Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa
                                                                                Berikut ini adalah lagu Memujia Pangeran yang dapat menjadi contoh lagu Jawa dengan syair Jawa:
Gambar 4.5: Memujia Pangeran KA 156
Lagu  Memujia  Pangeran  ini  diciptakan  oleh  Al.  Wahyasudibya  dengan menggunakan tangga nada pelog nem.  Lagu ini singkat dan terdiri dari dua bait.
Keuntungannya  adalah  lagu  ini  dapat  dinyanyikan  berulang-ulang  sesuai  dengan kebutuhan  tanpa  perlu  khawatir  durasi  waktunya  menjadi  terlalu  lama.  Karena
masuk ke dalam liturgi, durasi lagu tidak boleh terlalu panjang. Paul  Widyawan  mengungkapkan,  bahwa  “durasi  gending  Gereja  harus
pendek”
5
.  Budi  Santoso  mengusulkan  bentuk  lagu  yang  singkat  untuk mengantisipasi  terlalu  lamanya  gending  Gereja.  Sebagai  contoh,  ia  pernah
membuat sebuah lagu komuni dengan durasi waktu 15 menit. Ternyata pembagian komuni  dilakukan  oleh  banyak  prodiakon  dan  para  suster.  Komuni  pun  hanya
berlangsung  selama lima  menit.  Lagu-lagu  singkat  dirasa  lebih  memadai,  karena
5
Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
dapat  diulang  jika  waktu  masih  tersisa
6
.  Cara  lain  adalah  dengan  menciptakan lagu  yang  bertempo  cepat,  seperti  yang  dilakukan  oleh  JB.  Sukodi  dan  Paul
Widyawan
7
. Untuk menciptakan lagu Jawa dengan syair Jawa, unsur pertama yang perlu
disesuaikan  adalah  bentuk  lagunya.  Karl-Edmund  Prier
8
dan  Paul  Widyawan
9
mengungkapkan,  bahwa  musik  Jawa  tradisional  tidak  memiliki  bentuk  musik maupun  vokal  seperti  mazmur  tanggapan.  Mazmur  tanggapan  menggunakan
bentuk  responsorial  dengan  resitatif.  Maksudnya,  pemazmur  menyanyikan  ayat- ayat  mazmur  secara  resitatif,  dan  umat  menjawabnya  dengan  refrein.  Selain  itu,
lagu  Kemuliaan tidak cocok diiringi dengan bentuk-bentuk seperti ketawang dan ladrang, serta “tidak boleh ribut-ribut” dalam mengiringinya. Diperlukan bentuk
balungan khusus untuk mengiringi, misalnya Kemuliaan dan Bapa Kami. Bentuk- bentuk  kreasi  baru  ini  merupakan  bukti  dari  inkulturasi  antara  Gereja  dan musik
Jawa. Ada perubahan dari bentuk musik gamelan untuk keperluan liturgi; dan, ada perubahan di dalam liturgi, yaitu lagu-lagu baru yang berupa gending Gereja.
Penyesuaian  dapat  dilakukan  sejauh  sesuai  “dengan  hakekat  semangat liturgi yang sejati dan asli” SC 37. Kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang
wajar  dapat  dilakukan  dengan  berbagai  kelompok,  daerah  dan  bangsa,  asalkan kesatuan dengan Ritus Romawi tetap dipertahankan bdk. SC 38. Ritusnya tetap
6
Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran.
7
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, 25.
8
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
9
Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Ritus  Romawi,  tetapi  unsur-unsur  budaya  setempat,  dalam  hal ini  gending  Jawa, sudah masuk dan mengalami penyesuaian.
                