Budaya Masyarakat Dayak Desa

dalam keseharian maupun upacara lain sehingga pengetahuan dan penguasaan semayan hanya terbatas pada para semanang yang bertugas memimpin upacara tersebut. Bekandu’ berasal dari kata kandu’ yang dalam bahasa Desa berarti cerita sehingga bekandu’ berarti bercerita secara lisan tentang berbagai kisah atau dongeng. Bekandu’ biasa dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak, atau kepada sesama saat beraktivitas di sawah. Adapun bejereh-bebantah adalah rangkaian senandung yang merupakan bagian dari penegakan hukum adat yang terbagi menjadi dua bagian yaitu bejereh yang menjelaskan asal mula perkara adat yang diperselisihkan antara dua pihak, dan bebantah menjelaskan yang berisi pembelaan dari pihak tergugat. Prosesi bejereh-bebantah sama-sama berupa senandung yang berisi kesaksian dan doa kepada Jubata tuhan agar memilihnya sebagai pemenang perkara. Keputusan pemenang perkara ditentukan oleh sabung ayam yang disaksikan oleh seorang Lit atau hakim. Masyarakat Dayak Desa di lokasi studi telah mengenal musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan masalah bersama yang disebut baum rapat kampung. Beberapa baum dilakukan secara rutin untuk memutuskan kesepakatan dalam kegiatan beduru’ sistim arisan tukar bantuan tenaga dalam berladang dan nyelapat taun. Ada pula baum yang membahas tentang inovasi penting bagi kehidupan mereka seperti dalam memutuskan bertahan di rumah betang karena keterbatasan lahan, kesepakatan dalam memodifikasi dan memanfaatkan ruang rumah betang sesuai kebutuhan masa kini, kesepakatan untuk menurunkan ketinggian lantai, menambah ruang pada bilik, memodifikasi tanju, membuat lumbung padi yang terpisah dari betang sebagai upaya mempertahankan rumah betang, kesepakatan mengandangkan babi dan kesepakatan penting dan sebagainya. Pelaksanaan baum mencerminkan sikap masyarakat yang terbuka pada saran dan menghargai kaum terpelajar namun tetap menghormati pemimpin adat dan para tetua dalam mengambil keputusan. Dayak Desa di Ensaid Panjang masih menjaga identitas desa Dayak, yaitu rumah betang. Rumah betang merupakan permukiman tradisional suku Dayak dengan bentuk panggung dan memanjang yang dihuni secara komunal. Upacara betenung diperlukan untuk memilih lokasi rumah betang. Dalam upacara tersebut dilakukan pengundian nama untuk menentukan 3 orang untuk menjadi juru piara rumah yang terdiri dari pun, nekop, dan ngapit. Penentuan pun, nekop, dan ngapit dilakukan dengan ritual menjampi telur ayam yang sudah diwarnai dengan 3 warna yaitu kuning dari kunyit, putih dari kapur sirih dan hitam dari arang yang mewakili ketiga orang yang telah diundi sebelumnya. Pada bagian atas telur diberi lubang kecil, dibacakan jampi oleh tetua adat yang berisi doa kepada petara lalu dipanaskan di atas api dengan lubang berada di atas. Telur yang matang akan keluar dan mengenai cangkang telur yang berwarna. Warna yang dilalui telur ditetapkan sebagai pun sedangkan dua lainnya sebagai penguat rumah nekop dan ngapit. Namun jika telur meluber melewati batas antar warna maka ketiga orang tersebut dianggap bahwa ketiganya dianggap tidak layak oleh petara sehingga perlu diundi 3 orang yang berbeda. Jika juru piara rumah sudah ditentukan, pun akan menempati bilik yang terletak di tengah rumah sedangkan nekop dan ngapit menempati bilik yang mengapit bilik milik pun. Bilik milik nekop berada di sebelah kanan bilik milik pun dengan arah bukaan daun pintu berlawanan dengan arah bukaan daun pintu bilik pun; sedangkan bilik milik ngapit terletak di sebelah kiri bilik milik pun dengan arah bukaan daun pintu searah dengan arah bukaan pintu bilik milik pun Santoso, 2008. Tiang untuk bilik milik pun merupakan tiang pertama dan utama yang dipancangkan saat pembangunan rumah. Pada tiang ini dipasang sesajian selama sepekan dan dibacakan mantra untuk memanggil burung-burung tertentu yang dipercaya membawa pertanda. Jika burung berbunyi indah maka prosesi pembangunan dapat dilanjutkan namun jika tidak maka harus memilih tempat baru. Selain