menunujukkan kuatnya keinginan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai sosial-budayanya.
Sesuatu yang menarik, gambaran keinginan yang kuat dari masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta tampak dalam
antusiasme masyarakat Yogyakarta dalam pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah pada tahun 1998. Saat proses pemilihan gubernur pada tahun 1998 diwarnai dengan
pelantikan sultan sebagai Gubernur oleh rakyat melalui forum yang dikenal dengan nama Sidang Rakyat Yogyakarta. Hal yang sama juga terjadi pada proses pemilihan wakil
gubernur pada tahun 2001. Dengan demikian semakin jelas bahwa sangat besar keinginan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta
sebagaimana telah diatur dalam UU No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain itu kedekatan rakyat terhadap keraton dan kadipaten tampak pada antusiasme masyarakat yogyakarta menghadiri Pisowanan Agung yang berlangsung
menjelang tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, yang berujung demonstrasi dengan difasilitasi oleh keraton dan kadipaten sebagai upaya menyuarakan kekecewaan terhadap
rezim Orde Baru. Antusiasme rakyat terhadap keraton dan kadipaten pun terjadi pada tanggal 18
April 2007 menjelang pernyataan Sultan HB X yang tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY pasca selesai jabatannya tahun 2008. Melalui Pisowanan Agung tersebut,
masyarakat yogyakarta berharap bisa secara langsung mendengarkan penjelasan dari sultannya. Dukungan masyarakat Yogyakarta terhadap status keistimewaan Yogyakarta
juga tampak pada beberapa aksi massa yang digelar oleh masyarakat yogyakarta menjelang sabda sultan, 7 April 2007 lalu. Dengan demikian, semakin jelas bahwa
antusiasme masyarakat Yogyakarta sangat besar untuk mempertahankan dan memperjuangkan status keistimewaan Yogyakarta.
4. RUU Keistimewaan DIY versi Pemda DIY, versi UGM, versi DPD
RUU keistimewaan DIY dari Tim Perumus Pemda terdiri dari 43 pasal, mempunyai jiwa dan maksud untuk menggabungkan secar proporsional otonomi seluas-
luasnya yang dikandung UU no. 221999 dengan keistimewaan DIY. Pasal 122 UU No.
221999 sendiri telah menjamin dengan mengakui keistimewaan Provinsi DIY, RUU Keistimewaan DIY melihat empat aspek meliputi struktur organisasi pemda, aspek
personalia dan wilayah, budaya jawa umumnya dan Yogyakarta pada khususnya, serta pertanahan. Dari segi personalia, UU No. 31950 memberi kedudukan secara istimewa
HB IX sebagai gubernur seumur hibdup dan sampai saat ini belum dihapus alias masih berhak. Atas dasar pertimbangan UU tersebut sudah menjiwai rakyat DIY, harapan sultan
sebagai panutan dan kiblat rakyat pada keraton masih besar. Jadi, jangan sampai Sultan tidak jadi gubernur. Sultan menjadi Gubernur DIY dengan 3 syarat: disetujui keraton,
memenuhi persyaratan yang diminta UU No. 221999, dan disetujui DPRD Provinsi. Selainitu masih ada dua alternatif personalia. Alternatifnya, seandainya Sultan
tidak memenuhi syarat atau tidak bersedia, maka yang diangkat sebagai gubernur adalah keturunan ke bawah sampai derajat kedua anak-cucu, atau ke samping sampai derajat
kedua adik, kakak, keponakan. Kemudian apabila alternatif pertama dan kedua tidak ada, barulah kita mengambil mekanisme pemilihan kepala daerah alias kita
menangggalkan keistimewaan DIY seperti provinsi lain yang diatur UU No. 221999. Disebutkan pula bahwa RUU ini juga membatasi jabatan 5 tahun sampai 2 kali
masa jabatan. Tetapi, jika dikehendaki masyarakat Yogyakarta, bisa saja diangkat kembali meski telah 2 kali masa jabatan. Tentu mekanismenya melalui DPRD sebagai
wakil rakyat. Dengan demikian jelas terlihat gabungan antara jiwa rakyat Yogyakarta dan syarat demokratis. Aturan ini juga berlaku untuk wakil gubernur dari trah Pakualaman.
Keistimewaan Yogyakarta sebagai penghargaan kepada HB IX hingga keluarnya Maklumat DIY menjadi bagian Negara Kesatuan RI. Karena saat itu tidak bisa
dibayangkan jika HB IX memilih ikut Belanda, bisa saja tidak lahir NKRI, karena itu DIY bisa dibilang bidan kelahiran NKRI. Dalam draf RUU Keistimewaan versi Tim
Pemda juga diusulkan penghapusan kelurahan, pengembalian RK rukun kampung. “Dengan pemerintahan dari kemantren kecamatan langsung kepada rukun kampung
RK dan rukun tetangga maka kita akan merampingkan birokrasi sehingga jalur public service bisa langsung dinikmati. Dari segi budaya, Yogyakarta dikenal dengan Indonesia
mini dengan berbagai suku dan budaya. Kita abstrakkan posisi sultan yang bergelar Hamengku Buwono, maksudnya memayu melindungi hayuning raharjo bawono
dunia. Jadi, mempertahankan dan mengikat budaya yang ada, bukan berarti Jawa
sentries. Pertanahan di DIY juga akan diusulkan menggunakan hokum adat, “UU pokok agraria juga diakui sejauh tidak bertentangan dengan hokum adat,” paparnya. Logikanya
dengan menggunakan hokum adat hak-hak atas tanah menjadi lebih kaya. “Seperti Sultan Ground, Keraton ground, menurut UUPA dimiliki Indonesia negara. Dengan hukum
adat, tanah tersebut adalah milik pemda sehingga bisa dimanfaatkan kepentingannya untuk rakyat.
Sedangkan draft yang disusun oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada UGM Yogyakarta, lebih memperlihatkan keinginan membuat UU baru
sebagai pengganti UU No 3 tahun 1950 yang sudah dikenal sebagai regulasi keistimewaan DIY. Adapun versi UGM juga memberikan tiga alternatif pengisian posisi
gubernur DIY. Yaitu Sri Sultan langsung ditetapkan sebagai gubernur, keluarga keraton ditetapkan sebagai gubernur, dan yang ketiga diisi orang luar keraton tetapi lewat
Pilkada. Dari berbagai draft RUUK DIY yang ada, ternyata ada beberapa aspek penting,
miosalnya draft yang disusun DPD menonjolkan sisi dari UU No 3 Tahun 1950 tentang Keistimewaan
Yogyakarta. RUUK
versi DPD
pada intinya
tetap mendukungmemprioritaskan keikutsertaan pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dalam pengisian jabatan Gubernur DIY periode 2008-2013.
BAB VIII OTONOMI KHUSUS PAPUA
A. Latar Belakang Masalah