Birokrasi Kolonial Latar Belakang Birokrasi di Indonesia

dengan raja. Karir dan posisi jabatan lebih tergantung pada kecerdikan memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadi. Raja yang memiliki tanah dan tenaga kerja masyarakat melimpahkan penguasaannya pada anggota keluarga dan orang-orang yang dianggap berjasa pada raja sebagai lungguh. Keluarga raja disebut sentana, dan mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan kekuasaan tersebut, disebut sebagai abdi dalem. Abdi dalem itulah yang duduk dalam lembaga birokrasi kerajaan. Mereka menjadi perantara antara raja dengan para kawulanya. Sementara itu rakyat yang harus mengerjakan tanah-tanah raja dan lungguh dengan imbalan dapat hak gaduh atas tanah mereka. Rakyat juga harus menyerahkan bermacam-macam pajak yang ditentukan Kuntowijoyo, 1991 : 33. Struktur tradisional seperti itu menempatkan raja pada pusat kosmos. Raja melalui aparatur birokrasinya yang bernama abdi dalem memerintah rakyatnya. Para abdi dalem tersebut adalah alat raja king’s servant yang oleh raja diberi hak-hak atas tanah, menarik pajak tanpa peraturan yang jelas, yang kemudian diserahkan kepada raja setelah diambil sekedarnya oleh para abdi dalem tersebut. Tugas, jabatan, karir, ataupun posisi aparat birokrasi abdi dale mini sepenuhnya tergantung pada hubungan pribadinya dengan raja sebagai pusat kosmos Soemarsaid Moertono, 1985 : 6.

2. Birokrasi Kolonial

Kedatangan kolonial Belanda tidak segera menyebabkan perubahan-perubahan dalam sistem atau struktur kekuasaan patrimonial. Karena pada dasarnya kolonialisme belanda melanjutkan struktur yang telah ada sebelumnya dan hanya mengganti kekuasaan para raja dengan kekuasaan Belanda. Bagi pihak Belanda, kepentingan mereka yang utama adalah kepentingan di bidang ekonomi dan penguasaan politik. Karena itu, sejauh kepentingan ekonomi-politiknya terpenuhi, nampaknya aspek-aspek di luar itu cenderung diabaikan. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, pemerintah kolonial mengangkat pejabat-pejabatnya sendiri, sebagian daerah sepenuhnya di tangan pemerintah kolonial, dan sebagian lainya dalam sebuah pemerintahan ganda yang selain pengangkatan pejabat birokrasi kolonial masih juga ada birokrasi tradisional. Pada umumnya orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk semua raja yang mendapat imbalan berupa gaji yang besar maupun kecil, disebut sebagai priyayi Priyo Budi Santoso, 1997 : 41 Belanda mengadopsi sistem dan struktur birokrasi tradisional menggunakan prinsip bahwa rakyat yang setia pada pangreh praja juga akan setia kepada kolonial. Birokrasi bentukan kolonial Belanda memiliki peran ganda yang ambivalen dan distortif. Disatu sisi, birokrasi seharusnya merupakan pelayanan publik bertindak sebagai mediator antara penguasa kolonial dengan rakyat terjajah yang tertindas. Namun, disisi lain birokrasi juga mengawasi, mengontrol, dan memata-matai setiap aktivitas masyarakat yang bersifat politik Forum Keadilan, 24 Februari 2002. Beberapa upaya reformasi birokrasi memang telah dilakukan oleh penguasa colonial Belanda. Seperti upaya membatasi kekuasaan bupati, salah satu pusat kekuasaan tradisional-pada abad ke-19. Selain itu pada masa menjelang kedatangan Jepang, penguasa kolonial juga berusaha membangun birokrasi kearah model legal-rasional, yaitu birokrasi dengan orientasi disiplin, jujur, dan menghargai hukum, yang dikenal dengan sebagai beambtenstaat. Beambtenstaat ini digambarkan oleh Lance Castles dalam Priyo Budi Santoso, 1997 : 44 sebagai mesin birokrasi yang efisien, rapi, dengan penekanan kuat pada administrasi, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Namun, keberhasilan reformasi birokrasi pada masa ini hakekatnya tidak mengubah corak serta karakter pangreh praja. Karena dengan sistem indirect rule, yang berubah hanyalah hubungan antara pangreh praja dengan penguasa kolonial. Sementara dalam strukturnya sendiri- khususnya dalam hubungannya dengan masyarakat pribumi- tetap dalam suasana patrimonial. Dalam kondisi yang demikian, maka posisi serta peran dari para bupati- sebagai elit pangreh praja- bersifat ambiguous, karena bertindak sebagai mediator atau penjembatan antara dua posisi yang secara kultural sangat berbeda Sartono Kartodirjo, 1984 : 150-154. Ketika bangsa Jepang datang pada masa perang dunia II tahun 1940, langkah yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah melakukan perombakan struktur sesuai dengan kebutuhan perang mereka. Pada masa ini posisi dan peran pangreh praja sebagai pemimpin tradisional maupun sebagai mediator mendapat saingan dari para pemimpin nasionalis dan Islam yang korps priyayi. Perubahan-perubahan politik yang terjadi sejak pendudukan Jepang sampai masa demokrasi parlementer, merupakan ujian berat bagi pangreh praja. Pada masa pendudukan Jepang posisi dan perannya baik sebagai pemimpin tradisional maupun sebagai mediator mendapatkan saingan dari peran pemimpin nasionalis dan Islam- yang notabene merupakan kelompok yang tidak senang korps priyayi. Beberapa hak istimewa dan gaji para pejabat pribumi juga telah dikurangi, meskipun pemerintah Jepang tetap mempertahankan korps ini guna melaksanakan kontrol administratif maupun kontrol politik Heather Sutherland, 1983 : 260. Ketidaksenangan kelompok nasionalis terhadap pamong praja masih tetap berlanjut sampai setelah penyerahan kedaulatan. Hal ini disebabkan karena pamong praja, selain dianggap sebagai kelompok yang “absen” dalam revolusi, juga dituduh telah berkolaborasi dengan Belanda pada Uni-Indonesia Belanda tahun1949. Ancaman serius terhadap kedudukan pamong praja terjadi setelah pemilu 1955, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang desentralisasi tahun 1957, yang secara drastis mengurangi kekuasaan pamong praja, lantaran tetap dipandang berkedudukan tinggi dalam sistem status Jawa Heather Sutherland, 1983 : 265.

B. Birokrasi Masa Demokrasi Liberal