Sistem Pemerintahan Indonesia pada Saat Konstitusi RIS

Divisi dan Residen, terpilihlah Soedirman menjadi Panglima Besar. Beliau dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945, dan pada tanggal 3 Juni 1947, TKR resmi menjadi TNI. Dalam Konggres Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP, 16 Oktober 1945 di Malang. Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan apa yang disebut Maklumat X baca eks. Sejak keluarnya maklumat ini KNIP diberi wewenang untuk turut membuat UU dan menetapkan GBHN, jadi memegang sebagaian kekuasaan MPR, di samping memiliki juga kekuasaan atas DPA dan DPR. Selanjutnya dikeluarkan lagi Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yakni dilaksanakan Sistem Pemerintahan Parlementer, dandibentuk kabinet parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri. Kabinet bertanggung jawab pada KNIP sebagai pengganti MPRDPR. Sejak saat itulah, sistem presidensial beralih menjadi sistem parlementer, walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama system ini berjalan, sampai dengan 27 Desember 1949, UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Oleh karena itu sebagian orang berpendapat bahwa perubahan dalam sistem pemerintahan ini melanggar UUD 1945. Pada tanggal 3 November 1945, dikeluarkan maklumat pemerintah tentang keinginan untuk membentuk partai-partai politik, sehingga berlakulah sistem multi partai.

