Indonesia Pengalaman Negara-Negara Asean dalam Federalisme

partai baru, Paratai Persatuan Nasional NUP. Ternyata dalam pemilu itu NUP dikalahkan secara telak oleh Liga Nasional untuk Demokrasi NLD dengan meraih suara lebih dari 60 persen, sementara NUP hanya memperoleh suara 25 persen. NLD dipimpin oleh mantan Pangab Jenderal Pur Tin Oo yang didampingi putri tunggal Bapak Pendiri Burma Aung San, bernama Suu Kyi yang dipercaya sebagai sekjen partai. Akan tetapi kemenangan itu ternyata tidak dapat diterima oleh kelompok militer yang sedang berkuasa, sehingga parlemen hasil pemilu itu sampai sekarang tidak diperbolehkan bersidang oleh penguasa SLORC. Bahkan para pimpinan NLD banyak yang ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak. Dunia internasional memberikan simpatinya kepada Suu Kyi sebagai penerima Hadiah Nobel bagi Perdamaian pada tahun 1992. Namun, sampai sekarang SLORC masih tetap berkuasa tanpa konstitusi. Dari uraian di atas terlihat bahwa masalah yang dihadapi oleh Myanmar bukanlah bentuk negara federal atau negara kesatuan tetapi bagaimana pemerintah dapat menjalankan tugasnya untuk memberikan kemakmuran dan ketentaraman bagi rakyatnya, termasuk dalam pengembangan demokratisasi.

3. Indonesia

Masalah pokok bangsa kita sekarang adalah bagaimana mengatasi krisis kepemimpinan nasional setelah “lengser” nya Jenderal Besar Saoeharto sebagai Presiden RI dan Bapak Pembangunan Orde Baru. Persoalan ini akan dijawab berdasarkan studi perbandingan dengan kedua Negara tetangga di atas. Tampaknya krisis kepemimpinan nasional yang dialami Myanmar tidak banyak berbeda dengan pengalaman Indonesia sejak tanggal 21 Mei 1998. Perbedaannya mungkin terletak pada dimensi waktu dimana Ne Win sudah “lengser” sebagai presiden sejak tahun 1981, tetapi masih menjadi ketua BSPP sampai tanggal 23 Juli 1988. Dalam periode itu Ne Win sudah melakukan kaderisasi kepemimpinan melalui BSPP dan pemerintahan. Namun kedua jalur itu tetap didominasi oleh kelompok militer dari mana berasal. Sementara kelompok sipil tidak banyak yang ikut dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu rakyat mendukung NLD yang menjanjikan pemerintahan sipil yang bebas dari campur tangan militer dalam Pemilu 1990. Janji itu tidak mampu diwujudkan NLD, karena dihadang oleh kelompok militer yang sedang berkuasa melalui SLORC. Sementara pola kaderisasi yang dilakukan oleh Soeharto juga dengan dua jalur, yaitu melalui Golkar yang memberi peluang kepada kelompok saipil untuk berkuasa seperti Habibie dan Harmoko dan melalui jalur militer aktif. Sementara kelompok perwira senior yang sudah pensiun ditempatkan di luar lingkaran kekuasaan reformasi yang dicanangkan oleh Presiden Habibie, juga menjanjikan Pemilu multi-partai yang lebih cepat, adil dan bersih pada bulan Juni 1999. Kelompok sipil yang berada di luar lingakran kekuasaan, yang juga melibatkan beberapa perwira senior yang sudah pensiun, kini deberi kesempatan membentuk parpol. Dari segelintir kelompok inilah barasal ide untuk menerapkan federalisme di Indonesia. Sementara kelompok yang berada dalam lingkaran kekuasaan tetap bertekad untuk mempertahankan prinsip negara kesatuan, yang dilengkapi dengan perluasan otonomi dan pengaturan perimbangan pusat dan daerah secara lebih adil. Sekarang, mari kita bandingkan dengan Malaysia yang menganut sistem federal murni sejak negara itu berdiri. Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, federalisme sudah mengakar di kalangan rakyat dan elite politik, jauh sebelum kedatangan penjajah. Bahkan pemerintahan kolonial masih tetap memberi kesempatan kepada pemimpin tradisional mereka untuk berkuas, yang tentu saja sebagian untuk kepentingan kolonial sendiri. Oleh karena itu sistem federal yang dianut Malaysia tinggal melanjutkan yang sudah lama ada dengan menambahkan beberapa provinsi. Sementara kekuasaan tradisional sebelum sultan di Indonesia kecuali Kesultanan Yogyakarta, ditumpas oleh pihak kolonial Belanda. Negara bagian yang dirancang Van Mook, jelas fiktif karena tidak ada kekuasaan tradisional seperti itu pada masa kolonial di negara bagian bersangkutan. Oleh karena itu federal diterima sebagai sasaran untuk kemudian kembali kepada sistem negara kesatuan. Penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah pusat dalam menjalankan sistem negara kesatuan sejak tahun 1959, lebih banyak disebabkan budaya feodal yang diperlihatkan oleh tingkah laku politik penguasa. Perubahan budaya politik seperti itu, menurut Samuel P. Huntington akan sangat lambat. Perubahan budaya politik hanya akan terjadi melalui penerapan sistem politik yang demokratis secara konsisten dan berkesinambungan, yang pada akhirnya mampu melahirkan masyarakat madani yang menganut budaya politik baru yang lebih demokratis. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa federalisme paling sesuai bagi negara-negara yang wilayahnya terdiri dari berbagai kekuasaan lokal yang sudah diakui oleh masyarakat setempat jauh sebelum negara federal itu berdiri. Sedangkan bagi negara-negara yang tidak memiliki persyaratan seperti itu, bentuk negara kesatuan biasanya dipilih, dan mengembangkannya ke seluruh wilayah melaui pemberian otonomi secara terbatas. Bagi negara-negara kesatuan yang pernah menghadapi gerakan-gerakan separatis, seperti Indonesia, peralihan ke sistem federal akan cenderung mempercepat pecahnya negara-negara itu menjadi negara-negara yang merdeka. Bagi Indonesia peluang federalisme itu amat kecil, karena masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah mengatasi krisis kepemimpinan nasional yang mampu mengatasi krisis politik dan ekonomi yang kini dihadapi bangsa. Oleh karena itu persatuan dan kesatuan yang diikuti oleh proses demokratisasi akan lebih memberi peluang yang lebih besar daripada federalisme. Distribusi elit politik dan ekonomi yang merata ke seluruh daerah akan ikut mempengaruhi proses perkembangan gagasan federalisme itu sendiri.

G. Otonomi Daerah Latar Belakang dan Masa Depannya