Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Berkaitan dengan pembentukan kepribadian, pada tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional Kemdiknas mengeluarkan kebijakan tentang
pendidikan karakter. Kebijakan tersebut konon beranjak dari keprihatinan akan berbagai persoalan bangsa Indonesia diantaranya: belum dihayatinya nilai-nilai
Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ancaman disintegrasi bangsa serta masih banyak persoalan lainnya. Beranjak dari
keprihatinan tersebut, Kemdiknas kemudian mencanangkan penerapan pendekatan pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan. Pendidikan karakter ini
digadang-gadang sebagai jalan mewujudkan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
1
Pendidikan karakter kemudian menjadi konsep sekaligus praktik pendidikan etika arus utama di sekolah-sekolah kita saat ini. Semua jenjang
pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi diminta untuk menerapkan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kemdiknas tersebut.
Pendidikan karakter menjadi trend baru di dunia pendidikan Indonesia. Berkaitan dengan munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia,
belum ada kajian kritis terhadap trend tersebut. Banyak ulasan baik yang berupa artikel maupun buku dan seminar-seminar yang diadakan lebih mengarah pada
pemberian dukungan atau sosialisasi kebijakan baru tersebut. Padahal banyak hal yang perlu dikaji lebih jauh mengenai kemunculan kebijakan tersebut. Ide soal
1
Badan Penelitian dan Pengembangan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm. 5.
pendekatan pendidikan karakter tidak muncul dengan sendirinya di kalangan pembuat kebijakan kita.
Trend pendidikan karakter yang terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari munculnya kembali gerakan pendidikan karakter character education
movement di Amerika Serikat AS sejak tahun 1990an. Di AS sendiri, pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan pendidikan karakter telah
menjadi perdebatan hangat di kalangan para praktisi maupun peneliti dan pengamat pendidikan khususnya pendidikan moral. Perdebatan itu tidak hanya
soal konsep dan praktik dari pendekatan pendidikan karakter tetapi juga mengkaji lebih jauh seputar kepentingan politik di balik munculnya kembali gerakan
pendidikan karakter. Berbeda dengan negara asalnya, trend pendidikan karakter di Indonesia tidak diimbangi dengan perdebatan hangat seputar pendekatan tersebut.
Ide dasar pelaksanaan pendidikan karakter sebenarnya baik. Kita pun pasti setuju bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab untuk pengenalan ilmu
pengetahuan semata tetapi juga pendidikan etika para peserta didiknya. Namun terlebih dahulu saya ingin menjelaskan penggunaan istilah pendidikan karakter
dan pendidikan etika yang saya pakai secara bergantian dalam tesis ini. Pendidikan karakter dalam tesis ini lebih merujuk pada konsep dan praktik yang
dijalankan di sekolah arus utama menurut kebijakan Kemdiknas sedangkan istilah pendidikan etika kemudian sengaja saya pilih untuk bisa lebih banyak
membicarakan persoalan moralitas termasuk pendidikan karakter dari Kemdiknas itu sendiri.
Melanjutkan persoalan tanggung jawab sekolah untuk memberi pendidikan etika dan pembentukan kepribadian, kita pun perlu mengkritisi hal
tersebut lebih lanjut. Etika macam apa yang ingin kita tanamkan dan bagaimana etika itu disampaikan kepada anak-anak? Kedua pertanyaan dasar itulah yang
menjadi bahan untuk terus mencari orientasi yang tepat bagi pendidikan etika. Berkaitan dengan pencarian orientasi dan kualitas pendidikan etika,
apakah pendidikan karakter yang dicetuskan oleh pemerintah dan menjadi trend di dunia pendidikan sudah berangkat dari realitas sosial bangsa Indonesia saat ini?
