Menyoal Konsep dan Praktik Pendidikan Karakter di Indonesia

penyampaian nilai-nilai universal yang telah dipilih dan cenderung menghindari isu-isu perubahan politik yang terjadi. Mereka mengabaikan isu-isu penting soal gender, ras, kelas sosial, agama dan budaya yang ada dalam kehidupan keseharian para murid dan masyarakatnya. 22 Penentuan 18 nilai standar oleh Kemdiknas juga membuat kebingungan para guru yang melaksanakan kebijakan pendidikan karakter di lapangan. Walaupun ada kebebasan untuk memilih nilai mana saja yang mau dikembangkan, tetap saja hal tersebut dianggap membingungkan. Sehingga ketika berhadapan dengan pertanyaan, “karakter apa yang hendak dibangun?”, banyak sekolah yang kebingungan menjawabnya. Karena masih belum jelasnya mengenai konsep dan pelaksanaan pendidikan karakter, banyak guru dan sekolah merasa sudah melaksanakan pendidikan karakter dengan pengintegrasian nilai-nilai ke Silabus dan RPP berbasis karakter. 23 Penerapan pendidikan karakter justru semakin menambah tugas admistrasi guru dan tidak efektif dalam membentuk etika para murid. Isu-isu yang sedang terjadi dalam masyarakat pun tetap tidak tersentuh. Contoh-contoh tata tertib yang diberikan kepada para murid justru menunjukkan kepada kita bahwa sedari kecil pembentukan etika anak-anak diperkenalkan lebih dalam bentuk perintah atau larangan. Kata “harus” menandakan bahwa tata tertib itu adalah sebuah kewajiban mutlak yang harus dijalankan. Selain itu dalam pikiran anak-anak kita, tata tertib itu memiliki 22 Tianlong Yu, In the Name of Morality: Character Education and Political Control, New York, Peter Lang, 2004, hlm. 2. 23 Marfu Muhyiddin, “5 Kesalahan dalam Pendidikan Karakter” dalam http:edukasi.kompasiana.com201311115-kesalahan-dalam-penerapan-pendidikan-karakter- 608557.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2015. konotasi negatif. Selain mengungkapkan dengan kata “harus”, anak-anak cenderung menggunakan “tidak boleh” untuk menggambarkan tata tertib yang mereka tahu. Metode penyampaian nilai-nilai dengan memakai berbagai tempelan atau pajangan kata-kata mutiara dan motivasi di dinding-dinding kelas juga bukanlah metode yang efektif untuk membangkitkan moralitas anak. Nel Noddings menilai penerapan metode-metode seperti itu tidak akan memberikan hasil seperti yang digadang-gadang dalam rumusan tujuan pendidikan karakter. 24 Sedari dini, anak- anak sudah disuguhi dengan banyaknya aturan simbolik. Hal ini justru malah bisa menyebabkan anak tidak punya lagi imajinasi akan dunia lain selain dunia simbolik yang sudah disuapkan ke mulutnya sejak kecil. Cara-cara tersebut juga justru tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk memperkenalkan adanya beragam relasi di sekitar anak-anak kita. 24 Nel Noddings, op.cit., hlm. 7. 67

BAB III PENDIDIKAN ETIKA BERBASIS PENGALAMAN: PENDIDIKAN

ETIKA ALTERNATIF YANG DIAJUKAN OLEH SANGGAR ANAK ALAM SALAM To produce good people we must provide a morally good education. 1

