Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa

sebagai lokalisasi. Lokalisasi adalah proses materi-materi India yang cenderung diretak-retak dan diwujudkan kembali dalam konteksnya yang baru. Makna aslinya dikuras dan disesuaikan dengan sistem agama, sosial dan politik konteksnya yang baru. Fragmen-fragmen ini akan memiliki arti dalam suasana yang baru jika proses tersebut sudah tercapai 3 . Kerajaan Hindu-Buddha pada periode setelah abad ke-5, menjadi tempat berkembangnya kehidupan sosial, agama, politik, kesusastraan dan kesenian. Sistem tulisan dan puisi Hindu diadaptasi oleh budaya Jawa. Kawya, karya sastra dan nyanyian India, mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan Jawa, hingga muncul puisi kekawin Jawa. Isinya sesuai dengan kebudayaan Jawa, namun aturan metrisnya berciri India 4 . Pada periode selanjutnya, lagu-lagu baru sejenis dinamakan sekar ageng nyanyian luhur. Kekawin Jawa ini ditampilkan di kalangan bangsawan kerajaan 5 . Pengaruh Hindu dapat dibagi dalam dua periode, yaitu Hindu Jawa Tengah pada abad ke-9, dan Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15. Pada periode antara abad ke-11 sampai abad ke-14, pendidikan musik pertunjukan merupakan suatu keharusan bagi seluruh warga istana dan keluarga bangsawan. Seluruh warga istana dari berbagai macam strata sosial diharuskan untuk belajar kesenian tersebut. Seorang pangeran yang ideal tidak hanya dinilai dari 3 O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 7. 4 Dengan sedikit perkecualian, aturan metris pada kakawin sama dengan aturan pada kawya. Aturan-aturan tersebut dirumuskan sebagai berikut: satu bait stanza terdiri dari empat baris, dan setiap baris memiliki jumlah suku kata yang sama, serta dibentuk pada pola metris yang sama. Pada pola ini, jumlah setiap suku kata diatur berdasarkan kebutuhan di dalam baris; dan sebuah suku kata dihitung panjang pendeknya, jika suku kata tersebut diikuti oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir pada sebuah baris dapat panjang maupun pendek. P. J. Zoetmulder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus Nijhoff, Hague 1974, 102. 5 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 7, 17. ketampanannya saja, tetapi juga bagaimana ia memiliki keterampilan dalam hal seni 6 . Kemampuannya dalam seni dan musik dipertunjukkan dalam suatu acara hiburan bersama, dengan juga adanya penampilan dari para penyair kerajaan dan dayang-dayang. Musik menjadi sarana keakraban untuk para anggota dan abdi istana dari berbagai kedudukannya 7 . Data mengenai pengaruh Hindu Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai abad ke-10, sangatlah kurang. Beberapa candi dan monumen memang memberikan gambaran sekilas mengenai alat musik periode tersebut. Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra, menggambarkan adanya beberapa alat musik India kuno, yaitu seruling, gendang berbentuk kerucut, dan alat musik petik seperti lute, tetapi alat-alat ini sudah tidak ada lagi di Jawa. Memang ada alat musik yang menyerupai kethuk dan saron yang ada sekarang, tetapi kepastiannya masih perlu ditegaskan kembali 8 . Orang Jawa mengklaim bahwa musik gamelan sudah ada jauh sebelum periode Prambanan dan Borobudur 9 . Beberapa ahli memperkirakan bahwa absennya gamelan pada relief candi Borobudur dikarenakan alasan politis 10 . Pada masa itu, Jawa dikuasai oleh bangsa India. Maka, segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, termasuk alat musik, tidak boleh ditampilkan. Alasan ini masih perlu dibuktikan validitasnya, karena tidak ada data yang secara lengkap dan gamblang yang 6 P. J. Zoetmuder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, 152, 154. 7 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 19. 8 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359. 9 Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford University Press, Singapore-Oxford-New York 1986, 3-4. 