Negosiasi dan Evaluasi yang Dilakukan oleh SALAM

jauh dari bayangan mereka sesuai dengan indikator pencapaian yang mengikuti indikator pemerintah. Memang SALAM menyatakan bahwa penerapan kurikulum bersifat fleksibel, tetapi bagi para fasilitator ungkapan fleksibel tersebut memiliki kesulitan tersendiri dalam realisasinya. Belum lagi, anak-anak SALAM sendiri juga kesulitan dalam memenuhi indikator belajar baik dalam kemampuan menulis, berhitung maupun analisis konteks. Dalam workshop evaluasi para fasilitator, masalah indikator ini sering kali sekali diangkat. Soal legalitas SALAM juga ada cerita tersediri. Ada orangtua yang mempertanyakan jaminan anak-anaknya setelah lulus dari SALAM apakah bisa masuk ke sekolah pada umumnya. Namun ada pula orangtua yang justru khawatir jika SALAM melegalkan statusnya justru akan ada campur tangan dan beban administrasi yang menyibukkan para fasilitator sehingga tanggung jawab pedagogisnya menjadi terbengkalai. SALAM kemudian berupaya menjalin komunikasi dengan Diknas, selain melalui penjelasan langsung berkaitan dengan proses pendidikan yang diselenggarakan, SALAM juga menjalin komunikasi dengan mengundang Diknas dalam setiap kegiatan SALAM supaya dapat melihat lebih dekat proses pembelajaran yang berlangsung di SALAM. Sejauh ini, menurut SALAM Diknas bisa diajak bekerja sama dengan cukup baik. Angkatan pertama SD SALAM bisa mengikuti Ujian Akhir Nasional UAN pada tahun 2014 kemarin. SALAM pun bisa mempersiapkan dokumen- dokumen yang diwajibkan oleh negara. Para pengurus SALAM menyatakan bahwa mereka juga berupaya untuk memenuhi administrasi sejauh yang memang diperlukan dan relevan dengan proses pembelajaran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Soal syarat gelar kesarjanaan pendidikan sebagai prasyarat bagi para gurunya, para pengurus SALAM menyatakan bahwa SALAM berhasil meyakinkan Diknas Bantul untuk tidak harus memenuhi standar guru yang ditetapkan pemerintah. SALAM memang sangat terbuka apabila ada orang yang ingin menjadi relawan di SALAM. Tidak ada persyaratan administrasi apapun yang diajukan oleh SALAM. Syarat utama yang sering diungkapkan apabila ingin menjadi fasilitator di SALAM adalah mau mengembangkan diri. Soal mau mengembangkan diri yang harus dimiliki oleh para fasilitator merupakan kesulitan tersendiri. Kesulitan yang diungkapkan pak Toto dan Bu Wahya adalah para fasilitator dan orangtua yang merupakan produk dari pendidikan arus utama. hal tersebut diungkapkan oleh Pak Toto sebagai berikut: 38 Saya sadari betul ya bahwa orang SALAM ini juga produk dari... produk dari pendidikan apa namanya.. produk dari pendidikan mainstream ya. Mungkin hanya saya sendirian yang menyadari bahwa itu harus di... kan banyak orang yang tidak menyadari itu. Jadi saya kira yang utama adalah bahwa saya menyadari bahwa yang terlibat ini adalah produk-produk dari mainstream. Dan ngak gampang untuk melepaskan apa namanya, untuk melepaskan dari produk mainstream itu kan ngak gampang. Jadi pasti ulang alik terus, itu nanti harus diingatkan lagi terus. Kebanyakan para fasilitator dan orangtua yang merupakan produk dari pendidikan arus utama menjadi salah satu tantangan bagi dinamika SALAM. Penerapan prinsip-prinsip SALAM pun dinilai masih abu-abu. Dari sisi para fasilitator terutama fasilitator yang baru bergabung dengan SALAM tentu masih belum terlalu jelas dengan maksud dan bentuk kegiatan belajar di SALAM. Dan dari sisi orangtua, masih banyak juga yang