tetapi apa yang bodohbagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.

Melalui 1Kor. 1:27-29 diungkapkan secara indah bagaimana karya Allah justru seringkali terlaksana dalam diri orang-orang yang dipandang lemah atau tidak berarti oleh dunia. Dalam sejarah keselamatan juga telah memberi bukti nyata bahwa rencana penyelamatan Allah justru terlaksana dalam tubuh-tubuh yang lemah, rapuh dan tidak berdaya. Di dalam rahim Sara yang mandul dan tubuh Abraham yang telah menua, janji Allah dinyatakan dan lahirlah bangsa terpilih (Kej. 12:12:2-3; Rm. 4:18-20).

Kisah yang kurang lebih sama juga disampaikan dalam Perjanjian Baru melalui kisah Elisabet dan Zakharia, pasangan lanjut usia, yang mendapat berkat dari Allah


(48)

untuk melahirkan Yohanes Pembaptis (Luk. 1:5-25, 39-79). Tobit di masa tuanya menunjukkan sikap rendah hati dan setia kepada Allah (Tob. 3:16-17). Eleazar, melalui kematiannya sebagai martir, memberi kesaksian tentang jiwa besar dan iman yang teguh (2Mak. 6:18-31). Simeon yang lanjut usia dan sudah lama mendambakan al-Masih boleh mengalami perjumpaan dengan kanak-kanak Yesus, Sang Mesias yang dijanjikan (Luk. 2-29). Hana, janda berumur delapan puluh empat tahun yang berulang-kali mengunjungi Bait Allah, sekarang bergembira karena dapat berjumpa dengan Yesus (Luk. 2:38). Nikodemus, anggota Sanhedrin dan telah lanjut usia yang mendapat kesempatan untuk menyaksikan Sang Guru ilahi yang menyingkapkan diri melalui Yesus (Yoh. 3:1-21). Petrus juga diusia tuanya mendapat kesempatan untuk memberi kesaksian mengenai imannya melalui jalan kemartiran dan hal ini telah dinubuatkan oleh Yesus (Yoh. 12:18).

Tokoh-tokoh di atas telah menunjukkan dan memberi kesaksian bahwa dalam kerapuhan fisik usia tua, karya Allah tidak berhenti. Bahkan mereka digunakan oleh Allah untuk menyatakan kebesaran-Nya. Oleh karena itu dalam suratnya, Paus Yohanes Paulus II menuliskan:

Begitulah ajaran dan bahasa Kitab suci menyajikan lanjut usia sebagai “masa

yang sungguh menguntungkan” bagi usaha mengantarkan hidup hingga

pemenuhannya, dan – sesuai rencana Allah bagi setiap orang – sebagai waktu segala-sesuatu berhimpun dan lebih memampukan kita menangkap arti hidup

serta mencapai “kebijaksanaan hati (LE, art. 8).

3. Ingatlah akan penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kau katakan: tak ada kesenangan bagiku di dalamnya! (Pkh. 12:1).


(49)

Ayat yang termuat dalam Kitab Pengkotbah ini memberikan gambaran yang sangat gamblang mengenai usia tua. Usia tua dianggap sebagai keadaan penuh kesuraman, kemunduran jasmani, dan kematian. Gambaran mengenai usia tua yang diungkapkan dalam Kitab Pengkotbah tersebut juga hampir senada dengan gambaran yang disampaikan oleh pemazmur: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mzm. 90:10).

Namun, “Kitab Suci juga mengingatkan agar kita menengadah memandang Allah selama hidup kita karena Allah adalah tujuan perjalanan peziarahan kita,

terlebih-lebih pada saat kita dicekam rasa takut bila usia tua dialami sebagai cobaan berat”

(Widyamartaya, 2015: 25).

Dalam suratnya kepada umat lansia, Paus Yohanes Paulus II pun

menyampaikan dengan sangat indah bahwa: “Dalam Kristus, maut – tragis dan membingungkan – ditebus dan dirombak; bahkan itu diwahyukan sebagai “saudari”,

yang mengantar kita ke dalam tangan Bapa kita”. Paus Yohanes Paulus II ingin

memberikan pengaharapan kepada kaum lansia agar di tengah kerapuhan fisik dan kematian yang semakin dekat, mereka tidak perlu khawatir atau merasa takut, karena semua itu merupakan sebuah proses yang menghantar ke dalam perjumpaan dengan Allah.


