Istilah Inkulturasi Inkulturasi Liturgi
kesempatan-kesempatan yang berbeda oleh para antropolog. Para teolog, misiolog, dan ahli liturgi pun meminjam istilah ini di dalam bidang mereka
3
. Akulturasi adalah proses pertemuan antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan lainnya, atau pertemuan antara dua kebudayaan. Pertemuan ini mengandalkan komunikasi yang berpijak pada sikap toleransi dan saling
menghormati. Namun, pertemuan ini terjadi hanya pada tataran permukaan saja dan sekadar menghasilkan penyejajaran ekspresi budaya yang berasal dari
berbagai asal-usul. Kendati demikian, akulturasi ini merupakan langkah awal dari inkulturasi. Memang yang dapat muncul adalah penyejajaran dari unsur-unsur
yang tidak berhubungan, namun biasanya penyejajaran ini berkembang pada asimilasi
4
. Asimilasi berasal dari kata simile dalam bahasa Latin, yang berarti mirip. Asimilasi adalah proses pemiripan, yaitu penyesuaian diri berhadapan
dengan situasi baru dengan meninggalkan sikap atau keadaan lama
5
. Istilah inkulturasi inculturatio mula-mula dipakai pada tahun 1959 dalam
missiologi oleh J. M. Masson, OMI. Pada tahun 19741975, para Yesuit menggunakan istilah tersebutdi dalam diskusi mereka pada Kongregasi Jenderal
yang ke-32. Pada tahun 1977, istilah ini masuk dalam dokumen sinode keuskupan Roma Ad Populum Dei Nuntius artikel 5, sebagai dokumen resmi Gereja. Dua
3
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, Pueblo, Collegeville 1992, 13.
4
Lih. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 27.
5
Seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 5.
tahun kemudian istilah ini dipakai dalam Catechesi Tradendae artikel 53, dan sejak saat itu istilah inkulturasi masuk dalam khazanah istilah magisterium
6
. Kata inculturatio dimaksudkan sebagai padanan kata Latin enculturatio.
Namun karena bahasa Latin tidak memiliki awalan “en”, maka awalan “in” lah yang digunakan. Sekadar perubahan imbuhan ternyata membawa pergeseran arti
yang besar
7
. Enkulturasi adalah istilah antropologis untuk sosialisasi, yang berarti proses belajar yang dilakukan seseorang, agar ia dapat diterima di dalam
budayanya
8
. George Herbert Mead, seorang ahli filsafat dan psikologi sosial di Amerika Serikat, berpendapat bahwa istilah enkulturasi adalah istilah antropologis
yang berarti suatu interaksi simbolis antara masyarakat, sikap mental dan pendidikan, sehingga terciptalah bentuk-bentuk kegiatan sosial tertentu
9
. Sedangkan, kata inkulturasi memiliki makna kata yang jauh berbeda dibandingkan
dengan enkulturasi, di dalam lingkungan teologis, liturgis dan misiologis
10
. Menurut Giancarlo Collet, inkulturasi adalah istilah antropologi budaya dan
teologi
11
. Ketika digunakan dalam liturgi, setiap istilah mengacu pada salah satu sisi dari hubungan antara liturgi dan kebudayaan
12
. Chupungco mengartikan inkulturasi sebagai proses di mana upacara
keagamaan pra-Kristen diberi arti Kristen. Struktur asli upacara keagamaan
6
Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper eds., Lexikon für Theologie und Kirche, V, Herder-Verlag, Freiburg 2006, kol. 504-505.
7
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity,and Catechesis, 25-26.
8
A. Shorter, seperti dikutip dalam Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26; lihat pula Karl-Edmund Prier, SJ., Roda Musik Liturgi, Pusat
Musik Liturgi, Yogyakarta 2011, 51.
9
Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper eds., Lexikon für Theologie und Kirche, VII, kol. 20.
10
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26.
11
Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper eds., Lexikon für Theologie und Kirche, V, kol. 504-505.
