Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese

Gambar 4.7: Aklamasi salam pada Ritus Pembuka KA 67 Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pelog. Terjemahan syair aklamasi ini sebenarnya kurang tepat dengan teks asli pada Missale Romanum:I: Dominus vobiscum, U: Et cum spiritu tuo.Tetapi terjemahan bahasa Jawa ini tetap digunakan demi konteks budaya Jawa yang ada. Teks Latin ini diterjemahkan dengan metode ekuivalen dinamis dynamic equivalence 14 , yaitu dengan mengganti suatu unsur dari liturgi Ritus Romawi, dengan unsur dari budaya lokal yang memiliki makna atau nilai yang sama. Karenanya, sisi linguistik dari aklamasi liturgi Romawi ini diungkapkan kembali dengan pola pikir, cara berbicara dan ritual setempat. Penerjemahan ini dilakukan secara idiomatis, yaitu mementingkan makna kata dan padanan unsur yang ada pada budaya setempat. Kalimat et cum spiritu tuo diterjemahkan dengan kalimat kaliyan kula sadaya. Kata roh spiritus dalam budaya Jawa juga mengandung konotasi roh-roh yang bergentayangan, yang menghuni pohon dan batu-batu. Maka terjemahan pun lebih disesuaikan dengan budaya Jawa dan dengan liturgi itu sendiri. 14 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 37- 38. b Prefasi Prefasi bertujuan untuk menyatakan syukur. “Atas nama seluruh jemaat, imam memuji Allah Bapa dan bersyukur kepada-Nya atas seluruh karya penyelamatan atau atas alasan tertentu ” PUMR 79a. Prefasi selalu diakhiri dengan ajakan agar umat bersama para kudus dan semua malaikat memadukan suara untuk memuji Allah dan disambung dengan “Kudus” 15 . Sebagai bagian dari Doa Syukur Agung dan ungkapan syukur pada Allah, prefasi pada hakekatnya sendiri merupakan suatu nyanyian 16 . Lagu prefasi bertangga nada pelog yang diciptakan, digunakan baik untuk prefasi berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Gambar 4.8: Pola lagu 9 TPE 2005 Prefasi yang dinyanyikan dengan pola lagu pelog ini tentu saja harus diawali dengan dialog pembuka prefasi yang bertangga nada pelog juga. Tangga nada pelog pathet nem yang digunakan dalam pola lagu di atas diolah menjadi lagu prefasi yang hidup dan mencerminkan rasa syukur. Prefasi 15 Lihat teks-teks prefasi pada Konferensi Waligereja Indonesia, Tata Perayaan Ekaristi, Kanisius, Yogykarata 2005, 46-105. 16 Karl-Edmund Prier, SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2010, 20. adalah pujian dan syukur kepada Allah Bapa atas karya keselamatan-Nya atau atas alasan-alasan tertentu PUMR 79a. Maka dari itu prefasi memang perlu dinyanyikan secara hidup, dan penuh rasa syukur, agar hati umat dapat memuji dan bersyukur kepada Allah. c Anamnesis Anamnesis merupakan seruan atau aklamasi yang bertujuan untuk “mengenangkan Kristus, terutama sengsara-Nya yang menyelamatkan, kebangkitan-Nya yang mulia, dan kenaikan- Nya ke surga” PUMR 79e.Karena merupakan seruan, maka paling baik jika anamnesis ini dinyanyikan 17 . Anamnesis III adalah sebagai berikut: Gambar 4.9: Anamnese III KA 127 17 Karl-Edmund Prier, SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, 21. Suasana sabar dan sareh diciptakan melalui tangga nada pelog nem yang digunakan pada anamnesis III ini. Suasana tenang yang ingin diciptakannya ini sejalan dengan kekhidmatan yang dibutuhkan untuk mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.

4.1.1.6 Kesimpulan Perkembangan Historis

Proses inkulturasi peran tangga nada pelog di dalam liturgi secara historis telah melampaui tahap pengambil-alihan imposition dan penerjemahan. Tangga nada pelog telah sampai pada tahap penyesuaian dengan liturgi, dan dapat digunakan sebagai tangga nada untuk membentuk gending-gending Gereja. Perannya itu serupa dan dapat menggantikan tangga nada diatonis dan Gregorian yang selama ini telah digunakan untuk lagu-lagu liturgi, demi suatu bentuk penghayatan iman yang khas pribumi. Suasana yang timbul dari gending-gending Gereja, tergantung pada bagaimana tangga nada pelog itu diolah dalam ketiga pathet: lima, nem, dan barang.

4.1.2 Segi Komposisi

4.1.2.1 Syair Lebih Diutamakan

Syair dari musik liturgi harus dibuat secara serius dengan memperhitungkan isinya “yang selaras dengan ajaran Katolik, bahkan hendaknya ditimba dari Kitab Suci dan sumber- sumber liturgi” SC 121. Demikian juga gending-gending Gereja yang diciptakan harus bersumber dari Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi. Budi Santoso pernah menciptakan suatu lagu dengan inspirasi yang didapat dari homili seorang pastor. Kendati demikian, ia tetap mencari dasar bibilisnya 18 . Siswanto menekankan perlunya pengolahan syair dalam terang iman dan Kitab Suci . Ia mengatakan bahwa “jika iman pencipta tebal, apa yang dibacanya pasti mengena. Jika imannya kurang tebal, mungkin lagu-lagu itu akan kurang ber iman. Sebuah lagu tergantung pada si pembuat” 19 . Kedalaman dan penghayatan iman pencipta mempengaruhi kedalaman lagu yang diciptakan. Mengenai metode pembuatan syair, Siswanto berpendapat: Kalau sudah tahu betul-betul isinya kalimat itu, kita baru bisa membuat lagu itu dengan baik. Tapi kalau belum begitu menguasai betul-betul isinya itu, ya lagunya tidak akan mungkin baik. Ayat itu perlu benar-benar dimasak. Kalau sudah mantap ayat demi ayat, dan kata demi kata, barulah dibuat lagu. Membuat lagu itu demikian, kalimat demi kalimat, kata demi kata 20 . Teks-teks Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi direnungkan dan dikontekstualisasikan dengan keadaan masyarakat Jawa. Berdasar pada lokakarya- lokakarya musik liturgi yang telah dijalaninya, Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa teks- teks “Kitab Suci dicari, dan dicari apa artinya bagi masyarakat Jawa. Setelah itu syair b arulah dibuat” 21 . 18 Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. 19 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 20 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 21 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.