bingung dengan proses pendidikan di 38 Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015 SALAM. Salah satu orangtua murid yang saya wawancarai menyatakan bahwa ia setuju dengan proses pendidikan SALAM, tetapi pelaksanaannya memang tidaklah mudah seperti yang diungkapkan sebagai berikut: 39 Sebenarnya... sebenarnya untuk pendidikannya, saya sangat sepakat. Cuma, memang lumayan berat Mbak pelaksanaannya. Dan kalau pelaksanaannya itu mlintar-mlintir, nganan-ngiri.. eee ya ngak akan menghasilkan apa-apa. Untuk mengatasi tantangan yang datang dari sisi para orangtua, SALAM mengundang para orangtua murid untuk ikut pertemuan dan diskusi di SALAM. Pada awal semester, SALAM juga mengumpulkan para orangtua murid beserta anak-anaknya selain untuk tujuan menjaga hubungan orangtua dan sekolah juga untuk mengingatkan kembali prinsip-prinsip belajar di SALAM. Namun, masih cukup banyak pula orangtua yang tidak bisa hadir dengan alasan mereka masing- masing. Pertemuan yang diadakan oleh SALAM juga tidak dilakukan secara rutin sehingga belum mampu memberikan kemajuan berarti dalam membuka kesadaran para orangtua yang mayoritas adalah produk pendidikan arus utama. Untuk mengatasi tantangan yang datang dari fasilitator, SALAM juga mengadakan workshop setiap awal semester selama tiga hari. Workshop tersebut diisi dengan pengenalan kembali dasar-dasar pendidikan di SALAM, evaluasi kegiatan satu semester yang telah dilalui dan terakhir adalah membuat rencana pembelajaran untuk semester berikutnya. Sejauh pengalaman saya mengikuti workshop di SALAM, waktu tiga sebenarnya tidaklah cukup untuk membahas semua hal tersebut sampai detail dan jelas. Sebenarnya setiap hari Jumat, ada juga 39 Wawancara dengan salah satu orangtua murid tanggal 26 Februari 2015 jadwal evaluasi bersama para fasilitator namun kadang tidak berlangsung atau fasilitator yang datang hanya sedikit. Demikian tarik ulur antara para pengurus SALAM dan para fasilitator. Di satu sisi para pengurus SALAM menyatakan bahwa kesulitan terbesar adalah karena para fasilitator dan orangtua yang merupakan produk dari pendidikan arus utama. Memang yang diungkapkan oleh para pengurus SALAM tersebut benar adanya, bahwa para fasilitator dan para orangtua merupakan produk pendidikan arus utama dan kemungkinan besar dari mereka juga belum membaca buku-buku Paulo Freire seperti Pak Toto. Namun di sisi lain, SALAM sendiri belum konsisten dalam usahanya membuka kesadaran para fasilitator dan terutama para orangtua. Para fasilitator SALAM sendiri pun merasakan bahwa memang ada banyak tantangan yang mereka jumpai dalam selama mereka mengikuti dinamika di SALAM. Bu Wiwin sebagai salah satu fasilitator SALAM sekaligus penanggung jawab SD menyatakan keinginannya untuk menemukan teman-teman fasilitator yang memiliki kemauan dan semangat yang sama seperti diungkapkannya berikut ini: 40 Kalau dari aku sebenarnya, eee untuk fasilitatornya mungkin akan eee yang jelas kita pengin sekali mendapatkan fasilitator yang bener- bener dengan hati. Yang memang mencintai anak-anak, pada dasarnya itu kan. Mencintai anak-anak dan bener-bener dengan hati itu semuanya pasti akan tersampaikan. Punya niat baik, punya semangat dan bekerja di sini bukan hanya untuk misalnya menopang secara ekonomi. Jadi kalau pengennya aku mungkin itulah yang perlu. Lha itu adalah tantangan kita juga untuk mencari fasilitator yang seperti kita harapkan. Jadi apa ya, mungkin kadang ada yang ngak sejalur, ada