Aspek waktu dan tempat menjadi dua bahan pertimbangan penting dalam menyusun sistem pendidikan karena keduanya menentukan apakah sistem
pendidikan tersebut relevan atau tidak. Dengan demikian pertanyaan di atas memang merupakan sebuah pertanyaan yang sulit. Sebuah tantangan yang tidak
mudah untuk mencari orientasi pendidikan etika di tengah zaman yang terus beranjak serta di tengah-tengah perkembangan situasi lokal, nasional dan terlebih
pengaruh pasar global dewasa ini. Kita berada pada masa di mana neoliberalisme telah mempengaruhi segala
aspek kehidupan kita. Hubungan sosial masyarakat pun turut dikomodifikasikan dan disamaratakan. Neoliberalisme telah menimbulkan hubungan-hubungan
subordinatif baru. Neoliberalisme memanfaatkan kebutuhan manusia sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan dan membuat konsumsi sebagai satu-satunya
model relasi sosial serta melingkupi seluruh kehidupan sosial. Teknologi telah berkembang sedemikian rupa dan turut menjadi alat bagi
neoliberalisme dalam membuat hubungan subordinat dalam masyarakat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Teknologi yang seharusnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia, justu sekarang kita dibuat untuk terus-menerus merasa butuh berbagai teknologi
tersebut. Teknologi yang seharusnya semakin membuat manusia bertanggung jawab justru seringkali dimanfaatkan secara brutal untuk menindas manusia yang
lain. Zygmunt Bauman banyak memberikan contoh bagaimana pada masa modern saat ini teknologi justru dimanfaatkan untuk menindas manusia yang lain.
Misalnya, penggunaan teknologi dalam situasi perang yang bisa membuat orang terbunuh dalam waktu yang relatif cepat dan jarak yang relatif jauh di mana
pembunuhnya tidak perlu melihat para korbannya. Orang kemudian bisa saja terbunuh tanpa adanya kesempatan untuk mempertahankan diri.
2
Masih banyak contoh lain tentang bagaimana kemajuan teknologi saat ini justru mengarahkan orang pada militerisme, konsumerisme dan juga privatisasi.
Dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh kekuasaan konsumerisme, neoliberalisme dan juga militerisme kemudian menjadi lebih sulit untuk
mengambil posisi tanggung jawab moral, sosial dan politis. Kita juga menjadi sulit membayangkan tentang masa depan di mana kita merespon penderitaan
Liyan sebagai elemen pusat dari kehidupan demokrasi. Berhadapan dengan situasi jaman sekarang yang seperti itu, pendidikan
kemudian mengemban tanggung jawab penting yakni membentuk masyarakat etis yang peduli akan Liyan. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah konsep dan
praktik yang diajukan oleh pendekatan pendidikan karakter bisa mengantar anak untuk bisa mengambil posisi tanggung jawab terhadap Liyan? Seperti yang sudah
2
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, Oxford, Blackwell, 1993, hlm. 227.
saya singgung bahwa di AS sendiri, konsep dan praktik pendidikan karakter sudah mendapat kritik dari berbagai kalangan. David E. Purpel menyebut gerakan
pendidikan karakter lebih bersifat sebagai sebuah gerakan ideologis dan politik daripada sebuah perdebatan tentang materi-materi moral.
3
Penentuan standar melalui adanya nilai-nilai utama membuat para guru lebih berfokus pada
penyampaian nilai-nilai itu. Tianlong Yu menyatakan bahwa kebanyakan guru pendidikan karakter lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai universal yang
telah dipilih dan cenderung menghindari isu-isu perubahan politik yang terjadi.
4
Dan Nel Noddings melihat metode yang digunakan oleh pendekatan karakter seperti memasang spanduk-spanduk berisikan nilai yang sedang ingin diajarkan
atau pemberian kata-kata motivasi motto kepada para murid tidak efektif dalam mengajarkan moral kepada para muridnya.
5
Nel Noddings sendiri merupakan tokoh pendidikan kepedulian care education yang selain mengkritik pendidikan karakter, ia juga mengajukan
pendidikan kepedulian sebagai alternatif dalam pendidikan moral. Pendekatan pendidikan kepedulian sebenarnya setuju dengan tujuan pendekatan pendidikan
karakter yang ingin menciptakan orang-orang atau masyarakat yang baik. Namun, cara yang dipakai dalam merealisasikan tujuan tersebut yang berbeda. Pendekatan
3
David E. Purpel, “The Politics of Character Education” dalam Counterpoints, Vol. 102, Tahun 1999, diakses dari http:www.jstor.orgstable42975410 pada hari Kamis, 25 Juni 2015, hlm.
83.
4
Tianlong Yu, In the Name of Morality: Character Education and Political Control, New York, Peter Lang, 2004, hlm. 2.
5
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, New York, Teachers College Press, 2002, hlm. 7.
pendidikan kepedulian lebih menekankan pada proses pembentukan relasi yang bisa menjadi lahan bagi tumbuh kembangnya etika anak.
Demikianlah kita sudah melihat peta besar mengenai persoalan pendidikan etika. Di satu sisi, neoliberalisme membuat kita butuh sebuah etika baru, yaitu
etika yang berdasar pada tanggung jawab terhadap Liyan yang partikular. Tetapi di sisi lain, pendidikan etika arus utama melalui pendekatan pendidikan karakter
belum mampu memenuhi kebutuhan kita tersebut. Jika di AS, ada pendidikan kepedulian yang diajukan sebagai alternatif bagi pendidikan karakter, di Indonesia
pendidikan karakter justru sedang menjadi trend di semua jenjang pendidikan arus utama.
Pencarian alternatif bagi trend pendidikan karakter di Indonesia kemudian membawa saya pada institusi pendidikan yang mengusung bendera pendidikan
alternatif. Berhadapan dengan pendidikan arus utama, di Indonesia sudah cukup banyak contoh pendidikan alternatif yang berdiri dan dikenal oleh masyarakat
luas. Namun istilah “alternatif” ini juga perlu dikaji lebih dalam, yaitu alternatif dari realitas pendidikan yang mana. Saat ini ada cukup banyak institusi yang
mengusung pendidikan alternatif dengan kegelisahan, tujuan maupun ideologi yang beragam. Pendidikan alternatif kemudian tidak hanya dalam pemaknaan
akan sebuah pendidikan yang diajukan sebagai hegemoni tandingan terhadap wacana dan praktik pendidikan arus utama tetapi ada juga justru menggunakan
istilah pendidikan alternatif sebagai barang jualan. Sanggar Anak Alam SALAM kemudian menjadi pendidikan alternatif
yang saya pilih untuk penelitian saya. SALAM terletak di Desa Nitiprayan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kasihan, Bantul, Yogyakarta. SALAM merupakan salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan dengan konsep dan strategi yang berbeda dengan
pendidikan pada umumnya. Proses pendirian SALAM tidak lepas dari sosok Sri Wahyaningsih dan
Toto Rahardjo yang merupakan rekan dari Y.B Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun. Nama Romo Mangun tentu sudah tidak asing
dalam dunia pendidikan Indonesia. Persoalan kemiskinan, kekerasan, ketidakberdayaan, ketidakadilan dan penyeragaman oleh pemerintahan Suharto
menjadi perhatian Romo Mangun. Ia dan rekan-rekannya mengupayakan pendidikan yang memerdekakan dengan mendirikan Dinamika Edukasi Dasar
DED dan Sekolah Dasar SD Eksperimental Mangunan . Toto Rahardjo sendiri merupakan sahabat dari Mansour Fakih dan Roem
Topatimasang dimana mereka bertiga telah menyunting sebuah buku yang berjudul “Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis”. Dalam buku
tersebut, terlihat jejak pemikiran Paulo Freire yaitu seorang tokoh pemikiran pendidikan kritis dari Brazil yang mencetuskan tentang pendidikan yang
membebaskan. Ketika saya mengikuti workshop SALAM yang dipandu oleh Toto Rahardjo memang nampak bahwa ia menggeluti pemikiran Paulo Freire.
