Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi

terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli SC 37. SC 37 didasarkan pada ensiklik Summi Pontificatus yang ditulis oleh Paus Pius XII 42 . Artikel ini berusaha untuk tetap menjaga ketegangan antara melakukan pembaruan secara wajar dan pelestarian secara sehat. Bahaya yang mungkin muncul dengan adanya pembaruan adalah semakin dibatasinya ritus Romawi. Ada kemungkinan bahwa ritus Romawi digantikan dengan ritus lokal, dan ritus Romawi dipandang sebagai kenangan masa lalu. Perubahan dan pembaruan semacam itu dapat menghancurkan ritus Romawi itu sendiri 43 . Padahal, inkulturasi tidak menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru, tetapi untuk “menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi” LRI 36. Gereja memang harus mengusahakan kesatuan di dalam tubuhnya, tetapi bukan hanya kesatuan lahiriah semata 44 . Kesatuan lahiriah demi kesatuan iman bukanlah suatu asas dasar yang harus terus dipegang ketika penyesuaian liturgi ingin dilakukan berhadapan dengan bermacam-macam jemaat, bangsa-bangsa dan daerah. Persatuan jemaat regional juga perlu dipertimbangkan. Keseragaman memang tetap dibutuhkan, tetapi dalam kadar tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi jemaat, bangsa dan daerah setempat 45 . 42 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 59. 43 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 61. 44 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 60. 45 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62. Dalam SC 37, Gereja sungguh menghargai kebudayaan setempat. Kebudayaan yang merupakan kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku bangsa, dipelihara dan dimajukan. Sebagaimana Yesus yang menjadi manusia dan hadir dalam kebudayaan, pola pikir dan tradisi tertentu, Gereja pun perlu hadir dan membumi di dalam budaya setempat. Budaya setempat disucikan dan menjadi sarana pertemuan Allah dengan manusia. Kriteria tertentu diungkapkan untuk memasukkan unsur-unsur tradisi bangsa lain ke dalam liturgi 46 . Syarat pertama adalah apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat. Syarat kedua adalah sejauh adat kebiasaan para bangsa tersebut sesuai dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli. Kesulitan utama yang ditemukan adalah dalam menentukan apakah suatu unsur masuk dalam takhyul atau ajaran sesat, atau tidak. Penentuan ini sulit, karena barangkali unsur yang dianggap sebagai takhyul itu adalah suatu bentuk ungkapan iman yang tulus dan polos 47 . Sulit untuk menentukan batas antara takhyul dan iman. Kendati demikian, kesulitan ini tidak boleh menghilangkan perlunya usaha untuk permurnian dan penilaian kritis terhadap kepercayaan setempat. Adanya takhyul dalam kehidupan masyarakat pun tidak membuat Gereja serta merta menolak kepercayaan masyarakat 48 . Dengan bimbingan Roh Kudus, Gereja mempertimbangkan untuk membedakan unsur-unsur budaya kafir yang tidak sesuai tradisi rasuli, dan yang tidak menyimpang dari Injil keselamatan bdk. LRI 16. 46 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62. 47 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62. 48 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 63. LRI 47 menekankan, bahwa liturgi adalah ungkapan iman dan kehidupan Kristen, maka inkulturasi liturgi perlu dijamin bersih atau tidak dinodai oleh sinkretisme keagamaan, meski hal itu hanya pada tataran lahiriah. Bentuk sinkretisme ini terjadi saat tempat-tempat ibadat, peralatan dan busana liturgi, tata gerak dan sikap badan yang ada setelah inkulturasi, memberi kesan seakan-akan memiliki arti yang sama seperti saat penginjilan belum terjadi. Bahkan, sinkretisme akan menjadi lebih jelek lagi jika doa-doa, bacaan Kitab Suci dan nyanyian-nyanyian diganti dengan kata-kata dari agama lain, biarpun itu semua memiliki isi moral dan religius yang kita terima. Konstitusi Liturgi artikel 38 mengungkapkan: Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah- daerah Misi, juga bila buku-buku Liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacara- upacara dan penataan rubrik-rubrik. Artikel 38 membicarakan mengenai penyesuaian yang sah dalam ritus Romawi 49 . Memang artikel ini belum menyebutkan secara jelas apa yang dimaksud dengan “kesatuan hakiki ritus Romawi”. Tetapi, artikel 39 akan menjelaskan kesatuan hakiki ini sebagai ritus yang diatur dalam “batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku- buku liturgi”. Kesatuan hakiki diatur oleh Konferensi Waligereja melalui buku-buku resmi liturgi. Penyesuaian litugi hendaknya dilakukan pada pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi. Daerah misi mendapatkan prioritas 49 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 63. perlu adanya penyesuaian. Tapi, tidak berarti bahwa daerah non-misi tidak perlu mengalami penyesuaian. Masing-masing kategori komunal tersebut memiliki budaya masing-masing yang unik. Satu daerah dengan daerah lain memiliki perbedaan. Penyesuaian dimungkinkan pada daerah-daerah