117
memiliki risiko melakukan aborsi ulangan yang lebih rendah Bednarek dan Edelman, 2011.
Pada penelitian Goldstone dkk 2014 diperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian ini. Goldstone dkk menyebutkan bahwa wanita yang
memiliki riwayat aborsi lebih dari 3 kali cenderung memilih IUD dan implant dalam penggunaan kontrasepsi dibandingkan dengan wanita yang
tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Pada penelitian Connolly dkk 2014 juga diperoleh hubungan yang signifikan antara penurunan aborsi
dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang pada remaja. Hasil yang tidak sejalan diperoleh pada penelitian Kavanaugh dkk
2011 yang memperoleh hasil yang negatif antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP. Hasil yang tidak sejalan dengan penelitian ini juga
diperoleh pada penelitian Mestad dkk 2011 dan Gebremichael dkk 2014. Pada dua penelitian tersebut diperoleh hasil tidak ada hubungan
antara riwayat aborsi dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang.
Riwayat aborsi atau keguguran dapat terjadi akibat kegagalan kontrasepsi. Kegagalan KB dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak
direncanakan. Kehamilan yang terjadi pada usia diatas 35 tahun sangat mungkin menimbulkan kelainan pada janin yang lebih besar dan sangat
berisiko menyebabkan abortus spontan keguguran Desefentison, 2013. Kehamilan yang tidak direncanakan juga dapat menyebabkan keguguran
karena endometrium yang belum siap untuk menerima implantasi hasil konsepsi atau dapat juga terjadi akibat gizi wanita kurang karena terlalu
118
pendek jarak kehamilan sehingga risiko keguguran atau aborsi spontan menjadi lebih tinggi Manuaba, 2000.
Hubungan yang bermakna antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP ini dapat dijadikan acuan untuk memberikan
pemahaman pada pasangan usia subur mengenai kehamilan risko tinggi risti sehingga PUS dapat waspada jika istri telah masuk kedalam
golongan risti pilihan metode kontrasepsi yang digunakan akan lebih efektif untuk mencegah kehamilan. Selain itu, jika akseptor memang sudah
tidak berkeinginan memiliki anak lagi disarankan untuk menggunakan metode kontrasepsi yang lebih efektif sehingga tidak terjadi kehamilan
yang tidak diinginkan dan tidak meningkatkan risiko aborsi atau keguguran.
9. Tempat Pelayanan KB Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Tempat pelayanan KB dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Fasilitas pelayanan KB dibagi atas
pemerintah dan swasta. Baik pelayanan pemerintah maupun swasta, semua fasilitas pelayanan KB harus melakukan upaya-upaya dalam peningkatan
akseptor KB. Salah satu peranan fasilitas pelayanan KB baik pemerintah maupun swasta adalah melakukan pelayanan preventif yaitu dengan
mengutamakan metode terpilih MKJP IUD, implan, MOW, MOP selain non MKJP BKKBN, 2014.
Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95 sebesar 0,084
0,036-0,195, dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat
119
disimpulkan bahwa akseptor KB yang memanfaatkan tempat pelayanan
KB di swasta mencegah penggunaan MKJP sebesar 0,084 kali
dibandingkan dengan akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di Pemerintah. Pada analisis univariat terlihat kecenderungan dimana
Akseptor KB pengguna MKJP justru lebih banyak memanfaatkan pelayanan pemerintah 58,5 sedangkan akseptor KB pengguna non
MKJP sebagian besar memanfaatkan pelayanan swasta 77,4 Efek protektif yang didapat pada penelitian ini terjadi dikarenakan
pengguna Non MKJP seperti pil dan suntik sebagian besar memanfaatkan tempat pelayanan bidan swasta dibandingkan pelayanan pemerintah
seperti Puskesmas. Hal ini juga dapat disebabkan oleh jarak pelayanan antara bidan swasta lebih dekat dibandingkan dengan puskesmas BPS
yang ada dan melapor ke Puskemsas junlahnya 27 BPS, serta ketersediaan layanan yang diberikan oleh puskesmas karena puskesmas
Pamulang hanya memberikan pelayanan KB suntik 3 bulan dan tidak melayani KB Suntik 1 bulan.
Pada penelitian Nasution 2011 diperoleh hasil sumber pelayanan KB memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pelayanan akseptor KB yang mendapatkan sumber
pelayanan pemerintah meningkatkan peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang memanfaatkan pelayanan selain
pemerintah. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada Provinsi Jawa dan Sumatera. Pada penelitian Katherine Blumoff Greenberg dkk
120
2013, tempat pelayanan KB juga memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan MKJP.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang, dapat dilakukan dengan pembinaan
yang dilakukan oleh dinas kesehatan kepada Bidan Praktik Swasta BPS untuk turut berpartisipasi dalam upaya peningkatan MKJP dengan cara
mengajak dan mendorong akseptor KB yang datang ke BPS untuk memilih MKJP sebagai pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
121
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Sebagian besar akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
menggunakan metode non MKJP yaitu suntik sebesar 55,5 2.
Akseptor KB lebih banyak menggunakan KB umur kurang atau 30 tahun 53,7 dan lebih banyak yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi 53,0. Sebagian besar akseptor KB merupakan ibu rumah tangga tidak bekerja yaitu sebesar 79,9, sedangkan tingkat
penghasilan akseptor KB lebih banyak pada kelompok penghasilan rendah yaitu 56,1
3. Sebagian besar Akseptor KB melakukan diskusi dengan suami tentang
MKJP 58,5. 4.
Sebagian besar akseptor KB memiliki umur pertama kali melahirkan 18 tahun keatas 93,9, jumlah anak yang dimiliki anak 1 sampai 2 anak
71,3 dan tidak memiliki riwayat aborsi 87,2 5.
Sebagian besar akseptor KB memanfaatkan pelayanan swasta 77,4 6.
Akseptor KB yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 4,565 kali
menggunakan MKJP dari pada akseptor KB yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun
7. Tingkat pendidikan akseptor KB bukan faktor yang berpeluang
mendorong akseptor menggunakan MKJP