itu pembatalan pembangunan pada lokasi yang sudah dipilih dapat terjadi jika dalam waktu 3, 5, atau 7 hari menunggu sesaji, terdapat warga yang meninggal, sehingga harus memilih lokasi baru. Hal ini disebut teraka bangkai. Dalam budaya Dayak Desa, ada perbedaan sebutan untuk rumah tradisional, yaitu berdasarkan jumlah bilik. Rumah dengan bilik kurang dari 6 bilik disebut langkau, rumah dengan jumlah bilik antara 6 sampai 10 disebut terata’, sedangkan rumah yang memiliki lebih dari 10 bilik disebut sebagai betang. Pada lokasi studi, bilik rumah berjumlah lebih dari 20 dan seluruhnya mencapai panjang kurang lebih 130 meter sehingga disebut sebagai rumah betang. Secara arsitektur, rumah betang dapat dikelompokkan dalam rumah deret karena satu kediaman sebuah keluarga bersebelahan langsung dengan kediaman keluarga di sebelahnya. Rumah betang di lokasi studi terdiri dari beberapa ruang penting, yaitu sadau bilik, sadau tingka’, sadau empelengu’, tanju’, padong, ruai, teluk, bilik baruh, serambi’, tingka’, dan baruh Tabel 10. Berdasarkan filosofi ruang, rumah betang terdiri atas ruang atas, ruang tengah dan ruang bawah sedangkan berdasarkan pemanfaatan ruang, rumah betang terdiri atas ruang privat dan ruang publik Gambar 21. Ruang privat terdiri dari bilik dan serambi’, sedangkan ruang publik terdiri dari ruai, padong, teluk dan tanju’ Santoso, 2008. Pembagian ruang tengah, atas dan bawah dipengaruhi oleh kepercayaan setempat bahwa terdapat dunia yang berbeda antara tuhan, manusia, dan binatang Santoso, 2008. Tuhan berada di ruang tertinggi, manusia di ruang tengah dan binatang di ruang bawah. Ruang atas digunakan untuk meletakkan sesajian yang disebut pedara’ sebagai ucapan syukur atas keberhasilan yang dicapai atau sebagai permohonan agar dihindarkan dari malapetaka. Tempat menyimpan pedara’ disebut ranca’ yaitu anyaman bambu berbentuk keranjang kecil. Di samping ranca’ biasanya digantung beram, yaitu bambu berisi tuak beras. Selain untuk sesajian, ruang atas digunakan untuk tempat penyimpanan barang keluarga sadau bilik, tempat penyimpanan barang milik bersama sadau ruai, dan tempat mengintai musuh pada masa kayau sadau emplengu’. Pada kehidupan sehari-hari manusia beraktifitas di ruang tengah dan bawah diperbolehkan ke ruang atas hanya pada keadaan tertentu sedangkan hewan harus dibunuh jika sampai naik ke ruang atas. Beberapa hewan mamalia yang dapat menapaki tangga, seperti anjing dan kucing, boleh naik sampai ruang tengah sedangkan mamalia lain yang tidak bisa menpaki tangga, seperti babi, harus dibunuh. Tabel 10 Bagian dan fungsi ruang pada rumah betang di lokasi studi No Nama lokal Fungsi Penggunaan Masa lalu Sekarang 1. Baruh kolong - Tempat memelihara babi - Ruang penyimpanan Ya Ya 2. Tanju - Tempat menadah air hujan - Tempat menjemur padi - Tempat alas kaki Ya Ya dengan modifikasi 3. Padong - Tempat menerima tamu bersama yang tidak menginap - Ruang kegiatan santai dan berkumpul - Tempat menyimpan alat penangkap ikan - Jalur sirkulasi Ya Ya 4. Ruai - Tempat mengolah padi sebelum ditumbuk - Tempat melakukan aktivitas di siang hari - Jalur sirkulasi - Tempat menyimpan padi sebelum ditumbuk Ya Ya 5. Telu’ - Jalur sirkulasi - Tempat menumbuk padi - Tempat meletakkan alas kaki Ya Ya 6. Bili’ baruh - Tempat masak dan makan - Tempat menerima tamu yang menginap - Ruang tidur tamu - Tempat menyimpan barang tikar, alat tenun, dll Ya Ya 7. Serambi’ - Tempat tidur penghuni rumah Ya Ya 8. Tingka’ - Tempat makan - Tempat menyimpan peralatan pertanian yang sering digunakan Tidak Ya 9. Dapo’ - Tempat memasak - Tempat menyimpan air minum - Tempat menyimpan kayu bakar Tidak Ya 10. Sadau Bili’ - Tempat menyimpan peralatan pertanian yang jarang digunakan - Tempat menyimpan padi Ya Ya 11. Sadau Ruai - Tempat menyimpan barang tikar, alat pertanian, alat penangkap ikan, dll Ya Ya 12. Sadau Punggu’ Sadau Empelengu’ - Tempat mengawasi musuh - Tempat menggantung pedarak sesajen Ya Ya Lanjutan Tabel 10 Bagian dan fungsi ruang pada rumah betang di lokasi studi No Nama lokal Fungsi Penggunaan Masa lalu Sekarang 13. Samai Induk Samai Ulu - Jalan masuk rumah dari arah punggung ulu selatan Ya Ya 14. Samai Laki Samai Ili’ - Jalan masuk rumah dari arah punggung ili’ utara Ya Ya 15. Tangga’ Tanju - Jalan masuk rumah dari arah tanju timur Tidak Ya Sumber: Santoso 2008, Pengamatan Lapang 2013 Pada masa lalu, lantai bidang dasar rumah berjarak jauh dari permukaan tanah, yakni sekitar 5-8 meter tidak ada dokumentasi foto. