Etika postmodern menurut Zygmunt Bauman
Bauman menolak etika modern yang selama ini menjadi patokan universal dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa pandangan yang
diungkapkan Bauman berkaitan dengan etika modern. Pertama, menurut Bauman pada hakikatnya moralitas masyarakat adalah ambivalen, oleh sebab
itu tidak ada aturan moral yang tepat dengan kondisi tersebut seperti yang diungkapkannya berikut ini:
18
In fact, humans are morally ambivalent: ambivalence resides at the heart of the ‘primary scene’ of human face-to-face. [...]No logically
coherent ethical code can ‘fit’ the essentially ambivalent condition of morality.
Kedua, fenomena moral secara inheren adalah non-rasional. Fenomena moral itu tidak teratur, tidak berulang, tidak monoton dan tidak
dapat diprediksi sehingga juga tidak dapat dipandu oleh sebuah rumusan aturan moral. Tidak ada kode atau aturan yang dapat menyelesaikan masalah
etika secara mendalam, lengkap dan memuaskan untuk semuanya.
19
Ketiga, moralitas mengandung kontradiksi yang tidak dapat dipecahkan aporia.
20
Modernitas berusaha mengatasi aporia tersebut dengan menggunakan universalitas universality dan dasar-dasar etika foundation.
Modernitas mencari kode etik yang paten dan dasar-dasar etika yang tidak tergoyahkan untuk semua persoalan etika. Namun menurut Bauman,
modernitas tidak akan pernah menemukan kode etik dan dasar-dasar etika semacam itu, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
21
18
Ibid, hlm. 10.
19
Ibid, hlm. 11.
20
Ibid.
21
Ibid, hlm. 10.
The foolproof – universal and unshakably founded – ethical code never be found; having singed our fingers once too often, we know
now what did not know then, when we embarked on this journey of exploration; that a non-aporetic, non-ambivalent morality, an ethics
that is universal and “objectively founded”, is a practical impossibility; perhaps also an oxymoron, a contradiction in terms.
Berangkat dari penolakannya terhadap cara-cara modernitas memandang dan menghadapi masalah moral, Bauman kemudian mengajukan
etika sebagai bentuk tanggung jawab kepada Liyan Other. Pendapat Bauman ini sangat dipengaruhi oleh Emmanuel Levinas. Menurut Levinas,
patokan moral adalah Liyan. Relasi kita dengan orang lain menekankan penderitaan mereka sebagai pusat perhatian kita.
Menurut Bauman, etika itu berasal dari dalam diri individu inter- human togetherness bukan dari paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini
berangkat dari asumsi bahwa “being for the Other” mendahului “being with
the Other”. “Being for the Other” bukanlah sebuah produk dari konstruksi masyarakat melainkan realitas pertama yang ada dalam diri manusia itu
sendiri.
22
Etika kemudian dilihat sebagai tanggung jawab terhadap Liyan responsibility for the Other, nasib Liyan adalah tanggung jawab saya. Soal
tanggung jawab inilah yang menjadi permasalahan penting yang diulas oleh Bauman. Jika modernitas mengukur tanggung jawab dengan menggunakan
patokan peraturan atau hukum yang disusun secara rasional, Bauman mengajukan Liyan sebagai patokan tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Bauman juga menggunakan konsep Levinas tentang kedekatan proximity
22
Ibid, hlm. 13.
dalam menjelaskan soal tanggung jawab terhadap Liyan. Kedekatan adalah representasi dari pengenalan Liyan sebagai wajah face yang menggugah
tanggung jawab kita kepadanya.
23
Demikianlah pandangan Bauman terhadap etika menurut konstruksi modernitas berserta etika postmodern yang telah diajukannya. Kebaruan etika
postmodern bukan meninggalkan perhatian moral modern tetapi lebih pada penolakan terhadap cara-cara modern menghadapi masalah moral.
Postmodern juga tidak setuju dengan ide relativisme moral karena yang dilihat adalah relativisme kode etis. Berangkat dari ide soal relativisme kode
etis tersebut, Bauman pun kemudian tidak mengajukan kode etik baru untuk menggantikan kode etik menurut modernitas yang sudah ia bongkar. Dalam
bagian pengantar buku “Postmodern Ethics”, Bauman sudah memberitahu para pembacanya bahwa sampai akhir buku tidak akan ada kode etik baru
yang ia ajukan. Pemahaman terhadap kondisi-kondisi morallah yang membuat pilihan moral itu menjadi lebih mudah.
24
Demikian konsep etika postmodern yang diajukan oleh Bauman. Menurut perspektif etika postmodern, kita harus berupaya menjadi individu
yang lebih aktif dalam praktik etika. Kita adalah agen moral kita sendiri bukan karena patokan kode-kode, perintah atau aturan tetapi karena berangkat
dari tanggung jawab kita terhadap Liyan. Kita perlu belajar untuk hidup dalam kontradiksi, ambiguitas dan ambivalensi. Kita harus membuat pilihan
dan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Dalam upaya mengambil
23
Keith Tester, The Social Thought of Zygmunt Bauman, New York, Palgrave Macmillan, 2004, hlm. 144-145.
24
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, op.cit., hlm. 15.
pilihan tersebut, sebuah komitmen yang ditawarkan oleh Bauman adalah keberpihakannya pada pihak yang tertindas dan tak berdaya.
Dan dalam rangka untuk memunculkan akan adanya berbagai kemungkinan pilihan yang bisa diambil dalam keputusan moral, Bauman pun
melihat pendidikan sebagai aspek yang sangat penting. Bauman mengikuti ide Yunani kuno soal pendidikan yang dimaknai sebagai proses belajar
sepanjang hayat lifelong education. Pentingnya pendidikan sepanjang hayat ini diungkapkan oleh Bauman sebagai berikut:
25
We need lifelong education to give us choice. But we need it even more to salvage the conditions that make choice available and
within our power.
Tujuan pendidikan bukanlah untuk menciptakan manusia-manusia dengan kualitas peluru kendali ballistic missile yang mempunyai
kemampuan untuk membidik sasaran dengan tepat seperti yang digadang- gadang oleh para pemikir pendidikan modern.
26
Dalam persoalan etika, pendidikan kemudian tidak bisa berambisi untuk bisa menghasilkan manusia-
manusia yang bisa mengambil keputusan moral dengan tepat sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh para legislator dan pemikir modern.
Realitas dalam masyarakat kita itu partikular dan tidak bisa diprediksi. Kita berada dalam zaman di mana realitas masyarakat itu terus bergerak dan segala
hubungan telah menjadi cair. Berhadapan dengan zaman yang serba cair maka yang dibutuhkan
kemudian adalah manusia dengan kualitas peluru yang cerdas smart missile
25
Zygmunt Bauman, Does Ethics have A Chance in A World of Consumers?, London, Harvard University Press, 2008, hlm. 193.
26
Ibid, hlm. 183.
yang mampu belajar terus menerus learn as they go. Untuk bisa menghasilkan smart missile tersebut maka pendidikan harus bisa membekali
anak didiknya dengan kemampuan untuk belajar dan sekaligus kemampuan untuk belajar secara cepat ketika berhadapan dengan realitas yang terus
bergerak.
27
Satu catatan penting juga yang diberikan oleh Bauman yaitu bahwa pendidikan juga harus membekali anak didiknya untuk memiliki
keterampilan-keterampilan sosial
social skills
dalam rangka
memberdayakan masyarakat di tengah gempuran konsumerisme dan juga privatisasi.
28