12
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 13.
tersebut tidaklah berubah secara radikal, tetapi diubah oleh Gereja sebagai sarana pengungkapan misteri Kristen. Akulturasi menyesuaikan budaya Romawi dengan
budaya baru dengan adanya perubahan-perubahan dan modifikasi. Dan, inkulturasi memasukkan unsur-unsur iman Kristiani ke dalam kebudayaan
tersebut
13
. Menurut Giancarlo Collet, inkulturasi adalah
proses ketika Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosial, politik, religius dan kultural tertentu sedemikian rupa, sehingga Injil tersebut
tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur situasinya saja, tetapi juga menjadi kekuatan yang menginspirasi, membentuk dan mengubah
situasi tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja universal
14
. Cakupan pembahasan inkulturasi tidak hanya terbatas pada bidang liturgi
dan ritus-ritus. Orang kadang memandang inkulturasi secara terbatas: penggunaan blangkon saat misa bahasa Jawa, penggunaan alat musik gondang Batak, adanya
tari-tarian sebagai pengiring persiapan persembahan, sudah dianggap sebagai inkulturasi. Padahal, inkulturasi lebih luas dari itu. Inkulturasi meliputi seluruh
pengungkapan, penghayatan dan perwujudan iman akan Kristus dalam seluruh segi kehidupan. Tidak hanya soal musik dan pakaian yang digunakan dalam
berliturgi, inkulturasi juga mencakup berbagai bidang kehidupan iman, baik itu persekutuan, perwartaan maupun pelayanan
15
. J. Theckanath membagi cakupan inkulturasi dalam beberapa bidang: inkulturasi teologi, pembaruan biblis,
13
Lih. Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, diterjemahkan dari Cultural Adaptation Of The Liturgy, oleh Komisi Liturgi KWI, Kanisius, Yogyakarta 1987, 104.
14
Giancarlo Collet seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 8; lihat pula E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 266.
15
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 2011, 5.
eklesiologis, spiritualitas, pendidikan imam dan religius, katekese dan liturgi
16
. Tidak hanya berhenti pada penggunaan unsur-unsur budaya setempat yang
digunakan untuk mengungkapkan iman Kristiani, inkulturasi juga menyangkut kekuatan iman yang menjiwai hidup seseorang sesuai dengan konteks zaman di
mana orang tersebut hidup
17
. Inkulturasi merupakan suatu keharusan yang dialami oleh agama Kristiani
maupun agama-agama lain
18
. Jika Gereja ingin berkembang dan menjadi tetap relevan bagi umatnya yang berasal dari berbagai kebudayaan, Gereja harus mau
terbuka dan memandang positif budaya setempat. Asas ecclesia semper reformanda Gereja harus senantiasa dipugar yang dapat diterapkan pada liturgi:
liturgia semper reformanda Liturgi harus senantiasa dipugar
19
, menjadi semangat dasar untuk berani terbuka terhadap budaya setempat dalam
hubungannya yang saling memperkaya. Hidup Gereja tidak akan mendapatkan gairahnya, jika liturginya tetap menjadi seonggok museum
20
. Budaya setempat disucikan dan menjadi sarana perjumpaan Allah dengan manusia; Gereja
memperoleh cara baru dalam mengungkapkan warta keselamatannya. Dalam pembicaraan mengenai inkulturasi, orang perlu membedakan antara
isi dan ungkapan iman
21
. Isi Injil yang merupakan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus yang terlaksana dalam sejarah,
16
Seperti dikutip dalam E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 6-9.
17
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 264-265.
18
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 1999, 80.
19
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 107.
20
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 107.
21
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 83.
diungkapkan dalam berbagai bahasa, pola pikir dan budaya tertentu
22
. Karya keselamatan Allah tersebut membutuhkan budaya tertentu, sehingga manusia
dapat menangkap dan merasakan pengungkapannya. Pedro Arrupe berpendapat:
manusia hadir dan bersinggungan dengan Sabda di dalam konteks budaya tempat ia hidup, dimana Yesus pun dapat memasuki budaya
tersebut. Ketika suatu komunitas terbuka pada Kabar Gembira sambil tetap memelihara budayanya, Gereja akan menjadi semakin otentik
dan diperkaya dengan nilai-nilai baru. Semangat berbagi di dalam hidup Kristus juga menjadi dasar bagi perjumpaan seluruh
kebudayaan
23
.