Inspirasi Penyelenggaraan Pendidikan SALAM
Saya ingat almarhum Romo Mangun Wijaya pada tahun 1987 sudah memperingatkan tentang bagaimana peran sekolah: “bahwa sekolah
harus bersifat integral menuju ke manusia yang seutuhnya. Maka watak dan karakter, adalah menjadi hasil primer. Bukan terutama
kepandaian atau keterampilan. Walaupun kepandaian, kecerdasan, keterampilan adalah dimensi yang penting. Namun dalam negeri yang
berada dalam iklim “Panca Celaka”, korupsi, gontok-gontokan dan semua masih serba hukum rimba, pendidikan kita harus dinamakan
gagal, apabila kita tidak mampu mendidik para peserta pendidikan kita menjadi manusia yang budiman.
Pak Toto pun setuju pembentukan watak dan karakter menjadi aspek utama dalam pendidikan di sekolah. Dalam rangka pembentukan watak dan
karakter tersebut, Pak Toto dan pengurus SALAM yang lain lalu bergulat dengan pertanyaan soal apa yang perlu dipelajari oleh anak-anak dan
bagaimana mengajarkannya. SALAM tidak ingin mengikuti sekolah arus utama di mana kebanyakan anak disuguhi dengan materi-materi yang jauh dari
kehidupannya, SALAM berkeinginan untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan di mana anak-anak harus belajar dimulai dari realitas dan
pengalaman yang mereka jumpai sendiri. Dengan cara demikian anak-anak akan benar-benar memahami dan menguasai materi yang mereka pelajari serta
tidak akan mengatakan hal-hal yang sebenarnya mereka tidak tahu. SALAM mengutip pendapat Confusius soal pentingnya arti belajar dari pengalaman dari
kata-kata berikut:
17
Saya Dengar, Saya Lupa Saya Lihat, Saya Ingat
Saya Lakukan, Saya Paham Saya Temukan, Saya Kuasai
17
Ibid, hlm. 21.
Kata-kata Confusius tersebut yang digunakan sebagai semboyan SALAM dalam proses pembelajaran anak-anaknya. Pendapat Confusius soal pentingnya
belajar dari pengalaman sendiri ini serupa dengan pemikiran Paulo Freire yang juga mempengaruhi konsep pendidikan SALAM. Didorong situasi masyarakat
Brasil yang dibelenggu oleh kemiskinan, kekerasan, ketidakberdayaan dan ketidakadilan,
Paulo Freire
mencetuskan tentang
pendidikan yang
membebaskan. Pendidikan harus mengantarkan orang kepada kenyataan yang sesungguhnya. Ia mencetuskan konsep conscientizacao kesadaran, dimana
kesadaran yang dicapai adalah untuk pembebasan dinamis atau yang disebut kemanusiaan yang lengkap menurut Freire.
Freire mengkritisi pendidikan dengan sistem banking yang mengarah pada proses dominasi. Guru sebagai orang satu-satunya yang maha tahu
meniadakan prinsip “kesadaran aktif” murid-muridnya. Pendidikan ini menjalankan praktik-
praktik yang digunakan orang untuk “menjinakkan” kesadaran manusia, mentransformasikan ke dalam sebuah wadah kosong.
18
Pak Toto menyebut sekolah-sekolah yang menerapkan sistem banking tersebut
sebagai “sekolah dengar”. Freire mempunyai prinsip bahwa pendidikan adalah sebuah proses
pembebasan dan humanisasi yang memandang kesadaran sebagai hasrat terhadap dunia.
19
Proses pencapaiannya yaitu melalui dialog bersama antara guru dan murid di mana guru dan murid duduk sebagai mitra yang sedang
18
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan terj., Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 191.
19
Ibid.
sama-sama belajar untuk melihat permasalahan yang sebenarnya. Dengan cara demikian, pendidikan baru mempunyai kekuatan untuk mengubah realita.
Dialog menjadi jalan membawa anak didik menjadi subjek yang mememiliki kesadaran akan dunia yang sedang dihadapinya. Pak Toto pun
memaknai konsep dialog Freire sebagai berikut:
20
Ya kan saya kira kekuatannya Freire itu ada di dialogisnya itu yang mengingatkan bahwa jangan apa namanya mengobjekkan anak
didik, kayak gitu. Saya kira di SALAM kan mencoba menyadari untuk melakukan itu. Untuk menghindari mengobjekkan tetapi semua orang
jadi subjek dalam kehidupan.
Bagi Pak Toto, konsep dialogis Freire memberi inspirasi soal penekanannya pada bagaimana pendidikan itu bisa menciptakan hubungan
yang demokratis antara guru, murid, orangtua dan juga masyarakat. Pemikiran Freire soal pendidikan yang membebaskan dan konsep dialogisnya memang
lebih banyak diterapkan bagi pendidikan orang dewasa tetapi Pak Toto ingin menerapkannya pada anak-anak SALAM, seperti yang diungkapkannya berikut
ini:
21
Freire kan selama ini diterapkan dalam orang dewasa. Saya pun selama ini menerapkan di orang dewasa. Nah, saya pengen kenapa
tidak diterapkan di anak-anak gitu. Saya kira pendidikan orang dewasa itu bukan hanya pendidikan umurnya yang sudah dewasa tetapi
bagaimana memperlakukan semua orang itu dewasa gitu lho, secara dewasa.
Pemikiran Freire tentang pendidikan yang membebaskan sekaligus memberdayakan juga nampak turut mempengaruhi pandangan Pak Toto dalam
mengaitkan penyelenggaraan pendidikan alternatif dan kebutuhan komunitas
20
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
21
Wawancara dengan Pak Toto tanggal 14 Januari 2015
serta masyarakat. Agar pendidikan itu mempunyai kekuatan memberdayakan komunitas dan masyarakatnya, maka proses pendidikan itu tidak hanya penting
untuk sampai pada pemecahan masalah problem solving tetapi juga sampai pada memproblematisasikan masalah problem posing. Pak Toto menguraikan
pemaknaannya soal kaitan pendidikan dan transformasi masyarakat sebagai berikut:
22
Pendidikan alternatif seharusnya bisa melakukan transformasi keadaan dengan mengutamakan pengorganisasian pikiran. Peserta didik harus
paham akan masalah yang ada disekitarnya dan menyikapinya secara kritis. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, pendidikan alternatif
sebaiknya didahului oleh semacam survei mendalam tentang kehidupan peserta didik. Materi ajar pun sebaiknya tak hanya mampu
memecahkan masalah yang ada, tapi juga mencari tahu penyebab masalah sehingga masyarakat akan memiliki pemahaman yang
menyeluruh.
Masih ada juga beberapa tokoh lain yang dipakai sebagai inspirasi penyelenggaraan pendidikan SALAM diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara,
Gurudev Rabindranath Tagore, dan Julius Nyerere. Tiga sosok pendidik tersebut dijadikan teladan dalam memaknai hubungan sekolah dan alam sekitar. Tagore
mendirikan Ashram Santiniketan di kawasan Bengal Barat, India pada penghujung tahun 1901. Terilhami oleh Tagore dan konsep pendidikan Maria
Montessori, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Penyelenggaraan pendidikan yang menggunakan alam sekitar sebagai
sumber belajar juga ditemukan pada Julius Nyerere yang tak lain adalah presiden pertama Tanzania. Nyerere berpandangan bahwa semua rakyat Tanzania harus
menjadikan kebun atau ladang garapan mereka sekaligus sebagai sekolah mereka.
22
Ibid, hlm. 102.
Oleh sebab itu, anak-anak Tanzania belajar sistem pertanian kolektif nasional melalui pengalaman nyata yang mereka jumpai di kebun atau ladang mereka.
23
Ki Hajar Dewantara, Gurudev Rabindranath Tagore, dan Julius Nyerere sama-sama mendirikan tempat belajar dengan menjadikan masalah dan kebutuhan
alam sekitar sebagai basis utama proses pembelajaran anak-anak muridnya. Pemikiran dan praktik pendidikan dari ketiga orang tersebut kemudian
menginspirasi SALAM berkaitan dengan pemaknaan mereka tentang sekolah alam seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Toto. Sekolah alam bukan sekedar
dimaknai sebagai sekolah yang berorientasi pada metode belajar di alam terbuka tetapi melangkah lebih jauh harus sampai pada mengetahui permasalahan dan
kebutuhan alam sekitarnya.