10 Mantle Hood seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359. mengatakan bahwa Jawa pernah dijajah oleh India. Gagasan mengenai Asia Tenggara yang pernah dijajah oleh India, ditolak. Laporan sejarah lebih menunjuk pada proses Indianisasi yang menekankan kekuatan adaptasi lokal 11 . Periode Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15 diwarnai dengan kontak antara musik Jawa dan Bali. Hubungan tersebut sudah ada sejak abad ke-10, berlanjut pada masa Raja Erlangga di Kediri pada abad ke-12, dan memuncak pada masa Majapahit pada abad ke-14. Majapahit melakukan pengiriman barang dan mendirikan kerajaan-kerajaan Jawa di Bali. Bahasa Jawa kuno digunakan di Bali dengan penyesuaian-penyesuaian 12 , dan masih digunakan sampai saat ini, terutama dalam pertunjukan teater tradisional Bali berbentuk naratif maupun musikal 13 . Beberapa alat musik Jawa ditemukan di Bali. Gamelan Gambuh dan empat macam ansambel keramat yang terdiri dari selonding, caruk, gambang dan luang, berasal dari Hindu Jawa. Gamelan Gambuh yang memiliki tujuh nada merupakan kelanjutan dari musik Jawa Timur pada abad ke-12. Sistem tujuh nada memang digunakan pada abad ke-12, bahkan sebelumnya 14 . Bonang dan saron pada Gamelan Luang yang ada di Bali, sama dengan instrumen musik Jawa dengan nama yang sama. Teknik permainan yang dinamakan sekatian pun ada hubungannya dengan Sekaten, suatu jenis gamelan 11 O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359. 12 O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives, Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang 1982, 26. 13 Walis seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22. 14 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22. Jawa kuno 15 . Berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut, diambillah suatu kesimpulan bahwa instrumen musik Jawa yang dibawa ke Bali mengalami suatu penyesuaian sehingga sesuai dengan perasaan lokal 16 . Kontak kebudayaan antara Hindu Jawa Timur dan Bali terputus dengan datangnya Islam 17 . Kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa mulai surut karena adanya ekspansi Islam pada abad ke-15 melalui jalur perdagangan. Konflik antara para pedagang Islam dan bangsawan Hindu-Jawa mengakibatkan kemunduran pusat- pusat kerajaan Hindu seperti Majapahit 18 . Islam sudah masuk dan tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-12 dan abad ke-13. Masuknya Islam ke Indonesia tidak melalui jalan yang sama. Cerita mengenai orang suci dan para penyebar agama Islam dan tanah asal usul mereka sangat beragam 19 . Kenyataan yang pasti adalah, bahwa di Aceh, Sumatera Utara, para penguasa di beberapa kota pelabuhan penting sudah menganut Islam sejak paruh kedua abad ke-13. Pada masa itu, hegemoni politik di Jawa Timur masih dipegang oleh raja-raja beragama Hindu Syiwa dan Buddha di Kediri dan Singasari. Majapahit, yang berperan penting di abad ke-14, belum berdiri. Besar pula kemungkinan bahwa sudah ada orang-orang Islam yang menetap di Jawa pada abad ke-13. Penyebabnya adalah karena jalur perdagangan melalui pantai timur Sumatera melewati Laut Jawa menuju ke 15 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22-23. 16 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 23. 17 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 21. 18 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 24. 19 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta 1985, 18. kepulauan rempah-rempah di Maluku 20 , Indonesia bagian timur, sudah sejak lama ditempuh. Para pelaut, baik yang beragama Islam atau pun tidak, singgah di pusat- pusat permukiman di pantai utara Jawa 21 . Bandar-bandar di sepanjang laut Jawa juga menarik perhatian para pedagang karena tiga hal. Pertama, bandar-bandar di pantai utara Jawa merupakan pangkalan. Mereka membeli beras dan air sebagai perbekalan untuk berlayar selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan 22 . Kedua, bandar-bandar di pantai utara Jawa telah menjadi tempat penimbunan dan penjualan rempah- rempah. Para pelayar dapat membeli rempah-rempah di bandar tersebut, jika mereka datang pada musim yang tepat. Perkawinan campur antara para pedagang dengan kaum bangsawan daerah, pegawai-pegawai raja, atau anggota keluarga raja, dijadikan sebagai tanda jalinan relasi dan pendukung perdagangan 23 . Ketiga, bandar-bandar laut tersebut juga menjadi tempat kedudukan para pengusaha dan pemilik kapal. Mereka menyediakan kapal-kapal laut untuk perdagangan dengan daerah seberang lautan. Usaha ini membutuhkan modal yang sangat besar. Maka, dibutuhkanlah kerja sama antara pedagang dari golongan masyarakat yang bermodal kuat. Dalam pelayaran yang dilakukan, ada orang yang berasal dari berbagai tempat dan bahasa yang ikut menyusuri pantai-pantai Asia Tenggara, Kepulauan Indonesia dan India. Karena keragaman inilah Islam cukup lambat dalam melakukan perubahan-perubahan besar 24 . 