Dana Perimbangan. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah.

4. Dana Perimbangan.

Sampai saat ini masalah dana perimbangan pusat dan daerah masih menimbulkan kontroversi. Kehendak pemisahan atau munculnya ide negara federal, memberi indikasi yang kuat bahwa daerah masih belum sepakat dengan konsep yang sudah dirumuskan dalam kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah, terutama daerah kaya seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Irian, dan beberapa daerah lain. Meskipun semangat untuk lebih memberdayakan daerah, melalui upaya memperbesar penerimaan daerah, namun kesan bahwa pusat masih menguasai bagian terbesar dari penerimaan yang berasal dari daerah, cukup terlihat. Dan hal ini pada dasarnya menjadi catatan tersendiri, sebab bagaimana pun otonomi membutuhkan ketersediaan prasarana yang memadai. Tanpa kesemuanya itu, otonomi hanya merupakan kebebasan tanpa daya.

5. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah.

Berbeda dengan bentuk dan susunan kebijakan lama yang 1 mengintegrasikan seluruh unsur di bawah dalam skema hirarki pusat dan 2 menutup peluang partisipasi dengan jalan memandulkan dewan perwakilan rakyat daerah, maka dalam kebijakan baru ini, terdapat kecenderungan untuk menghilangkan dua hal tersebut. Secara tegas menyatakan bahwa untuk daerah tingkat II benar-benar akan dikembangkan konsep otonomi, yakni desentralisasi yang tidak diikuti oleh asas dekonsentrasi. Adapun posisi dewan perwakilan rakyat sendiri terpisah dengan pemerintahj daerah, dalam hal ini memiliki kewenangan untuk meminta laporan pertanggungjawaban dari pemerintah daerah. Dengan demikian kemungkinan berlangsungnya kontrol menjadi sangat besar. Hanya mungkin dalam realisasi masih menimbulkan tanda tanya besar, apakah dewan perwakilan rakyat daerah akan menggunakan kewenangannya bagi demokrasi, atau masih terdapat tradisi politik konvensional yang menyulitkan dewan perwakilan rakyat daerah untuk bersuara membawa aspirasi dan kepentingan masyarakat. Pun dalam hal ini otoritas DPRD menjadi lebih besar, terutama untuk menolak kepala daerah bila dipandang gagal. Perubahan otoritas DPRD yang demikian tentu saja membawa konsekuensi yang kuat; Pertama, dibutuhkan perubahan iklim dan kultur politik di kalangan DPRD, agar tidak lagi berjalan dalam pola lama, sebaliknya bangun dengan pola baru bahwa posisi mereka benar-benar independen dan bukan menjadi bagian dari eksekutif. Kedua, perlunya pemberdayaan di kalangan parlemen daerah agar bisa berfungsi menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Perlu disadari bahwa anggota dewan adalah para pemain baru yang akan berhadapan dengan pemain lama yang kawakan. Untuk hal yang kedua ini, parlemen daerah perlu membuka diri, sehingga akses dan dukungan dari masyarakat lebih besar, agar dapat bekerja secara maksimal.

6. Catatan Umum.