(50)

4. Abraham meninggal pada waktu telah putih rambutnya, tua, dan suntuk umur, maka ia dikumpulkan pada kaum leluhurnya (Kej. 25:8).

Ayat Kitab Suci ini memiliki relevansi sangat erat dengan kenyataan dunia saat ini yang sudah tidak dapat lagi melihat arti penting dan kesakralan dari usia tua dan kematian. Banyak orang berusaha sekuat tenaga menghindari dan menyingkirkan segala hal yang berhubungan dengan kematian. Bahkan di kota-kota besar, umumnya suasana berkabung atas keluarga yang meninggal juga sudah mulai terkikis. Singkatnya, masyarakat modern zaman ini berusaha sedapat mungkin menghindari segala hal ataupun perjumpaan yang dapat membuat mereka sedih, takut, dan gelisah. Tidak hanya berhenti di situ, latar kematian bagi kaum lansia juga mengalami pergeseran, terutama kaum lansia yang telah disingkirkan masyarakat. Mereka tidak lagi meninggal di dalam rumah dengan dikelilingi oleh seluruh anggota keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Kini banyak kaum lansia yang harus menghembuskan nafas terakhirnya di dalam rumah sakit atau panti jompo. Yesus Kristus, Sang Juru Selamat melalui karya penebusan-Nya telah membalik arti kematian dan memberikan pengharapan, terutama bagi mereka yang percaya

kepada-Nya: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25-26). Melalui kutipan ayat di atas, terjadi pergeseran mengenai makna kematian yang selama ini dipandang negatif, tanpa arti, dan menakutkan.


(51)

Bagi orang-orang beriman, kematian justru merupakan saat pengharapan untuk mengalami perjumpaan atau bertemu muka dengan Tuhan, Sang Pemberi hidup (Widyamartaya, 2015: 26). Sikap yang lebih positif dalam memandang maut juga disampaikan secara eksplisit oleh Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada umat lansia:

…iman menyinari misteri maut dan mendatangkan keheningan kepada usia

lanjut, yang sekarang tidak lagi dipandang dan dihayati secara pasif sebagai sikap menantikan melapetaka, tetapi sebagai pendekatan penuh janji terhadap tujuan penuh kematangan. Itulah tahun-tahun yang harus dihayati dengan citarasa penyerahan diri penuh kepercayaan ke dalam tangan Allah, Bapa Penyelenggara kita yang penuh kerahiman (LE, art. 16).

Paus Yohanes Paulus II ingin mengajak kaum lansia agar menghadapi kematian dengan iman dan sikap hati yang lebih positif, yaitu dengan berserah diri dan kepercayaan kepada Allah yang Maha Rahim.

5. Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian hingga kami beroleh hati yang bijaksana (Mzm. 90:12).

Menurut Kitab Suci “kharisma hidup panjang” adalah kebijaksanaan. Namun kebijaksanaan tidak secara otomatis menjadi milik mereka yang telah memasuki usia tua. Kebijaksanaan semata-mata merupakan anugerah dari Allah dan harus diusahakan oleh setiap orang sebagai tujuan hidupnya. Mengingat hidup manusia sangat terbatas dan pasti akan berakhir dengan kematian fisik, maka setiap orang harus memanfaatkan waktu yang ada untuk menempa diri dan menghayati hidup dengan penuh tanggung jawab. Sikap semacam ini diharapkan dikemudian hari dapat membuahkan kebijaksanaan. “Hakikat kebijaksanaan ini ialah penemuan makna


(52)

mendalam hidup manusia dan penemuan tujuan transenden hidup manusia dalam Allah (Widyamartaya, 2015: 27). Paus Yohanes Paulus II secara khusus melalui surat kepada umat lansia juga mengajak seluruh umat untuk bersama-sama menimba kebijaksanaan kepada kaum lansia:

Hendaklah masyarakat sepenuh mungkin menggunakan kekuatan para lanjut usia, yang di berbagai daerah di dunia–khususnya saya pikirkan Afrika–tepat

dihormati sebagai “ensiklopedi-ensiklopedi hidup” kebijaksanaan, para penjaga harta-karun tiada taranya perihal pengalaman-pengalaman manusiawi dan rohani (LE, art. 12).

