Sekilas Perjalanan Pendidikan Karakter di Indonesia
pendidikan. Dalam tesisnya yang berjudul “Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar di Indonesia pada Masa 1945-
1965”, Wiwik Lestari menyimpulkan bahwa:
4
Selama 20 tahun sejak Proklamasi kemerdekaan 1945-1965 kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan karakter
positif bangsa pelaksanaannya dibebankan kepada mata pelajaran Budi Pekerti yang dimulai sejak tingkat Sekolah RakyatSekolah Dasar
berdasarkan Rencana Pelajaran 1947 dan Rencana Pelajaran Terurai 1952.
Pada masa pemerintahan Suharto, pendidikan karakter dibebankan pada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Pancasila. Pada
kurikulum SD tahun 1984, juga ada mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa PSPB. Pada masa Suharto lah, Pendidikan Agama menjadi
pelajaran yang wajib diikuti oleh semua peserta didik seturut dengan agamanya masing-masing. Pendidikan Pancasila pun wajib diajarkan untuk semua jenjang
pendidikan, yaitu mulai dari Taman Kanak-kanak sampai jenjang Universitas. Pendidikan yang disusupi dengan kepentingan ideologis, politik dan
ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto dikritik oleh Romo Mangunwijaya sebagaimana yang saya kutip berikut ini:
5
Sudah selama 30 tahun lebih 30 juta anak-anak kita dianiaya setiap hari oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai
anak sebagai anak. Mengapa? Bukankah sistem pengajaran dan pendidikan kita berPancasila? Begitulah resminya. Tetapi dalam
pelaksanaan operasionalnya seluruh sistem Ordo Baru, politis, ekonomis, sosial, budaya, jadi dalam sekolah pun, berkarya filsafat,
paradigma atau cara-pikir, citarasa, ciptakarsa dan rekayasa yang hakekatnya sadar dan atau di bawah sadar berjiwa militer. Yang kita
bicarakan di sini bukan orang-orang atau pribadi-pribadi militer yang
4
Wiwik Lestari, Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar di Indonesia pada Masa 1945- 1965, Medan, Universitas Negeri Medan, 2013, hlm. 134.
5
Y. B. Mangunwijaya, “ SD Kanisisus Eksperimental Mangunan DIY 1994-1998” dalam A. Ferry Indratno,
Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan, Yogyakarta, Dinamika Edukasi Dasar DED bekerja sama dengan
Misereor, 2005, hlm. 49-50.
sering baikbudi dan saleh juga, tetapi kelembagaannya, kolektivitasnya, sikap-sikap profesionalnya. Dunia militer adalah dunia pakaian sikap
gerak seragam kaum berbaris, serba main komando dari atas, instruksi, birokrasi, taat bangkai mutlak pada perintah, gaya paksaan dan
hukuman. Pokoknya jalan, jangan tanya korban, membunuh musuh dan menghancurkan pertahanan musuh seefektip mungkin. Jangan tanya
baik atau buruk, bermoral atau tidak, taatilah saja perintah. Hantam dulu, urusan belakang. Jadi semuanya melawan segala prinsip
pendidikan asli sejati: ajrih-asih, mendampingi, persuasi, sabar, ing ngarso sung tuladho, ing madyo mangun menumbuhkan di dalam diri
anak karso, tut wuri jadi bukan guru melainkan muridlah pelaku utama handayani. Ordo militer tidak seperti itu hakekatnya. Maka Orba
memang dari kodratnya bukan pendidik. Sebenarnya, berbahagialah anak-anak yang belum terperangkap olehnya.
Romo Mangun menolak sistem pendidikan Orde Baru
yang memperlakukan anak secara seragam. Menurutnya, cara seperti itu dapat
mengakibatkan dehumanisasi pada diri anak. Oleh sebab itu, Romo Mangun kemudian bersama rekan-rekannya mendirikan Dinamika Edukasi Dasar DED
sebagai wadah untuk mengolah dan menyiapkan pendidikan humanis ditengah dominasi kekuasaan negara serta SD Eksperimental Mangunan sebagai tempat
untuk mengimplementasikannya. Soal pembangunan karakter, Romo Mangun menggunakan cara-cara yang
berbeda dari ketentuan kurikulum pemerintah. Romo Mangun tidak menggunakan model Pendidikan Agama tetapi menggunakan model Komunikasi Iman. Dalam
komunikasi Iman tersebut, baik guru dengan murid maupun murid dengan murid saling berbagi pengalaman, saling memberi gagasan dan dorongan untuk berbuat
baik. Selain Komunikasi Iman, Romo Mangun juga mempunyai cara-cara lain misalnya melalui sastra maupun melalui kesenian. Ada pelajaran Musik
Pendidikan yang bertujuan agar anak-anak dapat merasakan dan membedakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang palsu dan mana yang jujur sesuai dengan kebenaran.
