105
tinggi memiliki peluang 4,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki indeks kekayaan rendah. Pada penelitian
Asih dan Oesman 2009 juga diperoleh hubungan yang signifikan antara indeks kekayaan dengan status penggunaan MKJP, dimana akseptor KB
yang mempunyai indeks kekayaan dalam kategori mampu berpeluang 1,440 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan
kategori miskin. Pada penelitian Paskaria 2015 yang menganalisis lanjut data
SDKI 2012 juga diperoleh hasil adanya hubungan antara status ekonomi dengan penggunaan MKJP. Akseptor KB dengan status ekonomi mampu
berpeluang 1,76 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan status ekonomi miskin. Pada penelitian Arliana dkk 2013
juga diperoleh adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan pilihan metode kontrasepsi, akseptor non MKJP cenderung pada kelompok
yang memiliki pendapatan rendah. Namun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati
2002 dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara penghasilan dengan penggunaan MKJP, begitu pula yang ditemukan pada penelitian
Fienalia 2012 diperoleh hasil tidak ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan status penggunaan kontrasepsi.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dengan melakukan
penyuluhan pada kelompok berpenghasilan rendah mengenai manfaat menggunakan MKJP baik segi efektifitas dan finansial serta sosialisasi
106
mengenai pemasangan MKJP yang tidak dipungut biaya di Puskesmas Pamulang.
5. Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP dengan Penggunaan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Salah satu hal yang memberikan peluang akseptor untuk menggunakan MKJP adalah dengan berdiskusi oleh pasangansuami
Gudaynhe dkk, 2014. Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada
CI 95 sebesar 22,579 5,220-97,665, dengan demikian nilai OR
bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang telah
berdiskusi dengan suami tentang MKJP berpeluang 22,579 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak pernah berdiskusi dengan suami mengenai MKJP. Pada analisis univariat terlihat
pula bahwa jumlah Akseptor KB pengguna MKJP sebagian besar telah berdiskusi dengan suami tentang MKJP 95,1, sedangkan jumlah
Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang tidak berdiskusi dengan suami tentang MKJP 53,7, dengan demikian terlihat bahwa
terdapat kecenderungan status diskusi dengan suami tentang MKJP terhadap penggunaan metode kontrasepsi.
Ketika sudah menjadi pasangan suami istri, suami merupakan orang pertama yang berpengaruh terhadap berbagai pengambilan
keputusan. Salah satunya adalah pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Suami berperan penting dalam menentukan kontrasepsi yang
akan dipakai sebagai aplikasi program keluarga berencana. Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang menjadi sampel dalam
107
penelitian ini sebagian besar melakukan diskusi dengan suami tentang MKJP pada kelompok MKJP, hal ini menunjukkan adanya kontribusi
suami dalam mempengaruhi keputusan seorang istri dalam memilih kontrasepsi.
Adhyani dkk 2011 mengatakan bahwa seorang istri di dalam pengambilan keputusan untuk memakai atau tidak memakai alat
kontrasepsi membutuhkan persetujuan dari suami karena suami dipandang sebagai kepala keluarga, pelindung keluarga, pencari nafkah dan seseorang
yang dapat membuat keputusan dalam suatu keluarga. Pengetahuan yang memadai tentang alat kontrasepsi, dapat memotivasi suami dan untuk
menganjurkan istrinya memakai alat kontrasepsi tersebut. Pada penelitian Yalew dkk 2015 di Barat Laut Etiopia, diperoleh
hasil sejalan dengan penelitian ini yaitu frekuensi sering berdiskusi akseptor KB dengan suami memberikan peluang untuk menggunakan
MKJP lebih besar dibandingkan dengan akseptor KB yang jarang berdiskusi dengan suami. Berdasarkan penelitian Gudaynhe dkk 2014
diskusi suami istri juga ditemukan memiliki hubungan yang signifikan, wanita yang sudah menikah yang memiliki pengalaman berdiskusi dengan
suami tentang kontrasepsi 1,8 kali memiliki peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan yang tidak pernah berdiskusi dengan suami. Hal ini
berarti jika pasangan suami istri tidak berdiskusi tentang pilihan metode KB yang akan digunakan khususnya terkait MKJP akan memberikan
pengaruh negatif terhadap penggunaan MKJP.
108
Pada penelitian Paskaria 2015 yang menganalisis lanjut data SDKI 2012 diperoleh hasil adanya hubungan antara peran suami dengan
status penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan suami yang berperan dalam pemilihan kontrasepsi berpeluang 11,9 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan suami yang tidak berperan dalam pemilihan kontrasepsi.
Hasil yang bermakna pada penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dengan melakukan
sosialisasi dan penyuluhan tentang metode kontrasepsi khususnya MKJP pada pasangan usia subur sehingga baik istri maupun suami dapat
mengetahui pilihan metode kontrasepsi yang efisien dan efektif.
6. Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan Penggunaan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Umur pertama melahirkan yang ideal, menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ditentukan dan dipengaruhi oleh risiko yang
diakibatkan dari melahirkan, kemampuan tentang perawatan kehamilan, pasca persalinan dan masa diluar kehamilan dan persalinan, serta derajat
kesehatan reproduksi. Di beberapa penelitian, umur pertama melahirkan dikaitkan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian ini, dilihat dari OR
yang diperoleh pada CI 95 sebesar 0,737 0,150-3,620, dengan
demikian nilai OR tersebut bersifat protektif namun tidak bermakna. Hal ini disebabkan baik kelompok kasus MKJP maupun kontrol Non MKJP
sebagian besar melahirkan pada umur lebih dari 18 tahun.
109
Efek protektif yang terjadi menandakan bahwa umur melahirkan pertama kali kurang dari 18 tahun mencegah orang untuk menggunakan
MKJP. Walaupun hasil yang diperoleh pada analisis hubungan tidak bermakna, namun hal ini menunjukkan bahwa semakin muda umur
akseptor ketika melahirkan pertama kali mencegah terhadap penggunaan MKJP. Hasil yang tidak berhubungan ini dapat disebabkan pengkategorian
umur yaitu 18 tahun, terdapat sumber yang mengatakan bahwa batas umur melahirkan pertama kali yang ideal adalah 20 tahun keatas Desefentison,
2013. Selain itu hasil yang tidak berhubungan dapat juga terjadi akibat tidak dilakukannya matching sampel terhadap potensi variabel
counfonding yang mungkin ada. Hasil yang tidak berhubungan seperti pada penelitian ini ditemukan
pula di berbagai penelitian terdahulu, seperti penelitian Teffera dan Wondifraw 2015 dan penelitian Gudayne dkk 2014 yang memperoleh
hasil bahwa umur pertama melahirkan tidak memiliki hubungan dengan status penggunaan MKJP. Namun, hasil berbeda diperoleh pada penelitian
Jingbo dkk 2013 diperoleh adanya hubungan antara umur pertama melahirkan dengan penggunaan MKJP dan korelasi yang positif.
Efek protektif pada hasil analisis hubungan yang diperoleh perlu dipertimbangkan untuk dijadikan masukan terhadap peningkatan
penggunaan MKJP pada PUS yang menikah namun umur istri belum cukup untuk melahirkan. Hal ini dikarenakan, umur pertama melahirkan
masuk ke dalam faktor risiko maternal. Umur melahirkan yang terlalu muda dapat meningkatkan risiko perdarahan dan infeksi serta dapat