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keamanan. Bidang dasar yang tinggi berguna dalam melindungi suku dari bencana banjir, serangan hewan liar, dan terutama untuk perlindungan perang antar suku saat budaya kayau masih dilakukan. Sejak budaya mengayau resmi dilarang oleh Belanda pada tahun 1924, peperangan antar suku dan praktik mengayau semakin jarang McKinnon et al, 2000. Perasaan aman mempengaruhi ketinggian bidang dasar rumah betang yang dibangun setelah tahun tersebut. Saat ini ketinggian bidang dasar rumah kurang lebih 1,5 meter. Gambar 21 Skema melintang rumah betang di lokasi studi Bentuk rumah betang yang khas dari Dayak Desa asli tetap dipertahankan dengan beberapa modifikasi atau penambahan sesuai kebutuhan misalnya tingka’ dan dapo’ Santoso, 2008. Di masa lalu, dapur yang berupa tungku, para-para, dan tempat mencuci tangan dari kayu jengger yang disusun jarang, terletak di dekat pintu masuk bilik. Sisa makanan yang dibuang dari dapur langsung dimakan babi yang dibiarkan lepas di baruh rumah. Tingka’ dan dapo’ baru ada setelah masyarakat dihimbau oleh pemerintah untuk memindahkan kegiatan memasak dari bilik baruh demi alasan kenyamanan ketika tamu berkunjung ke betang. Modifikasi fisik dilakukan dengan merendahkan bidang dasar kedua ruang tambahan tersebut agar perubahan yang dilakukan tidak mengubah atap. Selain itu babi mulai dipelihara di kandang. Penyesuaian lain terjadi pada bagian tanju. Menurut informan kunci, rumah betang Dayak Desa sebelumnya memiliki tanju yang lapang tidak ada dokumentasi foto. Tanju digunakan untuk keperluan menjemur padi dan kegiatan luar ruangan lain untuk mencegah pengayauan. Sebagai kerabat Dayak Iban yang terkenal sebagai pengayau, tanju merupakan salah satu ciri masyarakat yang bersifat agresif menyerang, namun atas pertimbangan berhentinya budaya kayau maka tanju ditiadakan saat pembangunan rumah tahun 1986. Saat ini tanju dibangun di sisi timur rumah betang dengan ukuran kecil dan terpisah-pisah. Sisi utara Sisi selatan Sisi timur Sisi timur Gambar 22 Akses masuk rumah betang di lokasi studi Penyesuaian lain adalah pada tangga Gambar 22. Pada masa lalu hanya terdapat 2 akses masuk betang, yaitu melalui tangga moa samai di selatan ulu dan utara ili’. Samai ulu dan ili’ adalah tangga tunggal tinggi dari kayu besi pada sisi utara dan selatan rumah betang yang dapat dilepas-pasang dan sengaja dibuat tanpa pegangan, untuk mempersulit suku lawan naik ke rumah pada masa kayau. Saat ini, akses masuk betang tidak hanya melalui samai ulu dan ili’ melainkan juga melalui tangga-tangga tanju pada sisi timur rumah. Saat ini samai ulu dan ili’ masih dipertahankan. Tangga tersebut dapat dinaik-turunkan, namun di pinggirannya diberi pegangan namun anak tangga. Keberadaan baruh rumah kolong dipertahankan. Pemanfaatan baruh rumah hingga tahun 2011 adalah untuk memelihara babi namun saat ini pemeliharaan babi tidak dilepaskan melainkan dipelihara di dalam kandang- kandang kecil terpisah yang terletak di belakang rumah betang. Hal ini didorong oleh anjuran pemerintah dalam rangka mendukung program pariwisata serta kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkungan. Saat ini kolong rumah dimanfaatkan untuk menyimpan persediaan kayu bakar dan kayu persediaan renovasi rumah atau untuk menyimpan sepeda motor Gambar 23. Gambar 23 Pemanfaataan baruh rumah betang saat ini Pada masa lalu, masyarakat Dayak Desa Ensaid Panjang hidup nomaden karena secara rutin melakukan pindah rumah setiap 5 sampai 10 tahun sekali. Perpindahan dilakukan terutama jika masyarakat di rumah