6. Pada-Mu ya Tuhan, aku berlindung; janganlah sekali-kali aku mendapatkan malu (Mzm. 71:1).

Ayat dari Kitab Mazmur ini dengan sangat indah menggambarkan mengenai salah satu dari sekian banyak doa dari kaum lansia yang ada dalam Kitab Suci. Ayat ini sekaligus menggambarkan dan memberi kesaksian mengenai jiwa yang saleh di

hadapan Tuhan. “Doa adalah sarana utama untuk memperoleh pengertian rohani

tentang hidup yang khas bagi kaum lansia” (Widyamartaya, 2015: 27). Doa adalah

bentuk kekuatan dan pelayanan yang dapat dilakukan kaum lansia, bahkan bagi mereka sedang terbaring sakit, cacat, dan tak berdaya demi kesejahteraan Gereja dan seluruh dunia. Doa dapat menjadi sarana bagi kaum lansia untuk mendobrok segala bentuk isolasi untuk tampil dan turut merasakan derita dan suka cita orang lain. Dalam suratnya pun secara tegas, Paus Yohanes Paulus II mengajak kaum lansia untuk terus berdoa dan melayani sesama dengan cinta kasih: “Itulah waktu yang hendaknya digunakan secara kreatif untuk mendalami hidup rohani kita melalui doa


(53)

dan komitmen yang lebih bersemangat untuk melayani saudari-saudara kita dalam cinta-kasih” (LE, art. 16).

D. Gereja dan Kaum Lansia

Di dalam Gereja, ketergantungan umat Allah dari berbagai generasi erat terjadi

dan dapat saling melengkapi. “Berbagai generasi dipanggil untuk mengambil bagian

dalam rencana Allah yang penuh kasih dengan saling bertukar anugerah yang dikaruniakan oleh rahmat Roh Kudus untuk memperkaya setiap orang” (Widyamartaya, 2015: 27). Kaum lansia dapat membagikan nilai-nilai religius dan moral yang merupakan kekayaan rohani mereka. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi jemaat kristiani, keluarga, maupun dunia.

Dalam suratnya kepada umat lansia, Paus Yohanes Paulus II juga mengungkapkan secara jelas bahwa generasi muda dapat menimba kekayaan rohani

kaum lansia sebagai sumber inspirasi atau teladan: “Kita semua akrab dengan

teladan-teladan para lanjut usia, yang mengagumkan tetap masih muda dan kuat rohani. Mereka yang menemukan kontak dengan kaum lanjut usia itu, merasakan kata-kata mereka sebagai inspirasi, dan teladan mereka menjadi sumber hiburan” (LE, art. 12). Menurut beliau, ada banyak kaum lansia yang meskipun telah menjadi kaum lansia tetap memiliki semangat seperti anak muda dan kuat secara rohani. Dari kaum lansia seperti inilah, Paus Yohanes Paulus II mengajak agar anak muda tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menimba inspirasi atau teladan yang akan berguna bagi kehidupan mereka.


(54)

Pada masa lansia ini, nilai-nilai transendental umumnya semakin kuat muncul dalam diri mereka. Dapat dijumpai kaum lansia di berbagai belahan dunia yang semakin rajin berdoa justru saat mereka telah menjadi lansia. Doa mereka dapat menjadi sumbangan yang sangat besar bagi Gereja. Mereka yang tadinya tidak pernah pergi ke gereja, akhirnya kembali lagi ke gereja. Memang penghayatan iman kaum lansia umumnya sangat sederhana, namun bukan berarti tidak berguna atau kurang mendalam.

Gereja perlu terlibat dalam katekese bagi kaum lansia. Kehidupan kaum lansia yang seringkali diwarnai oleh kerapuhan, kelemahan, dan penyakit membuat mereka merasa mendapat hukuman dari Allah atau sekurang-kurangnya merasa bahwa Allah tidak mencintai mereka. Gereja perlu hadir untuk membuka cakrawala pengharapan mereka, serta menunjukkan bahwa Allah adalah kasih. Kaum lansia juga perlu dibantu untuk semakin mendalami Kitab Suci, isi iman dan merenungkan kematian serta kebangkitan Kristus. Dengan demikian diharapkan pandangan atau konsepsi mereka tentang Allah yang tidak peduli atau Allah yang penghukum dapat berubah.

