Rangkuman DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI GEREJA

rencana keselamatan Bapa yang terlaksana melalui Putera-Nya dengan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah paskah. Berkat penebusan Yesus Kristus, Adam kedua, penciptaan diperbarui, diperbaiki dan disusun kembali. Inkulturasi musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dibagi dalam tiga dimensi, yaitu dimensi liturgi, dimensi ekklesiologis dan dimensi kristologis. Pertama, dimensi liturgi. Kriteria musik liturgi menurut dimensi ini adalah bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi, yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama. Kedua, dimensi ekklesiologis. Kriterianya adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Ketiga, dimensi kristologis. Kriterianya adalah bagaimana Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair dan lagunya.

BAB IV SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG

DALAM INKULTURASI MUSIK LITURGI Gereja telah membuka diri untuk adanya inkulturasi musik liturgi. Aturan- aturan pun sudah dibuat demi terjaminnya usaha inkulturasi tersebut, agar tidak menjauh dari tujuan musik liturg i, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman ” SC 112. Dengan musik pula, umat dapat “mengungkapkan doa- doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak ” SC 112. Seni membantu manusia untuk mengungkapkan doa dan pujian secara lebih mendalam, serta menjadi jalan masuk Gereja untuk mewartakan Kabar Sukacita. Pembicaraan mengenai inkulturasi tidak bisa dilepaskan dari dua sisi, yaitu isi iman dan bentuk pengungkapannya. Isi iman yang ingin disampaikan itu sama dan tidak berubah, sedangkan pengungkapannya itu dapat berubah-ubah sesuai dengan konteks budaya dan zaman yang dihadapi. Gamelan Jawa sebagai musik khas budaya Jawa, diangkat dan dijadikan sarana pengungkapan iman akan Misteri Paska. Isi yang ingin diungkapkan adalah pengalaman kasih Allah yang terwujud dalam karya keselamatan-Nya melalui diri Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. Sedangkan, bentuk pengungkapannya adalah melalui gending-gending Jawa yang secara khusus diciptakan untuk kepentingan liturgi Gereja. Menanggapi tawaran keselamatan dari Allah tersebut, manusia memuji dan menyembah Allah. Orang Jawa menyembah dan memuji Allah melalui gending Gereja. Tangga nada pelog dan slendro memang digunakan di dalam liturgi Gereja. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak. Seluruh gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada pelog. Buku lagu Kula Sowan Gusti yang berisi lagu-lagu Gereja karangan C. Hardjasoebrata pun seluruhnya bertangga nada pelog. Dari 547 lagu yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu bertangga nada pelog. Dengan begitu, 46,1 lagu di dalam Kidung Adi adalah lagu bertangga nada pelog. Lagu lainnya adalah lagu bertangga nada slendro 11,4, Gregorian 3,7, dan diatonis 38,8. Bertolak dari fakta tersebut, penulis ingin melihat peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Pembahasan akan dibatasi pada musik vokal yang menggunakan tangga nada pelog. Proses inkulturasi ini akan ditinjau dari peran dan maknanya di dalam liturgi Gereja.

4.1 Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi

Pembahasan mengenai peran musik dan nyanyian dalam liturgi harus menyangkut masalah musik dan nyanyian di dalam seluruh bidang liturgi. Bidang liturgi resmi Gereja adalah perayaan sakramen-sakramen, perayaan sabda, dan