2. Sistem Pemerintahan Indonesia pada Saat Konstitusi RIS

Sejak 27 Desember 1949 sampai 17 aguastus 1950 berlaku Konstitusi RIS. Pada periode ini, Indonesia menjadi negara serikat. Sebenarnya bukan kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk memakai bentuk negara serikat ini, akan tetapi keadaan yang memaksa demikian. Sistem pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi RIS adalah system parlementer. Dalam Konstitusi RIS dikenal adanya senat. Senat tersebut mewakili negara-negara bagian, setiap negara bagian diwakili 2 orang anggota senat. Sistem pemerintahan yang dianut Konstitusi RIS Sistem Kabinet Parlementer Semu Quasi Parlementer: 1 Perdana menteri diangkat oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya. 2 Kekuasaan perdana menteri masih dikendalikan oleh presiden. 3 Kabinet dibentuk oleh presiden bukan oleh parlemen. 4 Pertanggungjawaban kabinet pada parlemen. 5 Parlemen tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya kepada kabinet. 6 Presiden RIS menduduki jabatan rangkap sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. 3. Sistem Pemerintahan Saat Demokrasi Parlementer UUDS 1950 Demokrasi parlementer atau demokrasi liberal secara penuh dalam arti berlaku bukan hanya dalam praktik tetapi juga diberi landasan konstitusionalnya. Menurut Wilopo sejak berlakunya UUDS 1950 yakni 17 Agustus 1950. Sistem demokrasi parlementer dengan sistem pemerintahan parlementer berlaku dari tahun 1950 – 1959. Demokrasi liberal yang berkembang ketika itu ditandai dengan pemerintahan oleh partai-partai politik. Pendapat lain dikemukakan Nugroho Notosoesanto, yang menyatakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan, tanpa perubahan UUD, demokrasi liberal sebenarnya sudah dimulai sejak awal kemerdekaan yang didahului Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Sebelum maklumat tersebut, kabinet yang pertama kali kita miliki adalah sistem pemerintahan presidensial 19 Agustus – 14 November 1945 dipimpin oleh Presiden Soekarno. Setelah itu sistem pemerintahan parlementer yang dikembangkan. Perdana Menteri yang pertama adalah Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia 14 November 1945 – 27 Juni 1947. Alasan Sjahrir dengan memberlakukan sistem parlementer untuk menghilangkan kesan Presiden bertindak diktator, tak demokratis, dan menjadi boneka Jepang. Sjahrir kemudian digulingkan oleh Amir Sjarifuddin, yang juga berhaluan kiri. Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II berusia tidak lama 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948. Di bawah Amir Sjarifuddin, wilayah RI makin menyempit, dikelilingi oleh daerah pendudukan Belanda, sebagai akibat Perjanjian Renville. Mohammad Hatta sebagai penggantinya 29 Januari – 20 Desember 1949 melakukan pembersihan terhadap sayap kiri aliran komunis. Karena sayap kiri ternyata telah “terbeli” oleh Belanda. Setelah ini tercatat ada 6 kabinet dengan sistem parlementer. Yang mengawali Natsir dari Masyumi dengan program penyelenggaraan pemilu dan penyelesaian Irian Barat. Dua program ini juga yang mewarnai program kabinet berikutnya. Dalam periode ini pertama kali terlaksananya pemilu sejak Indonesia merdeka. Itu terjadi pada tahun 1955, saat terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu pertama 29 September 1955, dikuti oleh 118 kontestan, yang memperebutkan 272 kursi DPR. Warga negara juga berbondong-bondong untuk memberikan suara dalam pemilu untuk memilih anggota Konstituante badan pembentuk UUD pada 15 Desember 1955. Pemilu tahun 1955 di kenal dalam sejarah di Indonesia sebagai Pemilu yang paling demokratis. Karena kompetisi antara partai berjalan sangat intensif. Kampanye dilakukan penuh tanggung jawab, setiap pemilih memberikan hak pilihnya secara bebas tanpa rasa takut atau adanya tekanan. Undang-undang Pemilu No. 7 Tahun 1953, tidak memberikan peluang Panitia Pemilih Indonesia untuk mengatur lebih lanjut. Dengan demikian, pemilu berjalan sangat kompetitif dan menghasilkan pemerintahan demokratis, sekalipun tidak menghasilkan partai politik yang kuat yang mampu membentuk eksekutif. Meskipun pada sistem pemerintahan parlementer atau demokrasi parlementer dikenal gagal, tetapi demokrasi di Indonesia dinyatakan mengalami kejayaan pada masa ini. Dalam arti hampir semua elemen atau unsur demokrasi dapat ditemukan perwujudannya dalam kehidupan politik Indonesia. Elemen tersebut yaitu: a. Parlemen memainkan peranan sangat tinggi dalam proses politik. Hal ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya. b. Pertanggungjawaban akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan jatuhnya kabinet dalam periode ini, contoh konkrit akuntabilitas. c. Pemilu 1955 dilaksanakan sangat demokratis. Pertanyaannya mengapa demokrasi parlementer tidak dapat diperta-hankan? Demokrasi Parlementer tidak berumur panjang, yaitu antara 1950 – 1959, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Banyak pendapat tentang faktor penyebab demokrasi parlementer tidak dapat dipertahankan. Di antara pendapat yang berkembang menyatakan faktor penyebabnya yaitu: Pertama, faktor dominannya politik aliran. Yaitu politik berdasarkan pemilahan sosial yang bersumber dari agama, etnisitas, dan kedaerahan. Herbert Feith dan Lance Castles, menggambarkan kepartaian di Indonesia pasca kemerdekaan dikelompokkan ke dalam lima aliran besar, yaitu Islam, Jawa Tradisional, Sosialis Demokrasi, Nasionalis Radikal, dan Komunis. Pemilahan itu sangat tajam, sehingga menyulitkan dalam mengelola konflik. Koalisi tidak mudah terbentuk, karena harus memenuhi syarat adanya kedekatan ideologi dan kompatibilitas antara pemimpin partai. Kedua, faktor basis sosial – ekonomi yang sangat lemah. Ketiga, faktor struktur sosial yang masih sangat hierarkhis, yang bersumber pada nilai- nilai feodal. Hal ini terlihat kehadiran elit pemecah masalah problem solver yang mendominasi sistem pemerintahan parlementer belum sepenuhnya diterima. Ada kecenderungan elit pembentuk solidaritas solidarity makers seperti Presiden Soekarno yang pada awal kemerdekaan sangat dominan merasa tersingkir, karena posisi hanya sebatas sebagai kepala negara tidak dapat menentukan kebijakan strategis. Begitu pula kepentingan politik dari kalangan Angkatan Darat tidak memperoleh tempat yang sewajarnya.

4. Pelaksananaan Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Terpimpin