Bagi pendidikan kritis, pemikiran serta aksi nyata Romo Mangun dan Paulo Freire merupakan contoh-contoh panutan yang ingin untuk dijalankan. Sri
Wahyaningsih dan Toto Rahardjo sudah bersentuhan dengan pendidikan yang dulu diupayakan oleh Rama Mangun dan juga sudah berkenalan dengan konsep
pendidikan Paulo Freire. Lalu hal yang menarik perhatian saya yaitu bagaimana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ketika konsep-konsep pendidikan kritis itu kemudian coba direalisasikan dalam bentuk SALAM. Bagaimana mereka menerjemahkan konsep-konsep pendidikan
pendidikan kritis dan menerapkan dalam proses pembelajaran di SALAM. Berbagai ketertarikan dan pertanyaan yang muncul ketika saya bersentuhan
dangan SALAM inilah yang membawa saya memilih SALAM sebagai objek material penelitian saya dengan berfokus pada pendidikan etika.
Secara tampak mata, SALAM berbeda dengan sekolah pada umumnya. Dari penampakan luar, anak-anak yang belajar di SALAM tidak mengenakan
seragam seperti anak-anak yang belajar di sekolah formal pada umumnya. Mereka bebas untuk memakai baju apa saja. Bangunan sekolah mereka berada di tengah-
tengah sawah dan ada yang terbuat dari bambu. Dari sisi proses pembelajarannya, terutama pendidikan etika, SALAM
tidak menggunakan mata pelajaran seperti Pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan PKn seperti di sekolah pada umumnya. Tentu kita kemudian
menjadi bertanya, lalu bagaimana cara mereka membentuk kepribadian anak- anaknya? Para pengurus SALAM ingin menumbuhkan tanggung jawab anak-
anaknya baik kepada dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitarnya. SALAM merangkum tujuannya itu dalam semboyan “jaga diri, jaga teman dan
jaga lin gkungan”.
Cara yang dipakai oleh SALAM untuk memperkenalkan ketiga bentuk tanggung jawab itu ialah melalui pendidikan etika berbasis pengalaman.
Berangkat dari kegelisahan para pengurus SALAM akan realitas pembelajaran etika di sekolah arus utama yang lebih mengarah pada pemberian ajaran,
wejangan dan nasehat yang jauh dari bayangan anak-anak, SALAM kemudian menyusun keseluruhan dinamika pendidikannya untuk menjadi sarana anak-anak
melihat realitas sekelilingnya dan kemudian belajar mengambil posisi tanggung jawab di tengah realitas tersebut. Keseluruhan dinamika SALAM mulai dari
kegiatan belajar mengajar, kesepakatan kelas, pasar tradisional, bank sampah dan berbagai kegiatan lainnya diarahkan sebagai praktik pendidikan etika anak-anak
muridnya. Pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM inilah yang akan saya kaji melalui penelitian saya.
Saya menyusun judul untuk penulisan tesis saya ini adalah “Sekolah Biasa Saja: Kajian terhadap Praktik Pendidikan Etika Alternatif yang Diajukan oleh
Sanggar A nak Alam SALAM Yogyakarta”. Judul ini terinspirasi dari judul buku
yang ditulis oleh Toto Rahardjo , yaitu “Sekolah Biasa Saja Catatan Pengalaman
Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di Sanggar Anak Alam”. Kalimat “Sekolah Biasa Saja” menarik keingintahuan saya akan apa sebenarnya yang ingin mereka
sampaikan berkaitan dengan keberadaan SALAM. Kalimat tersebut bagi saya bisa mengarahkan pada dua kemungkinan. Pertama, kalimat “Sekolah Biasa Saja”
bernada rendah hati atau negasi dimana makna yang sebenarnya ingin diungkapkan yaitu bahwa SALAM bukan sekolah biasa seperti sekolah lain pada
umumnya. Kalimat tersebut bisa dimaknai bahwa SALAM adalah sekolah yang bagus sebagai alternatif dari kecenderungan pendidikan arus utama. Kemungkinan
yang kedua dari kalimat tersebut bahwa pada kenyataannya SALAM memang hanya sekolah biasa saja sama seperti dengan sekolah lain termasuk pendidikan
arus utama yang ia lawan. Dua kemungkinan tersebut akan saya simpulkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melalui hasil penelitian saya, kemungkinan mana yang tepat berkaitan dengan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM.