Anak-anak sebagai Liyan di Mata Fasilitator

memperhitungkan beragam situasi nyata yang dihadapi oleh masing-masing anak. Tidak ada tempat bagi kompleksitas, subjektivitas dan keragaman perspektif karena yang diutamakan adalah rasionalitas dan objektivitas. Dengan demikian memang tepat kritik yang dilontarkan Bauman terhadap universalisme. Bauman melihat universalisme justru malah menyamaratakan esensi manusia. Usaha modernisme untuk bisa mewujudkan etika yang universal justru melemahkan otoritas moral individu dengan memberikannya kepada negara maupun kekuatan lain yang berperan menentukan kode etik yang harus dipatuhi. Universalisme menawarkan kualitas dan kapasitas yang sama kepada setiap individu. Namun, kode-kode etik yang dipromosikan mengatasnamakan kebijaksanaan dari superioritas kelompok tertentu. 3 Kebijakan pendidikan karakter merupakan contoh bagaimana pendidikan kita telah mengikuti pandangan universalisme moral. Negara telah menentukan 18 nilai yang perlu diperkenalkan kepada para murid lengkap dengan indikator- indikator penilaiannya. Semua anak di wilayah Indonesia dianggap memiliki kemampuan dan kewajiban yang sama untuk menjalankan kode etik yang termuat dalam pendidikan karakter. Di tengah realitas pendidikan etika arus utama kita yang lebih dipengaruhi oleh pandangan universalisme moral tersebut, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM mempunyai potensi dalam memberi ruang untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak. Berangkat dari 3 Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, Oxford, Blackwell, 1993, hlm. 39-41. pengalamannya masing-masing, anak-anak diberi ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya. Hal ini menandakan adanya keterbukaan dan penghargaan fasilitator terhadap suara anak-anak. Ada komunikasi yang coba dibangun bersama dan hal ini juga menandakan bahwa fasilitator tidak memperlakukan anak-anak sebagai Liyan yang seragam termasuk serupa dengan diri sang fasilitator sendiri. Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan Daur Belajar dan penyusunan kesepakatan kelas bisa menjadi contoh bagaimana anak-anak diberi ruang untuk aktif menyampikan ide dan pendapatnya berangkat dari pengalaman yang sudah ia lalui. Dalam penyusunan kesepakatan kelas, masing-masing anak diberi ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya berkaitan dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk mendukung kelancaran proses belajar. Demikian pula dalam pelaksanaan Daur Belajar, anak-anak diberi ruang untuk menyampaikan ide dan pendapatnya mulai dari persiapan riset, pelaksanaan riset sampai dengan olah data riset di kelas. Penyediaan ruang dan kesempatan bagi anak-anak untuk menyampaikan ide dan pendapatnya ini tidak hanya semata-mata berhenti pada melihat keaktifan dan antusias anak-anak ataupun dalam rangka membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan. Penyediaan ruang dan kesempatan tersebut merupakan upaya untuk mendengarkan suara anak-anak sekaligus sebagai upaya menangkap kebutuhan mereka masing-masing. Kebutuhan anak- anak yang berhasil ditangkap melalui proses komunikasi tersebut kemudian berusaha diolah bersama dengan para fasilitator lain dalam kegiatan evaluasi setiap hari Jumat atau dengan orangtua murid pada kegiatan home visit. Dengan demikian, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM mempunyai potensi memberi ruang pada didengarkannya suara anak-anak Liyan seturut pengalaman dan posisi mereka masing-masing. Anak-anak tidak diperlakukan secara seragam tetapi diperlakukan sesuai dengan keragaman dan kebutuhan mereka masing-masing. Perlakuan semacam ini diharapkan bisa membangun kesadaran dan kesediaan anak-anak untuk juga mau mendengarkan orang-orang lain disekitarnya dan sekaligus bertanggung jawab kepada mereka.