betang yang lama mengalami musibah seperti kematian tidak wajar secara berurutan atau bila ada anggota masyarakat yang mendapat petunjuk bahwa mereka harus pindah. Petunjuk pindah rumah dapat berupa mimpi maupun petunjuk alam seperti terdengarnya suara jenis burung tertentu yang diyakini membawa pertanda buruk. Pengetahuan mengenai jenis-jenis burung yang memberi petunjuk kepindahan rumah saat ini terbatas dan sulit dilacak karena masyarakat yang memiliki pengetahuan tersebut semakin sedikit dan habitat burung berkurang. Saat ini masyarakat Dayak Desa di lokasi studi tidak lagi hidup nomaden melainkan telah menetap selama kurang lebih 29 tahun terakhir. Rumah betang di Dusun Rentap Selatan merupakan satu-satunya rumah betang di Kabupaten Sintang yang masih terjaga. Keberadaan rumah betang sangat penting bagi budaya Dayak Desa karena berbagai kegiatan umumnya dilakukan di rumah betang Tabel 11. Lingkungan di sekitar rumah betang seperti telaman halaman, sungai, dan kebun menjadi tempat aktivitas masyarakat Dayak Desa Gambar 24. Tabel 11 Ruang aktivitas budaya masyarakat di lokasi studi Jenis Aktivitas Budaya Ruang R um ah B et ang H al am an S unga i L ada ng S aw ah K ebun T aw ang B uki t Tata Cara Hidup a. Kelahiran √ b. Pernikahan √ c. Interaksi sosial √ √ d. Membersihkan diri √ e. Musyawarah baum √ f. Kematian √ Aktivitas Harian a. Menanam padi √ √ b. Menjemur padi √ c. Menumbuk padi √ d. Menyimpan padi √ √ e. Mengambil buah √ √ f. Menyadap noreh √ g. Mengambil kayu bakar √ h. Mengambil madu √ √ i. Menangkap ikan √ j. Berburu √ √ k. Menenun √ l. Membuat kerajinan anyaman √ m. Mambuat perkakas kayu dan besi √ √ Upacara Adat a. Penyambutan tamu √ √ b. Memandikan bayi √ c. Tusuk telinga √ d. Asah gigi √ e. Gunting rambut √ f. Nanam ayu dan patah ayu √ g. Pengobatan belian √ h. Menebang kayu untuk betang meramu √ √ i. Nyelapat taun √ √ √ j. Bekana √ Sumber: wawancara, pengamatan lapang 2013 Meskipun telah hidup menetap, masyarakat Dayak Desa masih memiliki ketergantungan erat dengan hutan. Mereka secara rutin memperbaiki bagian- bagian rumah yang rusak dengan mengandalkan bahan bangunan yang berasal dari hutan Tabel 12. Kegiatan memperbaiki rumah dilakukan secara beduru’ bergotong royong, diawali dengan upacara meramu yang dilakukan sebelum pemanenan kayu. Gambar 24 Ragam aktivitas masyarakat di lingkungan rumah betang Terdapat beberapa aturan penting terkait pembangunan dan perbaikan rumah misalnya tiang pertama tiang mun harus berasal dari kayu belian Eusideroxylon zwageri yang masih hidup sedangkan kayu lainnya terutama kayu durian Durio sp sebaiknya dari pohon yang sudah mati atau tersambar petir. Kayu yang disambar petir dianggap sebagai kayu terbaik untuk bahan bangunan. Kayu kumpang Horsfieldia polyshperula digunakan untuk atap rumah karena dipercaya dapat melindungi dari roh jahat. Selain itu kayu ini juga digunakan untuk upacara adat lain, dengan cara menancapkan batang yang telah diukir di sekeliling tempat upacara. Tabel 12 Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangunan No Nama Lokal Nama Ilmiah Fungsi 1. Bambu Gigantochloa latifolia Tiang sementara 2. Bekakal - Lantai 3. Belian Eusideroxylon spp. Tiang mun, tangga 4. Bengkal Albizia procera Lantai 5. Bungkang Eugenia sp. Lantai 6. Durian Durio zibethinus Lantai 7. Durian burung Durio sp. Atap, lantai Lanjutan Tabel 12 Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangusnan No Nama Lokal Nama Ilmiah Fungsi 8. Empetir Copaifera pallustris Atap, lantai 9. Emperpat Combretocarpus rotundatus Lantai 10. Empili’ Lithocarpus dactastayhus Atap 11. Entemau Cratoxylum glaucum Atap 12. Entungan Bluneodendron sp. Lantai 13. Jaung Nicolaia speciosa Atap lumbung 14. Kayu Geronggang Cratoxylum arborescens Atap 15. Kayu Jengger Ploiarium alternifolium Lantai, Dinding ruai pagar ai’ 16. Kelampu’ Sandoricum koetjape Atap 17. Kelansau Dryobalanops oblongifolia Dinding bilik 18. Keleban leban Vitex pubescens Lantai 19. Kesia’ - Lantai 20. Kumpang Horsfieldia polyspherula Atap 21. Mabang Shorea sp. Atap, dinding 22. Medang Diliasia caesia Lantai 23. Melingkatentuyut Nepenthes spp. Tali pengikat 24. Mengeris Koompassia malaccensis Lantai 25. Menyatu’ Palaquium sp. Atap 26. Meranti’ Shorea sp. Atap, dinding bilik 27. Merbung Dactylocladus stenostachys Lantai 28. Merkulat Tijsmanniodendron pteropodum Lantai 29. Pelam babi Mangifera spp Lantai 30. Pendu’ Polyalthia glauca Tali pengikat 31. Ramin Gonytylus bancanus Lantai 32. Rengas Gluta renghas Lantai 33. Resa’ Dipterocarpus borneensis Atap 34. Snaga Calophyllum sp Lantai 35. Terentang Campnosperma auriculata Lantai 36. Terinju’ - Lantai 37. Ubah Eugenia spp Lantai 38. Uwi antu’ Calamus zonatus Tali pengikat 39. Uwi batu Calamus sp Tali pengikat Sumber: Wawancara 2012, PRCF 2013 Artefak budaya penting lain bagi budaya Dayak Desa adalah kain tenun ikat Gambar 25. Kain tenun ikat memiliki nilai sakral karena sebelum pembuatan kain, para penenun harus berpuasa, mengamati lingkungan, meminum ramuan, dan berdoa agar memperoleh inspirasi motif yang akan dibuat. Motif pada kain tenun Tabel 13 memiliki simbol yang berkaitan dengan kekuatan supranatural, seperti motif burung dianggap sebagai perwakilan dunia atas yang membawa kabar baik atau buruk sedangkan reptil merupakan simbol dunia bawah Huda, 2008. Kompleksitas motif pada kain tenun menjadi indikator usia penenun. Secara umum, semakin tua seorang penenun maka perbendaharaan motif yang diketahui akan semakin banyak, demikian sebaliknya. Motif tenun ikat Dayak Desa selama ini hanya mengandalkan ingatan. Di satu sisi, hal ini menyebabkan setiap helai kain tenun ikat memiliki keunikan tersendiri, namun di sisi lain, hal ini meningkatkan probabilitas kehilangan motif khas Dayak Desa dari generasi ke generasi. Gambar 25 Kain tenun ikat Dayak Desa sumber: www.tenunikat.blogspot.com Di masa lalu, proses pembuatan kain tenun wajib dikuasai oleh kaum wanita karena pakaian keluarga hanya mengandalkan buatan sendiri. Oleh karena itu keahlian menenun merupakan salah satu syarat kelayakan menikah bagi seorang wanita, sedangkan bagi pria dilihat dari keahlian membuat perahu dan menangkap ikan. Seiring zaman, kain tenun tidak digunakan sebagai pakaian sehari-hari dan digantikan oleh produk sandang dari luar. Hal ini membuat nilai ekonomi kain tenun meningkat. Kain tenun saat ini tidak hanya digunakan untuk keperluan upacara bagi anggota keluarga melainkan juga untuk menambah penghasilan keluarga. Tabel 13 Motif tradisional Dayak Desa Motif Keterangan Leku’ Melambangkan ular. Titidan Melambangkan buah-buahan. Jelu Melambangkan binatang hutan seperti babi, rusa, kijang. Pelangka’ Melambangkan alat kerja pertanian. Ruit Melambangkan senjata tombak. Sisik langit Melambangkan awan yang berarak di langit. Bandung berumpa’ Melambangkan sampan perompak. Kucing kelait Melambangkan perkelahian kucing. Kelapa rurut Melambangkan buah kelapa yang dipetik. Cicak rawa Melambangkan cicak yang menempel di pohon. Patah paku’ Melambangkan tanaman pakis. Pucuk rebung Melambangkan rebung di hutan. Sumber: Wawancara 2013 Pembuatan kain tenun ikat melalui proses yang panjang, meliputi pembuatan alat tenun, pembuatan benang dan penenunan kain. Alat tenun dapat digunakan selama bertahun-tahun. Pada pembuatan bagian-bagian alat tenun Tabel 14, salah satu bahan penting yang digunakan untuk pembuatan alat tenun adalah kayu belian Eusideroxylon zwageri. Kayu ini dipilih karena sifatnya yang ringan dan tahan lama. Proses pembuatan alat tenun ikat meliputi tahap pemilihan bahan, pengeringan, pembersihan, pengukuran, pemotongan dan perakitan kayu dengan pasak Arisma, 2009. Tabel 14 Bagian-bagian alat tenun No Bagian Fungsi Terbuat dari 1. PautSabu’ Tali pengaman dan penyeimbang yang berada di antara alat tenun dan penenun Rotan Calamus sp, kepuak, tulang keladi 2 Apit Kayu untuk memasang benang, sebagai pengikat benang Kayu belian Eusideroxylon zwageri, kayu suluh 3. Belia’ Alat penyusun benang berbentuk pedang, untuk membuat motif tenun Kayu belian Eusideroxylon zwageri 4. Senggang Penyangga