20 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 24. 21 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 18-19. 22 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 24. 23 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 25. 24 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 26. Periode Islam-Jawa pada abad ke-15 sampai abad ke-17, menjadi periode transisi dan krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan terjadi bukan hanya karena peperangan antara pedagang Islam dan bangsawan Hindu, tetapi juga antara kalangan Islam sendiri 25 . Islam legalis dan Islam Jawa sinkretis-mistis saling bertentangan 26 . Keduanya mempertimbangkan pengaruh profan dari seni pertunjukan terhadap ajaran dan kehidupan religius mereka. Islam legalis cenderung menolak seni pertunjukan yang dapat mereduksi iman mereka. Sedangkan, Islam Jawa sinkretis-mistis menerima seni pertunjukan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Para Sufi Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya, mendukung adanya sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa. Contoh ini dapat dilihat dari digunakannya terbangan sebagai iringan pertunjukkan wayang dan slawatan 27 . Perpaduan antara ajaran Islam dan seni pertunjukan Jawa ini mengalami banyak perdebatan di dalam prosesnya. Ceritera wayang yang menggunakan keluarga Muhammad sebagai tokohnya, melanggar ajaran agama Islam 28 . Iringan musik terbangan pun tidak boleh dipergunakan sebagai iringan pertunjukan wayang. Sifat sakral dan profan tidak boleh dicampur-adukkan dalam suatu pertunjukan. Pertentangan antara tradisi lama dan baru menunjukkan perlunya para pemimpin agama Islam untuk merangkul tradisi lama demi perkembangan dan penyebarluasan agama Islam 29 . 25 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 25. 26 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 31. 27 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. 28 Serat Cabolek seperti dikutip dalam Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. 29 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. Budaya Jawa memang memiliki keterbukaan dan toleransi terhadap budaya lain. Namun, hal ini juga tergantung dari kondisi sosial-politik yang mewarnai proses keterbukaan dan toleransi dalam penerimaan unsur-unsur baru tersebut. Kendati orang Jawa sudah berinteraksi selama dua abad dengan Islam, keraguan dalam eksperimen penggabungan dua musik dari masing-masing budaya tersebut, tetaplah ada 30 . Keberhasilan penyebaran agama dan musik Islam didukung oleh adanya Islam Sufi. Sufisme berkembang pada pertengahan abad ke-9 dan masuk ke Indonesia melalui para pedagang Islam 31 . Sufisme adalah Islam mistik yang hidupnya menekankan sikap asketik 32 . Mereka lebih menekankan: hal-hal batiniah melebihi lahiriah, kontemplasi atas tindakan, pembinaan jiwa di atas interaksi sosial, dan perkembangan spiritual di atas aturan hukum 33 . Manusia dan Yang Transenden ada pada komunikasi langsung melalui intuisi dan pancaindera spiritual dan emosional 34 . Proses perkenalan dan diterimanya Islam mistik ini relatif tenang 35 . Para pedagang Islam yang datang ke Indonesia, telah terlebih dahulu mengalami kontak dengan Hinduisme di Gujarat, tempat asal mereka 36 . Keadaan ini mempermudah proses mereka diterima oleh orang-orang Jawa, karena orang- 30 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. 31 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35. 32 John L. Esposito eds., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Mizan, Bandung 2001, 222. 33 John L. Esposito eds., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, 223. 34 J. Spencer Trimingham seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35. 