2. Orang-orang Sekitar sebagai Liyan di Mata Anak-anak SALAM

Selain sosok Liyan yang bisa dipahami sebagai anak-anak di mata fasilitator, Liyan juga bisa dipahami sebagai orang-orang yang berada di sekitar anak-anak SALAM. Dalam semboyan SALAM yang berupa “jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan” terkandung keinginan bahwa anak-anak SALAM selain bisa bertanggung jawab pada dirinya tetapi juga bisa bertanggung jawab pada Liyan baik itu lingkungannya, teman-temannya, para fasilitator, orangtua maupun orang lain disekitarnya. Ketika Liyan yang dimaksud adalah orang-orang sekitar yang dijumpai oleh anak-anak SALAM, pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan SALAM sebenarnya juga mempunyai potensi sebagai ajang perjumpaan anak- anak dengan Liyan. Dengan belajar dari berbagai realitas nyata di lapangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI anak-anak bisa berjumpa dengan Liyan yang kongkrit dan tidak seragam seperti yang dikonstruksi dalam pendidikan arus utama. Dari pengalaman akan perjumpaan dengan Liyan yang partikular, anak-anak bisa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri akan Liyan dan sekaligus anak-anak belajar untuk peduli kepada Liyan. Definisi SALAM soal keaktifan anak selangkah lebih jauh dibandingkan dengan definisi soal keaktifan anak pada pendidikan arus utama karena definisi SALAM sampai menghubungkan proses belajar dengan berbagai relasi yang ada di sekitarnya. SALAM tidak mendefinisikan belajar sebagai sebuah tindakan kognitif individual tetapi sebagai sebuah aktivitas kooperatif dan komunikatif di mana anak-anak mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri serta memaknai dunia bersama teman-teman dan orang dewasa baik itu fasilitator, orangtua maupun orang lain yang mereka jumpai dalam hidup mereka. Dengan demikian proses komunikasi dan belajar tidak hanya berjalan satu arah dari fasilitator kepada anak-anak. Persoalan proses komunikasi dan belajar secara bersama-sama ini menjadi penting karena pada pendidikan arus utama kita realita yang terjadi adalah monolog antara guru kepada murid. Dalam monolog tersebut, guru kemudian mengklaim bahwa ia serba tahu tentang Liyan dan kemudian ia juga seolah-olah menjadi juru bicara dari Liyan. Dengan demikian pengetahuan akan Liyan yang dihasilkan dari proses monolog adalah pengetahuan hasil konstruksi dan transfer dari guru. Kritik para pengurus SALAM tentang praktik pendidikan di sekolah arus utama yang lebih bersifat ajaran dan nasihat merupakan kritik terhadap proses monolog tersebut. Penggunaan Daur Belajar dan riset di SALAM mempunyai potensi dan kemungkinan untuk digunakan sebagai alternatif terhadap proses belajar monolog. Dengan belajar di luar sekolah seperti riset ke museum yang dilakukan oleh kelas lima, anak-anak bisa belajar banyak hal. Mereka tidak hanya belajar benda-benda yang ada di museum tetapi mereka juga belajar mendengarkan dan menjalin komunikasi dengan orang-orang yang mereka jumpai pada saat riset berlangsung baik itu orang-orang yang bekerja di museum maupun orang-orang yang berjualan di sekitar museum. Analisa hasil riset pun kemudian didiskusikan secara bersama-sama di dalam kelas. Melalui pelaksanaan Daur Belajar dan riset tersebut, nampak bahwa SALAM sedang berupaya untuk mengajak anak-anak membangun pengetahuan mereka akan Liyan di sekitarnya seturut pengalaman perjumpaan mereka masing-masing. Berbagai kegiatan lain yang diselenggarakan oleh SALAM seperti pasar tradisional, home visit serta kunjungan dari komunitas-komunitas lain memang bisa digunakan untuk memperkenalkan anak didiknya kepada berbagai relasi yang ada dalam masyarakat sekitarnya. Anak-anak tidak hanya mengenal relasi dengan para fasilitator atau para orangtua tetapi juga bisa lebih mengenal jauh berbagai relasi dengan beragam orang-orang di masyarakat. Melalui usahanya ini, SALAM telah menunjukkan bahwa SALAM memahami dirinya sebagai sebuah forum sosial di mana anak-anak dan orang dewasa bertemu dan bisa saling berpartisipasi dalam proyek-proyek budaya, sosial, ekonomi dan juga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI