pemahaman positivis terhadap budaya. Model penerjemahan mengasumsikan adanya paralelisme antara budaya asing dan budaya setempat. Hal yang dilupakan
adalah bahwa suatu simbol budaya yang mau diterjemahkan sering memiliki latar belakang dan makna yang berbeda dengan budaya setempat. Kedua, teori biji dan
kulit. Model ini terlalu mengasumsikan bahwa isi yang diungkapkan dalam Kitab Suci itu mengatasi budaya, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari budaya lain
dan dapat langsung diterjemahkan ke dalam budaya lain. Metode ini melupakan kaitan antara isi dan ungkapan.
Dalam musik liturgi, metode penerjemahan ini ada dalam lagu-lagu Gregorian berbahasa Indonesia. Syair Latin dalam lagu Gregorian diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia
61
. Sebagai contoh, syair lagu Sanctus yang dalam bahasa Latin berbunyi
“Sanctus, sanctus, sanctus Dominus Deus Sabaoth. Pleni sunt coeli et terra gloria tua. Hosanna in excelsis. Benedictus qui venit in nomine
Domini. Hosanna in excelsis”, diterjemahkan dengan “Kudus, kudus, kuduslah
Tuhan Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu. Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau
di surga”.
61
PS 386.
3.1.4.3 Tahap Ketiga: Penyesuaian
Tahap ini sudah merupakan langkah inkulturasi yang lebih nyata dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya. Tahap penyesuaian ini disebut
dalam dua istilah, yaitu adaptatio dan accomodatio. Konsili Vatikan II menggunakan kata aptatio untuk juga mengartikan adaptatio atau accomodatio.
Kata adaptatio sendiri berasal dari kata ad dan aptare melengkapi, menyesuaikan. Chupungco membedakan aptatio dari accomodatio. Aptatio
adalah kuasa Konferensi Waligereja untuk melakukan kemungkinan- kemungkinan berdasarkan buku-buku yang resmi. Sedangkan, accomodatio
adalah penyesuaian yang dibuat oleh pemimpin ibadat berhadapan dengan keadaan, waktu dan jemaat tempat ibadat tersebut dilaksanakan, sesuai dengan
aturan-aturan yang terdapat dalam buku-buku resmi
62
. Konstitusi Liturgi artikel 37-39 mengatur tahap penyesuaian ini.
Penyesuaian dapat dilakukan sejauh sesuai “dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli” SC 37. Kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dapat
dilakukan dengan berbagai kelompok, daerah dan bangsa, asalkan kesatuan dengan Ritus Romawi tetap dipertahankan bdk. SC 38. Ritusnya tetap Ritus
Romawi, tetapi unsur-unsur budaya setempat sudah masuk dan mengalami penyesuaian. Dalam hal ini, para pemimpin Gereja yang berwenang memiliki hak
untuk membuat rincian penyesuaian-penyesuaian apa yang dapat dilakukan,
62
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 64; Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 23-24.
terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian bdk. SC 39. Contoh dari tahap ini
adalah diciptakannya musik liturgi dengan gaya daerah, misalnya gaya Batak, Jawa, Sunda, dan Flores.
3.1.4.4 Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam
Tahap keempat ini adalah tahap inkulturasi yang paling mendalam; oleh karena itu, tahap ini tidak mudah untuk dilakukan bdk. SC 40. Budaya setempat
adalah titik tolak inkulturasi yang sejati
63
. Melalui inkulturasi, unsur-unsur budayanya tetap, tetapi maknanya telah dibaptis oleh Injil Yesus Kristus
64
. Misteri iman kristiani diungkapkan melalui unsur-unsur budaya setempat. Yohanes
Paulus II dalam RM 54 menunjukkan dua prinsip proses inkulturasi: pertama, kesesuaian dengan Injil, dan kedua, persekutuan dengan Gereja semesta
65
. Inkulturasi perlu dilakukan dengan perlahan-lahan dengan melibatkan seluruh
umat Allah, karena umat beriman secara keseluruhan memiliki sensus fidei yang tidak bisa diabaikan RM 54
66
.
63
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 270.
64
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 36.
65
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37.
66
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37.