tersebut, bahkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain. Kendati demikian penyesuaian tetap perlu memperhatikan kontras antara daerah. Jangan sampai terjadi perbedaan yang terlalu mencolok antara dua atau lebih daerah yang letaknya berdekatan SC 23. Konstitusi Liturgi artikel 39 menyatakan: Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku- buku Liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 2, berhak untuk memerinci penyesuaian- penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam institusi ini. Pemimpin Gereja setempat berhak membuat rincian penyesuaian- penyesuaian, sejauh sesuai dengan kaidah-kaidah dasar. Penyesuaian perlu dilakukan karena upacara harus sesuai dengan situasi kehidupan nyata, tidak hanya terbatas pada dari mana ritus baru itu berasal. Memang dua hal ini belum dapat dipisahkan. Ritus menjadi suatu tanda yang hampa, jika ritus tersebut terpisah dari realitas. Liturgi menjadi kosong dan tanpa buah 50 . Penyesuaian itu bukan berarti bahwa suatu upacara dilucuti hingga hanya tersisa unsur-unsur yang hakikinya saja bdk. LRI 25. Kecenderungan yang ada 50 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 65. sekarang adalah melakukan penyesuaian dengan hanya memperhatikan hal-hal yang hakiki, sehingga liturgi dirasa menjadi lebih singkat, praktis dan lancar. Ini bukanlah kaidah dasariah yang digunakan untuk penyesuaian liturgi 51 . Melalui penyesuaian, tradisi liturgi Gereja diungkapkan kembali ke dalam dan dengan bahasa umat setempat 52 . Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip yang hakiki, penyesuaian tetap dilakukan agar Gereja dapat terus hidup. Konsili Vatikan II menyatakan dalam Sacrosanctum Concilium artikel 40: Akan tetapi, di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian Liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka: 1. Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22 2, dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat Ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. 2. Namun, supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya maka Takhta Apostolik akan memberikan wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk –bila perlu- dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan. 3. Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitan- kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka, dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan. Artikel ini menunjukkan betapa mendesaknya penyesuaian Liturgi perlu dilakukan. Daerah-daerah misi menjadi pokok perhatian karena kemendesakan penyesuaian liturgi ini berhadapan dengan kebudayaan setempat. Kendati 51 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 65. 52 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 66. demikian, penyesuaian di daerah-daerah non-misi tidak bisa diabaikan. Permasalahannya pun tidak lebih sederhana daripada daerah misi. Penyesuaian liturgi dapat dilakukan dengan langkah-langkah yang termuat dalam tiga alinea dari artikel 40 ini. Alinea pertama menyatakan bahwa pemimpin Gereja setempat mendapatkan wewenang untuk menentukan secara tekun dan bijaksana, unsur-unsur dan kekhasan dari tradisi setempat yang dapat masuk ke dalam ibadat suci. Artikel 37 mengatur kriteria unsur dan kekhasan yang dapat dimasukkan ke dalam liturgi suci. Selanjutnya, unsur-unsur dan kekhasan tersebut diajukan pada Takhta Apostolik untuk mendapatkan pengesahan. Sejauh disahkan oleh Takhta Apostolik, unsur-unsur tersebut dapat digunakan dalam ibadat suci. Alinea kedua membicarakan mengenai wewenang yang diberikan oleh Takhta Apostolik kepada pemimpin Gereja setempat, untuk melakukan eksperimen di wilayah dan waktu yang terbatas. Gereja ingin menghindari penyesuaian yang sembarangan dan tidak mendalam. Nuansa kehati-hatian pun tampak jelas dalam alinea ini. Alinea ketiga menunjukkan betapa pentingnya kajian interdisipliner dalam penyesuaian liturgi. Tidak bisa tidak, Gereja melibatkan para ahli bidang eksegese, antropologi, sosiologi, psikologi, seni dan bahasa 53 . “Usaha yang sabar dan kompleks ini membutuhkan penyelidikan ilmiah dan pengamatan yang terus- menerus. Inkulturasi hidup kristen dan inkulturasi perayaan-perayaan liturgi harus merupakan buah dari kematangan iman umat yang terus berkembang” LRI 5. 53 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 68-69. Artikel 40 meletakkan tanggung jawab besar pada pundak para pemimpin Gereja setempat untuk mengatur dan menjaga jalannya proses penyesuaian, karena betapapun mendalamnya inkulturasi, liturgi tidak dapat berjalan tanpa pengaturan dan pengawasan dari mereka yang diberi tanggung jawab mengenai hal ini di dalam Gereja bdk. LRI 27. Merekalah yang mengetahui situasi dan kondisi Gerejanya, mengambil inisiatif untuk merencanakan dan memimpin penyesuaian 54 . Diandaikan bahwa mereka telah memanfaatkan kemungkinan- kemungkinan penyesuaian yang ditawarkan oleh buku-buku liturgi, serta membuat evaluasi dan revisi atas penyesuaian yang telah dilakukan, sebagai dasar untuk melangkah ke penyesuaian yang lebih mendalam bdk. LRI 63.

3.1.4 Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi

Ada berbagai macam pendapat dari para ahli mengenai tahap-tahap inkulturasi. Berikut ini adalah empat tahap inkulturasi menurut P. Schineller 55 : 54 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 68. 55 P. Schineller seperti dikutip dan dijelaskan oleh E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268-271.

3.1.4.1 Tahap Pertama: Pengambil-alihan Imposition

56 Tahap pengambil-alihan atau imposition sebenarnya belum masuk dalam tahap inkulturasi liturgi. Imposition adalah bahwa teks ajaran atau liturgi asing dengan begitu saja diambil dan digunakan secara utuh tanpa proses penerjemahan terlebih dahulu, oleh orang dari budaya tertentu. Tahap ini tetap dimasukkan dalam tahap inkulturasi, karena, paling tidak, orang yang menghayati tersebut berasal dari budaya lain dan ia menghayati liturgi tersebut menurut hati dan jiwa mereka sendiri. Sebagai contoh, orang Indonesia merayakan Misa berbahasa Latin atau Inggris. Kendati orang tersebut dapat hadir dan mengikuti Misa dengan baik, penghayatannya tetaplah berbeda dengan orang Latin atau Inggris asli dalam menghayatinya. Ada latar belakang budaya yang tidak dapat dilepaskan dan dihilangkan. Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa tahap pengambil-alihan ini merupakan tahap pendahuluan dari inkulturasi. Belum ada penyesuaian yang terjadi, kendati unsur dari budaya yang satu sudah digunakan di dalam budaya yang lain. Inkulturasi memiliki unsur kreativitas yang memunculkan hal-hal baru hasil penyesuaian kedua budaya. Sekadar memindah tanpa perubahan suatu unsur budaya untuk digunakan di dalam budaya lain, baru merupakan langkah 56 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268; E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 32-33.