35 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35. 36 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 363. orang Jawa pun sudah mengalami kontak dengan Hinduisme dalam kurun waktu 11 abad sebelum Islam datang. Para Sufi berpandangan bahwa musik memiliki arti yang esensial untuk kebersatuan dengan Allah dan kebaktian agama. Musik dapat mengantarkan mereka pada keadaan ekstase. Pendekatan emosional untuk mencapai pencerahan agama religious enlightenment, ditekankan. Alasan inilah yang menyebabkan musik memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Islam 37 . Pada akhirnya, mereka tidak hanya menerima musik terbangan sebagai musik yang dapat membantu dan memiliki peran dalam kehidupan religius mereka, tetapi juga musik gamelan Jawa. Para pemimpin Sufi juga melihat kepentingan dan peran dari seni pertunjukan yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa. Salah satu contohnya adalah acara doa mingguan Islam pada setiap hari Jumat Jumungahan dan setiap hari kelahiran Pangeran Mangkunegara 38 . Dzikir dan musik terbangan tampil bergantian dengan pertunjukan non-Islam 39 : tari serimpi, tari bedhaya 40 , termasuk minum-minum dan judi 41 . Ritual yang dilakukan di kraton mengembangkan hubungan yang erat antara budaya Islam dan Jawa baik dalam konteks sekular maupun keagamaan 42 . Hiburan sekular dan aktivitas keagamaan adat Islam dan Jawa hidup berdampingan dengan relatif tidak bertentangan 43 . 37 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36. 38 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36. 39 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37. 40 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 38. 41 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39. 42 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37. 43 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39. Rebab juga masuk seiring masuknya Islam ke Indonesia. Rebab adalah alat musik gesek khas daerah Timur Dekat yang berkembang pada abad ke-8. Orang Arab membawanya ke daerah timur sejauh Indonesia, Afrika Selatan dan Spanyol 44 . Pada abad ke-15, rebab berkembang menjadi beberapa alat musik dengan jumlah senar yang bervariasi mulai dari satu sampai lima senar 45 , dan menjadi awal mula dari biola 46 . Rebab dipertimbangkan sebagai alat musik pemimpin yang membawakan nada inti di dalam musik gamelan. Wilayah nada rebab seluas wilayah nada alur lagu gending. Rebab slendro berwilayah dua oktaf dan dua nada, sedangkan rebab pelog berwilayah dua oktaf dan tiga nada 47 . Luas lagu gending juga tidak akan melebihi luas wilayah nada rebab ini. Rebab dapat digunakan pada tangga nada apapun, sesuai dengan kehendak para pemain rebab itu sendiri 48 . Karakter suaranya yang vokal dan melodis membedakannya dari suara alat-alat ritmis lain 49 , seperti bonang, slentem, kenong, demung, saron, dan peking. Pada kebanyakan gending, rebab berperan sebagai pemimpin dengan membuka gending, menentukan laras, dan pathet gending yang akan dimainkan. Rebab juga menuntun pergantian gending dari seksi yang satu ke seksi yang lain 50 . 44 Christine Ammer, The Facts of File Dictionary of Music, Facts on File, New York 2004, 333. 45 Michael Kennedy, The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press, Oxford 1980, 522. 46 Arthur Jacobs, The New Penguin Dictionary of Music, Penguin, London 1978. 47 Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, STSI, Surakarta 2002, 22. 48 “Nanging sajatosipun rebab punika kenging kangge raras punapa kemawon, miturut sakajengipun ingkang ngrebab.”, R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga Serat Saking Gotek Jilid I-IV, Agape, Sala 1990, 6. 49 Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, 23. 50 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 340-341. Hubungan Hindu dan Jawa tetap berlangsung melalui jalur perdagangan. Kebudayaan Hindu masih tetap dapat berjalan dan dihidupi karena Islam tidak serta merta dapat mengubah dan mempengaruhi budaya Hindu. Para penguasa Islam tampaknya telah mengenal budaya Hindu, karena mereka telah lama berada di bawah pengaruh budaya tersebut.

