Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia

Di samping itu, dalam rangka mengembangkan nilai kejujuran, sekolah menyediakan fasilitas tempat temuan barang hilang, kotak saran dan pengaduan. Untuk kebersihan, sekolah menyediakan tempat sampah kering dan basah. Sedangkan untuk keindahan dan kenyaman, sekolah membuat kolam dan taman burung di halaman depan sekolah. Siswa dibiasakan membuang sampah pada tempatnya dan ada lomba memungut sampah daun di pagi hari. Peserta didik yang paling banyak mengumpulkan sampah daun mendapat penghargaan sebagai pahlawan kebersihan. Ada pula gambar-gambar tentang contoh media pendidikan karakter yang dicantumkan dalam berbagai dokumen panduan, misalnya saja pada gambar 2.1 berikut ini: Gambar 2. 1: Media pendidikan karakter di SDN 4 Birugo Sumber: Dokumen Pelaksanan Pendidikan Karakter, hlm. 32 Berbagai kata mutiara bernada religius atau motivasi menempel di setiap sudut dinding kelas. Selain itu ada tempelan peringatan penggunaan berbagai sarana dan prasarana kelas seperti yang nampak dalam gambar tentang penggunaan lampu. Anjuran dalam bentuk peribahasa juga ikut ditempel di sana, misalnya pada gambar tersebut ada peribahasa “Rajin Pangkal Pandai”. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Keberadaan pajangan-pajangan semacam ini memang termasuk dalam indikator sekolah dan kelas yang harus dipenuhi. Semenjak dimunculkannya pendidikan karakter, muncul juga sebutan warung kejujuran. Yang dimaksud dengan warung kejujuran adalah warung atau kantin sekolah yang sengaja tidak ada penjaganya. Hanya disediakan kotak untuk menaruh uang pembayaran dari para pembeli. Diharapkan melalui pengkodisian seperti itu, kesadaran dan kejujuran dari para pembeli semakin kuat. Kita bisa melihat penjabaran tujuan diadakannya warung kejujuran dari penjelasan dalam gambar 2.2 berikut ini: Gambar 2.2: Warung kejujuran sebagai salah satu media pendidikan karakter Sumber: Dokumen bahan pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, hlm. 13. Praktik pendidikan karakter seperti ini juga hampir serupa di kebanyakan sekolah. Hal ini bisa kita lihat dari hasil penelitian Sita Acetylena yang mengkaji mengenai praktik pendidikan karakter di SD Taman Siswa, Turen, Malang. Sita Acetylena mendeskripsikan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang dipilih oleh sekolah kemudian dimasukkan ke dalam visi-misi sekolah serta kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegiatan lain yang berlangsung di sekolah . Pengintegrasian nilai ke mata pelajaran dilakukan dengan mencantumkannya ke silabus dan RPP yang disusun oleh guru sebelum mengajar. Penerapan praktik melalui ekstrakurikuler dan pembiasaan seperti berdoa, baris-berbaris, menjaga kebersihan dan lain-lainnya pun sama dengan uraian pada praktik pendidikan karakter di SDN 4 Birugo. 20

