dari nada-nada tersebut
95
. Peranan akor kembali ditekankan, namun belum tentu dalam urutan tertentu. Musik Barat penuh dengan aksi dan tegangan. Ekspresi
krisis dan konflik ingin dicapai
96
. Ada antitesis yang menjadi jawaban atas tesis. Berbeda dengan musik Barat, musik Timur umumnya bertangga nada
pentatonis tangga nada lima nada dan heterofonis
97
, dengan dua macam pembagian, yaitu tangga nada pentatonis tanpa setengah laras dan tangga nada
pentatonis dengan setengah laras. Tangga nada slendro masuk dalam jenis pentatonis tanpa setengah laras, sedangkan tangga nada pelog masuk dalam jenis
pentatonis dengan setengah laras
98
. Musik pentatonis modal, dalam hal ini tangga nada slendro dan pelog,
memiliki ciri yang berbeda dari musik Barat. Musik pentatonis tidak dapat serta merta diaransemen menggunakan teknik aransemen musik tonal yang
mengutamakan keselarasan dan ketegangan antar nada melalui akor-akor. Pada dasarnya, musik pentatonis berjalan melangkah, sedangkan musik Barat berdasar
pada jarak antar nada. Tegangan-tegangan dan langkah interval diatonis menjadi ciri khas dari musik ini. Akor tidak main peranan, karena musik lebih
mengutamakan gerakan horisontal dari nada-nada. Akor-akor memang dapat terjadi, namun hanya berupa kebetulan dan sebagai akor peralihan
99
. Jika aransemen musik tonal dipaksakan, tidak diragukan lagi bahwa ciri khas musik
pentatonis modal akan hilang dan menjadi miskin. Para musisi perlu lebih
95
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
96
J. Kunst, The Music of Java, 1.
97
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 15.
98
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 82-83.
99
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
menyadari kekhasan masing-masing tangga nada untuk dapat menciptakan suatu musik yang sesuai dengan ciri khasnya.
Dalam gending Jawa, dapat ditemukan bentuk musik polifoni berupa heterofoni. Bentuk ini dapat ditemukan dalam imitasi antara vokal dengan rebab.
Ritmenya pun cenderung rumit dan berubah-ubah, kadang-kadang berbentuk heteroritmik
100
.
2.5 C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa
101
Proses masuknya gamelan Jawa ke dalam lingkungan Gereja, tidaklah mudah. Ada berbagai macam aspek kultural yang harus ditinjau kembali agar
gamelan Jawa dapat sungguh sejalan dengan liturgi Gereja. Tujuan utamanya adalah menciptakan suatu bentuk liturgi yang membumi dan berakar pada budaya
setempat. Orang akan sungguh merasa tersapa, jika mereka disapa melalui dan dengan bahasa mereka sendiri. Keterbukaan dan kesedian dari kedua belah pihak
untuk melakukan penyesuaian, sangatlah dibutuhkan. Budaya Jawa sangatlah terbuka terhadap perkembangan dan perubahan.
Kemungkinan untuk menciptakan gending Jawa yang dapat digunakan dalam peribadatan pun mulai dilihat. Orang Jawa ingin agar liturgi dan peribadatan yang,
100
J. Kunst, The Music of Java, 4.
101
Penjelasan subbab ini mengikuti penjelasan yang diberikan oleh Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 6-9.
pada sebelum Konsili Vatikan II diselenggarakan, terasa asing karena kurang dimengerti, menjadi bentuk perjumpaan yang sangat personal dan mendalam.
C. Hardjasoebrata melihat kesempatan pengembangan musik liturgi melalui melalui gending Jawa. Pada tahun 1925 ia mengarang lagu Atur Roncen, Sri Yesus
Mustikeng Manis, dan O Kawula Punika. Lagunya dibuat dari tangga nada pelog, dan syairnya diambil dari buku Rerepen Suci. Usahanya ini mendapatkan
tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka beranggapan, bahwa lagu-lagu ini murahan dan menjadi bentuk profanasi musik Gereja
102
. Pada masa itu, lagu- lagu baru memang jarang diciptakan, kecuali lagu-lagu dolanan
103
. Maka, lagu- lagu ciptaan C. Hardjasoebrata itu pun dianggap sebagai lagu dolanan. Lagu-lagu
ini sebenarnya dimaksudkan untuk kepentingan kebaktian sore salve, namun Br. Clementinus, yang mendukung kreasi C. Hardjasoebrata ini, memintanya untuk
melatihkan lagu-lagu tersebut pada paduan suara anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji
104
. Dalam kesempatan untuk menyambut Mgr. Van Velsen yang datang
berkunjung pada 31 Januari 1926, C. Hardjasoebrata dan kelompok paduan suara anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji yang dipimpinnya tersebut, menampilkan
ketiga lagu tersebut. Mgr. Van Velsen sangat menyukainya dan meminta gending- gending tersebut ditampilkan kembali. Tanggapan publik terhadap karya-karyanya
pun menjadi lebih antusias. Mereka yang awalnya tidak menerima gending baru tersebut, mulai mengakui bahwa gending-gending tersebut indah dan adi luhung.
Atas permintaan Br. Clementinus, Mgr. Van Velsen mengijinkan gending-
102
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7.
103
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8.
104
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7-8.