Pola Hubungan Antar Kekuatan Dana Daerah

keleluasaan kewenangan, melainkan juga tingkat kedalaman dan kemampuan daerah utnuk mengembangkan kebijakan dan menjalankan kebijakan yang telah diambil.

9. Pola Hubungan Antar Kekuatan

Dari sudut semangat pembaruan, struktur yang ada, dapat dikatakan telah cenderung mengakomodasi semangat untuk mengadakan desentralisasi. Akan tetapi masalahnya tidak sekedar pada pola hubungan yang ada, tetapi juga menyangkut posisi rakyat, dalam konteks hubungan antara pemerintah daerah dan rakyat, demikian sebaliknya. Harus diakui bahwa posisi rakyat secara umum, masih sangat lemah, terutama sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan represi dan restriksi,khususnya yang merupakan warisan orde baru. Dengan demikian, tanpa adanya pembaruan yang lebih menyeluruh, menjadikan kebijakan otonomi daerah tidak punya makna yang besar, bahkan cenderung hanya akan memfasilitasi otoritarisme di tingkat daerah. Otonomi daertah menuntut pembaruan mengenai kebijakan atas pemilu, partai politik dan susunan DPRMPR.

10. Dana Daerah

Masalah dana menjadi hal yang sangat krusial. Banyak pergolakan daerah pada dasarnya menuntut porsi yang lebih besar dari apa yang sudah ditetapkan. Pemberian porsi yang memadai akan menjadi hal yang urgen, sebab tanpa adanya dana yang cukup, hal tersebut hanya akan memandulkan konsep otonomi daerah itu sendiri. Maka tidak mengherankan bila muncul spekulasi bahwa jika otonomi daerah diterapkan maka 10 propinsi akan terancam bangkrut Kompas 2781999. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 221999 disebutkan bahwa dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangann sudah berada pada daerah kabupaten dan daerah kota. Yang menjadi masalah adalah apakah masing-masing daerah tersebut cukup mempunyai sumberdaya dan sumberdana untuk merealisasi kewenangan yang dimilikinya? Apakah sumberdaya yang ada tidak terserap ke pusat? Dari data yang dihimpun N. Dwi Retnandari terungkap bahwa bila dilihat dari nisbah PAD Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Rutin th 19971998, bahwa pada sebagian besar daerah tingkat II, menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatasi keperluan rutin mereka bila hanya berdasarkan pendapatan asli daerah. Hal ini pula yang menjadikan daerah masih bergantung pada anggaran yang sering disebut sebagai subsidi pusat. Terlebih bila dilihat dalam kebijakan perimbangan keuangan pusat daerah yang memberikanporsi besar bagi pusat untuk hasil kekayaan alam, seperti migas. Kenyataan ini sudah barang tentu menimbulkan tanda tanya besar apakah otonomi yang dikembangkan memilikim dasar untuk suatu realisasi yang konsisten, ataukah otonomi hanya akan menjadi momentum bagi kebangkrutan daerah likuidasi. Dapat dikatakan bahwa peningkatan sumber pemasukan daerah, akan menjadi hal yang sangat mutlak. Tanpa peningkatan sumber pemasukan, melalui porsi yang besar bagi daerah untuk mengelola sumber pendapatan yang ada, dan mengurangi pengiriman ke pusat, tentu akan menjadi hal yang sangatpositif bagi otonomi. Disinilah ancaman yang paling nyata dari otonomi dan sekaligus tantangan ke depan, yakni bagaimana mengubah kebijakan yang menelikung otonomi tersebut, menjadi kebijakan baru yang mendukung realisasi otonomi.

11. Pembentukan Daerah