A. Pengantar

Pada bab II, saya telah menguraikan tentang trend pendidikan karakter yang menjadi konsep dan praktik pendidikan etika arus utama di Indonesia. Saya juga telah menguraikan kemiripan pola, konsep dan praktik pendidikan karakter di Indonesia dengan di AS beserta kecurigaan-kecurigaan saya akan adanya berbagai kepentingan di balik trend tersebut. Di tengah trend tersebut, kita tentu menjadi bertanya-tanya adakah pendekatan selain pendidikan karakter yang bisa dipakai dalam mengajarkan etika kepada anak-anak kita? Jika di AS ada pendidikan kepedulian yang diajukan sebagai alternatif bagi pendidikan karakter lalu bagaimana dengan di negara kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu terus kita munculkan dan kita geluti supaya kita tidak hanya cenderung hanyut mengikuti pesona trend pendidikan karakter yang seolah-olah menjadi pelita di tengah krisis moral. Berkaitan dengan hal itu, pada bab III ini saya akan menyajikan data penelitian saya mengenai praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh Sanggar Anak Alam SALAM. Saya akan memperkenalkan SALAM yaitu sebuah sekolah yang tidak menggunakan pendekatan pendidikan karakter sebagai 1 Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, New York, Teachers College Press, 2002, hlm. 154. pendekatan dalam mengajarkan etika kepada para muridnya. SALAM mengajarkan etika kepada anak-anaknya dengan berbasis pengalaman akan realita yang dijumpai dan dihadirkan melalui keseluruhan dinamika yang berlangsung di SALAM. Pengelolaan semua kegiatan baik kegiatan belajar-mengajar maupun kegiatan-kegiatan lainnya berusaha disusun seirama dengan tujuan pendidikan SALAM yaitu menjadikan pendidikan sebagai proses humanisasi. Adapun penyajian data penelitian ini mengikuti metodologi etnografi imajinasi sebagaimana diperkenalkan oleh Paul Willis. Pertama-tama saya akan menyingkap basis material dari orang-orang yang terlibat dalam dinamika SALAM. Siapa sebenarnya mereka dan kapital apa saja yang mereka miliki sehingga mampu mengupayakan dan menghidupi proses yang berlangsung di SALAM. Langkah selanjutnya, saya akan mengungkapkan soal bagaimana orang- orang yang terlibat di SALAM baik itu pengurus, fasilitator, murid, maupun orangtua memaknai dunia pendidikan yang dipilihnya. Langkah yang terakhir adalah melihat negosiasi dan evaluasi yang dilakukan oleh SALAM berhadapan dengan pendidikan arus utama yang ia lawan. Penyajian data penelitian ini juga dalam rangka menjawab tiga rumusan masalah yang sudah saya ajukan di bagian pendahuluan.

B. Berkenalan dengan Sanggar Anak Alam SALAM

Pada bagian awal ini saya akan memperkenalkan Sanggar Anak Alam SALAM terlebih dahulu. Pertama-tama, saya akan memperkenalkan orang- orang yang terlibat dalam dinamika pendidikan SALAM. Saya berangkat dari dua PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sosok utama pendiri SALAM yaitu Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo serta kemudian diikuti oleh sosok-sosok lain yang juga sangat berperan dalam keberlangsungan pendidikan di SALAM. Selanjutnya, saya akan juga menyajikan pandangan SALAM terhadap apa itu yang dimaksud dengan pendidikan alternatif dan penjelasan mereka soal posisi yang mereka ambil di tengah pendidikan arus utama. Saya juga akan membahas pemikiran dan aksi nyata dari tokoh-tokoh pendidikan yang memberikan pengaruh serta menjadi inspirasi penyelanggaraan pendidikan di SALAM.

1. Sosok Dibalik Berdiri dan Berlangsungnya Proses Pendidikan di SALAM

SALAM tidak bisa dipisahkan dari nama dua orang penggagas utamanya yaitu Sri Wahyaningsih atau yang lebih akrab disapa dengan Bu Wahya dan Toto Rahadjo atau yang lebih akrab disapa dengan Pak Toto. Mereka sama-sama aktif dalam berbagai kegiatan pendampingan masyarakat. Mereka juga dulu pernah bersama-sama dengan Romo Mangun dalam kegiatan pendampingan kepada warga Kali Code. Bu Wahya lahir di Klaten, 19 Desember 1961. Ia memang bergelut dalam dunia pendidikan namun ia justru tidak memiliki pengalaman kuliah di jurusan kependidikan. Ia adalah tamatan dari jurusan Keuangan dan Perbankan, STIE Yakub Yogyakarta. Selama kuliah di STIE, ia sering terlibat dalam kegiatan pendampingan di Kali Code. Melalui keikutsertaannya itu, Bu Wahya kemudian berkenalan dengan Romo Mangun beserta dengan gagasan-