Gereja memiliki kewajiban memberi kesempatan yang besar kepada kaum lansia untuk berjumpa dengan Kristus. Mereka perlu dibantu sedemikian rupa agar dapat menemukan arti penting dari rahmat baptisan yang telah mereka terima, yaitu

berkat baptisan mereka dilahirkan kembali di dalam Kristus. “Kesadaran bahwa

dengan baptis kita dilahirkan kembali membuat kaum lansia mampu menjaga dalam hati mereka rasa kagum di hadapan misteri Kasih Allah yang dinyatakan dalam


(55)

“Gereja berkewajiban menyadarkan kaum lansia sedalam-dalamnya bahwa mereka juga mempunyai tugas untuk menyebarkan Injil Kristus ke seluruh dunia dan menyatakan kepada setiap orang misteri kehadiran-Nya dalam sejarah untuk

selama-lamanya” (Widyamartaya, 2015: 37). Kaum lansia dapat hadir sebagai saksi yang

istimewa untuk menunjukkan kepada dunia mengenai Allah yang setia, Allah yang selalu peduli dan menepati janji-Nya kepada manusia. Paus Yohanes Paulus II secara tegas juga mengungkapkan bahwa:

Gereja masih memerlukan anda. Gereja menghargai jasa-pelayanan, yang kiranya Anda ingin menyelenggarakan di sekian banyak lahan kerasulan. Gereja mengandalkan laporan periode-periode lebih lama Anda berdoa. Gereja mengandalkan nasihat Anda yang berasal dari pengalaman, dan Gereja diperkaya berkat kesaksian harian anda akan Injil, (LE, art. 13).

Terlihat jelas melalui ungkapan Paus Yohanes Paulus II tersebut bahwa lansia masih sangat dibutuhkan oleh Gereja. Lansia bukanlah barang usang yang sudah tidak berguna dan tidak memiliki arti lagi. Mereka masih dapat terlibat dalam banyak kegiatan kerasulan. Mereka tetap dapat memberikan sumbangan bagi Gereja melalui doa, nasihat yang bersumber dari pegalaman mereka, serta kesaksian hidup. Kesaksian hidup mereka mengenai iman yang mereka hayati akan memberi dampak yang baik, terutama bagi orang-orang di sekelilingnya.

Tugas pastoral Gereja untuk mewartakan Injil kepada kaum lansia pertama-tama adalah untuk memperkembangkan dan memupuk kerohanian yang khas bagi

kaum lansia, yakni “kerohanian yang berdasarkan kelahiran kembali terus-menerus yang dianjurkan oleh Yesus Kristus sendiri kepada Nikodemus supaya tidak membiarkan kelahiran kembali dirinya dihalangi oleh usia tua. Kelahiran di sini


(56)

dimaksudkan bahwa seseorang memiliki relasi yang semakin intim dengan Allah dan memiliki kedewasaan iman tanpa takut terpengaruh oleh fisik yang semakin lama

semakin rapuh” (Widyamartaya, 2015: 38). Kelahiran kembali di dalam Yesus, tidak

harus seseorang masuk lagi ke dalam rahim ibunya, tetapi dalam arti lahir secara rohani (membuang manusia lama dan hidup menjadi manusia baru dalam pengharapan, penyerahan dan rasa syukur). Lahir baru atau lahir kembali merupakan tindakan Allah yang disediakan bagi orang percaya sehingga memungkinkan mereka memperoleh hidup kekal (Yoh. 1:12-13). Oleh karena itu, kaum lansia harus dibantu untuk senantiasa menghayati imannya melalalui doa, mensyukuri setiap tahap hidupnya, dan berserah atas rahmat hidup yang diterima.

Tugas pastoral untuk mendampingi kaum lansia perlu disiapkan dengan melatih imam, sukarelawan, orang muda maupun orang dewasa. Mereka harus mampu memberikan pelayanan pastoral yang dapat menjawab kebutuhan kaum lansia dengan cara yang berbeda-beda. Imam dapat mendapingi kaum lansia agar mereka tetap dapat mengambil bagian dalam hidup Sakramental Gereja, misalnya dibantu untuk mengambil bagian dalam Perayaan Ekaristi, memberikan sakramen perminyakan, dan sakramen tobat, terutama bagi kaum lansia yang sudah mengalamai kelemahan-kelemahan fisik. Sukarelawan, orang muda maupun orang dewasa dapat mengunjungi dan memberikan penghiburan kepada kaum lansia, terutama kaum lansia yang mengalami sakit yang sudah tidak dapat terobati lagi.