ini itu pasti mengalami dinamika yang seperti itu. Nah, kalau kita sudah 40 Wawancara dengan Bu Wiwin tanggal 3 Februari 2015 mendapatkan pribadi-pribadi yang seperti itu aku yakin jalurnya akan jadi lebih enak dan esensinya bisa kita jalani bareng-bareng. Istilahnya itu tidak pincang lah yang satu tujuannya sudah berbeda yang lain semangatnya berbeda kan akan susah ya. Ya harapanku bisa banyak lah orang-orang yang bergabung di sini yang mempunyai semangat seperti itu dan kemauan yang sama. Mendapatkan para fasilitator yang tujuan utamanya bergabung di SALAM semata-mata karena ingin mengajar dengan hati serta untuk mengembangkan diri memang bukanlah perkara yang mudah. Persoalan ekonomi tidak bisa diabaikan begitu saja, terlebih para fasilitator kebanyakan berasal dari kalangan menengah bawah yang membutuhkan gaji untuk memenuhi keperluan mereka. SALAM memang memberi gaji kepada para pegawainya, namun soal gaji ini tentu rumit juga. Karena sejak awal SALAM mengatakan bahwa syarat menjadi fasilitator adalah hati dan kemauan untuk mengembangkan diri maka tidak ada jaminan gaji tinggi sedari awal. Gaji yang diberikan oleh SALAM masih berada jauh di bawah UMR kabupaten Bantul. Hal ini dikarenakan keuangan SALAM sendiri juga tidak stabil. Uang SPP yang dibayarkan oleh para orang tua dipergunakan untuk membayar operasional proses belajar juga untuk biaya snack dan makan siang anak-anak. Sumber pendapatan lain, seperti penjualan produk- produk herbal juga tidak bisa diandalkan. Kerumitan soal keuangan ini akhirnya berimbas pada kinerja fasilitator. Hampir semua fasilitator mempunyai pekerjaan lain untuk mendukung kebutuhan ekonominya. Dan hal ini tentu berimbas juga pada proses pembelajaran karena para fasilitator mempunyai hal lain yang mereka pikirkan dan mereka kerjakan di luar SALAM. Kerumitan semacam itu saya alami sendiri ketika saya menjadi fasilitator kelas lima bersama dengan Mbak Hepi yang mempunyai pekerjaan lain di sebuah lembaga media. Baik saya maupun Mbak Hepi tidak bisa mengajar setiap hari di SALAM. Lalu ada pembagian jadwal mengajar di antara kami. Saya mengajar setiap hari Senin dan Rabu sedangkan Mbak Hepi mengajar setiap hari Selasa, Kamis, dan Jumat. Walaupun sedari awal kami sudah mendiskusikan rencana pembelajaran yang ingin dijalankan selama satu semester, namun pada prosesnya cukup banyak tantangan yang kami hadapi. Kami memang saling mengabari berita terbaru tentang apa yang terjadi pada hari kami mengajar baik itu lewat sms, telepon dan email, namun tetap saja masih banyak hal yang tercecer dan tidak terdokumentasikan dengan baik. Pengalaman lain yang pernah saya alami adalah dipindahtugaskan untuk membantu fasilitator kelas enam pada pertengahan semester. Penyesuaian terhadap perubahan ini tidak hanya dilakukan oleh saya tetapi juga teman fasilitator saya dan juga anak-anak kelas lima dan kelas enam. Permasalahan gaji ini memang membuat SALAM kemudian mengandalkan tenaga fasilitator dari para relawan baik itu orangtua yang anaknya sekolah di SALAM, para mahasiswa yang ingin melakukan penelitian di SALAM dan para lulusan sarjana yang masih menunggu lowongan pekerjaan di tempat lain. Pergantian fasilitator bisa berlangsung dalam waktu relatif cepat dan pada akhirnya membuat SALAM tidak mempunyai dokumentasi perkembangan anak- anak didiknya secara berkesinambungan. Padahal dokumentasi perkembangan anak yang berkesinambungan sangat dibutuhkan dalam mengenali karakter anak dan langkah selanjutnya yang perlu diambil oleh fasilitator. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pandangan yang lain soal dinamika SALAM disampaikan oleh Bu Erwin yang juga merupakan salah seorang fasilitator dan sudah cukup lama mengenal SALAM sebagai berikut: 41 SALAM itu dinamikanya kan luar biasa ya mbak karena orangtua juga ikut proses ya. Dan untuk menjaga konsistensi itu sulit karena kita memang tidak ada tata tertib, tidak ada kewajiban. Yang ada kesepakatan jadi ya bukan paksaan gitu ya. Jadi ya untuk membangun itu kan perlu waktu juga. Persoalan konsistensi memang sering muncul ketika saya menanyakan tentang kritik tentang SALAM baik kepada para fasilitator, anak maupun para orangtua. Di satu sisi, SALAM tidak menggunakan tata tertib atau peraturan tegas dalam menjalankan berbagai dinamikanya. SALAM ingin memperkenalkan tanggung jawab kepada para anak didiknya dalam suasana cair. Namun di sisi lain, suasana cair itu sendiri mengandung potensi tetapi juga sekaligus resiko. Mengandung potensi dalam arti bahwa suasana cair dimaknai sebagai kebebasan yang mengarah pada tanggung jawab. Dan mengandung resiko dalam arti bahwa suasana cair itu bisa saja ditangkap dan diterjemahkan sebagai kebebasan yang mengarah pada sikap semaunya. Resiko inilah yang masih menggelayuti dinamika yang berlangsung di SALAM. Ada beberapa contoh soal konsistensi yang saya temui di SALAM. Misalnya ketika SALAM yang mempunyai semboyan jaga lingkungan meminta anak-anak mengurangi penggunaan bungkus plastik, SALAM sendiri justru menjual minuman rosela dengan wadah yang terbuat dari plastik. Anak-anak sendiri yang justru mempertanyakan tindakan SALAM tersebut. Contoh lain 41 Wawancara dengan Bu Erwin tanggal 26 Januari 2015 misalnya soal kesepakatan masuk sekolah. Dikatakan bahwa jam masuk sekolah adalah jam 8 pagi, namun para fasilitator sendiri sering telat dan jam belajar kemudian baru dimulai jam 8.30. Contoh lain lagi misalnya saat workshop evaluasi akhir semester yang tidak dikomunikasikan dangan baik kepada para orang tua, sehingga yang datang hanya dua atau tiga orang saja. Persoalan konsistensi juga menjadi persoalan dalam hal teknis pembelajaran, administrasi dan hal-hal lainnya yang ingin dibuat untuk menjadi cair justru malah mempunyai kesan tidak jelas dan berpengaruh juga kepada kelangsungan dinamika di SALAM. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 131

BAB IV SANGGAR ANAK ALAM SALAM: SEKOLAH BIASA SAJA

DI TENGAH PUSARAN PENDIDIKAN ARUS UTAMA Preschools or schools could be inserted into wider Utopian thinking about alternative futures, exploring the connections between alternative futures for education and alternative futures for economy, environment, tecnology and so on. 1

A. Pengantar

Pada bab tiga saya telah menguraikan hasil penelitian saya tentang Sanggar Anak Alam SALAM. Berangkat dari kegelisahan mereka akan realitas pendidikan etika arus utama yang jauh dari kehidupan anak-anak dan lebih bersifat ajaran, SALAM kemudian mengajukan pendidikan alternatif yang berbasis pengalaman. SALAM berusaha menyusun keseluruhan dinamika yang berlangsung di SALAM mulai dari kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan lainnya sebagai sarana mengajarkan etika sekaligus sebagai kesempatan bagi anak-anak didiknya untuk mempraktikkan serangkaian tanggung jawab yang diperkenalkan oleh SALAM. Pada proses pelaksanaannya, memang masih banyak tarik ulur yang terjadi dan berpengaruh