Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan pada Era Reformasi

dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya runtuhlah Orde Baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Pelaksanaan demokrasi Pancasila masih belum sesuai dengan jiwa dan semangat, ciri-ciri umumnya. Hal itu terjadi karena presiden begitu dominan baik dalam supra struktur maupun dalam infra stuktur politik. Akibatnya banyak terjadi manipulasi politik dan KKN yang telah membudaya, sehingga negara Indonesia terjerumus dalam berbagai krisis yang berkepanjangan.

7. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan pada Era Reformasi

Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme UUD 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan di antara lembaga- lembaga negara. Penyelenggaraan negara semakin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan. Semua itu ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan presiden berlebihan yang melahirkan budaya kurupsi, kolusi dan nepotisme sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil presiden Prof. Dr. BJ. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan tuntutan jaman. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Baru terjadi selain karena moral penguasanya, juga memang terdapat berbagai kelemahan yang terkandung dalam pasal- pasal UUD 1945. Oleh karena itu selain melakukan reformasi dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui perubahan perundang-undangan, juga diperlukan amandemen UUD 1945. Sejumlah UU politik telah diperbarui pada tahun 1999 dan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya untuk mengawal jalannya reformasi yakni: a UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 31 Tahun 2002. b UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang kemudian juga diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Selanjutnya juga hadir UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. c UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, selanjutnya diganti dengan UU No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. d UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan telah diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004 yang didalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila pada era reformasi ini, telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik maupun lembaga negara DPR untuk mengawasi pemerintahan secara kritis, dan dibenarkan untuk berunjuk rasa, beroposisi maupun optimalisasi hak-hak DPR seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif dan amandemen. BAB III ASAS-ASAS PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA A. Pendahuluan Mengkaji hubungan antara pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah, dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia senantiasa memiliki daya tarik tersendiri. Hal ini membuktikan bahwa masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan oleh karena itu berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat, terus dikaji. Diharapkan jika telah ditemukan format ideal dan tepat, maka hubungan itu dapat menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Muhamamad fauzan, 2006: 1. Sejarah ketatanegaraan RI menunjukkan bahwa sebelum UUD 1945 diamandemen, persoalan hubungan antara Pusat dan Daerah sangat tidak jelas. Hal ini disebabkan Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya yang merupakan landasan hukum mengenai pemerintahan daerah, bukan hanya terlalu sederhana, tetapi juga tidak memberikan arahan yang jelas mengenai bagaimana hubungan antara Pusat dan daerah itu dilaksanakan. Berdasar ketentuan pasal 18 UUD 1945, tidak terlalu jelas dengan cara dan proses bagaimanakah hubungan antara Pusat dan Daerah itu dilaksanakan. Namun demikian, setidaknya dapat diketahui secara pasti bahwa wilayah Negara Kesatuan RI akan dibagi dalam daerah besar dan daerah kecil, yang dalam implementasinya yang dimaksud dengan daerah besar adalah provinsi, daerah kecil adalah kabupatenkota dan satuan wilayah lainnya. Hal lain yang dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 18 UUD 1945, adalah bahwa negara RI adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Penentuan pilihan sebagai negara kesatuan dengan sistem desentralistik inilah yang membawa konsekuensi adanya urusan-urusan pemerintahan yang harus didelegasikan kepada satuan pemerintahan yang lebih kecil. Atau dengan perkataan lain pilihan tersebut menjadi titik pangkal keharusan adanya pengaturan yang jelas mengenai hubungan antara Pusat dan Daerah. Pembagian urusan, tugas dan fungsi serta tanggung jawab antara Pusat dan Daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan pemerintahan diselenggarakan oleh Pusat saja. Pengakuan tersebut memberikan peluang kepada Daerah untuk berusaha mengatur dan mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan demikian pengaturan mengenai hubungan pusat dan daerah, merupakan permasalahan yang memerlukan pengaturan yang baik, komprehensif dan responsif terhadap tuntutan kemandirian dan perkembangan daerah. Sejarah juga mencatat, bahwa hubungan antara Pusat dan Daerah sangat dipengaruhi oleh adanya tarik menarik antara kepentingan Pusat yang cenderung sentralistik dan tuntutan Daerah yang menghendaki desentralistik. Keadaan tersebut berakibat timbulnya ketidak serasian hubungan antara Pusat dan Daerah. Dengan dikeluarkannya UU No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, berarti sampai saat ini telah ada tujuh UU yang mengatur pemerintahan daerah. Ketujuh UU tersebut adalah: a. UU No.1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional daerah. b. UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan daerah c. UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. d. UU No. 18 Tahun 1966 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah. e. UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di daerah. f. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. g. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

B. Dasar Pemikiran Perlunya Otonomi Daerah

Sesuai dengan amanat UUD 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatian prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia UU N0. 322004. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas- luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-lusnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UU ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. UU N0. 322004. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan keawjiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. UU N0. 322004.