113
akseptor KB yang tidak memiliki anak, sedangkan akseptor KB yang memiliki anak ≥ 3 mempunyai peluang 5 kali pada tahun 2002 dan 8,7
kali pada tahun 2006-2008 menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak memiliki anak.
Pada penelitian Dewi dan Notobroto 2014 diperoleh hasil responden pengguna non MKJP sebagian besar memiliki anak 4
dibandingkan dengan responden pengguna MKJP yang memiliki anak ≤ 2. Uji logistik menunjukkan terdapat pengaruh jumlah anak responden
dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP. Pada penelitian Asih dan Oesman 2009 ditemukan adanya efek protektif
dimana akseptor KB yang memiliki anak 0-2 mencegah penggunaan MKJP 0,493 kali dibandingkan dengan akseptor KB yang memiliki anak
lebih dari 2. Pada penelitian Yalew dkk 2015 di Barat Laut Etiopia, juga
diperoleh hasil akseptor KB yang memiliki anak 5 atau lebih berpeluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak
memiliki anak. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada akseptor KB yang memiliki jumlah anak 1-4 dibandingkan dengan
akseptor yang tidak mempunyai anak. Penelitian Philip Goldstone dkk 2014 juga memperoleh hasil tidak sejalan yaitu tidak ada hubungan
jumlah anak dengan penggunaan MKJP. Hasil yang bermakna pada penelitian ini dapat dijadikan masukan
untuk meningkatkan pengguna MKJP dengan meningkatkan sosialisasi dan ajakan pada akseptor KB yang memiliki anak 1 atau 2 untuk mau
114
menggunakan MKJP dengan menekankan informasi bahwa MKJP tidak hanya efektif untuk menghentikan kehamilan namun juga efektif untuk
menunda kehamilan dan menjarangkan kelahiran tanpa mempengaruhi kesuburan.
8. Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Aborsi adalah tindakan menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran d
ikenal dengan istilah “abortus”, yang berarti pengeluaran hasil konsepsi pertemuan sel telur dan sel sperma sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Hal ini merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Aborsi pada wanita yang sedang mengandung anak dapat terjadi dengan cara sengaja maupun tidak sengaja aborsi.org, 2004.
Aborsi dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan sifat kejadiannya yaitu spontanalamiah,
aborsi sengaja,
dan aborsi
terapetik. Aborsi
spontanalamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau
dapat disebabkan karena kelalaian atau ketidaksiapan ibu saat mengandung seorang anak Chang, 2009. aborsi buatansengaja adalah
pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si
pelaksana aborsi dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak. Aborsi terapeutikmedis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan
atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi
115
mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa aborsi.org, 2004.
Dalam berbagai penelitian, riwayat aborsi dihubung-hubungkan dengan penggunaan MKJP. Salah satu jenis MKJP adalah IUD atau spiral,
kontrasepsi ini aman dipasang pasca terjadinya aborsi atau keguguran. Selain aman, IUD juga memiliki efektifitas tinggi hingga 5 tahun.
Pemakaian IUD pasca keguguran atau aborsi sangat dianjurkan karena IUD merupakan metode non hormonal yang efektifitasnya tinggi
Bednarek dan Edelma, 2011. Pada penelitian ini, dilihat dari OR yang diperoleh pada CI 95
sebesar 3,284 1,278-8,444, dengan demikian nilai OR bermakna,
sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki riwayat
aborsi berpeluang 3,284 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
akseptor KB yang tidak memiliki riwayat aborsi. Pada analisis univariat terlihat kecenderungan dimana kelompok non MKJP sebagian besar tidak
memiliki riwayat aborsi 91,1. Hasil yang bermakna pada penelitian ini menandakan bahwa
pengalaman aborsi atau keguguran yang dialami akseptor KB meningkatkan peluang akseptor KB dalam menggunakan MKJP. Namun,
penelitian ini merupakan penelitian retrospektif bukan penelitian prospektif sehingga tidak dapat memastikan apakah pengalaman aborsi
atau keguguran yang dialami memang merupakan faktor yang
116
menyebabkan seseorang menggunakan MKJP. Tetapi jika aborsi atau keguguran yang dialami merupakan efek dari kegagalan kontrasepsi yang
digunakan akseptor KB, tentu akan mendorong akseptor KB menggunakan metode kontrasepsi yang lebih efektif dalam mencegah kehamilan seperti
MKJP. Berdasarkan penelitian Collony dkk 2014 MKJP efektif untuk
menurunkan angka aborsi akibat kehamilan tidak diinginkan. Kasus kehamilan
tidak diinginkan
paling banyak
disebabkan karena
ketidakpatuhan menggunakan alat kontrasepsi. MKJP merupakan kontrasepsi jangka panjang yang praktis, sekali dilakukan pemasangan
bisa efektif hingga jangka waktu yang lama. Pada penelitian Ford dan MacCormac 1995 diperoleh hasil menggunakan kontrasepsi pil 9 tahun
atau lebih berhubungan dengan jumlah aborsi spontan keguguran sebesar 11,3. Hasil penelitian kualitatif Prassana 2014 mengungkapkan bahwa
abortus yang dialami informan dalam penelitiannya disebabkan oleh faktor kegagalan KB karena informan merupakan akseptor KB Pil dan responden
tidak mengkonsumsi pil KB tersebut sesuai dengan aturan konsumsi. Pada penelitian yang dilakukan Bednarek dan Edelman 2011
yang meneliti efek komplikasi pada wanita yang memasang IUD setelah keguguran atau aborsi dibandingkan dengan wanita yang memasang IUD
untuk menunda kehamilan, diperoleh hasil yaitu tidak ada perbedaan komplikasi yang terjadi pada dua kelompok, artinya pemasangan IUD
setelah keguguran atau aborsi aman dan tidak menimbulkan komplikasi tambahan. Selain itu, perempuan yang menggunakan IUD pasca aborsi
117
memiliki risiko melakukan aborsi ulangan yang lebih rendah Bednarek dan Edelman, 2011.
Pada penelitian Goldstone dkk 2014 diperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian ini. Goldstone dkk menyebutkan bahwa wanita yang
memiliki riwayat aborsi lebih dari 3 kali cenderung memilih IUD dan implant dalam penggunaan kontrasepsi dibandingkan dengan wanita yang
tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Pada penelitian Connolly dkk 2014 juga diperoleh hubungan yang signifikan antara penurunan aborsi
dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang pada remaja. Hasil yang tidak sejalan diperoleh pada penelitian Kavanaugh dkk
2011 yang memperoleh hasil yang negatif antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP. Hasil yang tidak sejalan dengan penelitian ini juga
diperoleh pada penelitian Mestad dkk 2011 dan Gebremichael dkk 2014. Pada dua penelitian tersebut diperoleh hasil tidak ada hubungan
antara riwayat aborsi dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang.
Riwayat aborsi atau keguguran dapat terjadi akibat kegagalan kontrasepsi. Kegagalan KB dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak
direncanakan. Kehamilan yang terjadi pada usia diatas 35 tahun sangat mungkin menimbulkan kelainan pada janin yang lebih besar dan sangat
berisiko menyebabkan abortus spontan keguguran Desefentison, 2013. Kehamilan yang tidak direncanakan juga dapat menyebabkan keguguran
karena endometrium yang belum siap untuk menerima implantasi hasil konsepsi atau dapat juga terjadi akibat gizi wanita kurang karena terlalu