2.2 Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa

Gamelan Jawa memiliki dua sistem tangga nada, yaitu slendro dan pelog. Asal mula kedua tangga nada tersebut tidak dapat dirunut lebih jauh, karena kurangnya data historis. Beberapa ahli mencoba untuk meneliti asal mula dua tangga nada tersebut, terutama melalui keterkaitannya dengan konteks zaman. Jawaban-jawaban mereka pun masih berupa hipotesis. Kunst mengutip beberapa pendapat Raden Mas Surjaputra dan E. M. Von Hornbostel. Raden Mas Surjaputra berpandangan bahwa tangga nada pelog memiliki hubungan dengan tangga nada Hindustan, tapi pada lain waktu ia berpikir bahwa tangga nada ini adalah asli Jawa. Berdasarkan pemahaman umum yang diwarnai oleh mitos, tangga nada slendro adalah hadiah dari salah satu dewa Hindu. Tangga nada pelog merupakan hasil perubahan slendro yang dilakukan oleh tangan orang yang tidak sopan dan berani. Professor von Hornbostel, seorang etnomusikolog Jerman 51 , berpendapat bahwa kedua tangga nada tersebut berasal 51 Hornbostel, “Music of the Orient”, Diakses dari http:www.folkways.si.edumusic-of-the- orientcentral-asia-islamic-worldalbumsmithsonia. 12 Desember 2012. dari Cina, yang juga kemungkinan berasal dari tempat yang lebih jauh dan waktu yang lebih lampau, yaitu dari Turki di Asia Tengah 52 . Kunst menyatakan bahwa berdasar pada fakta historis yang dapat dilihat secara jelas, pelog datang lebih dahulu beberapa abad ke Jawa dan Bali dibandingkan dengan slendro. Pelog masuk ke Jawa melalui orang-orang Malay- Polinesian yang datang beberapa abad sebelum masehi. Perkembangan politik pun mendukung masuknya pelog ke Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Sedangkan, slendro masuk ke Jawa pada abad ke-8, saat dinasti Syailendra sedang berkuasa. Syailendra menurunkan namanya pada gamelan slendro. Kata Syailendra sama dengan kata slendro 53 . Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tangga nada slendro lebih tua daripada pelog. Ia sendiri tidak memberikan keterangan lebih lanjut dari pendapatnya tersebut. Namun, ia mengungkapkan bahwa tangga nada yang paling tua adalah tangga nada Barang-miring. Tidak ada gamelan untuk tangga nada ini, karena pada zaman tangga nada ini digunakan, belum ada orang Jawa yang dapat membuat gamelan. Mereka baru memiliki suling, gambang calung dan kendang 54 . Slendro memang sempat menggantikan pelog kuno, tetapi penemuan- penemuan saat ini memastikan bahwa keduanya, slendro dan pelog, digunakan oleh orang Jawa. Sebagai contoh, slendro digunakan untuk mengiringi Wayang Purwa; sedangkan, pelog digunakan untuk seni-seni bernuansa pra-Hindu, atau 52 J. Kunst, The Music of Java , Koninklijke Vereeniging „Koloniaal Instituut‟, Amsterdam 1973, 2-3. 53 J. Kunst, The Music of Java, 2. 54 Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936, 52.