agar benang tidak kusut dan alat tenun tidak roboh Kayu senggang Hornstedtia scyphifera 5. Letan Penahan senggang Kayu belian Eusideroxylon zwageri 6. Gulunan Kupap Penyimpan benang dalam membuat motif tenun, untuk benang berjumlah minimum, terletak di atas Bambu Gigantochloa sp. 7. Gulunan Besay Penyimpan benang dalam membuat motif tenunan untuk benang berjumlah dominan, terletak di bawah Piring 8. Sau’ Penarik benang yang akan dimasukkan ke dalam susunan benang-benang yang akan ditenun Enau Arenga pinata 9. Tumpu’ Penahan kaki pada waktu menarik benang tenun - 10. Karap Pemisah benang sebelum membuat motif - 11. Kalungan Alat penggulung benang - Sumber: Arisma 2009, Sudarto tanpa tahun Masyarakat tradisional Dayak Desa di masa lalu memanfaatkan serat alam dari pohon kapas Gossypium barbadense untuk membuat kain tenun ikat. Proses pembuatan dari kapas menjadi benang melewati tahapan panjang. Kapas dipetik dari pohon kemudian dibersihkan dan dijemur, dipukul berkali-kali untuk menghilangkan serbuk yang dapat merusak benang, lalu dilipat dan dibagi menjadi beberapa bagian, baru kemudian dipintal menjadi benang. Seiring perubahan zaman, pembuatan benang tidak lagi dilakukan sendiri. Benang yang digunakan oleh sebagian besar penenun saat ini adalah benang siap pakai yang dibeli di pasar. Penggunaan benang siap pakai meningkatkan produktifitas penenun dalam menghasilkan kain, namun di sisi lain menyebabkan penurunan keahlian para wanita dalam membuat benang sebagai bagian dari budaya lokal. Proses selanjutnya adalah penenunan Gambar 26, meliputi tahap merentangkan benang, mengikat benang sesuai motif ngebat tahap 1 dan merendam benang tahap 1, dilanjutkan dengan ngebat tahap 2 dan merendam benang tahap 2, lalu membuka ikatan benang, dan terakhir tahap menenun kain. Di masa lalu, cairan celupan pewarna diperoleh dengan cara merebus bagian tanaman tertentu. Penggunaan pewarna alami Tabel 15 menghemat biaya produksi karena mudah diperoleh dan tidak mengeluarkan biaya tambahan. Saat ini banyak penenun yang beralih menggunakan pewarna tekstil sintetik dengan alasan kepraktisan, dan warna yang lebih cerah. Meskipun demikian, masih ada sebagian penenun yang tetap menggunakan pewarna alami. Kain yang dicelup pewarna alami cenderung kurang cerah dibandingkan kain yang dicelup dengan pewarna sintetik, namun warnanya lebih tahan lama sehingga dihargai lebih tinggi di pasar internasional dibandingkan kain tenun serupa yang diwarnai dengan pewarna buatan. Merentang benang Mengikat ngebat Menenun benang yang telah diwarnai Gambar 26 Proses pembuatan kain tenun ikat Dayak Desa Tabel 15 Jenis Tumbuhan Penghasil Zat Warna No Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian Warna yang dihasilkan 1. Emari’ jirak Antidesma sp. Daun Merah gelap, coklat 2. Empait Clerodendrum adenophysum Daun Merah 3. Engkerbang engkrabai Psychotria vividifloria Daun tua Merah bata, coklat 4. Engkudu mengkudu Morinda citrifolia Akar Merah, coklat 5. Entemu’ Curcuma domestica Umbi Kuning 6. Kunyit Curcuma longa Umbi Kuning 7. Lengkar sebangki Neesia spp. Kulit batang Kuning, merah 8. Melingkat besar kantong semar Nepenthes spp Batang Hitam 9. Rambutan Nephelium lappaceum Daun Hitam 10. Tarum padi rengat Indigofera arrecta Daun Biru, hitam 11. Tarum jawa rengat Marsdenia tinctoria Daun Biru, hitam Sumber: Huda 2006 dan wawancara 2013 Peralihan penggunaan bahan mentah alami ke barang setengah jadi pada dasarnya disebabkan oleh faktor kepraktisan serta ketersediaan bahan baku di alam yang tidak mampu memenuhi kebutuhan para penenun Arisma, 2009. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa kain tenun ikat tidak hanya bernilai ekonomi namun juga mencerminkan budaya lokal dan kualitas lingkungan. Penggunaan barang setengah jadi meningkatkan produktifitas penenun namun berpotensi meningkatkan ketergantungan masyarakat akan persediaan bahan dari luar dan menurunkan pengetahuan lokal bagi generasi muda. Selain kain tenun ikat dan rumah betang, kerajinan anyaman merupakan artefak budaya lain yang tergantung kepada hasil hutan Gambar 27. Hasil hutan bukan kayu yang digunakan sebagai bahan baku kerajinan anyaman antara lain bambu Bambusa sp, rotan Calamus sp, resam Dicranopteris linearis danan Korthalsia flagellaris, dan senggang Hornsstedtia scyphifera. Hasil kerajinan anyaman yang umum dibuat adalah tikar, takin wadah untuk membawa barang, tampi’ alat menampi padi, gelang, cupai takin kecil, tungkingengkalang takin tinggi, pelaya’ tikar untuk menjemur padi, empajang keranjang besar untuk tempat padi, bubu alat perangkap ikan, tengkalang wadah untuk mengambil padi, dan renjong keranjang. Anyaman-anyaman tersebut dibuat untuk digunakan sehari-hari. Hanya sedikit masyarakat yang memanfaatkan kemampuan menganyam untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mengupas kulit ari rotan Bahan yang siap dianyam Menganyam Beberapa produk anyaman Gambar 27 Kegiatan menganyam yang dilakukan oleh masyarakat Secara umum, masyarakat Dayak Desa di lokasi studi memiliki pengetahuan lokal dan inovasi ekologis yang memadai dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat mengkonsumsi beras lokal yang dihasikan dari kegiatan pertanian di lahan kering atau ladang uma munggu’ maupun dari pertanian lahan basah atau sawah uma paya’. Pengolahan ladang dan sawah dilakukan secara bergotong royong beduru’ dan bergiliran Gambar 28. Pada pengolahan uma munggu’, persiapan lahan dilakukan dengan pembakaran terkendali untuk melepaskan fosfor yang tersimpan di tanaman sebelumnya Setyawan, 2010. Adapun pengolahan uma paya’ tidak melalui proses penggemburan tanah atau pembajakan karena jenis tanah peka terhadap erosi. Untuk mengatasi hal tersebut, masyarakat menyiapkan lahan sawah yang akan ditanami dengan cara menggelindingkan batang kayu berdiameter kurang lebih 20 cm di atas rumput yang menutupi permukaan sawah. Dengan demikian struktur tanah tidak terganggu dan unsur hara dari rumput dapat digunakan untuk tanaman padi. Bergotong royong atau beduru’ Uma munggu’ ditanami setelah dibakar Proses perebahan gulma di uma paya’ Gambar 28 Pengolahan lahan pertanian di Desa Ensaid Panjang Hasil pertanian disimpan dalam bentuk gabah kering yang masih menempel di tangkai padi. Menurut masyarakat, cara penyimpanan tersebut membuat padi lebih tahan lama. Padi yang akan dikonsumsi dalam waktu dekat, dimasukkan ke dalam karung besar dan diletakkan di dapo’. Pada masa lalu persediaan padi disimpan di sadau bilik, namun dengan pertimbangan konservasi rumah betang, persediaan padi disimpan di lumbung yang dibangun di sisi timur rumah betang. Sebelum dikonsumsi, padi harus diolah terlebih dahulu Gambar 29. Secara tradisional, hal yang dilakukan adalah melepaskan padi dari tangkai dengan cara menginjak dan menggosok menggunakan kaki yang bersih. Padi yang telah lepas dari tangkai dijemur, ditumbuk dan ditampi agar padi bersih dari kulit. Alu dan lesung yang digunakan terbuat dari kayu bunyau Shorea sp. sedangkan alat tampi terbuat dari anyaman. Saat ini ada satu warga sudah memiliki alat penggiling padi yang ditempatkan di samping rumah betang. Dengan alat ini, proses memisahkan padi dengan kulit dapat dilakukan dengan cepat. Meski demikian, masyarakat masih menggunakan alu dan lesung untuk mengolah berbagai makanan tradisional yang terbuat dari tepung beras dan ketan. Tepung dibuat dengan cara menumbuk beras atau ketan dengan alu dan lesung secara bersama-sama oleh para wanita. Tumbukan yang silih berganti dari beberapa alu menghasilkan bunyi yang menarik. Melepaskan tangkai padi Menampi padi Menumbuk beras Gambar 29 Aktivitas pengolahan padi Cara unik lain dalam memasak adalah dengan pansuh dan pais. Pansuh adalah memasak dengan menggunakan wadah bambu Gigantochloa sp.. Bahan utama yang akan dimasak biasanya protein hewani dicampur dengan rempah- rempah, dimasukkan ke bambu garam, kunyit, asam kandis, daun sengkubak dan ditutup, lalu dibakar di atas bara api. Cara masak seperti ini dapat menghasilkan makanan yang lebih manis. Adapun pais adalah memasak tanpa minyak dan