Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa

Penerjemahan bukanlah suatu usaha yang mudah. Berbagai macam segi: linguistik, sosiologis, teologis, antropologis, dan lain-lain, perlu diperhitungkan. Keuntungan dari tahap ini adalah kesetiaan umat pada tradisi iman Gereja, terjaga. Contoh lagu Gregorian dengan syair berbahasa Jawa adalah Minggah Ing Pirdus KA 93, dan Rawuha Roh Ingkang Murba KA 384 2 . Lagu Minggah Ing Pirdus merupakan lagu terjemahan dari lagu In Paradisum dari Liber Usualis, yang digunakan dalam upacara pemakaman saat jenazah dimasukkan ke dalam kubur. Lagu ini menggunakan modus 7 dengan nada finalis sol. Gambar 4.1: Minggah Ing Pirdus KA 93 2 Lihat pula KA 85, 87, 91, 93, 105, 118, 247, 306, 311, 316, 327, 328, 331, 340, 342, 349, 353, 384, 386. Contoh lain adalah lagu Rawuha Roh Ingkang Murba: Gambar 4.2: Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba KA 384 Lagu Rawuha Roh Ingkang Murba ini merupakan terjemahan dari lagu Veni Creator Spiritus yang syair dan lagu aslinya diambil dari madah hari raya Pentekosta pada Liber Usualis. Lagu ini menggunakan modus 8, dengan nada finalis sol. Tahap penggabungan lagu Gregorian dan syair berbahasa Jawa ini termasuk dalam inkulturasi tahap penerjemahan. Teks asli diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan tetap mempertahankan nuansa, arti terjemahan, isi teologi dan fungsi lagu tersebut di dalam liturgi. Tangga nada pelog belum berperan apa-apa di sini. Lagu Gregorian yang pada awalnya memang sudah dikenal karena biasa dinyanyikan, kini dimengerti isinya. Umat Jawa mengetahui apa yang terungkap dan mereka ungkapkan lewat lagu tersebut.

4.1.1.2 Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin

Pada tahun 19251926, C. Hardjasoebrata mulai melakukan percobaan inkulturasi dengan menggabungkan lagu Jawa dengan syair Latin. Percobaan ini dilakukan dengan dasar kesukaannya pada lagu Gregorian dan konteks pada masa itu yang masih mewajibkan penggunaan bahasa Latin di dalam liturgi. Upaya ini menghasilkan lagu-lagu seperti Jesu Dulcis Memoria KSG 16, Adoro Te KSG 17, O Esca Viatorum KSG 18A, Pange LinguaTantum Ergo IV KSG 23A. Lagu Jesu Dulcis Memoria, Adoro Te, dan Pange LinguaTantum Ergo IV menggunakan tangga nada pelog nem, sedangkan O Esca Viatorum menggunakan tangga nada pelog barang. Menurut Karl-Edmund Prier, C. Hardjasoebrata memang menyukai dan merasa bahwa lagu Gregorian itu bagus. Tantangan yang dipilihnya adalah bagaimana syair Latin itu dapat diungkapkan dengan tangga nada pelog. Salah satu lagu Pange Lingua yang terkenal di Indonesia adalah lagu yang diambil dari ibadat sore kedua pada Hari Raya Tubuh Kristus. Gambar 4.3: Bait pertama lagu Pange Lingua LU hal. 957 Lagu ini menggunakan tangga nada frigis, bermodus 3, dengan nada finalis mi. Setiap suku kata mendapatkan satu nada sillabis. Suasana yang diciptakan oleh tangga nada frigis adalah mistis, lembut, dan transenden 3 . Oleh C. Hardjasoebrata, syair lagu Gregorian ini diambil dan diberi tangga nada pelog nem hingga menjadi: Gambar 4.4: Bait pertama lagu Pange Lingua Tantum Ergo IV KSG 23A Lagu ini menggunakan tangga nada pelog pathet nem. Pelog pathet nem bertangga nada: ji-ro-lu-mo-nem-ji, atau mi-fa-sol-si-do-mi. Suasana khas yang ingin diciptakan pelog pathet nem adalah sabar, sareh, dan tidak terlalu nglangut 4 . Demikian pula, lagu ini menggunakan nada ro atau fa sebagai awalan untuk menghindari kesan tegas, dan menekankan suasana sareh, lembut dan transenden. C. Hardjasoebrata tetap mempertahankan suasana lagu Gregorian modus frigis dengan menggunakan lagu pelog pathet nem dengan nada finalis mi. Bentuk inkulturasi tahap ini masih terjadi separuh-separuh. Kendati umat sudah merasakan sentuhan suasana budaya Jawa melalui tangga nada pelog, syair 3 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1994, 90. 4 Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gendhing Djawa, Sadu-Budi, Solo 1957, 56.