Pendidikan kepedulian care education menurut Nel Noddings

practice, dan confirmasi. Komponen yang pertama adalah modelling atau pemberian teladan. Hampir semua pendekatan dalam pendidikan moral mengakui akan pentingnya pemberian teladan bagi para murid. Jika kita ingin mengajarkan etika kepada para murid maka kita pun harus memberikan contoh tindakan yang bermoral itu seperti apa. Dari perspektif pendidikan kepedulian, guru harus menunjukkan pada para murid apa itu yang dimaksud dengan peduli. 29 Melalui pemberian teladan, guru menunjukkan kepedulian mereka dengan mendengarkan murid-muridnya serta memberikan perhatian dan penghargaan terhadap berbagai ekspresi yang diberikan oleh murid-muridnya. Guru perlu mendalami lebih jauh tentang kebutuhan-kebutuhan para murid dan latar belakang dari munculnya kebutuhan itu. 30 Hal ini bertujuan untuk menjauhkan guru memperlakukan murid-murid dari definisinya sendiri yang seakan-akan berpusat pada anak. Guru pun kemudian bisa mengambil respon sesuai dengan konteks yang terjadi. Demikian pula dalam pemberian teladan yang lain, guru mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa relasi itu benar-benar terjalin. Dengan demikian, harapannya anak pun bisa mendengarkan orang lain, menghargai dan memberikan respon sesuai dengan panggilan tanggung jawab mereka. Komponen yang kedua adalah dialog dialogue. Dialog adalah komponen yang paling penting dalam pendidikan moral dari perspektif pendidikan kepedulian. Konsep dialog yang dipakai oleh Noddings mengikuti 29 Nel Noddings, “Caring and Moral Education” dalam Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez Ed., Handbook of Moral and Character Education, New York, Routledge, 2008, hlm. 168. 30 Ibid. konsep yang diajukan oleh Paulo Freire. Dialog tidak hanya sebatas percakapan, tetapi momen untuk saling bicara dan saling mendengarkan. Dialog di sini bukanlah debat yang bertujuan untuk memenangkan salah satu argumen. Dalam dialog menurut perspektif pendidikan kepedulian, selalu ada perhatian terhadap peserta yang lain tidak hanya pada topik yang sedang didiskusikan. Dialog menjadi wadah untuk kita untuk belajar akan keinginan dan kebutuhan orang lain sebagai mana yang diutarakan oleh Nel Noddings sebagai berikut: 31 Dialogue is the means through which we learn what the other wants and needs, and it also the means by which we monitor the effects of our acts. We ask, “What are you going through?” before we act, as we act, and after we act. It is our way of being in relation. Komponen yang ketiga adalah praktik practice. Kita membutuhkan adanya berbagai kesempatan di mana anak bisa mempraktikkan apa yang ia tangkap dari proses pemberian teladan dan dialog yang telah diberikan. Kesempatan itu perlu dihadirkan di hadapan anak-anak. Noddings memberi beberapa contoh yang bisa dipakai, misalnya saja melalui bekerja bersama- sama untuk menolong satu sama lain. Cara seperti ini bisa meningkatkan kompetensi kepedulian anak-anak tetapi dengan menuntut tanggung jawab dari guru. Melakukan pelayanan komunitas community service pun bisa digunakan sebagai kesempatan anak-anak untuk melakukan praktik kepedulian. Namun, pelayanan komunitas ini juga perlu dipersiapkan dengan 31 Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education, op.cit., hlm. 19. matang dan serius. Nel Noddings juga menganjurkan agar para murid diminta untuk berpartisipasi dalam sebuah seminar rutin di mana mereka bisa mendialogkan seputar praktik yang telah mereka lakukan. 32 Komponen yang terakhir adalah konfirmasi confirmation. Dalam etika kepedulian, yang dimaksud dengan konfirmasi berbeda dengan bentuk yang bisa kita temukan dalam pendidikan agama yang lebih mengarah pada dakwaan, pengakuan, permohonan maaf dan penebusan dosa. Jika yang terjadi adalah konfirmasi dengan bentuk-bentuk seperti itu maka dialog tidak dapat berlangsung karena terdapat relasi antara yang berwenang dan yang subordinat. 33 Konfirmasi yang dimaksud oleh etika kepedulian lebih mengarah kepada melihat secara lebih mendalam motif dan kondisi orang yang ingin kita pedulikan. Dengan adanya konfirmasi ini, kita kemudian tidak dengan mudah berhenti menilai tindakan orang lain dalam kacamata benar atau salah. Nel Noddings memberikan contoh tentang adanya murid-murid yang kadang- kadang mencontek dengan tujuan untuk menolong teman-temannya atau membuat orang tuanya senang. Mereka kemudian mengatakan sesuatu yang buruk untuk menutupi ketakutan mereka. Guru yang tahu murid-muridnya dengan baik mendeteksi lebih baik motif-motif tindakan tersebut dan menunjukkan pengertian mereka dengan mendiskusikan hal tersebut bersama 32 Ibid. 33 Ibid, hlm. 21. para muridnya. Tindakan konfirmasi ini bisa sangat berarti pada diri siswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Nel Nodding berikut ini: 34 Acts of confirmation point students upward by recognizing a better self already partly formed and struggling to develop. Confirmation is perhaps the loveliest of moral act. Tindakan konfirmasi ini menuntut dua hal yang sangat penting menurut Noddings yaitu kepercayaan dan kesinambungan. Kesinambungan ini berkaitan dengan perlunya guru memiliki pengetahuan yang baik tentang murid-muridnya. Guru dan murid kemudian membutuhkan waktu bersama yang intens dan cukup lama bahkan dalam kurun waktu beberapa tahun. 35 Hal ini yang menjadi tantangan karena pada kenyataannya jumlah murid dalam satu kelas cukup banyak dan guru yang mengampu kelas pun sering berganti- ganti.

G. Metodologi dan Metode Penelitian

Metodologi yang saya pakai dalam penelitian ini adalah etnografi, lebih tepatnya etnografi kritis. Etnografi kritis disebut sebagai respon tehadap kondisi masyarakat sekarang, di mana sistem kekuasaan, prestise, privilese, dan otoritas digunakan untuk memarginalkan individu atau kelompok yang dianggap berbeda. Menurut John W. Creswell, komponen utama dari etnografi kritis adalah orientasi bermuatan nilai, memberdayakan masyarakat dengan memberi mereka otoritas, 34 Nel Noddings, “Caring and Moral Education”, op.cit, hlm. 172. 35 Nel Noddings, Philosophy of Education, Colorado, Westview Press, 1998, hlm. 133. menentang status quo, serta mengemukakan persoalan tentang kekuasaan dan kontrol. 36 Perkembangan metodologi etnografi kritis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan yang terjadi dalam penelitian kajian budaya. Istilah etnografi kritis pertama kali muncul ditujukan pada metodologi yang dipakai oleh para peneliti Centre for Contemporary Cultural Studies CCCS di Universitas Birmingham, Inggris sekitar akhir tahun 1970an atau awal 1980an. Pada akhir tahun 1980an, teori-teori postmodern turut memberi banyak sumbangan dan pengaruh bagi perkembangan metodologi etnografi kritis. 37 Etnografi kritis pun bukanlah metodologi yang baru dalam penelitian- penelitian seputar bidang pendidikan. Penelitian Paul Willis yang kemudian dibukukan dengan judul “Learning to labour” memberikan banyak inspirasi dalam melihat sekolah selain dengan perspektif sekolah sebagai sarana reproduksi sosial, politik maupun budaya. Willis meneliti tentang anak-anak kelas pekerja dengan perspektif resistensi. Metodologi yang dipakai oleh Wilis adalah etnografi dengan disertai oleh teori Marxis tentang tenaga kerja. Saat ini, penelitian-penelitian dalam bidang pendidikan yang menggunakan metodologi etnografi kritis sudah banyak dipengaruhi oleh teori-teori neo-Marxis dan Feminisme tentang pendidikan serta teori-teori pendidikan kritis lainnya. 36 John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan terj., Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, hlm. 130. 37 Phil Francis Carspecken, “Critical Ethnographies from Houston: Distinctive Features and Directions” dalam Critical Ethnography and Education, Oxford, Elsevier Science, 2001, hlm. 3. Saya pun mengunakan metodologi etnografi atau lebih tepatnya metodologi imajinasi etnografis seperti yang diperkenalkan oleh Willis sebagai metodologi penelitian saya. Imajinasi etnografis saya pilih karena pendekatan ini memberikan cara bagi saya untuk aktif terlibat, mengamati dan mendeskripsikan praktik pendidikan etika alternatif yang diajukan oleh SALAM. Dan selain memberikan panduan dalam melakukan penelitian melalui imajinasi etnografis ini, Willis pun memberikan cara bagaimana menyajikan data penelitian yang sudah diperoleh. Ada tiga tahapan dalam melakukan analisis data berdasar pendekatan imajinasi etnografis. Tahap pertama adalah melihat basis material dari kelompok sosial tertentu yang diteliti. Tahap kedua adalah melihat bagaimana seseorang memaknai dunianya sensuous meaning. Tahap ketiga adalah melihat bagaimana lingkungan dan struktur sosial mempengaruhi identitas dan pembentukan budaya lived penetration. 38 Dengan demikian langkah pertama saya adalah melihat basis material dari orang-orang yang terlibat dalam dinamika SALAM baik pengurus, fasilitator, dan orangtua murid. Dalam langkah pertama ini saya akan melihat bagaimana posisi dan kapital yang mereka miliki di tengah pusaran pendidikan arus utama. Langkah kedua adalah melihat bagaimana SALAM memaknai pendidikan yang mereka selenggarakan dan langkah yang ketiga adalah melihat bagaimana pendidikan yang diajukan oleh SALAM berhadapan dengan realitas pendidikan arus utama yang mendorong kelahiran mereka. 38 Paul Willis, “Twenty-Five Years On: Old Books, New Times dalam Nadine Dolby. dkk. Ed.. Learning to Labour in New Times. London dan New York, RoutledgeFalmer, 2004, hlm. 146- 150.