Syair Lebih Diutamakan Segi Komposisi

Suci dan sumber- sumber liturgi” SC 121. Demikian juga gending-gending Gereja yang diciptakan harus bersumber dari Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi. Budi Santoso pernah menciptakan suatu lagu dengan inspirasi yang didapat dari homili seorang pastor. Kendati demikian, ia tetap mencari dasar bibilisnya 18 . Siswanto menekankan perlunya pengolahan syair dalam terang iman dan Kitab Suci . Ia mengatakan bahwa “jika iman pencipta tebal, apa yang dibacanya pasti mengena. Jika imannya kurang tebal, mungkin lagu-lagu itu akan kurang ber iman. Sebuah lagu tergantung pada si pembuat” 19 . Kedalaman dan penghayatan iman pencipta mempengaruhi kedalaman lagu yang diciptakan. Mengenai metode pembuatan syair, Siswanto berpendapat: Kalau sudah tahu betul-betul isinya kalimat itu, kita baru bisa membuat lagu itu dengan baik. Tapi kalau belum begitu menguasai betul-betul isinya itu, ya lagunya tidak akan mungkin baik. Ayat itu perlu benar-benar dimasak. Kalau sudah mantap ayat demi ayat, dan kata demi kata, barulah dibuat lagu. Membuat lagu itu demikian, kalimat demi kalimat, kata demi kata 20 . Teks-teks Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi direnungkan dan dikontekstualisasikan dengan keadaan masyarakat Jawa. Berdasar pada lokakarya- lokakarya musik liturgi yang telah dijalaninya, Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa teks- teks “Kitab Suci dicari, dan dicari apa artinya bagi masyarakat Jawa. Setelah itu syair b arulah dibuat” 21 . 18 Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. 19 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 20 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 21 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Kitab Suci menjadi sumber utama, karena Kitab Suci memuat Injil yang intinya adalah perwartaan kabar keselamatan yang dilakukan Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus, bagi manusia. Misteri iman akan Kristus ini dihayati di dalam liturgi dalam berbagai macam bentuk. Secara lebih jelas, buku-buku lagu telah menyediakan lagu-lagu yang sesuai dengan misteri iman yang dirayakan di dalam liturgi. Kidung Adi memuat nyanyian-nyanyian tematis, seperti mangsa Adven, mangsa Prapaskah Pasa Pamartobat, Sangsara Dalem, upacara Minggu Adi Minggu Palem, Kemis Putih, Jemuah Adi, Minggu Paskah, Mekrad Dalem, Pentakosta, Syukur, Yesus Kristus, Gereja Tugas Sosial, Maria, Para Suci, dan wanci dalu. SC 112 mengungkapkan secara tegas, bahwa “tradisi musik Gereja Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral ”. Kata-kata mendapatkan penekanan yang lebih, karena kemampuannya untuk menjadi media pewartaan ajaran iman.

4.1.2.2 Tangga Nada Pelog Diutamakan

Ada beberapa pendapat mengenai penggunaan tangga nada pelog di dalam liturgi. Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis dalam dua bentuk, yaitu slendro dan pelog. Masing-masing tangga nada memiliki sifat khas dan kegunaannya masing-masing. Teori mengenai tangga nada slendro dan pelog sudah dijelaskan pada bab II. Mengenai tangga nada slendro, Karl-Edmund Prier berpendapat: Itu musik yang unik, dalam arti tidak ada pegangan-pegangan yang biasa kita pakai dengan do-re-mi itu. Tetapi nada-nada adalah tengah- tengah itu. Sehingga, cara mendengar musik gamelan slendro itu berarti melepaskan pegangan seperti do-re-mi. Dengan demikian terjadilah: kita melepaskan pegangan-pegangan yang selalu kita pakai dengan mengukur-ukur, dan kita mulai melayang-layang. Menurut hemat saya, itu sangat cocok untuk berjumpa dengan Tuhan: dengan melepaskan diri, melepaskan pegangan-pegangan kita. Menemukan Tuhan justru di situ, ketika kita melepaskan pegangan-pegangan kita 22 . Tangga nada slendro tidak bisa begitu saja disejajarkan atau diukur dengan menggunakan skala diatonis. Ada perbedaan interval yang menjadikan tangga nada slendro dan diatonis akan mengalami selisih jika disejajarkan. Ukuran- ukuran diatonis yang biasa digunakan tidak dapat secara mutlak digunakan, dan bahkan lebih baik dilepaskan untuk dapat menyanyikan lagu-lagu slendro sebagaimana mestinya. Oleh Karl-Edmund Prier, usaha melepaskan pegangan- pegangan diatonis ini dimaknai sebagai melepaskan diri dan pegangan-pegangan manusiawi untuk dapat mencari-cari dan menemukan Tuhan. Manusia menyembah dan memuliakan Allah, sebagai tanggapan atas karya keselamatan yang ditawarkan-Nya. Sejalan dengan Karl-Edmund Prier, Siswanto dan Budi Santoso juga berpendapat bahwa tangga nada slendro itu sulit untuk dinyanyikan. Siswanto 22 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.