Sumbangan dari kaum lansia melalui keterlibatan mereka dalam karya pastoral ini juga sangat dibutuhkan. Melalui kekayaan iman dan pengalaman yang dimiliki,


(57)

sesama kaum lansia dapat saling memperkaya dan memperteguh. Kaum lansia

bukanlah orang yang secara pasif menerima reksa pastoral Gereja. „„Mereka adalah

rasul yang tak tergantikan tempatnya, terutama di kalangan mereka sendiri, sebab tidak seorangpun lebih mengetahui dari pada mereka mengenai masalah-masalah dan perasaan-perasaan yang khas pada tahap hidup ini (Widyamartaya, 2015: 39).

E. Petunjuk untuk Reksa Pastoral Kaum Lansia

Dalam Amanat Apostolik Christifideles Laici tentang panggilan dan perutusan kaum awam, Yohanes Paulus II berbicara kepada orang-orang lanjut usia:

Masa pensiun yang dinantikan memberi kesempatan baru dalam kerasulan tersebut kepada mereka yang tidak lagi pergi ke tempat kerja dan melalukan berbagai profesi. Dalam tugas itu ialah kebulatan tekad mereka untuk mengalahkan godaan yang mendorong mereka supaya lari ke dalam nostalgia masa lalu yang tak akan pernah kembali atau lari dari tanggug jawab masa kini karena kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam dunia yang dari waktu ke waktu menampilkan sesuatu yang baru. Mereka selalu mengetahui dengan jelas bahwa peranan orang dalam Gereja dan masyarakat sama sekali tidak berhenti pada usia tertentu. Pada waktu-waktu seperti itu, peranan itu hanyalah mengahadapi cara-cara penerapan yang baru… mencapai usia tua harus dipandang sebagai keistimewaan tidak hanya karena tidak setiap orang beruntung mencapai usia tua tetapi juga, dan terutama, karena masa ini memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menilai masa lalu dengan lebih baik, untuk mengenal dan menghayati misteri Paskah dengan lebih dalam, dan untuk menjadi teladan dalam Gereja bagi seluruh umat Allah (art. 48).

Melalui Amanat Apostoliknya tersebut, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kaum lansia yang telah pensiun dari pekerjaan mereka tetap memiliki kesempatan untuk dapat terlibat dalam karya kerasulan Gereja. Usia tua tidak menghalangi mereka untuk tetap berkarya bagi Gereja dan masyarakat, misalnya, dapat menjadi teladan dalam Gereja melalui sikap hidup atau kesaksian hidupnya,


(58)

memberikan nasihat-nasihat yang baik bagi orang yang lebih muda, serta menjadi pendoa bagi siapa saja. Usia tua harus dipandang secara positif, yaitu sebagai kesempatan istimewa karena dapat mencapai usia tua; dengan cara mengevaluasi atau menilai masa lalu dengan melakukan refleksi untuk melihat kembali rahmat Tuhan dalam perjalanan hidupnya.

Dalam suratnya kepada umat lansia, Paus Yohanes Paulus II kembali menegaskan mengenai keterlibatan yang masih dapat dilakukan oleh kaum lansia di dalam Gereja:

Itulah waktu yang hendaknya digunakan secara kreatif untuk mendalami hidup rohani kita melalui doa dan komitmen yang lebih bersemangat untuk melayani saudari-saudara kita dalam cinta-kasih. Maka sangat dianjurkan semua program sosial, yang memampukan para lanjut usia untuk masih melanjutkan memperhatikan kesejahteraan fisik mereka, pengembangan intelektual mereka, dan hubungan-hubungan pribadi mereka, begitu pula program-program yang memampukan mereka menjadikan diri penuh manfaat, dan menyediakan waktu, bakat-pembawaan dan pengalaman mereka untuk melayani sesama (LE. 16).

