Pertama, dimensi liturgis. Gending Gereja bertangga nada pelog, mampu membantu manusia untuk mengungkapkan dirinya kepada Allah di dalam liturgi,
secara lebih mendalam. Demikian pula gending Gereja bertangga nada pelog yang bersumber dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi, menjadi konteks yang
menghadirkan Yesus Kristus sendiri katabatis. Melalui gending Gereja, umat menyembah dan memuliakan Allah. Rahmat keselamatan dari Allah ditanggapi
dengan segenap hati melalui nyanyian dengan syair berbahasa Jawa dan bertangga nada pelog anabatis.
Kedua, dimensi eklesiologis. Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Teknik
bermain gamelan bersama-sama juga mencerminkan sisi kebersamaan umat. Bahasa Jawa dan tangga nada pentatonis yang digunakan untuk gending Gereja,
hadir dari konteks hidup umat, sehingga mereka mengetahui dan memahami apa yang terungkap dan diungkapkan.
Ketiga, dimensi kristologis. Syair gending Gereja dapat memperjelas Misteri Kristus, karena diolah dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodi
gending Gereja yang menggunakan tangga nada pelog, dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan misteri iman yang sedang dirayakan. Tangga nada
pelog dari dirinya sendiri memadai untuk diolah menjadi gending Gereja dengan berbagai macam suasana.
BAB V PENUTUP
Musik gamelan Jawa adalah warisan tradisi yang bernilai seni tinggi. Sebagai salah satu unsur dari keluasan budaya Jawa, musik gamelan Jawa
mengalami inkulturasi yang menjadikannya gending Gereja. Usaha inkulturasi telah berbuah dan masih terus berjalan. Umat perlu menjaga warisan budaya
sekaligus harta Gereja ini, demi ungkapan iman yang mengena dan Kabar Sukacita yang semakin menyentuh hati umat Jawa.
5.1 Kesimpulan
Gamelan Jawa telah digunakan oleh agama Hindu dan Islam sebagai sarana pewartaan agama. Gereja juga melakukan penyesuaian yang serupa agar gamelan
Jawa dapat digunakan di dalam liturgi. Proses penyesuaian ini memang tidak mudah dan membutuhkan usaha yang keras. Gereja menetapkan kriteria tertentu
agar tujuan musik Gereja, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan umat
beriman” SC 112. Tidak sembarangan musik dapat diambil dan dijadikan musik liturgi. Yang profan tidak boleh dicampur adukkan dengan yang kudus.
Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat dipertahankan dan digunakan oleh Gereja bdk. SC
37. Gamelan Jawa tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat. Memang ada berbagai legenda dan mitos yang menyertai sejarah terbentuknya
instrumen dan tangga nada gamelan. Namun itu semua masih dapat dibuktikan secara historis dan ilmiah melalui bidang etnomusikologi, walaupun penjelasan
para ahli kebanyakan masih berupa hipotesis. Gamelan Jawa merupakan hasil dari kontak antara budaya Hindu yang berasal dari India dan budaya Jawa kuno, antara
Islam yang berasal dari daerah Timur Tengah dan Gujarat dan gamelan yang sudah terbentuk di Jawa pada abad 14-15. Melalui kontak yang terjadi ini,
instrumen gamelan dan bentuk gendingnya semakin diperkaya. Gamelan Jawa memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik Barat.
Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, dengan tiga pathet pada masing-masing tangga nada. Lagu-lagunya mengandalkan
tegangan-tegangan dan langkah-langkah diatonis. Akor-akor tidak main peranan karena musik gamelan Jawa lebih menekankan gerak horisontal nada. Musiknya
berbentuk heterofoni dengan ritme yang heteroritmik. Musik Jawa menuju pada tujuan akhir teleos. Ciri khas gending Jawa, baik
instrumental maupun vokal, adalah aksen pada suku kata terakhir. Dalam musik instrumental, permainan musik gamelan selalu menuju pada bunyi gong ageng.
Tanpa suara gong, permainan menjadi tidak lengkap, terasa menggantung, dan tanpa akhir. Para pemain alat yang lain akan menunggu bunyi gong terakhir
supaya mereka dapat memukul nada terakhir pada alat masing-masing. Pada