E. Menyoal Konsep dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia

Konsep dan praktik pendekatan pendidikan karakter dalam mendidik moral para murid di sekolah pun perlu kita kaji lebih lanjut. Pada bagian awal, sudah dijelaskan mengenai adanya nilai-nilai yang digunakan sebagai standar dalam pendekatan pendidikan karakter. Para pakar pendidikan karakter menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut ditentukan dari konsensus sekolah dan komunitas. Namun pada realitanya, suara-suara pihak yang mempunyai kepentingan politik dan ideologi telah mempengaruhi pengambilan konsensus tersebut. Kita kemudian bisa mencurigai penetapan 18 nilai dan deskripsi nilai yang dikeluarkan oleh Kemdiknas. Tanggung jawab yang merupakan persoalan mendasar di tengah himpitan neoliberalisme dan militerisme justru diletakkan di bagian paling akhir. Deskripsi nilai tanggung jawab juga justru malah lebih mengarah pada sikap taat pada peraturan. Nilai tanggung jawab juga tidak 20 Sita Acetylena, “Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter di Perguruan Taman Siswa Kecamatan Turen Kabupaten Malang” dalam Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Vol. 1, Tahun 2013, diakses dari http:ejournal.umm.ac.idindex.phpjmkpparticleview1509 pada hari Kamis, 25 juni 2015, hlm. 57-59. termasuk dalam lima nilai minimal nyaman, jujur, peduli, cerdas dan tangguhkerja keras yang diharapkan untuk dikembangkan di sekolah. Lima nilai minimal itu justru malah bisa dipertanyakan, nilai-nilai itu sebenarnya untuk melayani kepentingan siapa? Nilai-nilai tersebut justru terlihat mendukung kebutuhan pasar akan tenaga kerja yang handal dan setia. Dugaan saya ini semakin kuat karena dalam sebuah artikel di kompas.com, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Prof Dr Mukhlas Samani menyatakan bahwa: 21 Di Indonesia, kata Mukhlas, ia pernah melakukan studi kecil tentang kompetensi yang dibutuhkan industri. Dia mengatakan, ternyata, yang diperlukan oleh industri adalah jujur, disiplin, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan pada bidangnya. Dari lima hal itu, kata Muhklas, empat di antaranya lebih dekat dengan karakter sebab hanya satu di antaranya yang fokus pada kemampuan bidang yang berada di luar pendidikan karakter. Kondisi semacam itu yang membuat kita risau. Ke depan, perlu dipikirkan pengembangan pendidikan karakter, katanya. Pernyataan Mukhlas Samani tersebut semakin memperkuat kecurigaan bahwa pendidikan karakter memang ada kaitannya dengan kepentingan pasar. Dengan demikian di balik munculnya trend pendidikan karakter di Indonesia, memang banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya. Penentuan standar melalui nilai-nilai membuat pendidikan karakter disebut sebagai kantung nilai bag of values. Selain itu, penentuan standar nilai juga membuat para guru lebih berfokus pada penyampaian nilai-nilai itu. Tianlong Yu menyatakan bahwa kebanyakan guru pendidikan karakter lebih berfokus pada 21 Latief Ed., “Lho, Industri Lebih Butuh Hasil Pendidikan Karakter”, dalam http:bola.kompas.comread2010041513093311lho.industri.lebih.butuh.hasil.pendidikan.ka rakter , diakses pada hari Jumat, 20 Februari 2015. penyampaian nilai-nilai universal yang telah dipilih dan cenderung menghindari isu-isu perubahan politik yang terjadi. Mereka mengabaikan isu-isu penting soal gender, ras, kelas sosial, agama dan budaya yang ada dalam kehidupan keseharian para murid dan masyarakatnya. 22 Penentuan 18 nilai standar oleh Kemdiknas juga membuat kebingungan para guru yang melaksanakan kebijakan pendidikan karakter di lapangan. Walaupun ada kebebasan untuk memilih nilai mana saja yang mau dikembangkan, tetap saja hal tersebut dianggap membingungkan. Sehingga ketika berhadapan dengan pertanyaan, “karakter apa yang hendak dibangun?”, banyak sekolah yang kebingungan menjawabnya. Karena masih belum jelasnya mengenai konsep dan pelaksanaan pendidikan karakter, banyak guru dan sekolah merasa sudah melaksanakan pendidikan karakter dengan pengintegrasian nilai-nilai ke Silabus dan RPP berbasis karakter. 23 Penerapan pendidikan karakter justru semakin menambah tugas admistrasi guru dan tidak efektif dalam membentuk etika para murid. Isu-isu yang sedang terjadi dalam masyarakat pun tetap tidak tersentuh. Contoh-contoh tata tertib yang diberikan kepada para murid justru menunjukkan kepada kita bahwa sedari kecil pembentukan etika anak-anak diperkenalkan lebih dalam bentuk perintah atau larangan. Kata “harus” menandakan bahwa tata tertib itu adalah sebuah kewajiban mutlak yang harus dijalankan. Selain itu dalam pikiran anak-anak kita, tata tertib itu memiliki 22 Tianlong Yu, In the Name of Morality: Character Education and Political Control, New York, Peter Lang, 2004, hlm. 2. 23 Marfu Muhyiddin, “5 Kesalahan dalam Pendidikan Karakter” dalam http:edukasi.kompasiana.com201311115-kesalahan-dalam-penerapan-pendidikan-karakter- 608557.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2015.