C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa

pada sebelum Konsili Vatikan II diselenggarakan, terasa asing karena kurang dimengerti, menjadi bentuk perjumpaan yang sangat personal dan mendalam. C. Hardjasoebrata melihat kesempatan pengembangan musik liturgi melalui melalui gending Jawa. Pada tahun 1925 ia mengarang lagu Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis, dan O Kawula Punika. Lagunya dibuat dari tangga nada pelog, dan syairnya diambil dari buku Rerepen Suci. Usahanya ini mendapatkan tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka beranggapan, bahwa lagu-lagu ini murahan dan menjadi bentuk profanasi musik Gereja 102 . Pada masa itu, lagu- lagu baru memang jarang diciptakan, kecuali lagu-lagu dolanan 103 . Maka, lagu- lagu ciptaan C. Hardjasoebrata itu pun dianggap sebagai lagu dolanan. Lagu-lagu ini sebenarnya dimaksudkan untuk kepentingan kebaktian sore salve, namun Br. Clementinus, yang mendukung kreasi C. Hardjasoebrata ini, memintanya untuk melatihkan lagu-lagu tersebut pada paduan suara anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji 104 . Dalam kesempatan untuk menyambut Mgr. Van Velsen yang datang berkunjung pada 31 Januari 1926, C. Hardjasoebrata dan kelompok paduan suara anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji yang dipimpinnya tersebut, menampilkan ketiga lagu tersebut. Mgr. Van Velsen sangat menyukainya dan meminta gending- gending tersebut ditampilkan kembali. Tanggapan publik terhadap karya-karyanya pun menjadi lebih antusias. Mereka yang awalnya tidak menerima gending baru tersebut, mulai mengakui bahwa gending-gending tersebut indah dan adi luhung. Atas permintaan Br. Clementinus, Mgr. Van Velsen mengijinkan gending- 102 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7. 103 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8. 104 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7-8. gending Gereja tersebut digunakan di dalam ibadat non liturgis dan bukan di dalam perayaan Ekaristi 105 . Dengan didukung oleh Mgr. Soegijapranata, pada tanggal 22 Oktober 1955, dibentuklah suatu panitia khusus yang secara intensif mengurusi gending Gereja. Kepanitiaan ini diketuai oleh E. Harjawardaya, Pr., dengan dibantu oleh C. Hardjasoebrata dan F. Atmadarsana. Pada tanggal 1 Januari 1956, panitia ini berhasil mementaskan gending-gending gereja, antara lain adalah Ave Maris Stella, Kula Sowan Gusti, dan Misa karya F. Atmadarsana 106 . Panitia lain dibentuk untuk mengurusi perizinan ke Roma mengenai penggunaan gending Gereja di dalam liturgi. Panitia tersebut diketuai oleh Mgr. Soegijapranata, dengan beranggotakan C. Hardjasoebrata, Br. Timoteus, F. Atmadarsana, Prof. Dr. Zoedmulder, Ki Sindoesawarna dan R. Wiranto. Mereka ingin agar gending Gereja digunakan dalam liturgi demi semakin menyentuhnya liturgi Gereja. Pada tahun 1956, Roma mengijinkan gending gereja dipergunakan dalam liturgi 107 . Pada tahun 1957, pusat kegiatan dipindahkan ke Paroki Pugeran. Di sana diterbitkanlah dokumentasi pertama lagu-lagu Gereja yang baru, berjudul Kyriale berisi lagu-lagu ordinarium dan Natalia berisi lagu-lagu Natal. Hardjasoebrata ternyata masih terus menciptakan gending-gending Gereja pada berbagai 105 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8. 106 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9. 107 H. R. Wiranto seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 103 kesempatan. Gending-gending Gereja tersebut pun dikumpulkan dalam satu buku berjudul Kula Sowan Gusti 108 . Sebelum tahun 1930, gending-gending Gereja tersebut belum diiringi dengan gamelan. Sesudah itu, instrumen gamelan yang digunakan sebagai iringan pun masih terbatas pada alat-alat lembut, seperti gender, slentem, kenong, kempul dan gong. Pembatasan iringan ini berlangsung sampai tahun 1965-an. Sesudah Konsili Vatikan II, instrumen gamelan secara lengkap digunakan untuk mengiringi gending Gereja 109 . Gending Gereja terus berkembang. Pusat Musik Liturgi PML menerbitkan buku Cahaya Sumunar pada tahun 1978, dan Kidung Adi edisi pertama pada tahun 1983. PML juga membuat lokakarya komposisi Jawa pada tahun 2002 dan 2005, dan selanjutnya terbit Kidung Adi edisi baru pada tahun 2009. Sebagai seorang musisi gamelan Jawa, Hardjasoebrata memiliki keterbukaan pada musik Barat. Ia banyak menggabungkan teori gamelan Jawa dan teori musik barat yang diketahuinya. Hasilnya adalah gending vokal yang menggunakan notasi solmisasi dan gending iringan yang menggunakan notasi Kepatihan 110 . Memang ada perbedaan interval dan rasa yang muncul, namun penggabungan ini, paling tidak, dapat memfasilitasi kesulitan orang-orang yang belum terbiasa dengan notasi Kepatihan. C. Hardjasoebrata menciptakan banyak gending Gereja, terutama gending yang menggunakan tangga nada pelog. Dibandingkan dengan tangga nada 108 Penjelasan Karl-Edmund Prier dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9. 109 Penjelasan Karl-Edmund Prier dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9. 110 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 154. slendro, tangga nada pelog memang lebih dekat pada tangga nada diatonis. Ia juga berhasil menggabungkan syair berbahasa Latin dengan tangga nada pelog 111 , seperti Adoro Te KSG 17, O Esca Viatorum KSG 18A, Pange LinguaTantum Ergo IV KSG 23A. Karakter dan suasana yang dibangun adalah agung dan khidmat, yaitu suasana yang dapat mendukung suasana peribadatan. Pembaruan-pembaruan pun ia lakukan dalam musik gamelan Jawa. Ia membuat aransemen empat suara pada gending vokal, menggabungkan dua bentuk gending dalam satu gending, dan memadukan konsep birama musik barat dengan konsep gatra gending Jawa 112 . Perpaduan-perpaduan tersebut ia tuangkan dalam 42 gending yang telah dibuatnya 113 .

2.6 Rangkuman

Gamelan Jawa yang ditemui sekarang ini merupakan hasil dari proses panjang penyesuaian dan adaptasi alat-alat musik kuno yang menjadi cikal bakal gamelan. Agama Hindu dan Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan gamelan Jawa ini. Periode sejarah musik di Jawa dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu periode Hindu Jawa Tengah abad ke-8 sampai abad ke-10, periode Hindu Jawa Timur abad ke-12 sampai abad ke-15 dan periode 111 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 154. 112 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 154. 113 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 155. Islam Jawa abad ke-15 sampai abad ke-17. Pembagian periode ini tidaklah bersifat kaku, karena bisa jadi satu periode telah dimulai sementara periode lain masih berjalan. Musik gamelan berbeda dengan musik Barat. Musik Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog. Akor-akor tidak memiliki peranan, karena musik jenis ini menekankan gerak horisontal dari nada-nada. Akor-akor memang dapat terjadi, namun hanya berupa kebetulan dan sebagai akor peralihan. Tegangan-tegangan dan langkah interval diatonis melangkah menjadi ciri khas dari musik ini. Ditemukan juga bentuk polifoni berupa heterofoni. Bentuk ini dapat ditemukan dalam imitasi antara vokal dengan rebab. Ritmenya pun cenderung rumit dan berubah-ubah, kadang-kadang berbentuk heteroritmik. C. Hardjasoebrata melihat peluang, bahwa gamelan Jawa dapat digunakan di dalam liturgi Gereja. Dimulai pada tahun 1925, ia berinisiatif untuk melakukan beberapa percobaan inkulturasi, yaitu dengan menciptakan lagu-lagu Jawa dengan syair berbahasa Latin, dan menciptakan lagu-lagu Jawa dengan syair berbahasa Jawa. Percobaan ini berhasil baik, kendati belum mendapatkan izin dari Roma untuk digunakan di dalam liturgi. Tahun 1956, Roma mengizinkan gending Jawa ini untuk digunakan di dalam liturgi. Iringan gamelan secara lengkap baru digunakan di dalam Gereja setelah Konsili Vatikan II.