Oleh karena itu, Gereja perlu membuka kemungkinan reksa pastoral yang dapat melibatkan kaum lansia dalam karya kerasulan. Dari berbagai bidang yang terbuka kemungkinannya untuk kesaksian kaum lansia dalam Gereja mencakup bidang-bidang sebagai berikut (Widyamartaya, 2015: 43-46):

1. Keluarga

Kaum lansia merupakan bagian dari keluarga yakni sebagai penyambung ingatan sejarah bagi generasi muda (Widyamartaya, 2015: 44). Bila ingatan ini tidak ada, maka mereka akan tercabut dari akar dan kehilangan harapan untuk mencapai


(59)

tujuan di masa depan yang melampaui masa kini. Peran kaum lansia sebagai penjaga

“ingatan sejarah” juga disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II:

Merekalah penjaga-penjaga kenangan kolektif kita, oleh karena itu para penafsir istimewa keseluruhan cita-cita dan nilai-nilai bersama, yang mendukung dan memandu hidup dalam masyarakat. Menyingkirkan para lanjut usia dalam arti tertentu berarti mengingkari masa lampau, masa sekarang ini berurat-akar mendalam, atas nama modernitas tanpa kenangan. Justru karena pengalaman mereka matang, para lanjut usia mampu menyajikan kepada kaum

muda nasehat dan bimbingan yang bernilai tinggi” (LE, art. 9).

Menurut beliau,kaum lansia merupakan penjaga kenangan kolektif atau bersama, sehingga mereka layak disebut sebagai penafsir istimewa mengenai seluruh cita-cita dan nilai bersama. Berkat pengalaman yang matang dari masa lampau, maka kaum lansia dapat menyajikan nasihat dan bimbingan yang bernilai tinggi bagi generasi muda. Oleh karena itu, kaum lansia dapat menjadi pendidik yang luar biasa bagi keluarga dan masyarakat luas.

2. Kegiatan-Kegiatan Amal Kasih

Masih dapat dijumpai banyak kaum lansia di dalam Gereja yang kuat secara fisik dan spiritual. Mereka masih mampu untuk membaktikan diri mereka dalam karya pelayanan cinta kasih bagi sesama. Hal itu juga ditekankan secara jelas oleh Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada kaum lansia. Beliau mengajak agar kaum lansia membangun komitmen penuh semangat untuk melayani saudara-saudari dalam cinta kasih (LE, art. 16).


(60)

3. Kerasulan

Kaum lansia dapat memberikan sumbangan yang sangat besar bagi karya pewartaan Injil dan dapat memberikan kesaksian yang luar biasa bagi seluruh anggota Gereja. Semangat semacam ini sudah ditelandankan oleh banyak tokoh dalam Kitab Suci. Misalnya saja Nikodemus, anggota Sanhedrin yang telah lanjut usia. Di tengah malam, secara diam-diam ia menjumpai Yesus. Dalam perjumpaan itu, Yesus menyingkapkan diri bahwa Ia adalah Putera Allah (Yoh. 3:1-21). Kemudian Nikodemus tampil lagi dalam pemakaman Yesus untuk membawa mur dan menunjukkan diri murid Tuhan yang disalibkan (Yoh. 19:38-40). Apa yang dilakukan oleh Nikodemus menegaskan bahwa usia tua tidak menghalangi karya pelayanan untuk terus mewartakan Injil. Hal ini juga ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II

dalam suratnya kepada umat lansia: “Contoh itu mengingatkan kita, bahwa pada setiap tahap hidup Tuhan dapat meminta dari kita masing-masing untuk menyumbangkan bakat-kecakapan yang ada pada kita. Pelayanan Injil tiada

sangkut-pautnya dengan umur hidup sedikit pun” (LE, art. 7).

Singkatnya, kaum lansia masih dapat terlibat dan dilibatkan dalam karya pewartaan Injil di dalam Gereja dan kesaksian hidup mereka dapat menjadi Injil yang hidup. Masih dalam suratnya kepada umat lansia, Paus Yohanes Paulus II melanjutkan:

Yang terutama saya pikirkan dalam rangka pewartaan Injil: sifat efektifnya tidak pertama-tama tergantung dari kemahiran teknis. Dalam sekian banyak keluarga cucu-cucu diajari pokok-pokok sederhana iman oleh kakek atau nenek mereka! Ada sekian banyak lahan, tempat para lanjut usia dapat memberi sumbangan yang sungguh menguntungkan (LE, art. 13).


(1)

(2) Lampiran 2

Hikayat dari Swedia "Apa itu hidup?'