pada belum tercapainya tujuan pendidikan seperti yang diinginkan oleh SALAM. Pada bab empat ini, saya akan mengkaji konsep dan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM tersebut dengan menggunakan dua pisau bedah seperti yang sudah saya utarakan pada bagian pendahuluan. Saya 1 Gunilla Dahlberg dan Peter Moss, Ethics and Politics in Early Childhood Education, New York, RoutledgeFalmer, 2005, hlm. 181. akan mengkaji pendidikan alternatif yang diajukan oleh SALAM dengan menggunakan konsep etika postmodern Bauman dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings. Konsep etika postmodern Bauman saya pakai untuk lebih mengulas konsep dan praktik pendidikan etika alternatif yang ditawarkan oleh SALAM kaitannya dengan sejauh mana pendidikan alternatif tersebut mampu menyediakan ruang bagi perjumpaan dengan Liyan dan mampu menanamkan tanggung jawab terhadap Liyan kepada anak-anak didiknya. Dan konsep pendidikan kepedulian Nel Noddings dengan keempat komponennya modelling, dialogue, practice dan confirmasi saya pakai untuk bisa mengkaji keseluruhan komponen pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Melalui kajian ini, saya akan melihat jawaban atas dua kemungkinan yang terkandung dalam judul penelitian saya. Apakah SALAM itu adalah “sekolah biasa saja” dalam arti bahwa SALAM adalah sekolah yang memang memberikan alternatif dari kecenderungan pendidikan arus utama ataukah SALAM pada kenyataannya adalah sekolah biasa saja sama seperti dengan sekolah lain termasuk pendidikan arus utama yang ia lawan.

B. Potensi Pendidikan Etika Berbasis Pengalaman sebagai Ruang Perjumpaan dengan Liyan

Melalui ulasannya tentang etika postmodern, Bauman telah memperlihatkan kepada kita bahwa saat ini kita membutuhkan sebuah etika baru yaitu etika yang berdasar pada tanggung jawab terhadap Liyan. Ulasan Bauman itu disertai juga dengan persoalan lebih lanjut yaitu tentang bagaimana kita bisa tahu tentang Liyan dan bagaimana kemudian kita bisa menghormati dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bertanggungjawab kepadanya? Oleh sebab itu, Bauman juga sudah menyinggung tentang peranan pendidikan sepanjang hayat lifelong education sebagai jalan untuk memunculkan berbagai kemungkinan pilihan yang bisa diambil dalam keputusan moral yang lebih berpihak pada Liyan yang partikular. Berdasarkan uraian yang telah diberikan oleh Bauman tersebut, kini saatnya kita mengkaji lebih jauh pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukan oleh SALAM kaitannya dengan pembentukan relasi dan tanggung jawab kepada Liyan. Sejauh mana pendidikan etika berbasis pengalaman bisa menjadi jalan anak-anak SALAM tahu akan Liyan dan kemudian bertanggung jawab kepadanya. Adapun Liyan yang dimaksud dalam pembahasan ini, bisa dipahami dalam dua sosok. Sosok Liyan yang pertama adalah anak-anak SALAM sendiri dari sudut pandang fasilitator dan sosok Liyan yang kedua adalah orang-orang yang dijumpai oleh anak-anak SALAM di lingkungan sekitarnya. Saya memahami Liyan dalam rupa dua sosok tersebut sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena perlakuan SALAM kepada dua sosok Liyan baik itu anak-anak sendiri maupun orang lain di sekitarnya akan sama-sama mempengaruhi perkembangan pemaknaan si anak soal tanggung jawabnya kepada orang lain. Lebih jauh soal perlakuan SALAM kepada dua sosok Liyan melalui pendidikan etika berbasis pengalaman yang diajukannya akan saya uraikan pada dua sub bab berikut ini: