Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara

285, dan Ayo Gegancangan Sowan Gusti KA 681. Lagu Kula Sowan Gusti menggunakan tangga nada pelog barang yang diaransemen dengan gaya polifoni untuk dua suara: Gambar 4.6: Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti KSG 1 Paduan suara semakin memperindah gending Gereja dan membangun kesatuan hati umat yang berliturgi. Bagian suara yang satu memperkaya dan menjadi pendamping suara yang lain. Hal ini menunjukkan adanya kebersamaan dan kerja sama di dalam perbedaan.

4.1.1.5 Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese

Inkulturasi yang terjadi memunculkan aklamasi, prefasi dan anamnese baru bertangga nada pelog yang digunakan di dalam liturgi. Syairnya merupakan terjemahan dari bahasa Latin, dan lagunya menggunakan tangga nada pelog. Memang ada juga bentuk-bentuk aklamasi, prefasi dan anamnese yang tetap menggunakan tangga nada Gregorian, dengan syair berbahasa Jawa. a Aklamasi Aklamasi adalah suatu pernyataan yang diserukan atau dinyanyikan sebagai wujud jawaban iman atas misteri yang dirayakan dan sebagai wujud partisipasi umat dalam perayaan. Bentuk aklamasi tertua dan tersingkat adalah “Amin”. Aklamasi Amin ini telah ada sejak abad ke-2 13 . Alleluya juga merupakan aklamasi. Sebagai bait pengantar Injil, aklamasi ini dinyanyikan oleh umat dengan dipandu oleh paduan suara atau solis bdk. PUMR 62. Berikut ini adalah contoh aklamasi salam pada Ritus Pembuka di dalam perayaan Ekaristi: 13 A. Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja 1, Cipta Loka Caraka, Jakarta 2004, 69. Gambar 4.7: Aklamasi salam pada Ritus Pembuka KA 67 Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pelog. Terjemahan syair aklamasi ini sebenarnya kurang tepat dengan teks asli pada Missale Romanum:I: Dominus vobiscum, U: Et cum spiritu tuo.Tetapi terjemahan bahasa Jawa ini tetap digunakan demi konteks budaya Jawa yang ada. Teks Latin ini diterjemahkan dengan metode ekuivalen dinamis dynamic equivalence 14 , yaitu dengan mengganti suatu unsur dari liturgi Ritus Romawi, dengan unsur dari budaya lokal yang memiliki makna atau nilai yang sama. Karenanya, sisi linguistik dari aklamasi liturgi Romawi ini diungkapkan kembali dengan pola pikir, cara berbicara dan ritual setempat. Penerjemahan ini dilakukan secara idiomatis, yaitu mementingkan makna kata dan padanan unsur yang ada pada budaya setempat. Kalimat et cum spiritu tuo diterjemahkan dengan kalimat kaliyan kula sadaya. Kata roh spiritus dalam budaya Jawa juga mengandung konotasi roh-roh yang bergentayangan, yang menghuni pohon dan batu-batu. Maka terjemahan pun lebih disesuaikan dengan budaya Jawa dan dengan liturgi itu sendiri. 14 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 37- 38.