Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Antara Tahun 1945-1950 Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Masa Demokrasi Liberal 1950-1959

3. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Antara Tahun 1945-1950

Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia, padahal UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik, yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, maka kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini. Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak ditangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara. Disaat bangsa Indonesia sedang menghadapi aksi-aksi Belanda, PKI melancarkan penikaman dari belakang kepada pemerintah RI yang sah. Akibatnya beribu-ribu orang yang tidak berdosa menjadi korban keganasan politik dan ambisi golongan yang tidak bertanggung jawab. Untunglah hal itu dapat segera dikendalikan, dengan kesigapan pemimpin ABRI.

4. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Masa Demokrasi Liberal 1950-1959

Sejak tanggal 17 Agustus 1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, maka berlakulah UUD Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949. Negara menganut sistem pemerintahan parlementer, dimana para menteri bertanggung jawab kepada badan legislatif parlemen. Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyaknya bermunculan partai- partai politik. Persaingan secara terbuka antar partai sangat kentara dalam panggung politik nasional, masing-masing berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Sehingga dalam Pemilu yang pertama sejak Indonesia diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan berjalan, akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi Ukasah Martadisastra, 1987:144. Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satupun partai yang menang secara mayoritas mutlak. Sehingga efek negatifnya dalam kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo waktu sesingkatnya, karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen, sehingga bubarlah kabinet. Akibat selanjutnya program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan. Menurut Prof. Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata Negara, dasar- dasarnya, memang sudah menjadi pandapat umum di dunia sampai sekarang ini bahwa adanya partai politik dalam negara negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Tetapi dengan partai yang begitu banyak tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas dalam jalannya pemerintahan. Melihat kenyataan itu pengaruh terhadap sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, dimana didalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai. Demokrasi politik dipakai alasan untuk tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan. Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidak mampuan dari Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antar partai politik dari golongannya. Sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Sehingga Presiden Soekarno selaku Kepala Negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan,serta kembalinya ke UUD 1945, yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi.

5. Mengkritisi Pelaksanaan Pemerintahan di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin Orde Lama