6
Gagasan dan upaya Romo Mangun mewujudkan sebuah pendidikan yang humanis merupakan wujud nyata adanya perlawanan terhadap dominasi
pendidikan arus utama yang disetir pemerintahan Orde Baru pada waktu itu. Setelah ia tiada, DED dan SDE Mangunan pasti menghadapi pusaran arus
gelombang yang lebih kuat namun gagasan dan aksi nyata Romo Mangun masih selalu diangkat dan memang masih relevan untuk dunia pendidikan kita saat ini.
Setelah pemerintahan Suharto berakhir dan digantikan dengan masa Reformasi. Dunia pendidikan pun ikut merayakan euforia kebebasan untuk
mencari bentuk-bentuk baru yang dirasa baik. Namun, euforia itu juga disertai dengan kebingungan karena kita tidak terbiasa mengolah kebutuhan pendidikan
kita sendiri. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita tetap mengikuti arahan yang disuarakan oleh kepentingan pasar dan politik serta gerakan atau teori
pendidikan yang sedang naik daun di luar negeri terutama negara AS. Kebijakan pemerintah soal pendidikan karakter merupakan kebijakan yang
turut mengambil kiblat perkembangan pendidikan karakter yang sedang terjadi di AS. Sejak tahun 1990an, di AS sedang terjadi kebangkitan kembali gerakan
pendidikan karakter. James S. Leming menyatakan bahwa munculnya kembali gerakan pendidikan karakter pada tahun 1990an merupakan gelombang ketiga dari
pendidikan moral. Sebelumnya ada gelombang pertama yaitu gerakan pendidikan karakter yang muncul tahun 1920an dan 1930an dan gelombang kedua yaitu
6
A. Ferry Indratno, Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein: Potret Pendidikan Eksperimental Mangunan, Yogyakarta, Dinamika Edukasi Dasar DED bekerja sama dengan
Misereor, 2005, hlm. 88-90.
gerakan klarifikasi nilai dan pertimbangan moral yang muncul tahun 1970an dan 1980an.
7
Kebijakan pemerintah soal pendidikan karakter hadir seolah-olah sebagai pelita di tengah krisis moral yang sedang terjadi di masyarakat. Namun, sama
halnya dengan pendidikan karakter pada masa Sukarno dan Suharto yang memuat kepentingan politik dan ideologis, pendidikan karakter yang dicetuskan pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY dan yang masih berlangsung hingga saat ini pun memuat berbagai kepentingan di dalamnya.
Pentingnya pendidikan karakter menjadi isu yang sering diangkat oleh SBY. Sama seperti para presiden AS yang mewacanakan soal perlunya
pendidikan karakter di sekolah, SBY pun tidak ketinggalan dalam mengangkat isu pendidikan karakter dalam berbagai pidatonya. Pendidikan karakter menjadi isu
politik yang diangkat oleh SBY demi kepentingan pemerintahannya. Pembangunan bangsa ditekankan pada tanggung jawab personal baik itu
menyangkut aspek intelektual maupun moral, sementara soal keburukan sistem dan struktur yang sedang berlangsung sengaja tidak disentuh.
Kebijakan pendidikan karakter dengan konsep seperti yang diperkenalkan oleh gerakan pendidikan karakter gelombang ketiga di AS selain menjadi isu yang
dimanfaatkan oleh kepentingan politik juga tidak lepas dari kepentingan ekonomi pasar. Penentuan karakter yang perlu dikembangkan di sekolah lebih mengarah
pada karakter dan kompetensi yang dibutuhkan oleh kepentingan pasar dan
7
James S. Leming, “Whither Goes Character Education? Objectives, Pedagogy, and Research in Education Programs” dalam The Journal of Education, Vol. 179, Tahun 1997, diakses dari
http:www.jstor.orgstable42741720 pada hari Kamis, 25 Juni 2015.
industri. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, disiplin, dan jujur lebih diarahkan pada kepatuhan akan tuntutan hubungan kerja.
Demikian sekilas perjalanan pendidikan karaker di Indonesia yang ternyata tetap tidak lepas dari berbagai kepentingan di dalamnya. Soal konsep dan praktik
pendidikan karakter yang saat ini sedang dijalankan oleh sekolah arus utama akan saya bahas dalam sub bab berikutnya.