menggunakan daun simpur Dillenia sp. muda untuk membungkus. Bahan utama yang akan dimasak biasanya ikan sungai dicampur dengan bumbu garam, daun salam, asam kandis, daun sengkubak lalu dibungkus dengan daun simpur muda dan dibakar di atas bara api. Peralatan pertanian dan perkakas besi yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari maupun kegiatan ritual dibuat oleh pandai besi Gambar 30. Kegiatan pandai besi dilakukan secara tradisional Peralatan yang digunakan oleh pandai besi adalah tabung pompa udara, tungku pembakaran, besi, dan palu penempa sedangkan bahan bakar yang digunakan adalah kayu ulin. Pembuatan perkakas tidak dilakukan setiap hari melainkan menunggu jika ada yang memerlukan. Saat ini kegiatan pandai besi yang menguras tenaga kurang diminati oleh kaum muda. Mandau, parang, dan perkakas besi lain yang dihasilkan oleh pandai besi dilengkapi dengan gagang dan sarung yang terbuat dari kayu entemau Cratoxylum glaucum, kayu suluh, atau kayu kumpang Horsfieldia polyspherula. Ukiran pada sarung mandau, parang dan ukiran lain dibuat oleh pemahat dengan inspirasi dari alam. Menempa besi Membuat bara api menyala dengan pompa sederhana untuk memanaskan besi yang akan ditempa Gambar 30 Aktivitas pandai besi

4.3.4 Tatanan Lanskap Budaya

Tatanan lanskap Dayak Desa Ensaid Panjang pada tahun 1991 Gambar 31 diperoleh dari potongan melintang rumah adat terhadap bukit. Pada tahun tersebut, perbukitan masih digunakan masyarakat sebagai ladang. Namun selama kurun waktu 10 tahun, perladangan di kawasan Bukit Rentap berkurang secara signifikan. Masyarakat berangsur-angsur mengurangi kegiatan perladangan di bukit karena menghabiskan tenaga dan biaya pengangkutan hasil yang besar. Hal ini juga disertai oleh kesadaran masyarakat untuk melindungi hutan Bukit Rentap. Masyarakat melalui lembaga adat sepakat untuk tidak lagi melakukan perladangan berpindah di bukit. Pada tahun 2001, kawasan hutan masih cukup luas dan Bukit Rentap menghutan kembali. Ladang dan kebun dibuka dengan tetap mempertahankan hutan adat. Tatatan lanskap tradisional pada tahun 2013 Gambar 32 berubah secara signifikan dibandingkan dengan tahun 1991 dan 2001. Kawasan hutan di utara desa Dusun Ensaid Pendek berubah menjadi perkebunan sawit yang luas. Di satu sisi perkebunan monokultur berkembang dengan cepat di Kecamatan Kelam Permai Hutan, namun keberadaan hutan terancam karena mengalami fragmentasi dan terancam hilang akibat perluasan perkebunan. Gambar 31 Tatanan lanskap di lokasi studi tahun 1991 Sebagian besar masyarakat Dayak Desa di lokasi studi memiliki kebun karet sebagai tanaman penghasil uang. Tanaman karet bukan tanaman asli. Pada masa lalu, tanaman karet hanya boleh ditanam oleh kepala kampung, kebayan sekretaris kampung dan pun rumah juru piara betang karena kekhawatiran “semangat padi dikalahkan oleh karet”, namun saat ini kebun karet boleh dimiliki oleh masyarakat biasa karena kebun karet yang sudah tua dapat menghutan kembali sehingga perkebunan karet dianggap tidak mengancam budaya dan alam sekaligus dapat meningkatkan perekonomian. Di sisi lain, perkebunan tanaman sawit dianggap mengancam budaya karena menggunakan pupuk dan pestisida sintetik serta mengkonversi lahan hutan secara luas Gambar 32 Tatanan lanskap di lokasi studi tahun 2013 Berdasarkan informasi budaya, diperoleh peta zonasi budaya Dayak Desa di Desa Ensaid Panjang Gambar 33. Kawasan permukiman tradisional rumah betang dan kawasan hutan termasuk dalam zona budaya tinggi. Rumah betang merupakan pusat aktivitas budaya Dayak Desa. Banyak kegiatan sehari-hari maupun ritual yang dilakukan di dalam dan lingkungan sekitarnya. Adapun semua kawasan hutan dinilai penting karena rumah betang tergantung pada hasil hutan. Lahan pertanian, semak, dan perkebunan karet dikategorikan dalam zona budaya sedang karena kehidupan masyarakat di betang tergantung dari kegiatan pada kawasan tersebut. Adapun perkebunan kelapa sawit dalam kategori rendah karena perkebunan sawit dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal.