Birokrasi Masa Demokrasi Liberal

Perubahan-perubahan politik yang terjadi sejak pendudukan Jepang sampai masa demokrasi parlementer, merupakan ujian berat bagi pangreh praja. Pada masa pendudukan Jepang posisi dan perannya baik sebagai pemimpin tradisional maupun sebagai mediator mendapatkan saingan dari peran pemimpin nasionalis dan Islam- yang notabene merupakan kelompok yang tidak senang korps priyayi. Beberapa hak istimewa dan gaji para pejabat pribumi juga telah dikurangi, meskipun pemerintah Jepang tetap mempertahankan korps ini guna melaksanakan kontrol administratif maupun kontrol politik Heather Sutherland, 1983 : 260. Ketidaksenangan kelompok nasionalis terhadap pamong praja masih tetap berlanjut sampai setelah penyerahan kedaulatan. Hal ini disebabkan karena pamong praja, selain dianggap sebagai kelompok yang “absen” dalam revolusi, juga dituduh telah berkolaborasi dengan Belanda pada Uni-Indonesia Belanda tahun1949. Ancaman serius terhadap kedudukan pamong praja terjadi setelah pemilu 1955, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang desentralisasi tahun 1957, yang secara drastis mengurangi kekuasaan pamong praja, lantaran tetap dipandang berkedudukan tinggi dalam sistem status Jawa Heather Sutherland, 1983 : 265.

B. Birokrasi Masa Demokrasi Liberal

Periode ini bisa juga disebut sebagai jaman pemerintahan partai-partai. Melalui maklumat pemerintah yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 rakyat dianjurkan untuk mendirikan partai-partai baru. Dan pada tanggal 14 November 1945 dimulailah pemerintahan parlementar Kabinet Syahrir I menggantikan pemerintahan presidensil. Pemerintahan parlementer berarti memberikan peluang yang lebih besar bagi partai politik untuk merebut kekuasaan, sebab partai politik tidak hanya menguasai parlemen tetapi juga merebut posisi eksekutif. Selain partai politik berkeinginan menguasai kementrian pemerintah. Adapun beberapa departemen pemerintah yang menjadi ajang pertarungan kekuasaan partai politik adalah sebagai berikut: Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, dan Departemen Pertanian didominasi oleh PNI, Departemen Agama merupakan sumber mobilisasi dukungan yang sangat kuat bagi Masyumi dan Nahdatul Ulama. Departemen Luar Negeri didominasi secara bergantian oleh PSI dan PNI. Kompetisi partai untuk menanamklan pengaruhnya dalam birokrasi telah menyebabkan lembaga ini menjadi arena pergulatan politik. Promosi jabatan seringkali lebih ditentukan oleh mekanisme patronase politik dari pada ketentuan-ketentuan meritokrasi, dan tidak jarang pelaksanaan keputusan-keputusan pemerintah lebih mencerminkan desakan kepentingan partai daipada respon terhadap desakan-desakan dari kelompok kepentingan masyarakat Herbert Feith, 1962 :104. Menurut Nazaruddin Sjamsudin dalam Priyo Budi Santoso, 1997 : 83 semua itu pada akhirnya telah mengakibatkan munculnya birokrasi yang tidak sehat, terpecah belah, dan megalami politisasi yang hebat. Kenyataannya bahwa kekuatan politk pada masa ini terpecah belah menyebabkan birokrasi dalam segala tingkatannya terpecah belah dibawah pengaruh kekuatan politik yang ada. Sementara itu, para birokrat sudah pula pandai “bermain mata” dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Sering terjadi adanya pegawai yang dimutasikan hanya karena tidak separtai dengan pimpinannya. Sebaliknya, tidak jarang pula dijumpai pembangkangan aparat birokrat terhadap pimpinannya yang tidak separtai dengan mereka. Patronase sangat mewarnai kehidupan birokrasi. Sementara Affan Gaffar 1999 : 232 menyatakan bahwa birokrasi masa pasca kemerdekaan mengalami proses politisai, sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkavling-kavling ke dalam partai politik yang bersaing dengan sangat intensif guna memperoleh dukungan. Tentu saja hal itu sangat tidak sehat karena peranan ideology masing-masing partai meningkatkan proses fragmentasi yang sangat tinggi. Walaupun birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral ada satu hal yang masih dirasakan menguntungkan. Diantara partai-partai politik yang bersaing untuk menguasai kementrian pemerintah, semuanya menginginkan pemerintahan yang demokratis. Mulai dari Kabinet Syahrir I, II, dan III 14 November 1945-3 Juli 1947 dengan program “menyusun pemerintah pusat daerah yang demokratis”. Salah satu pasal program pada masa Kabinet Halim 21 Januari 1950-6 September 1950 adalah “mengusahakan selekas mungkin berlakunya hak-hak demokrasi, terutama hak berserikat dan bersidang, dan hak menyatakan pendapat”. Program kabinet Natsir 6 September 1950-27 April 1951 menyempurnakan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat. Pada periode ini untuk pertama kalinya setelah merdeka diselenggarakan Pemilihan Umum . Partai politik berpaling pada aparat birokrasi, karena dari segi jumlah merupakan potensi untuk memenangkan partai dalam Pemilu. Pada waktu itu timbul kelompok- kelompok pegawai negeri yang berafiliasi dengan partai politik Miftah Thoha, 1995:155. Dengan demikian dapat dilihat pada masa demokrasi parlementer, birokrasi menjadi ajang pertarungan partai politik, hubungan demokrasi dan birokrasi juga sangat tergantung pada politisi yang memegang kekuasaan. Akan tetapi sistem yang mengatur hubungan birokrasi yang dibentuk oleh politisi lebih cenderung kepada spoil system.

C. Birokrasi Masa Demokrasi Terpimpin