Pada suatu hari yang cerah ada ketenangan di tengah hutan. Burung-burung memasukkan paruhnya di bawah bulu-bulunya. Segalanya sedang istirahat di siang yang panas. Burung Cendrawasih yang memecah keheningan dengan bertanya

"Apa itu hidup?"

Semua burung dan binatang lain terpekur-terperana dan mulai memikirkan jawaban atas pertanyaan begitu singkat, lagi sulit itu. Setangkai bunga mawar merah sedang memekarkan kuntumnya, membuka daun demi daun yang indah dan harum . Lalu ia menjawab...

"Hidup itu ibarat pertumbuhan".

Lain sekali si kupu-kupu. Dengan riang gembira ia terbang dari bunga ke bunga sambil mengisap di sana situ, lalu berkata...

"Hidup itu serba enak dan nikmat".

Dengan susah payah berjalanlah seekor semut di atas tanah hutan itu. Ia sedang memikul sehelai rumput kering dan berkata...

"Hidup hanyalah jerih payah dan kerja keras".

Hampir saja terjadi pertengkaran di antara mereka, kalau di saat itu tidak turun hujan rintik-rintik. Lalu gerimis itu berkata...

"Hidup itu kesegaran dalam tetes-tetes air".

Jauh di atas mereka terbanglah seekor rajawali yang berputar-putar penuh keanggunan. Ia berkata...


(2)

(3) "Usaha naik semakin tinggi".

Kemudian, tibalah malam hari. Seorang pejalan kaki sedang lewat di tempat itu dari sebuah perjamuan meriah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam...

"Hidup itu ibarat kebahagiaan tercampur kekecewaan".

Sesudah malam panjang lewat, muncullah fajar di ufuk timur, sambil berbisik... "Akulah awal hari baru. Hidup di dunia ini menjadi permulaan hidup kekal".

Sumber: Purnawati Olsson, "Cerita Rakyat dari Swedia",


(3)

(4) Lampiran 3

Injil Markus 4:26-34

(Perumpamaan tentang benih yang tumbuh)

4:26 Lalu kata Yesus: "Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah,

4:27 lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu.

4:28 Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu.

4:29 Apabila buah itu sudah cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba.

4:30 Kata-Nya lagi: "Dengan apa hendak kita membandingkan. Kerajaan Allah itu, atau dengan perumpamaan manakah hendaknya kita menggambarkannya? 4:31 Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Memang biji itu yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi.

4:32 Tetapi apabila ia ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya."

4:33 Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka,

4:34 dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri.


(4)

(5) Lampiran 4

Di Saat Daku Tua Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu.

Maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku.

Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku. Di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu.

Ingatlah saat-saat bagaimana daku mengajarimu, membimbingmu untuk melakukannya.

Di saat saya dengan pikunnya mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu,

Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku.

Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus sebuah cerita yang telah saya ceritakan ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi.

Di saat saya membutuhkanmu untuk memandikanku, janganlah menyalahkanku.

Ingatkah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?

Di saat saya kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern, janganlah mentertawaiku.

Renungkanlah bagaimana daku dengan sabarnya menjawab setiap pertanyaan yang engkau ajukan di saat itu.

Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan,

Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku.

Bagaikan di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan.


(5)

(6)

Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita, berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya.

Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku, asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku, daku telah bahagia. Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih.

Maklumilah diriku, dukunglah daku, bagaikan daku terhadapmu di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan.

Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini, kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku.

Berilah daku cinta kasih dan kesabaranmu.

Daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur.

Di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga padamu. Sumber: Nara Yuuki,"Di Saat Daku Tua, http:/hshn.weebly.com/berita/puisi-orang-tua, diakses pada 14 Juli 2017.


(6)

(7)

Lampiran 5

Sakjege Aku Ndherek Guti Sakjeke aku nderek gusti,

uripku tansah diberkahi.

Atiku ayem tentrem, atiku ayem tentrem, kabeh iku Gusti Yesus sing maringi. Reff

Matur nuwun, matur nuwun.

Matur nuwun Gusti Yesus, kulo matur nuwun. Matur nuwun, matur nuwun.

Matur nuwun Gusti Yesus, kulo matur nuwun.

Sumber: http://kandangjago.web.id/lirik-lagu-paduan-suara/sakjege-aku-ndherek-gusti, diakses pada 26 Juni 2017.